Gembel

26 Okt

Dalam tulisanku di Menggenapi 21 tahun di Edo Castle, banyak yang merasa heran, memangnya di Tokyo ada gembel? Dan ya, di setiap negara, di mana saja di dunia ini sebetulnya ada gembel, gelandangan, atau yang disebut homeless di Jepang. Masalahnya terlihat atau tidak, atau lebih dalam lagi apakah kita mau melihat atau tidak.

Homeless adalah mereka yang tidak punya rumah yang tetap sehingga membuat tempat tinggal di jalan, taman, bantaran sungai, sarana umum seperti stasiun dan lain-lain. Dahulu mereka dinamakan furosha 浮浪者, tapi karena kata ini mengandung prejudice atau henken 偏見 kata ini tidak dipakai lagi. Kata homeless kesannya lebih manusiawi, “tidak punya rumah”. 

Aku tidak meneliti tentang homeless, tapi sekedar memberikan informasi dari apa yang kudapat di internet saja dalam tulisan kali ini. Homeless memang membuat pusing pemerintah daerah. Dan pemerintah pun sampai merasa perlu untuk meneliti, mengadakan survey tentang homeless di seluruh negeri Jepang. Maksudnya tentu untuk menghapus keberadaan homeless di dalam kota, yang “mengotori” pemandangan. Apalagi tahun 2020 nanti olimpiade akan diadakan di Tokyo, jadi Tokyo tentu harus banyak bebenah, membersihkan dirinya.

Dalam lembar laporan “Kondisi Homeles tahun 2012” diketahui bahwa jumlah homeless di seluruh negeri sejumlah 9576 orang. Tapi jumlah ini jauuuh lebih sedikit daripada jumlah tahun 2008 yang 16.018 orang. Di Tokyo sendiri jumlahnya 2368 orang, berkurang 304 orang dari tahun sebelumnya. Dari jumlah homeless itu, mereka terbanyak menempati bantaran sungai, kemudian taman kota. Sumber :  Ministry of Health, Labour and Welfare http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r98520000027ptf.html

Homeless yang tinggal di bawah jembatan. Foto diambil oleh seorang pastor

Survey ini diadakan untuk mengurangi jumlah homeless dan terlihat dalam 5 tahun sudah terlihat penurunan yang signifikan. Hal ini diperkirakan akibat peningkatan kebijakan pencegahan pertambahan homeless dan peningkatan penerima tunjangan hidup dari pemerintah atau yang disebut dengan seikatsu hogo 生活保護. Seikatsu hogo ini merupakan suatu program pemerintah yang memberikan jumlah tertentu untuk kehidupan sehari-hari. Tapi syaratnya orang tersebut memang tidak bisa bekerja. Jika sudah bekerja maka tidak bisa lagi menerima tunjangan tersebut. Ini memang cocok sekali dengan “dipelihara negara”. Aku sendiri pernah bertemu dengan seorang supir taxi yang sebelumnya dia adalah penerima tunjangan pemerintah ini. Jadi memang warga dibantu untuk bisa berdikari, dan selama mencari kerja itu mereka dipelihara negara.

NAMUN akhir-akhir jumlah penerima seikatsu hogo ini semakin banyak dan mulai merepotkan negara. Tentu saja uang tunjangan ini asalnya juga dari pajak penduduk lainnya.

Tempelan peringatan di “rumah plastik” bahwa sampai dengan tanggal yang tertera, tempat itu harus dibersihkan. Berarti mereka harus pindah dari situ.

Jadi negara maju seperti Jepang pun, mempunyai banyak masalah sosial seperti homeless, seikatsu hogo, bahkan laju pertumbuhan kaum lansia. Mereka semua merupakan tanggung jawab generasi muda pekerja Jepang.

Perangko Meteran?

24 Okt

Bisa membayangkan perangko meteran? Perangko yang panjaaaang sekali? Sebetulnya namanya Meter Stamp. Aku cari nama ini cukup lama, dan akhirnya ketemu.

Selain perangko yang biasa kita lihat, kadang ada seperti kertas tempelan dengan harga, nama negara, tanggal-bulan-tahun dan kadang kalau dari Jepang ada sedikit ilustrasi, dan capnya biasanya berwarna merah. Nah, kertas pengganti inilah yang disebut Meter Stamp. Biasanya alatnya dimiliki kantor pos atau perusahaan besar, dan harganya bisa disesuaikan dengan berat amplop yang akan dikirim. Keuntungannya tentu saja menghemat tempat. Bayangkan jika biaya pengiriman 1000 yen, tapi dari perangko misalnya @ 100yen. Sepuluh perangko memenuhi amplop, dan tentu merepotkan pengecapannya. Sedangkan kalau pakai Meter Stamp cukup satu lembar saja.

foto dari wikipedia

Kekurangan penggunaan Meter Stamp yaitu tidak bisa dibeli di sembarang tempat. Jadi amplop yang akan dikirim harus dibawa ke kantor pos  untuk ditimbang dan langsung ditempelkan saat itu juga. Selain itu bagi kolektor perangko, Meter Stamp sama sekali tidak menarik! Meskipun ada beberapa orang yang mengumpulkan Meter Stamp dengan maksud mengumpulkan “cap”nya, kebanyakan kolektor tentu saja lebih senang mengumpulkan perangko biasa yang lebih beragam. Namun penggunaan Meter Stamp itu sudah disetujui UPU (Universal Postal Union) sejak tahun 1920, dan mulai digunakan secara luas sejak 1922.

meter stamp Jepang, masih ada gambarnya 😀 foto juga dari wikipedia

Eh, tapi bicara soal meteran, aku jadi iseng ingin mengetahui apakah ada perangko yang terbesar di dunia ya? Dan ternyata ada! Perangko dari Mongol yang diterbitkan tahun 2004 ini besarnya 1 sheet :29×19,9cm terdiri dari 9 perangko, dan yang terbesar itu ukurannya 18,6×13,5cm. Dan harganya sekitar 1500 yen (Rp150.000 ) . Konon perangko ini memang dibuat untuk mengumpulkan dana untuk pendidikan. Sayang sulit mencarinya, masak aku mesti ke Mongol :D TAPI kalau mau dipakai pun, perangko ini pasti memenuhi satu amplop 😀

Nah, bukan Imelda kalau tidak cari perangko terkecil di dunia deh 😀 Dan aku temui keterangan bahwa perangko terkecil berukuran 1,5 x 1,5 cm dari India. Tapi ada juga sebetulnya yang berukuran 1,2 cm x 1,3cm dari Colombia dan 1,2cm x 1,2cm dari Jerman. Tapi ternyata sudah ada peraturan dari Universal Postal Convention bahwa perangko itu harus lebih besar dari 1,5 x 1,5 cm. Jadi yang India itu sesuai peraturan ya.

Perangko terbesar di dunia : Peace Mandala, dari Mongol, terbit 2004

 

Telepati

23 Okt

Percayakah akan telepati? Telepati adalah kemampuan untuk berkomunikasi atau saling menukarkan informasi dengan orang lain tanpa menggunakan indera. Aku sendiri lebih condong percaya 🙂

Seperti yang pernah kutulis di “Senangnya diingat“, aku melihat sebuah foto di reklame kereta yang mirip dengan teman DJku Luis Sartor dan  teringat dia, eh malamnya aku dihubungi produserku bahwa dia akan membuat acara perpisahan dengan si Luis. Weleh baru teringat sudah harus berpisah.

Beberapa waktu aku sempat memikirkan seorang mantan mahasiswaku. Dia seorang pemuda yang sangat perhatian. Setiap tahun dia mengirimkan buah-buahan kepadaku, atau mengajak aku dan dosen bahasa Indonesia lain serta mantan mahasiswa lainnya untuk berkumpul dan makan-makan bersama. Aku ingin menanyakan kabarnya, tapi karena sibuk kupikir malam saja. Eh tahu-tahu dia mengirimkan pesan lewat Line, dan memberikan kabar terbarunya bahwa dia sudah menikah (hanya catatan sipil). Kaget juga aku, karena baru saja terpikir dia, kok bisa dia yang memberi kabar.

Kira-kira seminggu yang lalupun, aku teringat seorang sahabat, seorang adik yang sudah pulang ke Jakarta. Dini hari aku ingin menghubungi si Ekawati Sudjono …eh tahu-tahu dia juga menghubungiku. Bahasa Jepangnya Isshin denshin 以心伝心, yaitu “terhubungkan lewat hati”.

Cukup sering aku begitu, memikirkan seseorang yang sudah lama tak berkabar, tahu-tahu orang tersebut menghubungi. Apakah ini keturunan, aku pun tidak tahu. Karena alm mama sering begitu. Kalau dia mau ngobrol dengan kakaknya yang di Cirebon, sering kali cukup memikirkan kakaknya, dan tak lama kakaknya akan telepon. Tapi kurasa mama memang punya indera keenam, karena sering dia mengetahui sesaat sebelum seseorang meninggal 🙁  Dia yang memaksa papa mengunjungi teman yang sedang sakit, dan tak lama sang teman meninggal. Mama memang “khusus”.

Aku sendiri tidak merasa mempunyai kemampuan itu, tapi kata Eka: “Kak Imelda perasa sih, jadi terhubungkan”.

Terlepas dari telepati atau tidak, aku menyukai kiriman dari Eka :

indeed….

Apa kabar teman-teman, sahabat-sahabatku, semoga kalian semua sehat ya…. Kami di Tokyo sedang bersiap lagi menghadapi kemungkinan datangnya Badai no 27 dan 28 berbarengan pada akhir minggu ini, dan konon badai taifu ini jauh lebih besar dari yang kemarin-kemarin. Nah loh…. Semoga saja angin membelokkan jalan si Fransisco dan Lekima (nama untuk si badai 27 dan 28, karena Jepang memakai nomor timbulnya badai bukan nama untuk menyebutkan badai) sehingga tidak lewat di atas Jepang.

Antara Semprit dan Semprong

22 Okt

Salah satu narablogger memakai nama di FB dengan NhHerSabarNyempritt, dan entah kenapa waktu  melihat kata “semprit” aku teringat kue semprong. Padahal ada juga loh kue semprit, biasanya terbuat dari sagu dan aku suka! Kalau kue semprong?

Waktu aku kecil dulu, sekitar kelas 4-5 SD, ada seorang penjual semprong yang secara rutin datang ke rumah kami untuk menjajakan kue semprongnya. Kue itu kebanyakan berbentuk roll dan dimasukkan ke dalam kaleng kotak seperti kaleng untuk krupuk di warung-warung begitu. Aku lupa apakah dia datang jalan kaki atau naik sepeda, tapi aku masih teringat wajahnya waktu berbicara dengan mama, di depan pintu masuk dekat dapur. Ah ya dulu rumah kami tidak mempunyai pintu pagar besar karena pintu masuk dipakai untuk dua rumah yang bersebelahan. Space di depan 2 garasi 2 rumah ini bisa masuk 6 mobil jika dipaksa, tapi kami sendiri hanya punya satu mobil, jadi kebanyakan space dipakai oleh tetangga kami yang punya 3 mobil.

Bapak penjual semprong ini pandai menjajakan dagangannya, sehingga biasanya mama membeli cukup banyak dan selalu mengingatkan agar jangan terlalu cepat datang lagi. Kalau setiap minggu datang, pasti kami kewalahan menghabiskan kue semprong itu. Bagi kami saat itu membeli kue semprong segitu banyak merupakan kemewahan, tapi Imelda kecil mengerti bahwa mama juga ingin membantu si bapak penjual semprong itu supaya jualannya laku. Hal yang sama yang dilakukan mama kepada kakek buah-buahan yang kadang mampir ke rumah kami menawarkan pepaya atau buah apa saja yang bisa dipikulnya. Kakek ini sudah tua dan bongkok tapi masih harus memikul buah-buahan.

Tapi dibanding kakek tua itu, aku masih mengingat jelasssss sekali wajah penjual semprong itu. Kenapa?

Dia berbicara seperti wadam dengan bibir yang lentur membuat gerakan-gerakan gemulai, meskipun suaranya biasa saja. Dengan gerakan tangan yang khas sekali. Sampa sekarang pun aku masih ingat jelas wajahnya. Hebat ya dia, sampai bertahun-tahun wajahnya tetap diingat oleh Imelda 😀 😀 😀 Dia tipe orang yang sering kita sebut sebagai #setengah lelaki #melambai #gemulai #wadam… apa lagi ya? Kalau di Jepang #Onee #half #okama dsb 😀 😀 😀

(dan aku mendengar suara semPRITTTTTT deh :D)

Maaf untuk postingan ini aku tidak pasang foto karena tidak punya foto kue semprit atau semprong hasil jepretan sendiri 😀

Kamu suka kue semprong? Aku makan kue semprong roll itu dimasukkan jari dan dipotel sedikit-sedikit…. lebih suka wafer sih, tapi kalau adanya semprong ya apa boleh buat kan?

Atau kamu pernah mengingat seseorang penjual atau apalah yang wajahnya terpatri di benakmu bertahun-tahun bahkan sampai sekarang, padahal namanya saja kamu tidak tahu?

 

 

Buku Cerita

21 Okt

Hari Minggu tanggal 13 Oktober, setelah menonton baseball, kami mengunjungi rumah mertua di Yokohama. Kebetulan adik Gen dari Sendai datang, dan juga keesokan harinya tante dari Wakayama juga mampir. Jadi secara tidak langsung kami bereuni di sana. Dan mengisi acara setelah makan siang, bapak mertuaku memutar film lama, The Guns of Navarones.

The Guns of Navarone

Aku langsung teringat bahwa aku sudah pernah membaca buku aslinya. Sebuah buku yang dikarang Alistair MacLean dengan judul Meriam Benteng Navarone (1957). Kenapa aku bisa ingat tentang buku ini, sebenarnya karena buku ini termasuk buku novel dewasa pertama yang kubaca dengan sembunyi-sembunyi waktu aku kelas 5 SD (atau 6 persisnya aku lupa)- sekitar tahun 1981. Sebelumnya aku hanya membaca buku-buku tipisnya Album Cerita Ternama, atau cerita-cerita anak-anak. Temanku yang tetangga di belakang rumah yang meminjamkan buku kakaknya itu kepadaku. Dia menyerahkan buku itu lewat pagar rumah, dan waktu selesai aku kembalikan juga lewat pagar kawat. Lucu juga kalau mengenang masa-masa itu.

Buku Meriam Benteng Navarone yang kupinjam. Setelah itu di Jepang aku membeli buku bekasnya yang berbahasa Inggris.

 

Dan karena aku takut tidak diperbolehkan baca buku setebal itu oleh mama, aku membacanya di kamar asisten di belakang. Mama memang tidak begitu senang membaca, lain dengan papa. Untuk soal buku, aku memang “anak papa” :D. Aku sembunyikan novel itu di bawah kasur asisten, dan kalau mau baca ya masuk kamar mereka dan baca di situ 😀 (Duh pengakuan dosa deh hehehhe). Tapi sesuai dengan keterangan tentang Alistair MacLean “Compared to other thriller writers of the time, such as Ian Fleming, MacLean’s books are exceptional in one way at least: they have an absence of sex and most are short on romance because MacLean thought that such diversions merely serve to slow down the action.” Jadi tidak ada dong cerita yang nyerempet-nyerempet begitu. Bahkan menurutku waktu itu ceritanya sulit dicerna. Ada dua buku Alistair yang kubaca yaitu Meriam Benteng Navarone ini dan HMS Ulysses, dan keduanya berat euy.

Tapi dengan buku berat ini, aku akhirnya menyenangi cerita spy, misteri dan detektif. Setelah itu bacaanku buku-buku Agatha Christie, Sidney Sheldon pinjam dari perpustakaan tapi kalau membeli sendiri aku hanya boleh membeli bangsanya Lima Sekawan dan Trio Detektif. Tentu Winnetou juga termasuk di dalam daftar bukuku. Untung saja waktu itu aku belum kenal Kho Ping Ho, coba kalau kenal jaman aku SMP bisa-bisa aku tidak belajar 😀

Baru setelah aku masuk SMA dan bahasa Inggrisku sudah cukup memadai, aku membaca buku roman berbahasa Inggris dari Mills and Boon (sekarang menjadi Harlequin) dan berkenalan dengan Barbara Cartland 😀 yang tipe ceritanya senada semua: Gadis miskin berkenalan dengan pria kaya. Cinderella stories deh. Lama kelamaan aku bosan dan memutuskan “persahabatan” dengan BC.

Jaman universitas aku sudah bisa membeli buku sendiri, dan menyukai buku-buku dari S. Mara Gd, V. Lestari dan Maria A Sardjono. Ingin membeli buku-buku Mills and Boon tidak bisa karena sulit mendapatkan buku bahasa Inggris saat itu. Sejak aku bisa membaca buku bahasa Inggris di SMA, aku tidak pernah lagi suka buku terjemahan jika tidak terpaksa sekali.

Sekarang buku-bukuku beragam, tapi sampai aku tetap merupakan fans  ketiga penulis wanita Indonesia dan buku romance Harlequin dalam bahasa Inggris karena membaca buku-buku mereka membuatku rileks dan bisa menikmati waktu “me Time” atau dalam perjalanan dalam kereta.

Hari ini adalah hari kelahiran seorang penulis cerita detektif Jepang yang bernama Edogawa Ranpo. Coba sebutkan nama ini dan bayangkan nama Edgar Alan Poe, mirip kan? Memang dia memakai nama ini, padahal nama aslinya adalah Hirai Tarou. Bukunya yang terkenal adalah Kaijin Nijumensou 怪人二十面相(かいじんにじゅうめんそう). Sayangnya aku belum pernah baca karya-karyanya. waktu kutanya apakah Gen pernah baca, ternyata dia tidak pernah baca. Gen sih jenis bacaannya susah seperti sastra klasik dan modern serta buku essei biologi. Eh tapi dia sudah menyelesaikan tetraloginya Pramoedya Ananta Toer loh (tentu saja terjemahan ke bahasa Jepang) .

Kamu suka buku cerita detektif?

Sssst aku sedang membaca ini:

Misteri Dilema Seorang Menantu

Bazaar dalam Hujan

20 Okt

Hari ini tanggal 20 Oktober ada bazaar di gereja kami, Kichijouji 吉祥寺. Memang aku pergi ke dua gereja, satu di Meguro yang merupakan komunitas umat Indonesia dengan misa berbahasa Indonesia oleh pastor Indonesia (setiap Sabtu sore pukul 5), sedangkan satu lagi di Kichijouji. Dan secara resminya memang aku terdaftar di Kichijouji sebagai kepala keluarga dengan dua anak. Riku juga ikut sekolah Minggu di sini (Minggu jam 9 pagi), sehingga aku tergabung dalam kelompok “orang tua Sekolah Minggu”. Kai yang tahun depan masuk SD, akan masuk Sekolah Minggu di sini. Sekolah Minggu memang dimulai dari kelas 1 SD.

Gereja Katolik Kichijouji ini mempunyai program tahunan, salah satunya adalah Bazaar yang dinamakan Minna no Hiroba みんなの広場 disingkat Minahiro yang selalu diadakan hari Minggu ketiga bulan Oktober. Tahun ini sudah tahun kedua aku ikut sebagai panitia pelaksana yang mewakili kelompok orang tua Sekolah Minggu. Karena ini kemarin pun aku pergi ke gereja untuk mempersiapkan kegiatan kelompok kami, padahal Kai masih demam dan menunggu di rumah bersama Riku.

menjual barang-barang sumbangan orang tua. Paling kanan terlihat candy wreath yang dibuat bersama

Kelompok kami membuat dua kegiatan yaitu penjualan barang-barang yang disumbangkan para orang tua. Barang yang disumbangkan bisa berupa buku, piring, baju, sepatu, apa saja. Tapi kami juga membuat candy wreaths dan sabun hias untuk dijual. Katanya candy wreath disukai anak-anak dan sabun hias disukai ibu-ibu lansia. Sedangkan kegiatan yang lain adalah membuka cafe Jepang. Bertempat di ruang Jepang washitsu 和室 kami menjual teh hijau Matcha, oshiruko atau dessert Jepang yang hangat, jelly, dan sweet decoration berupa kue madeleinne dan marshmallow lapis coklat.

bermacam topping hiasan kue yang kusediakan

 

Nah, aku bertanggung jawab untuk sweet decoration ini, sehingga aku harus menyiapkan coklat cair dan bermacam topping hiasan kue. Hari ini aku menjual 20 tusuk marshmallow seharga 50 yen (Rp5000) . Tentu saja tidak balik modal, tapi yang penting happy bisa melihat anak-anak gembira  menghias marshmallow berlapis coklat dengan topping sesuka mereka. Apalagi 3 gadis yang terakhir membeli, aku beri coklat yang banyak sampai mereka berkata, “tante baik sekali, terima kasih ya”.

Ruang Jepang dan kue madeleine serta marshmallow lapis coklat yang kujual

Nah, kami memang mendapat tempat di dalam gedung. Gedung paroki Kichijouji terdapat dalam mansion 3 lantai, dan kami mendapat tempat di lantai 2. Sedangkan untuk bazzar tentu tidak cukup tempat di dalam gedung, sehingga ada tenda-tenda yang didirikan di halaman gereja. Riku dengan kelompok kelas 5 dan 6 menjual fruit punch di luar. TAPI hari ini HUJAN DERAS!!!! Duh kasihan deh mereka yang mendapat tempat di tenda. Jadi anak-anak tidak berjualan di tenda tapi berkeliling dalam gedung. Sedangkan yang aku lihat masih semangat berjualan di luar seperti mie goreng, ramen, sate, pasta, minuman dan masakan Filipina. Kupikir pasti tidak ada yang beli, tapi ternyata aku salah! Pembeli tetap semangat membeli dalam hujan dengan payung! Toh mereka (pembeli) harus pergi ke misa sehingga selesai misa bisa mampir berbelanja.

Bazaar dalam hujan. Foto ini sudah terakhir waktu beberes-beres, jadi sudah banyak yang pulang. Maklum aku baru bisa keluar setelah selesai sih

 

Memang akhirnya banyak pembeli juga yang berlama-lama di dalam gedung karena menghindar hujan. Apalagi kaum lansia. Sehingga hall utama yang menjual nasi kare dan makanan lainnya penuh sesak. Tapi cafe Jepang kami juga cukup penuh, sehingga banyak orang yang terpaksa harus “duduk bersama” memenuhi 4 meja yang tersedia. AISEKI 相席 ini memang banyak dilakukan di restoran Jepang pada waktu jam makan siang. Jangan kaget kalau Anda diminta meminjamkan kursi yang kosong di meja makan kepada orang yang tidak dikenal. Jadi bisa saja kalau melihat meja penuh dan yang duduk sama sekali tidak bercakap-cakap satu sama lain, ya karena mereka tidak saling mengenal. Orang Indonesia kurasa tidak bisa melakukan hal ini. Pasti akan merasa risih jika ada orang lain yang makan di depanmu bukan? Kalau di warung pun duduk bersama orang lain, tapi bersebelahan, bukan berhadapan kan? Aku cukup kaget waktu pertama kali ditanya apakah bisa aiseki, dan tentu harus aku jawab silakan 😀 Tapi pintar-pintarnya petugas restoran saja, biasanya aiseki pun sesama jenis. Coba kalau ojisan atau ojiisan (om-om atau kakek-kakek) makan di depanku, bisa bisa tidak tertelan deh makanannya. Apalagi kalau pemuda cakeeep banget seperti Kimura Takuya gitu musti aiseki sama aku. Bisa pingsan deh hahahaha. Ah, soal makan ini aku memang mengalami culture shock cukup parah di awal-awal kedatanganku.

Menjelang pukul 3 kami beberes dan menghitung hasil penjualan. Banyak sisa bakmi yang tidak terjual kemudian diobral kepada ibu-ibu. Lumayan bisa untuk makan malam 😀 Akhirnya aku bisa pulang sekitar pukul 4 dan masih hujan! Duh, hari ini memang tidak berhenti hujannya. Tapi semangat untuk tetap melaksanakan bazaar patut diacung jempol deh. Dan kutahu di gereja Ignatius, Yotsuya pun diadakan bazaar. Lain kali aku perlu mencari tahu kenapa gereja-gereja melaksanakan bazaar di hari minggu ketiga ya?

Aku dan Riku yang sudah dari pukul 8:30 datang ke gereja pulang mendapati Kai tertidur dan masih demam 🙁 Duh sakitnya kali ini kok cukup lama ya? Sepertinya besok aku perlu membawa dia ke dokter lagi deh. Kasihan mendengar dia batuk-batuk terus sepanjang malam dan melihat dia tidak bisa makan. Dan semoga besok cerah ya.

Ini Perangko ya?

19 Okt

Tadi sore aku sempat membaca sebuah artikel di surat kabar Jepang bahwa harga perangko untuk mengirim kartu pos dan surat akan naik bulan April 2014. Memang semua pajak pembelian akan naik dari 5 % sekarang, menjadi 8 %. Karena itu pula banyak yang berlomba-lomba untuk membeli barang sebelum pajak pembelian itu naik.

Karena itu Japan Post yang sudah bukan BUMN lagi, merasa perlu menaikkan harga perangko kartu pos yang tadinya 50 yen (dalam negeri) menjadi 52 yen, sedangkan untuk surat biasa (dalam negeri) dari 80 yen menjadi 82 yen. Saat itu aku langsung teringat perangko yang ada sekarang hanya 50 dan 80, berarti harus menempelkan perangko tambahan 2 yen untuk perangko yang lama yang dicetak sebelum April 2014 itu.

Nominal perangko di Jepang yang lazim dipakai sekarang ini mulai dari 1 yen,3 yen, 5 yen, 10 yen, 20 yen, 30 yen, 50 yen,70 yen, 80 yen, 90 yen, 100 yen, 110 yen, 120 yen, 130 yen, 140 yen, 160 yen, 200 yen, 270 yen, 300 yen, 350 yen, 420 yen, 500 yen, 1000 yen. (Kalau mau lihat contohnya silakan klik di sini).  Hampir semuanya aku punya dalam koleksiku kecuali 1000 yen (sepertinya harus beli nih untuk melengkapi koleksiku).  Tapi tentu dulu ada nominal lain, misalnya 62 yen (aku punya tapi belum sempat foto). Atau ada perangko khusus 50 yen untuk duka cita (mengirim kartu pos pemberitahuan berduka) atau untuk suka cita (mengirim kartu pos pemberitahuan pernikahan/selamatan yang lain). Selain itu setiap tahun ada perangko khusus untuk tahun baru yang disesuaikan dengan shio tahun barunya.

Aku juga teringat ucapan Drajat dalam foto perangko di FB: kok seperti bukan perangko ya? Memang ada perangko Jepang yang berupa seal, sticker untuk greetings atau karakter tertentu. Namun meskipun seperti sticker, namanya tetap perangko karena tetap dipakai sebagai tanda pembayaran. Cuma memang rasanya kurang sreg bagi kolektor perangko bekas ya. Di Jepang sendiri ada 3 macam perangko dilihat dari jenis kertasnya, yaitu perangko tanpa lem (dulu begitu, karena itu dulu disediakan lem di kantor pos) lalu perangko dengan lem kering (yang tinggal dibasahkan dengan air untuk direkatkan, kebanyakan semua perangko sekarang begitu), dan stiker yang tinggal dilepaskan dari alasnya sehingga lebih mudah. Konon (aku tidak tahu pasti) di Amerika banyak perangko jenis stiker begini. Dan satu lagi waktu aku mencari nominal perangko US kebanyakan sekarang tidak ada tulisan angka ya. Aku sulit sekali mencari informasi berapa nominal tertinggi perangko di US. Eh tapi aku juga tidak tahu nominal tertinggi perangko Indonesia loh…. Rp 10.000?

Perangko BlackJack yang di kiri berbentuk stiker, sedangkan serial Heidi yang di kanan biasa (bukan stiker). Aku jelas lebih suka yang perangko biasa daripada stiker.

Ada banyak pro kontra tentang perangko stiker yang kubaca di website Jepang. Katanya jenis stiker ini lebih sulit dipakai oleh penyandang cacat (tuna netra). Sulit untuk dilepaskan dari alasnya. Selain itu cengan meraba saja, akan sulit mengetahui apakah yang dipegang itu perangko atau bukan. Kalau perangko biasa kan ketahuan geriginya. Selain itu katanya kalau berbentuk stiker, tidak begitu tahan lama dibanding perangko biasa, dalam arti lem nya cepat “habis”. Menarik juga membaca polemik orang Jepang mengenai perangko stiker ini. Padahal perangko stiker masih sedikit. Yang kutahu perangko Hello Kitty itu banyak yang berbentuk stiker. Aku sendiri tidak begitu suka perangko bentuk stiker ya karena aku koleksi perangko. Bagiku perangko harus ada gerigi pinggirnya. Bentuk boleh segiempat, segitiga atau bundar, tapi gerigi harus ada.

Mengumpulkan perangko atau filateli mungkin tidak sepopuler dulu, tapi aku masih tetap melanjutkan hobiku ini meskipun sekarang mengandalkan pemberian dari bapak mertua dan suami yang bekerja di kantor. Sebelum Kai lahir aku masih sering membeli perangko sheet yang bagus untuk koleksi, tapi mengeluarkan 500-800 yen per sheet untuk koleksi cukup menguras dompet. Karena Jepang secara rutin mengeluarkan seri-seri baru, belum lagi yang temporer seperti persahabatan dua negara, atau simposium dsb. Bisa-bisa kami harus makan perangko deh kalau mau beli semua jenis 😀 Jadi akhir-akhir ini aku hanya sesekali saja membeli perangko sheet yang khusus atau kurasa bagus gambarnya.

Tapi bagiku yang sudah mulai mengumpulkan perangko sejak SD, aku banyak belajar dari perangko. Dengan perangko aku mengetahui georafis, kebudayaan, alam, peninggalan, arsitektur dsb. Aku sempat mengumpulkan perangko berdasarkan negara, berdasarkan tema semisal kupu-kupu, bunga, atau aku juga mengumpulkan perangko bentuk aneh, seperti segitiga, jajaran genjang, bulat dan lain-lain (kalau tidak salah pernah ada segi enam juga, tapi aku lupa taruh di mana, mungkin di Jakarta). Setiap papa pergi ke luar negeri, aku cuma minta dibelikan souvenir perangko. Dan aku ingat waktu aku pergi ke Wina, aku tanya kepada petugas hotel bisa beli perangko untuk koleksi di mana. Dan aku sampai di sebuah toko di lantai dua yang menjual perangko bekas ( lawan bekas = perangko mint -belum dipakai) kiloan! Rasanya aku ingin beli semua, tapi akhirnya aku hanya beli satu kantung. Dan satu hal yang kutahu di situ ternyata perangko Wina banyak yang memakai warna emas. Kalau British emasnya hanya di siluet wajah Ratunya saja (one point).

Semoga aku masih bisa terus melanjutkan hobi lamaku ini, ntah sampai kapan. Aku percaya kok, meskipun orang bilang perangko akan lenyap, di Jepang untuk sementara waktu, (sepertinya sampai aku mati sih) masih akan menerbitkan perangko. Semoga.

Buku Unggulan dan Buku Obat

18 Okt

Pagi tadi pukul 8:50 pagi aku mengajak Kai ke Rumah Sakit dekat rumahku. Rumah Sakit itu adalah rumah sakit koperasi yang dana pembiayaannya didukung oleh “modal pinjaman” warga yang tertarik. Memang sekitar tahun 2002 itu waktu RS ini mau dibangun, banyak warga sekitar yang protes tidak mau di dekatnya didirikan RS. Aku bisa mengerti kekhawatiran mereka seperti ributnya jika ambulans masuk keluar, tapi aku (dan Gen) mendukung pembangunan RS ini. Kamipun menjadi salah satu dari ribuan penyandang dana (padahal cuma sedikit sekali sih… di sini pakai sistem 1 unit 1000 yen, maunya berapa unit). Kami pikir paling sedikit untuk sakit ringan, kami bisa berobat di sini, apalagi waktu itu Riku hampir lahir.

Setelah mendaftar untuk ke klinik Anak, aku mengisi kertas laporan keluhan: batuk dan demam 39 derajat sejak kemarin, lalu kami duduk. Kai yang manja aku peluk, dan tepat saat itu pintu klinik terbuka. Dokter kepala sekaligus dokter anak, Dr S keluar dan menyapaku.
“Wah sudah lama ya tidak ke sini….”
“Iya sensei, hampir setahun mungkin…”
“Bagaimana kabarnya? Genki?”
Sambil tertawa dalam hati berpikir ini dokter kok tanya genki (sehat), kalau sehat kan tidak ke sini 😀 , aku menjawab,
“Ini Kai demam tinggi. 39 derajat”
“Hmmm sekarang banyak masuk angin yang bukan virus juga sih ya. Tapi okasan (ibu) kelihatan kurusan ya…”
Ampuuun deh ini dokter masih perhatikan aku hahaha..
“Tidak kok dok, sama seperti dulu. Mungkin karena terlihat capek saja. Dokter hari ini di klinik Anak?”
“Hari ini saya di klinik umum. Nanti dengan Dr. M, dia lulusan Universitas Hokkaido.”
“Oh ya, saya sepertinya sudah pernah bertemu”…. lalu Dr Kepala itu pamit.

Ternyata waktu nama Kai dipanggil, aku belum pernah bertemu Dr M ini. Lelaki masih muda dan cakep! Lalu dia memeriksa Kai, sambil aku melaporkan bahwa Kai tidak pernah mau minum obat. Cuma daripada aku ambil resiko jika dia sakit berat, aku minta diperiksa. Kemudian Dr M menyarankan Kai diambil foto thorax karena sedang musim pneumonia.

Harafiahnya : buku yang kami ingin anak-anak baca

Sambil menunggu hasil foto, aku melihat poster yang dipasang di ruang tunggu. Daftar buku unggulan. Sebetulnya terjemahannya bukan buku unggulan, tapi “buku yang disarankan“. Osusume no hon お勧めの本. Memang sulit menerjemahkan kata susume 勧め bahasa Jepang ke Indonesia. Bahasa Inggrisnya memang recommendation, tapi kalau pakai rekomendasi kok kesannya oogesa 大げさ (berlebihan). Untuk orang Indonesia pasti lebih kena jika pakai terjemahan Buku Unggulan, padahal unggulan itu pasti kuat, berbobot, pernah menang dsb. Orang Indonesia memang sering lebay sih ya hehehe.

rak buku di ruang tunggu. sebelahnya ada space bermain

Hasil foto rontgen nya, memang ada sedikit bayangan putih di paru-paru sehingga lebih baik minum obat supaya tidak menjadi parah. Kesempatan juga untuk berlatih minum obat. Memang Kai tidak suka minum obat puyer atau sirup karena ada rasanya. Jadi kali ini diberi resep obat tablet, yang sudah pasti tidak ada rasanya. Dan oleh dokter disarankan minum dengan es krim atau yoghurt.

keterangan obat yang diterima

Kami pun menyelesaikan administrasi dengan menyerahkan karte. Untuk anak-anak memang tidak bayar karena ada kartu khusus dari Kelurahan Nerima (sampai 12 tahun gratis), jadi kami hanya menerima resep obat untuk diambil di apotik. RS itu memang tidak mempunyai apotik sendiri, tapi ada apotik di depan RS tersebut. Di sini juga kami tidak membayar (obat untuk anak-anak juga gratis). Tapi kali ini aku minta dibuatkan Buku Obat  okusuri techou お薬手帳  baru, karena buku obatnya Kai sudah tidak tahu taruh di mana 😀 Aku pikir sistem Buku Obat ini bagus sekali, karena bisa ditelusuri obat apa saja yang pernah diminum. Jika bagus bisa diteruskan dan jika tidak ada kemajuan bisa diganti obat lain. Apalagi kalau obatnya banyak jenisnya. Masing-masing obat ditulis kegunaan dan takarannya dengan detil, sehingga kita tahu apa yang kita minum. Alm mama dulu banyak sekali obatnya, dan semua hanya dijelaskan waktu menerima obatnya saja, tanpa keterangan tertulis. Paling-paling ingatnya obat A untuk jantung, obat B untuk darah, obat C vitamin dst. Buku Obat seperti ini amat perlu deh untuk pasien yang sering berurusan dengan RS. Atau mungkin sudah ada seperti Buku Obat begini di Indonesia?

Buku Obat

STOP PRESS 号外:  Yes! Sore ini Kai berhasil minum obat tablet 4 biji! Harus dirayakan nih 😀

Panggilan

17 Okt

Hari ini aku mendapat dua kali panggilan lewat telepon selularku. Pertama jam 13:17 dan yang kedua jam 14:27. Tentu saja aku tak bisa ambil karena aku sedang “seru-serunya” mengajar. Waktu melihat bahwa ada miss call jam 13:17 sempat buyar juga konsentrasiku karena si penelepon adalah TK nya Kai, tapi aku pikir nanti saja aku telepon kembali ke mereka karena kuliah selesai pukul 14:30. Eh ternyata pukul 14:27 sudah ada telepon kedua. Wah ada gawat apa ya?

Sebelum menelepon kembali, sambil bergegas berjalan ke terminal bus aku mendengar rekaman pesan dari TK. Rupanya waktu telepon pertama mereka mau memberitahukan bahwa Kai demam 37,7 derajat dan tidak selera makan bahkan sempat muntah. Lalu yang kedua ternyata demamnya naik menjadi 38,5 derajat. “Kami tahu Ibu sedang kerja, tapi kalau sempat mendengar pesan ini, tolong telepon kami”. Sebelum naik bus aku menelepon TK dan memberitahukan bahwa aku akan sampai di TK untuk menjemput Kai 1 jam lagi.

Tepat pukul 4 aku memarkirkan sepedaku di depan kantor guru, lalu aku disambut kepala sekolah dan wakil kepala sekolah. Sambil melaporkan keadaan Kai, mereka mengantarku ke tempat tidur yang ada di kantor guru. Kai sedang tidur dan tidak mau bangun meskipun gurunya sudah mengatakan, “Mama datang”. Jadi aku yang membangunkan dia sementara guru Kai yang cantik, Haruka sensei membawakan sepatu Kai. Ah guru-guru di TK ini memang baik-baik semua. Karena Sabtu ada ensoku (bermain bersama di luar dan kali ini kunjungan ke museum kereta api) aku pikir lebih baik meliburkan Kai juga. Duh aku harus menjaga dua anak yang sedang sakit. Kemarin Riku juga demam sampai 38,5 derajat, tapi tadi pagi karena tidak demam dia tetap ke sekolah sambil memakai masker. Ya memang tadi pagi Kai juga sudah ayashi (mencurigakan) menunjukkan gejala sakit, tapi waktu kuukur suhu badannya hanya 36,7. Aku memohon dia untuk mau ke TK dengan menjanjikan membelikan dia jelly dan cat air, karena aku tidak bisa membatalkan kelas hari ini. Semester genap memang rasanya lebih sibuk dan lebih cepat berlalu dibanding semester ganjil.

Panggilan lewat telepon kepada orang tua murid oleh pihak sekolah pasti dilakukan jika suhu badan murid melebih 37,5 derajat yang merupakan batas sehat dan demam. Aku sudah cukup sering dipanggil, meskipun aku bukan wanita panggilan 😀 Yang seru waktu dipanggil waktu Riku demam sedangkan aku masih dalam perjalanan ke universitas yang jauhnya 1,5 jam dari rumahku 😀 Terpaksa aku menemui staf ruang guru dulu dan memberikan tugas pada kelasku sebelum akhirnya pulang tanpa melanjutkan kuliah jam berikutnya. Padahal begitu aku sampai di rumah, Gen masuk lapangan parkir dengan Riku sudah pulang dari Rumah Sakit…. terlambat deh. Rupanya sekolahnya juga menelepon Gen ke kantor, dan Gen lebih cepat sampai daripada aku.

Oh ya tadi waktu aku masuk kantor guru TK, aku juga melihat amplop pendaftaran TK. Memang mulai 15 Oktober sampai 1 November, orang tua yang mau memasukkan anaknya ke TK bulan April tahun depan, harus membeli formulir pendaftaran (seharga 500 yen) dan mulai mengikuti test masuk. Test masuk ini biasanya formalitas, karena tidak bisa disangkal jumlah anak-anak sekarang semakin berkurang. Satu kelas biasanya 30-33 orang, sekarang hanya sekitar 25-28 orang. Aku sendiri senang kalau ada banyak ibu-ibu yang menyekolahkan anaknya di TK ini, yang tahun ini merayakan 50 th berdirinya. Dan kalau ingat bahwa Kai akan lulus dari TK bulan Maret nanti, rasanya sedih juga.

Semoga tidak ada lagi panggilan-panggilan telepon mendadak lagi deh, cukup membuat sport jantung sih 😀