Salah satu kelas bahasa Indonesia yang kuajar adalah kelas orang dewasa, dalam artian pegawai atau ibu rumah tangga sehingga pelajaran dilakukan malam hari. Kebanyakan mereka adalah orang-orang Jepang yang pernah pergi ke Indonesia. Atau kalaupun belum pernah, pasti kantornya berhubungan dengan Indonesia, atau dia akan dipindahtugaskan ke Indonesia. Jadi minat dan perhatian mereka lain dengan mahasiswa yang hanya sekedar memenuhi sks 😀
Nah, Rabu kemarin tiba-tiba ada seorang ibu yang bertanya: “Makasih” itu apa? Lalu kujelaskan bahwa makasih adalah singkatan dari terima kasih yang sering dipakai dalam percakapan orang Indonesia. Tapi sebaiknya jika bicara dalam forum formal jangan memakai makasih.
Sabtu kemarin benar-benar satu hari untuk keluarga. Tidak biasanya kami berempat bisa benar-benar libur satu hari. Jadi sekitar pukul 11 kami pergi bersama berbelanja untuk keperluan badminton Riku dan baju winter anak-anak. Untuk makan siang, kami makan di sebuah restoran India di gedung yang sama dengan toko pakaian itu. Riku suka sekali NAN, roti India yang biasa dimakan dengan kare. Dia kenal NAN itu waktu makan siang di sekolahnya, kadang diberi NAN dan kare. Tapi karena aku tidak suka kare India, aku tidak pernah membeli NAN atau mengajak anak-anak ke restoran India. Karena terlihat Riku ingin sekali makan di resto India itu, akhirnya aku mengalah dan kami masuk… untuk pertama kalinya sekeluarga. Sambil aku berencana untuk mengajak anak-anakku pergi mencoba masakan Thailand suatu waktu.
Setelah berbelanja kami kembali ke rumah dan menunggu Riku bimbel sampai jam 8 malam. Setelah itu Gen mengajak kami pergi ke sebuah rumah makan Indonesia yang relatif dekat dengan rumah kami, hanya 20 menit bermobil. Nama restoran itu MAKASHI dan stasiun terdekatnya adalah Ogawa dari Seibu line. Aku memang sempat tertawa waktu mendengar Gen mengatakan nama restoran itu pertama kali. Makasih memang mirip kata-kata bahasa Jepang. Tapi letak huruf H nya yang tidak benar 😀 Soalnya dalam bahasa Jepang, bunyi “SI” itu selalu ditulis SHI. Lihat saja paket bumbu NASI GORENG yang kubeli di toko MUJI. Tertulis NASHI GORENG euy 😀
Restoran MAKASHI ini memang kecil dan daripada disebut restoran, lebih cocok disebut tempat minum-minum, izakaya bahasa Jepangnya, atau tavern bahasa Inggrisnya. Begitu masuk saja kami langsung diserang dengan asap rokok dan bunyi tawa canda tamu yang lain. Kai yang “kalem” sekali langsung mengajak kami pulang hehehe. Tapi kami memesan cukup banyak variasi makanan di sini. Bihun goreng, mie goreng, nasi goreng, rendang dan gado-gado. Semuanya lumayan enak dan harganya relatif murah. Tapi sayangnya menurutku tidak bisa mengajak teman muslim ke sini, karena sudah terlihat potongan daging babinya dalam bihun/mie gorengnya.
Tapi restoran ini cukup “royal” kepada tamunya. Ketika kami hampir pulang, mereka membagikan sepiring emping kepada semua tamu “on the house” (tanpa bayar). Belum lagi waktu aku memesan pisang goreng untuk Riku saja, ternyata mereka membuatkan juga untuk Kai….. Jadi dapat dua bayar satu deh.
Senang sekali kami bisa mencoba lagi sebuah restoran Indonesia yang baru di Tokyo. Karena sebetulnya ini pelampiasan kami tidak bisa pergi ke Festival Indonesia yang diadakan di Yoyogi. Ah, memang makanan Indonesia itu ngangenin!
Judul aslinya “Kome Hyappyou 米百俵” , samar-samar aku mengingat sebuah cerita sejarah yang melatarbelakangi slogan “100 karung beras” ini. Peristiwa ini terjadi di domain (=藩 han = daerah yang dikepalai seorang Hanshu, semacam “raja kecil”) Nagaoka, di prefektur Niigata sekitar tahun 1860-an. Saat itu daerah ini kalah perang Boshin, dan mengalami kelaparan. Melihat kondisi ini, “tetangga”nya domain Mineyama, mengirimkan 100 karung beras, dengan tujuan menyelamatkan daerah Nagaoka dari kelaparan. TAPI, seorang petinggi daerah Nagaoka yang bernama Kobayashi Torasaburo malahan menyuruh menjual beras itu dan hasil penjualan diperuntukkan untuk membangun sekolah. Katanya: “Seratus karung beras itu jika dimakan akan habis dalam sekejap, tapi jika dijadikan sekolah (pendidikan) kita akan menuai hasilnya kelak, 10.000 atau 100.000 karung.” 「百俵の米も、食えばたちまちなくなるが、教育にあてれば明日の一万、百万俵となる」
Tentu saja keputusan itu dikecam oleh petinggi yang lain, namun keputusan itu tetap dijalankan dan didirikan Koukkan Gakkou yang menjadi cikal bakal SD Sakanoue, yang masih ada sampai sekarang. Dan semangat Kome Hyappyou ini disentil lagi oleh PM Jun-ichiro Koizumi, dengan menekankan pentingnya berpikir jauh ke depan.
Sebetulnya hari ini tanggal 12 Oktober 2015 merupakan hari Olahraga di Jepang. Karena sekolah anak-anakku sudah menjalankan class meeting di bulan Mei, kami tidak perlu datang ke sekolah untuk meramaikan Undokai (class meeting) tersebut. Tapi meskipun hari ini tanggal merah, deMiyashita tidak libur. Papa Gen bekerja, karena hampir semua universitas mengadakan kuliah pada hari ini. Riku juga tidak ada di rumah, karena mengikuti pertandingan Badminton pemula bagi amatir se-kelurahan Nerima sejak kemarin. Hari ini dia bermain dobel bersama temannya…. dan … tentu saja kalah karena dia baru mulai belajar bermain sejak April lalu hehehe.
Nanti tanggal 3 November, Jepang juga merayakan Hari Kebudayaan, jadi libur. Dan untuk merayakan hari kebudayaan itu, sekolah Riku mengadakan perlombaan paduan suara. Delapan belas kelas sudah berlatih sejak awal bulan Oktober, dan besok akan tampil di Pusat Kebudayaan daerah kami. Aku pun akan ikut sibuk karena aku harus mengambil foto untuk kemudian dimasukkan ke dalam buletin PTA.
Yang membuat aku termenung hari ini adalah kenyataan bahwa di Jepang TIDAK ADA hari pendidikan seperti di Indonesia. Tapi tentu bukan berarti Jepang tidak menganggap pendidikan itu penting. Dan aku sadari bahwa dari olahraga dan kebudayaan itu juga tercermin pendidikan Jepang yang sesungguhnya. SEMUA berawal dari kelompok kecil. Kerjasama dan persatuan. Maju bersama demi masa depan!
Satu lagi yang membuatku ingat pada “100 karung beras” ini adalah sebuah buku yang dikarang Yamamoto Yuzo, seorang pengarang sastra anak-anak dan penulis skrip drama (screen play) yang terkenal. Buku “Kome Hyappyou” juga merupakan buku skrip drama. Aku melihat buku ini di museum Yamamoto Yuzo yang berada di Kichijouji, tidak jauh dari gerejaku. Karena ada tempat parkirnya, Gen memarkirkan mobil kami, dan kami bertiga : aku, Gen dan Kai masuk ke dalam. Riku sakit kepala sehingga menunggu di mobil.
Museum ini merupakan bekas rumah kediaman Yamamoto Yuzo. Dari foto-foto yang ada, terlihat banyak anak-anak yang mengunjungi rumah itu dan membaca buku-buku cerita anak-anak di perpustakaan rumah itu. Ada pula foto waktu Yamamoto Yuzo berdiri berbicara di depan anak-anak itu di teras rumah. Rumahnya asri dan memang merupakan bangunan eropa.
Ada beberapa karyanya yang terkenal, tapi belum ada yang pernah kubaca. Tapi Gen menyarankan untuk membaca kompilasinya mengenai sastra dunia yang dia terjemahkan. Hmmm kalau sastra dunia mending aku baca dalam bahasa Inggris dong hehehe.
Aku mungkin tidak berhak menulis tentang bahasa Makassar, karena aku memang tidak menguasai bahasa Makassar. Mungkin dibanding bahasa Jawa, aku masih bisa mengerti 40% bahasa Jawa, dan 10% untuk bahasa Makassar. TAPI aku tentu mengenal logat bahasa Makassar yang khas, yang kukatakan seperti bernyanyi :D. Dan itu terbukti, waktu aku dan Riku menuruni tangga di Kiyomizudera, Kyoto, musim semi yang lalu. Terdengar sayup-sayup kalimat bahasa Indonesia. Riku berkata,”Ma…. kok aku seperti dengar bahasa Indonesia ya?”
Dan kukatakan, “Benar… dan lucunya logatnya logat Makassar loh!”
“Oh pantas, aku ragu kok bahasa Indonesia tapi logatnya lain tidak seperti sepupu di Jakarta. Rupanya Makassar!”
Senang juga aku, anakku yang baru 3 kali pergi ke Makassar ini, bisa membedakan logat nenek moyangnya. Tadinya sih, aku mau menyapa si turis Makassar itu, tapi karena aku buru-buru juga (Kai yang sedang demam menunggu di taksi) jadi aku tidak menyapa mereka.
Logat Makassar memang “lain dari yang lain”. Selain penambahan suku kata [mi] (sebagai ganti …kan) Itu mi… Juga mengganti [nya] menjadi [na]. Dan satu lagi, mengucapkan konsonan akhir [n] menjadi [ng]. Jadi judul di atas, bahasa Indonesianya adalah TIDAK ADA LAWANNYA.
Dan kurasa, saat ini, itu bisa dipakai sebagai terjemahan dari kata bahasa Jepang saiko 最高. Bagi yang sudah pernah mempelajari bahasa Jepang, tentu tahu bahwa kanji Sai最, bisa dibaca mottomo 最も yang berarti paling. kou高 itu bisa dibaca takai 高い yang artinya tinggi. Paling tinggi atau tertinggi.
Tapi pada kenyataannya, dalam percakapan bahasa Jepang, sering sekali kita jumpai kata SAIKOU ini. Misalnya dalam wawancara tentang atraksi baru di Disneyland, kemudian yang diwawancarai mengatakan “Saikou!!” Bukan atraksinya diadakan di tempat yang tinggi tapi dia merefer saikou pada perasaannya. Perasaan orang itu yang tertinggi, incredible, hebat, menakjubkan, menyenangkan…. dsb. Dan bagaimanapun juga TIDAK BISA kita terjemahkan menjadi paling tinggi atau tertinggi.
Saikou 最高 ini menjadi pemikiranku ketika waktu hari Jumat kemarin, aku menyelenggarakan test bahasa Indonesia. Tema testnya adalah “kata tanya”. Aku menuliskan kalimat pertanyaan bahasa Jepang, dan kuharap mahasiswa menerjemahkan pertanyaan itu ke dalam bahasa Indonesia, dan menjawabnya (dalam bahasa Indonesia).
Jadi kutanyakan : インドネシア語はどうですか。 (Bahasa Indonesia bagaimana?)
dengan harapan atau dugaan, mahasiswaku menjawab : “susah” atau “mudah”, atau bahkan “lumayan”…. dengan kata sifat yang sudah kuajarkan. Eh, ternyata ada yang menuliskan 最高, dan menuliskan bahasa Indonesianya: tertinggi.
Benar sekali terjemahannya adalah tertinggi. Tapi tidak bisa dipakai sebagai jawaban “Bahasa Indonesia bagaimana?” kan…. Tapi aku mengerti sekali “perasaan” dia yang ingin mengutarakan bahwa bahasa Indonesia menyenangkan, tidak ada tandingannya….. Tidak ada lawan(g) na 😀
Secara iseng kucari terjemahan bahasa Inggrisnya untuk saikou 最高 ini apa ya? Ternyata ada yang menuliskan bahwa bisa memakai kata-kata : `awesome`, `sick`, `rock`, `epic`, atau `wicked` . (bisa lihat sumbernya di sini) Hmmm aku sendiri mungkin akan lebih memilih kata awesome dibanding lainnya.
Belajar bahasa memang sulit ya. Kita harus bisa membaca keseluruhan konteks kalimat, tidak bisa menerjemahkan secara harafiah saja. Apalagi jika kita memakai aplikasi atau situs terjemahan di internet yang biasanya hasil terjemahannya “menakjubkan” hehehe. Sekaligus saja aku kasih contoh jawaban mahasiswa yang lain yang memakai “mesin terjemahan” di smartphonenya. Pasti dia mencari kata muzukashii (bahasa Jepang) dan ketemu kata angel (bahasa Jawa BUKAN bahasa Inggris). Laaah mbok yo buka itu fotokopi halaman 12, ada kata “susah” sebagai terjemahan muzukashii loh 😀
lost in translation 😀
~~~~~~
NB: “Tidak ada lawang na” ini aku selalu ingat karena papa menyampaikan sebuah joke mengenai percakapan orang Jawa dan orang Makassar: (asal mulanya bagaimana saya kurang jelas, mungkin sudah ada perubahan di sana sini)
Jawa: “Kami punya sebuah mesjid yang megah”
Makassar : “Kami juga punya mesjid megah. Tidak ada lawang na!”
Jawa: “loh dari mana masuknya? (lawang dalam bahasa Jawa = pintu)
Makassar: “Dari pintunya tantu …… dongo (dongo = dungu) !”
Tentu aku pernah. Pernah naik ferry ke danau Toba sekian puluh tahun silam, atau waktu menyeberang dari Kumamoto ke Shimabara. Pernah naik kapal (bukan kapal pesiar) yang mengelilingi danau Ashi di kaki gunung Fuji. Pernah naik boat menuju pulau di Kepulauan Seribu. Pernah naik perahu di danau Tsutsujigaoka melihat rumpun teratai. Pernah naik boat angsa yang mesti dikayuh sendiri di danau Kichijouji/ Kolam Himonya dll. Hmmm ternyata cukup sering ya aku menaiki perahu/kapal, padahal aku itu sebetulnya takut sekali naik kapal-kapalan karena tidak bisa berenang 😀
Di Jepang ada wisata dengan menaiki perahu di sungai. Kawakudari namanya. Kawa = sungai, kudari = menuruni. Jadi perahu memanfaatkan aliran air dari hilir ke hulu, sehingga mereka cukup memakai galah untuk mengatur arah perahu (tidak perlu mendayung). Aku pernah mengikuti wisata kawakudari yang terkenal sepanjang sungai di prefektur Yamagata: Mogamigawa 最上川の川下り. Wisata ini paling bagus waktu musim gugur, karena bisa melihat keindahan pohon-pohon yang berganti warna di kiri kanan. Waktu aku ke sana pun pada bulan November 1993. Kami berombongan sudah diprogramkan naik perahu khas sana, dengan dipandu seorang guide yang menceritakan daerah sekelilingnya. Tidak banyak foto yang tertinggal, karena memang saat itu tidak mempunyai kamera yang memadai. Tapi aku ingat menginap di hotel Koyou yang bagus dengan pemandian air panasnya besar sekali. Kalau bisa suatu waktu aku ingin menginap di sini lagi. Saat itu aku diajak seorang teman asal Korea, yang sudah kuanggap seperti ibu di Jepang.
Sebetulnya kami hampir lupa bahwa deMiyashita juga sudah melakukan kawakudari, yaitu pada tanggal 16 Agustus lalu di Sungai Nagatoro di Chichibu Saitama. Sebetulnya ini merupakan “pelarian” karena boleh dikatakan kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih jauh lagi. Sayangnya malam sebelumnya turun hujan, jadi air sungai Nagatoronya butek, keruh, seperti kopi susu deh 😀 Padahal kalau tidak hujan, airnya cukup bening loh.
Perjalanan menuju ke sana dari rumah kami sih memang tidak jauh. Begitu sampai kami langsung memarkirkan mobil kami di tempat parkir yang tersedia. Tempat parkirnya sendiri gratis, tapi untuk orang dewasa perlu membayar tiket seharga 1600 yen yang sudah termasuk biaya naik perahu dan naik bus kembali ke tempat parkir. Rute naik perahunya selama 20 menit, tapi memang kami sudah diberitahu bahwa mungkin lebih singkat waktunya karena aliran sungainya cukup deras.
Satu perahu sekitar 20 orang, dengan dua pemandu. Kami bisa melihat juga ada beberapa perahu karet yang memang dipakai untuk rute arung jeram. Sambil melihat beberapa orang dengan sengaja terjun ke sungai pura-pura jatuh. Karena udara waktu itu cukup panas, bisa membayangkan sejuknya air sungai. Tentu saja mereka memakai jaket penyelamat sehingga tidak tenggelam. Kami pun yang hanya naik perahu saja, harus memakai jaket penyelamat untuk keamanan.
Perahunya cukup besar dan di setiap sisi diberi plastik besar yang dipakai waktu melewati arus yang deras, sehingga tidak membasahi kami tapi tetap bisa melihat ke sisi kanan dan kiri sungai. Tempat ini pasti bagus pada musim gugur dengan pohon-pohon yang berubah warna. Kalau bisa kami ingin datang lagi ketika air sungainya bening dan pohon-pohon sudah berubah warna.
Sambil mengarahkan perahunya dengan galah, pemandu menceritakan sejarah daerah sekitar. Kami melewati beberapa batu yang cukup besar, dan salah satunya berbentuk katak. Langsung teringat cerita Malin Kundang deh… mungkin versi Nagatoro dikutuk menjadi katak ya hehehe.
Di salah satu ceruk, kami “dipaksa” melihat ke arah daratan karena sudah ada fotografer yang membidik kami. Foto ini akan dikirim ke alamat rumah, jika mau, kira-kira 2 minggu setelah hari itu. Gen tadinya tidak mau, tapi kubilang kapan lagi kami mempunyai foto berempat sekaligus. Biasanya kan pasti cuma bisa bertiga dan gantian. Memang sih cukup mahal, satu lembar ukuran 5R seharga 1500 yen.
Setelah kami mendarat di akhir rute perahu, kami naik mini bus yang akan membawa kami kembali ke lapangan parkir. Dan di perjalanan kami bisa melihat ladang anggur yang sedang berbuah. Buah anggur ini siap dipetik pada awal-pertengahan September. Aku sendiri tidak begitu suka makan anggur, sehingga biasa saja kalau diajak pergi memetik anggur. Aku lebih suka yang sudah jadi wine 😀 , apalagi kalau disruput diselang-seling dengan keju cammembert.
Sepulang dari sungai ini, kami mampir ke museum di dekatnya, siapa tahu bisa menjadi referensi untuk Riku yang memang harus menulis tentang museum. Sayangnya museumnya terlalu kecil menurut Riku, sehingga dia pergi ke museum lainnya di Tamarokuto.
Dari museum kami mencari makan siang. Daerah ini tidak mempunyai makanan asli, meskipun aku pernah lihat di TV memperkenalkan masakan daging babi atau hidangan soba. Jadi aku mencari di internet, restoran apa yang kira-kira ada di sekitar situ. Kami kemudian mendapatkan info tentang restoran PIZZA, yang dibakar di tungku api. Bukan restoran juga sih sebetulnya, lebih seperti sebuah villa sederhana yang dijadikan restoran. Dan restoran bernama Villapawa ini semua self-service. Yang mengelola cuma berdua, sepertinya sepasang suami istri. Konon (setelah di rumah kami cari info), mereka juga hanya membuka resto di musim panas saja. Dan…. tamunya BANYAK! Kami bisa melihat dari papan, kira-kira kami harus menunggu berapa lama. Waktu itu belum pukul 12, tapi kami harus menunggu 50 menit! Hmm rupanya tempat ini cukup populer.
Karena sepertinya enak, kami “tabahkan hati” untuk menunggu 50 menit. Biasanya sih, aku paling tidak suka jika harus menunggu untuk makan. Emang seenak apa sih sampai perlu menunggu lama? Tapi kali itu, aku bisa memotret halaman sekeliling rumah, dan menikmati tempat duduk yang cukup sejuk, karena dia pasang tirai embun di depan pintu masuknya. Harga pizzanya selembar juga lebih murah daripada restoran biasa di Tokyo, jadi kami yang berempat, memesan 6 jenis pizza. Di sini tidak perlu memesan minuman, dan diperbolehkan bawa minuman dari luar. Si kakek yang memasak terkejut juga waktu kami memesan 6 lembar, seakan ragu kami bisa menghabiskannya. Tapi di situ tertulis sih bisa bawa pulang, so kalau tidak habis kan bisa bawa pulang.
TAPI ternyata kami tidak perlu membawa pulang, karena pizza itu enak sekali! rotinya tipis dan crispy, toppingnya juga tidak macam-macam dan yang pasti TIDAK BERMINYAK. Aku sebel kalau pizza saking terlalu banyak topping jadi berminyak tangannya. Makanya kami tidak pernah pesan pizza waralaba PH atau D*M*N*. Aku mau kalau disuruh ke sini lagi untuk makan pizza… (eh ternyata musti cari info dulu dia buka atau ngga… repot yah). Rasanya puas sekali setelah menunggu lama, makanannya enak. Si kakek juga tersenyum waktu melihat kami pulang tanpa membawa bungkusan. Oh ya, karena di sini self service, kami harus membereskan meja tempat kami pakai dan menaruh piring pizzanya sendiri di luar. Kalau mau bawa pulang juga kami harus bungkus sendiri dengan kotak yang disediakan sih.
Satu hari yang mengesankan meskipun dilewati hanya di sungai dan museum 😀 Sambil menulis ini, aku masih terheran-heran, lah sungai saja bisa jadi tempat wisata di Jepang! Tentu saja arung jeram di Indonesia sudah ada, tapi wisata sungai? Ada tidak ya sungai yang bagus yang bisa dinikmati? Ataukah sungai di negara kita terus coklat airnya sehingga tidak sedap dipandang? Semoga saja di kemudian hari bisa ada wisata sungai di Indonesia ya….. Siapa tahu 10 tahun lagi sudah ada canal cruise, wisata di kali ciliwung loh. Bukan tidak mungkin kan?
Bagi kebanyakan orang Jepang mulai tanggal 19 September 2015 lalu, mereka menikmati liburan panjang yang diberi nama Silver Week. Sebetulnya tanggal merahnya cuma tgl 21 untuk memperingati hari Lansia dan tgl 23 untuk memperingati Equinox Day. Lalu oleh pemerintah Jepang, hari terjepit tgl 22 dijadikan “cuti bersama”. Panjang kan 5 hari? Dan bisa jadi 9 hari kalau mau ambil cuti “ngantor” hari Kamis dan Jumat tgl 24-25….. Tapi maklum saja deMiyashita BUKAN orang Jepang kebanyakan :v
Gen, suamiku libur sebetulnya mulai tgl 20 Sept, TAPI anak sulungku si Riku yang tidak libur, karena setiap hari dia harus latihan badminton di sekolahnya. Duh, benar-benar sejak Riku masuk SMP, kami tidak mempunyai waktu libur bersama lagi. Kami baru bisa pergi setelah Riku kembali dari latihan, dan latihannya pun tidak pasti, kadang pagi, kadang siang/sore. Tapi yah, apa boleh buat ya.
Jadi, Gen pergi menemani Kai saja ke museum/planetarium dekat rumah. Karena Kai mendengar Riku sudah sering pergi ke sana, dan terakhir Riku pergi sendirian ke museum bulan Agustus lalu. Kai senang pergi ke sana, karena ada pameran bebatuan yang “menyala”. Di situ Kai menanyakan tentang “obsidian 黒曜石” bagaimana jika dipanaskan sampai meleleh, akan menjadi apa. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab papa mamanya, kepada seorang profesor di sana. Jawabnya: “Untuk memanaskan perlu api yang panasnya sampai 500 derajat. Dan kalau sudah meleleh, obisidian akan kembali lagi menjadi batu jika mendingin, mungkin dengan bentuk yang berbeda. Pertanyaan bagus ya. Kamu kelas berapa?” . Si profesor memuji pertanyaan Kai yang baru kelas 2 SD. Tentu saja papa dan mamanya hidungnya mengembang 😀
Selain ke museum, kami menyempatkan diri pergi ke rumah mertuaku di Yokohama, meskipun hanya untuk makan malam. Karena cuma 3 jam di sana, kami tidak sempat bermain dengan Shaw, yang diperbolehkan tidur di dalam kandang dalam rumah jika malam (kalau siang di luar). Anjing yang ibu mertuaku mulai pelihara awal Januari juga semakin besar saja. Aku menyiapkan nasi unagi dan sake untuk makan bersama. Karena hari itu pas hari Lansia, kami mendoakan supaya kedua orang tua ini tetap sehat. Unagi terkenal sebagai makanan penambah kekuatan pada musim panas, tapi karena mahal, kami jarang makan. Aku sempat membeli kue Jepang 6 macam bertema musim gugur dan sepasang kue manju yang bermodelkan kakek dan nenek. Ada-ada saja nih orang Jepang.
Kemarin aku pergi ke pernikahan teman yang menikah dengan lelaki Jepang di gereja Katedral Tokyo. Aku mengenalnya lewat blog, karena dia pembaca blog ini dan kami berteman di FB. Kebetulan yang memberkati pernikahan adalah romo Ardy yang menjadi pastor paroki di Kichijouji, gerejaku. Jadi kami kemudian pulang bersama. Sebetulnya cukup bingung juga untuk memilih pakai baju apa, karena kebanyakan bajuku warna hitam, sedangkan acaranya pagi hari. Pilihanku jatuh pada kain sutra Makassar yang berwarna biru. Cukup terang dan menyaingi langit Tokyo yang hari ini cerah sekali. Selamat untuk pernikahannya ya Maria Anastasia.
Setelah kembali ke rumah, Kai mengajak aku membuat roti. Memang waktu liburan tinggal sedikit, sehingga meskipun aku masih capai, aku mulai mengajak dia menyiapkan bahan-bahannya. Tadinya aku mau buat rotinya dengan Home Bakery saja. Tapi karena dia mau menguleni adonan, terpaksa deh cari resep yang detil. Dan Kai memilih untuk membuat butter roll. Aku juga baru pertama kali membuat butter roll, karena biasanya hanya buat roti biasa 食パン. Daaaaan diluar dugaanku, Kai keukeuh menguleni adonan sampai halus! Kemauannya bagus juga, karena aku tadinya kupikir dia akan menyerah setelah tahu susahnya menguleni adonan. Tapi setelah pengembangan pertama memang agak sulit sehingga aku yang kerjakan. Lalu dia yang mengoles telur di bagian atas roti sebelum dibakar. Setelah roti jadi, panas-panas kami berempat makan dengan spread cheese. Yummy! Kata Kai, “Memang buatan sendiri itu PALING enak ya!” Waaah aku musti siap-siap saja untuk buat lagi 😀
Dan, hari ini tanggal 23, aku terbangun pukul 4 pagi. Sebetulnya banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan tapi memang sulit ya untuk bekerja pada hari libur 😀 Apalagi hari ini hari khusus buatku, karena aku memperingati hari kedatanganku ke Jepang. Sudah genap 23 tahun aku tinggal di Tokyo. 23 tampaknya menjadi angka khusus, karena pernah dan sedang tinggal di 2 daerah “ku” dari Tokyo 23-ku. Dan tentu saja tanggalnya pas tanggal 23. sayangnya usiaku waktu datang pertama kali ke Jepang itu bukan 23 tahun. Sedikit lagi, lama di Jepang menyamai lamanya aku tinggal di Jakarta hehehe.
(ssst aku juga begitu sibuk menikmati hari-hariku sampai baru sadar bahwa ini adalah postingan pertama di bulan SEPTEMBER … doooh)
DeMiyashita memang sering mengadakan perjalanan dalam satu hari, pulang hari istilahnya, jadi tidak menginap. Tapi tentu saja tujuan dari perjalanan kami itu biasanya tidak terlalu jauh dari Tokyo. Sampai ke Fukushimapun yang berjarak 250 km dari rumah kami, pernah kami jalani. Tapi tgl 22 Agustus 2015, hari Sabtu yang lalu kami memecahkan rekor dengan pergi ke Inuyama di prefektur Aichi yang berjarak 355 km dari rumah kami, pulang hari. Kami keluar rumah pukul 5 pagi dan masuk rumah kembali pukul 1 malam.
Kenapa sih ngoyo (=maksa) begitu ? Yah, karena Riku yang sudah kelas 1 SMP, tidak mau membuang waktu banyak di luar rumah. Jika menginap, pasti akan sampai rumah hari berikut malam hari, jadi dua hari terbuang…padahal dia masih banyak PR yang harus dibuat. Jadi kami berjanji untuk tidak menginap di Aichi.
Aku memang yang mencetuskan nama kastil Inuyama, karena kupikir kalau bisa dalam liburan musim panas ini, kami bisa menambah cap 100kastil kami. Lagipula aku pernah mendengar dari Ando-kun bahwa kastil Inuyama itu yang tertua di Jepang, jadi wajib untuk dikunjungi. Harapanku sih kalau bisa sepulang dari Inuyama, bisa mampir ke kastil Nagoya dalam perjalanan pulang, sehingga bisa mendapat dua cap sekaligus.
Tapi tentu saja aku menyerahkan pada Gen yang menyetir mobil. Dia punya rencana juga selain kastil Inuyama. Kami sih enak bisa tidur dalam mobil, selama perjalanan, tapi sang supir kan harus konsentrasi menyetir. Sering aku terbangun dan mengajaknya bicara, karena merasa mobil kami terlalu cepat berlari di jalan tol Chuo Express. Kami juga berhenti beberapa kali di Parking Area untuk makan pagi dan meluruskan punggung.
Akhirnya kami sampai di kastil Inuyama sekitar pukul 10 pagi. Langsung berjalan mendaki dari pintu gerbang. Di situ Kai mengutarakan sesuatu yang menarik. Inu = anjing, Yama = gunung, Gunung Anjing. Tapi kenapa orang tidak boleh membawa serta anjing masuk ke kastil itu? 😀
Tanda masuk kastil itu 550 yen untuk dewasa dan 110 yen untuk anak-anak. Begitu kami masuk pintu gerbangnya, terlihat bangunan kastil yang…. kecil, jika dibandingkan dengan kastil-kastil yang pernah kami datangi. Mungkin sama besarnya dengan kastil Komine. TAPI butuh tenaga ekstra untuk menaikinya. Karena kecil, tangga setiap tingkat sangat curam. Untung saja aku tidak pakai kaus kaki, jadi tidak licin, dan bisa mendaki sampai lantai teratas.
Begitu sampai di lantai atas, kita memang bisa mengelilingi teras luar dan melihat pemandangan sekitarnya. Tapi karena terlalu curam, aku tidak berani berjalan di luar. Masalahnya biasanya waktu turun. Jadi biasanya aku minta Gen untuk duluan dari aku sehingga menutupi pemandangan tangga turun sehingga tidak terlalu takut. Saking curamnya, aku sampai terduduk di setiap anak tangga 😀
Waktu kami keluar dari kastil pas hujan keras. Terpaksa kami berteduh dulu dalam bangunan yang menjual oleh-oleh. Saat itu memang gerah sekali. Setelah hujan reda, kami berjalan kembali pulang.
Oh ya sebelum menaiki kastil, di tengah perjalanan ada jinja (kuil Shinto) dengan gerbang merah khasnya. Di sana juga terdapat zeni arai ba (tempat mencuci uang). Konon jika mencuci uang dengan air itu, uangnya akan berlipat ganda. Ada yang mengatakan uang yang dicuci harus dipakai supaya berlipat ganda, tapi aku pernah mendengar bahwa uang yang dicuci, tidak boleh dipakai dan dimasukkan dalam dompet saja, semacam jimat. Well, terserah yang percaya saja kan.
Dari kastil Inuyama, kami menuju Japan Monkey Center. Tempat ini yang ingin dikunjungi Gen karena katanya tempat ini merupakan pusat penelitian monyet di seluruh Jepang.
Kami sampai di sebuah kebun binatang! Tapi benar kok namanya Japan Monkey Center. Kami parkir di tempat parkir yang luas. Sudah cukup banyak mobil yang parkir di sana. Tapi ternyata yang banyak parkir itu tujuannya bukan ke Monkey Center tapi ke taman ria yang berada di sebelah Monkey Center itu. Memang sih udara panas saat itu mengundang orang untuk berenang saja. Tapi petugas yang merobek karcis kami mengatakan bahwa pukul 11:30 akan ada kuliah umum mengenai Golden Lion Tamarin, kera yang pernah menjadi model dalam serial Ultraman. Dia menyarankan kami pergi langsung ke gedung utama dan tak lupa meyakinkan kami bahwa gedung itu ber-AC 😀
Seminar itu dibawakan seorang peneliti cantik mengenai monyet asal Brazil yang mukanya memang menyerupai singa karena bulu di kepalanya berbentuk seperti singa. Lalu warnanya kuning oranye sehingga dinamakan Golden Lion Tamarin. Kami juga diperlihatkan jenis-jenis kera yang sudah diawetkan, dari gorilla yang terbesar, sampai kera terkecil di dunia. Kera terkecil ini dipinjamkan ke museum Ueno dan baru kembali, sehingga kebetulan sekali masih berada di ruangan seminar itu. Beruntung sekali kami bisa melihat kera terkecil di dunia itu dari dekat. Karena kalau sudah di museum pasti terhalang kotak kaca.
Setelah selesai seminar, kami ingin mencari makan siang. Sayangnya di tempat itu tidak ada restoran dengan makanan yang mengenyangkan. Adanya semacam snak saja. Terpaksa kami mengalas perut dengan snack-snack itu. Tapi sebelum kami ke “warung” snack, kami bisa berfoto dan mengelus kura-kura yang sedang JJS (Jalan jalan sore). Kami lalu kembali lagi ke ruang seminar, karena pukul 2 siang, anak-anak telah mendaftar kelas enrichment. Kelas ini membuat makanan untuk simpanse dengan trik menaruhnya dalam lipatan koran. Ini merangsang simpanse untuk berpikir dan menggunakan tangannya.
Selama anak-anak mengikuti kelas, aku menunggu di luar dan menghubungi teman-teman yang berada di Nagoya dan sekitarnya. Sayang sekali tempat tinggal Narpen yang paling jauh sehingga aku tidak bisa bertemu dengannya.
Setelah anak-anak keluar kelas, kami mengikuti mereka memberi makan simpanse. Setelah itu kami mampir ke tempat Lemur atau di situ disebut Wao yang dilepas begitu saja. Kami bisa melihat dari dekat, tapi tidak boleh menyentuhnya. Lucu sekali kera-kera yang kami kenal dalam film Madagaskar.
Terus terang anak-anak ngomel waktu kami ajak pulang. Karena aku mau mengejar cap kastil Nagoya, kami harus sampai di Nagoya pukul 16:00. Mereka ingin datang lagi ke Monkey Center. Aku tidak sangka anak-anakku suka dengan tempat ini. Maklumlah bagiku monyet itu sudah biasa ya hehehe.
Kami sampai di tempat karcis kastil Nagoya jam 3:55… dan oleh petugas dikatakan bahwa kami boleh masuk areal kastil, tapi tidak bisa naik ke kastil. Well kami memang tidak berniat naik, yang penting capnya itu loh. Areal kastil ditutup pukul 4:30, dan kami pun keluar taman kastil. Kami bertemu dengan Ando kun dan Grace, di parkiran mobil dan berfoto bersama. Kalau tidak begitu sulit sekali kami bertemu lagi. Ini merupakan “kopdar” kami yang kedua, setelah pertama kami bertemu di Tokyo sebelum mereka menikah. Terima kasih ya Ando kun mau menemui kami di kastil Nagoya.
Setelah melambaikan tangan pada Ando kun, kami lalu menuju Nanzan Church. Karena kami ingin bertemu dengan Pastor John Lelan SVD yang tinggal di Nagoya. Ordo SVD yang memimpin paroki kami di Kichijouji, sehingga selain pastor John, kami juga bisa bertemu pastor Yan (asal China) yang dipindahtugaskan dari Kichijouji ke Nagoya. Rupanya ada 3 pastor Indonesia di sana dengan tugas yang berbeda-beda.
Akhirnya sebelum meninggalkan Nagoya pukul 8 malam, kami mencari makan malam. Sebetulnya Riku ingin makan yakiniku, tapi kok sulit mencari restoran Yakiniku di daerah itu. Jadi kami mengarahkan car navigator kami ke restoran Indonesia yang berada di daerah Sakae, bernama Bulan Bali. Ternyata waktu kami sampai di sana, mereka sedang mengadakan pesta yang dimeriahkan band juga. Untung kami boleh menyelundup ke ruang atas, dan membayar “iuran” pesta seorang 2000Yen untuk nasi campur dan satu minuman (mahal untuk lunch, tapi murah untuk dinner…. karena harga resto di Jepang, harga siang dan harga malam itu beda loh). Sayang sekali Kai sama sekali tidak bisa makan nasi campurnya karena diberi sambal semuanya. Kami sempatkan membeli onigiri dan minuman untuk Kai di toko konbini sebelum mengarahkan mobil kami ke jalan Tomei Highway.
Satu hari, hampir 800km dalam 20 jam yang melelahkan tapi benar-benar padat dengan ilmu dan pertemuan.
Libur musim panas hampir berakhir. Untuk SD dan SMP di daerahku, libur musim panas mulai tanggal 18 Juli sampai 31 Agustus. Tapi minggu pertama sampai dengan tanggal 29 Juli, kegiatan deMiyashita masih disibukkan dengan urusan sekolah dan latihan ekskulnya Riku. Kami lalu pergi ke Jakarta dari tanggal 29 Juli sampai 10 Agustus saja. Terasa sekali bedanya yang biasanya (tahun-tahun lalu) berlibur hampir 1 bulan di Jakarta, dengan kali ini yang hanya 12 hari. Memang aku yang menentukan sendiri panjangnya liburan musim panas kami, dengan mempertimbangkan kegiatan Riku, dan kesempatan untuk berlibur dengan papanya di dalam negeri Jepang.
Namanya sih memang liburan, tapi di Jepang meskipun liburan tetap ada tugas-tugas yang perlu dikerjakan oleh murid sekolah. Memang untuk SD tidak seberapa, paling mengerjakan PR berhitung dan bahasa, ditambah karangan bergambar dan membaca buku. Tapi untuk anak SMP, tugasnya bertambah karena mata pelajarannya bertambah, ditambah tetap latihan ekskul. Jadi sebelum mudik Jakarta dan sepulang mudik pun Riku tetap harus pergi ke sekolah untuk latihan badminton. Aku sendiri minta kepada gurunya (disebut konselor) untuk meliburkan Riku selama 12 hari. Tentu saja akibatnya dia tidak bisa berlatih sempurna apalgi mengikuti pertandingan. Sepertinya tahun depan sudah sulit mengajak Riku mudik ke Jakarta.
Ada dua tugas Riku yang ingin aku tulis di sini. Pertama, dia harus pergi ke salah satu museum science di Jepang (daerah mana saja) dan membuat laporan dalam satu kertas. Laporan itu seperti membuat pamflet promosi yang mengundang warga untuk mendatangi tempat itu. Ada banyak museum di Jepang. Aku sebetulnya ingin mengajak dia pergi ke Museum di Odawara atau di Ueon. Tapi berhubung waktunya sedikit (karena dipakai berlatih badminton) jadi dia memutuskan untuk pergi ke museum Tamarokuto, museum kecil yang mempunyai planetarium juga dekat daerah tempat tinggal kami bersama dua temannya. Aku senang karena dia mulai akrab dengan teman-teman sebayanya dengan pergi bersama. Apalagi aku tahu teman-temannya ini juga baik-baik, dan aku kenal orang tuanya juga. Aman rasanya.
Tugas museum selesai, ada lagi tugas lain dari pelajaran PKK yaitu mempersiapkan sarapan pagi dengan memakai bahan-bahan dari daerah kami : Nerima. Daerah kami terkenal menghasilkan daikon (lobak) tapi lobak sulit untuk dipakai dalam sarapan, kecuali diiris halus dan dimasukkan dalam salada. Jadi Riku mencari bahan-bahan lain yang mungkin, sambil memikirkan cara menghidangkan. Selain memakai bahan dari daerah kami, sarapan itu harus memenuhi kebutuhan gizi, jadi harus ada protein dan karbohidrat juga. Juga perlu ditulis berapa jumlah dan waktu mempersiapkannya.
Untung saja di Jepang, koperasi (JA = Japan Agriculture) sangat mudah ditemui. Di daerah rumah kami ada dua tempat yang dekat yang bisa dicapai dengan naik sepeda. Tapi karena kami sekeluarga mau pergi, kami bermobil ke sana. Eh, tapi sebelumnya kami ingat bahwa di dekat stasiun kami, ada peternakan sapi yang terkenal karena pernah masuk TV. Peternakan di dalam kota memang aneh bin ajaib. Namanya Koizumi Bokujo (Koizumi Farm). Kami pikir bisa mendapatkan daging di sana, ternyata hanya menjual es krim dari susu sapi yang dihasilkan. Kami disambut ramah oleh pemiliknya, bapak Koizumi, yang mempersilahkan kami melihat-lihat kandang sapinya. Sebetulnya kami ingin membeli susunya juga, tapi bapak Koizumi mengatakan bahwa susu dari peternakannya digabung dengan peternakan lain, diproses dan dikemas dengan nama Tokyo Milk dan dijual di toko JA. Karena itu kami kemudian mencari toko JA di dekatnya.
Kami kemudian mengunjungi toko JA dalam dua hari terpisah dan sekaligus melihat hasil ladang apa saja yang dijual di sana. Tujuan kami yang utama sebetulnya membeli blueberry. Karena sebetulnya daerah kami mempunyai cukup banyak ladang blueberry yang bisa kami petik langsung juga. Sayangnya karena hujan keras ladang blueberry tidak menerima lagi kunjungan agro-wisata yang mau memetik blueberry. Padahal ada ladang yang dekat sekali dengan rumah kami. Semoga tahun depan bisa pergi deh.
Kami membeli buah dan selai blueberry, lobak, ketimun, tomat, wortel, telur, susu di toko JA. Bahan lainnya aku sudah punya di rumah. Ini sarapan tugas musim panas ala chef Riku:
Tentu saja aku bantu mengarahkan tapi dia yang memotong dan membuat semuanya sendiri. ku membantu menghitung waktunya saja, sambil memotret si chef yang sedang sibuk hehehe.
Aku rasa tugas pelajaran PKK ini bagus sekali. Kami jadi lebih mengenal hasil pertanian/peternakan daerah kami sendiri. Memang sih harganya cukup mahal, tapi kalau hasil belanja kami bisa membantu petani/peternak sendiri, why not?
Pemikiran ini yang harus dipunyai oleh semua warga. Kalau mau produk Jepang maju ya orang Jepang harus membeli barang Jepang meskipun mahal. Dengan kata lain juga, kalau mau produk Indonesia maju ya orang Indonesia harus berusaha membeli barang Indonesia meskipun mahal (atau kwalitasnya kurang, sambil membenahi kwalitasnya tentunya).
Sssttt, masih ada beberapa tugas lagi yang harus Riku selesaikan sampai dengan tanggal 31, salah satunya “memperkenalkan salah satu negara”. Tentu saja harapan mamanya, Riku akan memperkenalkan negara Indonesia dong! hehehe
Beberapa hari setelah kembali dari Jakarta, aku dan anak-anak di rumah saja. Papa Gen tidak bisa ambil libur lama, sehingga kami tidak bisa pergi ke mana-mana. Begitu papa Gen bisa libur, Rikunya harus ikut latihan badminton untuk ekskulnya. Yah, apa boleh buat.
Semenjak kami kembali ke Tokyo tanggal 11 Agustus 2015, udara di luar boleh dikatakan tidaklah terlalu menyengat. Sepertinya kami memang disambut dengan udara yang cukup bersahabat, dan secara perlahan menaik suhunya. Meskipun demikian, aku dan anak-anak masih malas pergi ke luar rumah. Jadilah kami menonton rekaman-rekaman acara (film) di TV selama kami pergi. Aneh memang anakku si Kai, dia suka sekali menonton film. Setiap aku melihat wajahnya yang begitu serius menonton, aku selalu teringat almarhum ibuku, yang juga suka menonton. Persis!
Ada 3 acara yang kami tonton yang aku ingin tuliskan di sini. Satu mengenai acara BuccakeJi, acara yang mengumpulkan pendeta-pendeta Buddha (dari berbagai aliran) untuk menerangkan agama Buddha secara simple. Banyak sekali pengetahuan yang kudapat dalam acara ini, terutama istilah-istilah bahasa Jepang yang berasal dari agama Buddha. Yang menarik dari acara yang kami tonton kemarin adalah mengenai patung Buddha besar yang terdapat di seluruh Jepang. Mungkin kami tidak akan mengunjungi langsung, sehingga bagus juga bisa melaksanakan perjalanan secara virtual. Seri acara TV ini aku simpan dalam BRay disk untuk ditonton lagi lain kali.
Yang kedua tentang Enoden. Enoden (kereta Enoshima) mewakili Enoshima, sebuah “pulau” yang terletak di prafektur Kanagawa, atau lebih memudahkan kalau kita katakan daerah Kamakura. Tempat beratus, bahkan beribu kuil Buddha berada, dan bekas pusat pemerintahan Jepang, di jaman Kamakura 1185-1333. Aku suka pergi ke Kamakura, tapi tidak pada musim panas. Tempat wisata yang menarik, tapi tentu harus kuat berjalan banyak. Sebetulnya aku pernah merencanakan mengunjungi Kuil Meigetsuin di Kamakura pada bulan Juni yal, tapi batal. Kuil Meigetsuin itu juga dikenal sebagai Kuil Ajisai (Hydrangea) sehingga aku ingin mengunjunginya lagi dan memotret bunga ajisai di sana. Sayang waktu itu aku harus membatalkan rencanaku, dan menemani Gen bekerja.
Nah, acara NHK bertajuk BURATAMORI yang dipandu oleh Tamori, seorang pembawa acara pria yang terkenal karena selalu memakai kacamata hitam ini, mengajak kita mengetahui liku-liku daerah Kamakura yang biasanya tidak diketahui wisatawan biasa. Sekali lagi kami mengadakan perjalanan virtual dengan acara ini. Kami juga bisa melihat kereta pertama dari Enoden, yang pintunya masih manual, penumpangnya harus buka tutup pintunya sendiri hehehe. Kalau tidak salah kereta ini sudah berusia 100 tahun, dan disimpan dalam tempat khusus sebagai museum yang tidak bisa dikunjungi umum, tapi sekali waktu dibawa keluar melewati rel-rel yang ada. Sekali lagi, kami bisa merasakan betapa orang Jepang sangat menghargai sejarah!
Dan sebagai penutup acara Buratamori itu dilantunkan lagu dari Inoue Yosuke, berjudul “Mabataki” Kerjap. Kata liriknya :
Untuk kamu di masa depan, kukirim kebahagiaan berupa ingatan dan kenangan, beserta rangkaian bunga. Perlihatkanlah impianmu dengan kerjapan matamu.
Dan kami bertiga terpaksa mengerjapkan mata lebih cepat, sambil menahan air mata, setelah menonton acara ke tiga yang kami pilih malam itu. Sebuah film mengenang selesainya perang bagi Jepang (dan kemerdekaan bagi Indonesia), EIEN NO ZERO mengenai seorang pilot Kamikaze yang bernama Kawabe (diperankan oleh Okada Junichi) . Dia tidak takut mati, tapi … dia ingin orang-orang yang ditinggalkannya bahagia. Termasuk orang-orang yang hidup di masa datang. Pada masa itu, pada masa perang, manusia tidak mempunyai pilihan lagi. Tidak bisa lagi memilih ingin mati atau ingin hidup. Tapi yang pasti, semua manusia, apapun kewarganegaraannya ingin orang-orang yang dia kasihi untuk bahagia setelah dia tinggalkan.
Film yang berat bagi anak-anakku. Aku sebetulnya tidak mau mereka menontonnya. Tapi mereka sendiri yang mau, dan kupikir bagus mereka tahu bahwa kami sekarang ini bisa hidup seperti sekarang, karena ada pendahulu yang menderita. Bangsa Jepang, bangsa Indonesia, bangsa manapun, punya sejarah yang pahit, dan sebaiknya sejarah itu dihargai, dikenang dan dijadikan pelajaran oleh generasi mudanya.
Suatu saat aku pernah menjadi penerjemah untuk kunjungan persahabatan rombongan pemuda dari Indonesia dan mereka mengadakan acara ramah-tamah dengan rombongan pemuda Jepang. Setelah makan-makan dan acara kesenian, acara ditutup dengan “sanbonjime 三本締め”. Penerjemah acara waktu itu (temanku) kesulitan untuk menerjemahkan sanbonjime itu dengan apa. Dan aku dari jauh membisikkan, “Mirip tepuk pramuka!”, tapi dia tidak dengar. Untung saja orang Indonesia cepat meniru tepuk khas orang Jepang yang memang mirip tepuk pramuka.
Aku tidak tahu apakah tepuk pramuka di Indonesia berasal dari Jepang atau bukan, karena tidak ada data yang pasti mengenai itu. Bisa saja diperkenalkan waktu pejajahan Jepang, tapi tentu saja bisa saja merupakan ciptaan pramuka Indonesia sendiri. Sanbonjime itu kalau diterjemahkan secara harafiah menjadi “penutup 3 batang” . Biasanya dijadikan sebagai penutup acara, dengan tepukan 3, 3, 3, 1. (Kalau pramuka 3,3,3,7) Konon tepukan ini menyatakan supaya acara selesai dengan selamat dan menyatukan pesertanya. Namun kalau dirasakan terlalu panjang, bisa saja disingkat dengan satu tepukan, yang disebut ipponjime 一本締め.
Sudah lama aku ingin menulis tentang sanbonjime ini, dan kebetulan hari ini adalah hari Pramuka, sehingga aku teringat lagi. Berhubung aku pernah mengikuti pramuka sampai penggalang, rasanya natsukashi, bernostalgia kembali dengan istilah-istilah pramuka. Dulu aku selalu menjadi komandan upacara bergantian dengan Agnes temanku. Padahal aku pendiam loh (tidak segalak si Agnes hehehe). Semaphore, Morse, tali temali, P3K, tanda kecakapan, peta pita, persami dan jambore adalah istilah-istilah yang masih kuingat sampai sekarang. Eh tapi selain kenangan yang bagus, aku pernah menyesal membawa bolpen Lamy yang kudapat dari papa ke latihan dan menghilangkannya. Soalnya bolpen itu muahal jeh.
Selamat hari Pramuka!
Aku sendiri sebetulnya ingin mengikutsertakan anak-anak dalam kegiatan boyscout, tapi berhubung kegiatannya selalu hari minggu dan mengganggu kegiatan sekolah minggu di gereja, terpaksa aku tidak mengikutkan mereka. Yang pasti aku belum pernah melihat Girl Guide, pramuka wanita di Jepang nih.