Dalam tulisanku di Menggenapi 21 tahun di Edo Castle, banyak yang merasa heran, memangnya di Tokyo ada gembel? Dan ya, di setiap negara, di mana saja di dunia ini sebetulnya ada gembel, gelandangan, atau yang disebut homeless di Jepang. Masalahnya terlihat atau tidak, atau lebih dalam lagi apakah kita mau melihat atau tidak.
Homeless adalah mereka yang tidak punya rumah yang tetap sehingga membuat tempat tinggal di jalan, taman, bantaran sungai, sarana umum seperti stasiun dan lain-lain. Dahulu mereka dinamakan furosha 浮浪者, tapi karena kata ini mengandung prejudice atau henken 偏見 kata ini tidak dipakai lagi. Kata homeless kesannya lebih manusiawi, “tidak punya rumah”.
Aku tidak meneliti tentang homeless, tapi sekedar memberikan informasi dari apa yang kudapat di internet saja dalam tulisan kali ini. Homeless memang membuat pusing pemerintah daerah. Dan pemerintah pun sampai merasa perlu untuk meneliti, mengadakan survey tentang homeless di seluruh negeri Jepang. Maksudnya tentu untuk menghapus keberadaan homeless di dalam kota, yang “mengotori” pemandangan. Apalagi tahun 2020 nanti olimpiade akan diadakan di Tokyo, jadi Tokyo tentu harus banyak bebenah, membersihkan dirinya.
Dalam lembar laporan “Kondisi Homeles tahun 2012” diketahui bahwa jumlah homeless di seluruh negeri sejumlah 9576 orang. Tapi jumlah ini jauuuh lebih sedikit daripada jumlah tahun 2008 yang 16.018 orang. Di Tokyo sendiri jumlahnya 2368 orang, berkurang 304 orang dari tahun sebelumnya. Dari jumlah homeless itu, mereka terbanyak menempati bantaran sungai, kemudian taman kota. Sumber : Ministry of Health, Labour and Welfare http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r98520000027ptf.html
Survey ini diadakan untuk mengurangi jumlah homeless dan terlihat dalam 5 tahun sudah terlihat penurunan yang signifikan. Hal ini diperkirakan akibat peningkatan kebijakan pencegahan pertambahan homeless dan peningkatan penerima tunjangan hidup dari pemerintah atau yang disebut dengan seikatsu hogo 生活保護. Seikatsu hogo ini merupakan suatu program pemerintah yang memberikan jumlah tertentu untuk kehidupan sehari-hari. Tapi syaratnya orang tersebut memang tidak bisa bekerja. Jika sudah bekerja maka tidak bisa lagi menerima tunjangan tersebut. Ini memang cocok sekali dengan “dipelihara negara”. Aku sendiri pernah bertemu dengan seorang supir taxi yang sebelumnya dia adalah penerima tunjangan pemerintah ini. Jadi memang warga dibantu untuk bisa berdikari, dan selama mencari kerja itu mereka dipelihara negara.
NAMUN akhir-akhir jumlah penerima seikatsu hogo ini semakin banyak dan mulai merepotkan negara. Tentu saja uang tunjangan ini asalnya juga dari pajak penduduk lainnya.
Jadi negara maju seperti Jepang pun, mempunyai banyak masalah sosial seperti homeless, seikatsu hogo, bahkan laju pertumbuhan kaum lansia. Mereka semua merupakan tanggung jawab generasi muda pekerja Jepang.