Aku baru memperhatikan angka-angka cantik sejak ada seorang teman chattingku sekitar 8 tahun lalu yang berkata: “Aku selalu memperhatikan jam di komputerku. Pasti deh kalau aku sedang senang dan lihat di jam komputer, di situ tertera angka 1:11 atau 2:22. Selalu angka berurut”. Hmmm
Perkataan dia rupanya masuk dalam alam pikiranku, dan sejak itu aku cukup sering memperhatikan angka jam di komputerku. Biasanya aku lihat jam di komputer waktu aku selesai enter sebuah posting, dan senang sekali rasanya jika angka yang terpampang di sana merupakan angka cantik. Misalnya 17:17.
Kenapa angka 17:17 itu cantik menurutku? Ya selain karena urutan angkanya bagus, 1 dan 7 jika dijumlah menjadi angka 8, angka yang kuanggap sebagai angka keberuntunganku. Memang belum pernah aku menang lotre (karena aku tidak suka membeli lotre) tapi angka 8 cukup dekat dalam kehidupanku. Rumahku di Jakarta nomor 8, nomor telepon rumahku di Tokyo juga berakhiran dengan 8080. Dan memang angka 8 itu adalah angka mujur dalam bahasa Jepang. Silakan baca di sini.
Dan selama aku ngeblog baru bertemu satu orang yang juga suka angka cantik, yaitu Daniel Mahendra. Sering aku menemukan tulisannya ditulis pada jam dengan angka cantik, yang juga cantik disandingkan dengan tanggal penulisannya (dan dia sendiri waktu menulis tidak sadar — katanya).
Jadi kadang kala jika aku sedang terbangun dini hari atau lagi bete dan tiba-tiba ingin menulis di twitter, aku melihat jam di komputerku dan menuliskan perasaanku saat itu.
Kalau bahasa Indonesia memang artinya para dara (gadis) , tapi masak sih aku mau menulis soal Tiga Dara? (ada yang kenal ngga yah hehehe)
Dara-dara adalah onomatope bahasa Jepang, atau kata berasal dari bunyi-bunyian yang menunjukkan suasana santai, tidak mengerjakan apa-apa. Ongkang-ongkang kaki 😀 kalau mamaku bilang. (Masih ada yang pakai istilah itu tidak ya?)
Nah, deMiyashita melewati hari Sabtu lalu dengan ongkang-ongkang kaki, santai di rumah. Tadinya papa Gen berencana untuk ke kantor, jadi aku sudah prepare untuk melewati hari bersama anak-anak membuat prakarya apa saja. Tahu-tahu papanya membatalkan ke kantor, jadi Riku dan Kai amat gembira dan mereka bertiga pergi ke taman untuk jalan-jalan dan kalau ada kupu-kupu mau menangkapnya. Mereka pulang pukul 2 siang dan membawa kue Jepang yang mewakili bulan Juni. Namanya Minazuki and Wakaayu. Minazuki adalah nama kuno bulan Juni. Ayu adalah nama ikan air tawar yang dipanen bulan Juni. Jepang selalu menikmati setiap bulan, demikian juga kulinernya.
Tapi sebelum mereka pergi, Riku dan Kai merendam perangko bekas. Ya, mereka ingin memulai hobi baru (lagi) gara-gara menonton film Chibi Maruko chan Minggu lalu yang menceritakan Maruko chan menyimpan perangko hadiah dari gurunya. Nah, kesempatan aku mengajari mereka cara mengumpulkan perangko yang merupakan hobiku sejak SD!
Pertama mereka merendam dalam air, lalu setelah perangko lepas dari sampulnya, dikeringkan di kain. Sebetulnya cara penguapan lebih bagus (seperti yang biasa dilakukan Imoe) tapi karena penguapan makan waktu dan bahaya buat anak-anak juga, jadi aku pakai cara merendam di air saja. Lagipula perangko Jepang bagus buatannya, tidak tipis dan mudah luntur seperti perangko Indonesia (jaman dulu) hehehe.
Jadi sesudah mereka kembali dari taman, perangko itu sudah kering dan bisa dimasukkan ke dalam album. Sayangnya mereka belum punya album, dan kami terlalu malas untuk pergi ke toko buku membelinya. Jadi dipending sampai keesokan harinya.
Sementara Riku dan Kai “bermain” dengan perangko bekas, Gen membaca buku dan aku? Aku membuat clipping! sambil membereskan tumpukan koran yang sudah menggunung. Jadi di harian Asahi Shimbun, ada kolom kecil yang bernama “Shitsumon Doraemon”, sebuah pertanyaan mengenai pengetahuan umum, yang jawabannya juga ada dalam harian tersebut, tapi harus cari sendiri di halaman berapa. Karena bisa menambah pengetahuan umum tentang Jepang juga buatku, jadi aku pun mengumpulkan dan membuat clippingnya. Semoga berguna untuk Riku dan mamanya :D. Sepertinya sekarang sudah tidak jamannya membuat clipping ya hehehe.
“Mbak, maaf ya oleh-olehnya saya bungkus pakai kertas bekas. Soalnya saya lagi ikut program re-use, demi lingkungan hidup”
Wah tentu saja bagiku sama sekali tidak jadi masalah. Malahan aku juga sedapat mungkin menggunakan kembali apa yang masih bisa digunakan. Di universitas W tempatku bekerja malah memakai amplop besar yang sama untuk beberapa orang, jika itu masih mail dalam universitas. Tinggal dicoret nama sebelumnya dan tulis nama tujuan terbaru di bawahnya. Kalau sudah terima, buka isinya, ambil dan kembalikan amplop besar itu pada staf di ruang dosen. Bukan untuk pelit tapi kalau kita sendiri tidak pernah memikirkan “sampah” yang kita hasilkan, siapa lagi? Maukah kita hidup di dalam sampah?
Bapakku memang bekerja untuk lingkungan hidup. Tentu untuk skala yang lebih besar, termasuk amdal and so on saat masih aktif bekerja, dan waktu pensiun pun masih mengajar tentang lingkungan hidup. Tapi tanpa pengaruh kata “demi lingkungan hidup” keluarga kami memang sudah mencoba menjalankan usaha-usaha 3R, Reduce, Re-use dan Recycle.
Karena keluarga besar, baju, buku, barang-barang pasti berputar. Lungsur melungsur. Tidak pernah ada baju dan buku yang masuk tong sampah. Apalagi rumah kami di Jakarta cukup besar, sehingga masih bisa menampung banya barang. Aku ingat dulu ada waktu-waktu tertentu seorang paman (yang mungkin sekarang disebut pemulung) datang ke rumah kami untuk mengambil koran bekas, kaleng dan toples bekas, untuk dia jual kembali. Ntah sekarang masih suka datang atau tidak, tapi kupikir pemulung amat berjasa dalam program re-use ini.
Sejak aku pindah ke Tokyo, aku mulai merasakan “gerah” dengan kebiasaan orang Jepang membuang barang. Jangankan TV, Radio dan alat elektronik, baju-baju yang masih layak pakai saja dimasukkan plastik sampah dan dibuang begitu saja. Dan… jarang ada yang mengambil (bukannya tidak ada loh, terutama warga asing banyak yang sering menjadi pemulung di malam hari). Ingin rasanya mengumpulkan baju-baju bekas itu dan kirim ke negaraku. Tapi sesungguhnya meskipun baju bekas, jika kami mengirim ke Indonesia, pasti akan ditarik biaya (pajak) karena dianggap sebagai barang komoditi. (Dan beberapa kali terpaksa juga aku minta maaf kepada teman di Indonesia, karena mereka “dimintai” uang oleh pihak pos Indonesia karena menerima barang-barang dari LN. Malah jadi menyusahkan mereka 🙁 )
Belum lagi tumpukan sampah plastik dan kertas bagus yang hanya berguna sesaat. Orang Jepang memang penyuka keindahan dan kebersihan. Jadi jika membeli kue dalam kotak, kebanyakan kue itu dibungkus lagi satu-per-satu. Memang berguna untuk menjaga kesegaran kue jika tidak bisa habis, dan memudahkan jika mau membagikan kue kepada banyak orang karena bungkus yang rapi, tapi… sampahnya itu loh.
Atau waktu kami berbelanja bento atau noodle di toko konbini pasti diberikan juga sumpit kayu sekali pakai. Memang sekarang waktu membeli ditanya oleh petugas tokonya, apakah mau sumpit kayu/sendok atau tidak. Atau waktu pergi ke rumah makan pun masih banyak yang menyediakan sumpit kayu sekali pakai. Setiap kali aku melihat sumpit kayu itu pikiranku melayang ke hutan di Kalimantan. Aku akan lebih menghargai restoran yang menyediakan sumpit permanen yang memang lebih repot dan mahal untuk menyediakannya (sementara beberapa orang yang bersihan lebih suka sumpit kayu karena berarti bukan bekas orang lain :D). Kembali lagi ke orangnya deh.
Tapi selain kenyataan banyaknya sampah yang sebetulnya tidak perlu di Tokyo, aku pun bisa mengerti bahwa pemerintah Jepang mempunyai sistem persampahan yang sudah mapan. Sistem persampahan dengan pemilahan yang cukup disiplin ini memungkinkan bahan-bahan yang masih bisa didaurulang, langsung dibawa ke pabrik pengolahan.
Mau tahu pemilahan sampah di rumahku?
1. sampah busuk (sisa makanan), dibuang 2-3 kali seminggu
2. sampah plastik (yang ada lambang PET- ini juga daur ulang, biasanya styrofoam jepang ada lambang PET nya)
3. sampah botol dari kaca (dikumpulkan seminggu sekali utk daur ulang),
4. kotak susu dicuci dan dikumpulkan utk daur ulang juga di supermarket, atau seminggu sekali dikumpulkan pemda.
5. kertas dan kardus dikumpulkan utk di daur ulang oleh pemda
6. kaleng steel dan alumunium dikumpulkan utk di daur ulang dikumpulkan seminggu sekali
7. batere bekas dikumpulkan ke supermarket/toko elektronik. Pita bekas print dikumpulkan di toko elektronik, bahkan khusus untuk merek tertentu ada hadiahnya (bell mark)
8. sampah selain yang di atas.
(9) Untuk sampah yang lebih besar dari 30×30 cm harus bayar. Caranya kami harus menelepon ke dinas kebersihan dan memberitahukan mau buang apa saja. Lalu beli sticker sesuai harganya lalu tempel di sampah besar itu. Kemudian taruh di tempat yang ditentukan pada waktu yang ditentukan untuk diambil mobil khusus. Semisal aku mau buang karpet musti bayar, karenanya kalau mau buang lebih baik digunting-gunting hehehe. Memang kerja lagi sih, tapi dengan demikian bisa menghemat. Bahkan di daerah tertentu ada yang masih memilah lagi dengan bahan/kain di suatu pengumpulan khusus. Karena bahan/kain/baju ini kemudian akan dipreteli dan didaur ulang. Atau di daerah Chiba ada juga yang mengumpulkan botol sesuai dengan warnanya, sehingga memudahkan pengolahan gelasnya. Memang semuanya harus dimulai oleh pemda dan ditaati warganya. Tanpa ada kerjasama ini ya tidak akan bisa berjalan.
Yang penting semuanya harus dimulai dari diri kita sendiri. Jika kita memang peduli pada masa depan anak-cucu, sewajarnya kita berusaha memikirkan lingkungan hidup kita. Untuk mengajar aku memang masih memakai kertas, tapi untuk test aku sudah berapa tahun ini aku memakai email. Sedapat mungkin aku mengurangi pemakaian kertas. Dan kebetulan kemarin aku melihat sebuah acara di televisi mengenai kertas baru, yaitu kertas batu. Ya Stone Paper namanya. Karena bahannya tidak memakai kayu sama sekali, otomatis juga tidak memakai air (air pasti diperlukan dalam pembuatan kertas). Dan karena terbuat dari batu, kertas ini memang abadi, tidak bisa robek :D. Sayangnya aku tidak menonton kelanjutan acara itu jadi tidak tahu proses pembuatannya dsb karena sudah waktunya anak-anak untuk tidur.
Aku jadi teringat cerita jaman kakek-nenek kita belajar memakai batu tulis. Bagi kita yang hidup di masa serba modern mungkin kita merasa “kasihan”… duh kok sampai menulis di batu, tidak ada kertas yang bisa dibawa-bawa, dan tulisannya lebih awet/tahan lama karena tidak harus dihapus jika mau menulis kalimat baru. Tapi jika kita pikirkan dengan kondisi lingkungan sekarang ini mungkin nenek moyang kita ini jauuuuh lebih ramah lingkungan daripada kita. Tak perlu harus menebang pohon dari hutan untuk membuat kertas, demi modernisasi. Memang modernisasi membutuhkan banyak pengorbanan. Dan kadangkala ini menimbulkan lingkaran setan.
Ternyata usaha mengenai kertas batu ini juga masih banyak menuai polemik. Jika kita mencari kata sandi “stone paper” di internet kita bisa tahu bahwa, ada yang mengatakan (terutama dari produsen) bahwa stone paper itu ramah lingkungan, karena tidak memakai kayu berarti juga menjaga hutan kan? Tapi ada pula yang mengatakan masih terdapat pertanyaan apakah stone paper ini benar-benar ramah lingkungan. Karena berarti kertas batu ini hanya satu kali pakai, tidak bisa didaur ulang. Biarkanlah mereka berdebat, karena memang adakalanya kita mendengungkan tindakan kita yang ramah lingkungan padahal kalau dilihat dari biayanya belum tentu juga. Tapi yang penting adalah usaha kita masing-masing untuk menjaga lingkungan hidup kita, jangan berpangku tangan apalagi merusaknya.
Hari ini Tokyo basah lagi. Seharian turun hujan, meskipun tidak begitu deras. Tapi tentu anak-anak dilengkapi sepatu karet (boots), jas hujan dan payung.
Meskipun waktu bangun Kai sempat berkata, “Aku maunya sama mama”, dia tidak merengek dan bahkan cepat-cepat memakai sepatu boots nya waktu aku ajak pergi. Aku masih mengambil ini itu waktu Kai berkata, “Mama cepat dong. Nanti mama terlambat kan?” Duh …cerewet 😀
Kami berjalan menuju TK nya, dengan cukup santai. Sebetulnya aku ingin cepat-cepat tapi memang berjalan dalam hujan itu sulit. Karena aku dan Kai masing-masing memegang payung, tentu sulit untuk bergandengan tangan. Jadi aku pilih melewati jalan yang sepi. Hanya menggandengnya waktu menyeberang jalan atau kalau ada mobil lewat saja.
Sudah hampir dekat TK nya waktu aku mulai jengkel dan meminta dia untuk berjalan dengan benar (dan cepat). Lalu tiba-tiba dia berkata, “Tante itu tidak apa-apa ya?” sambil mengkhawatirkan seorang ibu-ibu yang berjalan di dekatnya. Doooh cerewet (lagi), dan aku berkata, “Tidak usah khawatirkan orang lain. Urus diri sendiri saja”
Tapi si tante itu mendengar suara Kai dan sambil tersenyum dia berkata pada Kai: “Tante tidak apa-apa kok. Kita sering ketemu ya…. Maaf tante jalan duluan ya…” dan aku cuma bisa tersenyum, membungkuk dan berkata, “Maaf….” (Untung Kai tidak bicara yang jelek)
Lalu dia melihat seorang ibu bersepeda dalam hujan, dengan segala atribut, dan…. memegang payung sebelah tangan (bener seperti akrobat). Lalu Kai berkata, “Mama tidak naik sepeda ya kalau hujan….”
“Iya, karena mama tidak bisa pegang payung … kan bahaya satu tangan pegang stang, satu tangan pegang payung. Kalau mama jatuh bagaimana?”
“Ibu itu juga bahaya ya…..” (Untung si ibu itu sudah jauh….duuuh nak…kamu kok cerewet sih)
Dan sekitar pukul 4:30 aku jemput dia. Masih banyak anak yang belum dijemput orang tuanya. Di pagar dia melihat seorang ibu masuk gerbang naik sepeda, tergesa-gesa. Lalu Kai berkata, “Osoi… (lambat yah)”, aku sendiri tidak begitu mengerti apa yang dia maksudkan dengan kata itu, ketika sang ibu berkata, “Iya yah saya terlambat jemput anak saya….” dengan nada penyesalan…. dan aku hanya bisa bilang, “Sumimasen… (maaf)”, dan aku berkata pada Kai, “Kai pulang lebih cepat dari orang lain, ibu itu tidak terlambat!”… duuuh cerewet! 🙁
Kai berjalan di sampingku dengan segala atribut hujannya. Jas hujan, sepatu boots dan payung. Tasnya aku yang bawakan karena cukup berat jika dia harus memanggulnya sambil berjalan dalam hujan. Lalu Kai berkata, “Mama kok tidak pakai jas hujan?”
“Mama tidak perlu”
“Tapi nanti mama sakit…” Duuuuh cereweeeeeeeeeeeeeeet!
“Terima kasih Kai, tapi tidak ada jas hujan yang cukup besar untuk mama”
Dan Kai diam sambil terus berjalan.
Suara hujan yang jatuh di payung …
kecipak kecipuk air terkena sepatu boots…
bunga, daun, jalan…. basah semua.
hening
sejuk (hari ini kabarnya max 19 derajat)
dan kuraih tangan Kai untuk menyeberang jalan.
Perjalanan pulang yang semestinya hanya 10 menit menjadi 25 menit.
Tapi aku menikmatinya, mengalahkan rasa capek dan berat memanggul ransel berisi kertas dan buku-buku.
tik tik tik suara hujan
sayang hari ini aku belum mencium bau tanah yang kusuka
karena perasaanku lebih terfokus kepada anakku
dan hujan….
Di Indonesia libur ya… Hari Kenaikan, seharusnya aku ke gereja. Tapi di sini tidak libur, semua bekerja 🙁
Cool A biz bener deh! Tapi kata Cool di sini bukan bahasa slangnya bahasa Inggris yang berarti “keren”, tapi benar-benar cool yang sejuk. Cool Biz atau Cool Business, merupakan sebuah trend gaya busana yang didengungkan setiap menjelang musim panas oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Maksudnya setiap tahun mulai tanggal 1 Juni sampai 30 September, kalangan pebisnis/pekerja bisa memakai baju yang cocok untuk musim panas. Masalahnya orang Jepang itu kan biasanya kemana-mana pakai kemeja/jas. Nah kalau musim panas dan tetap memakai kemeja/dasi/jas maka ruangan kantor perlu dalam keadaan dingin dong. Tapi untuk menghemat energi, semua kantor/ruangan terutama di kantor pemerintah dipatok temperaturnya 28 derajat! Bisa bayangkan? Sedangkan kantor-kantor di Jakarta saja hampir semuanya dipatok 22 derajat-an kan? (Menurutku ini terlalu dingin dan tidak baik untuk kesehatan)
Musim panas di Jepang memang menyiksa. Suhu maximum bisa mencapai 40 derajat, minimumnya? 35 derajat hehehe. Jadi setting 28 derajat memang sudah cukup supaya perbedaaan udara di luar ruangan dan dalam ruangan tidak terlalu besar. Tapi memang yang menjadi masalah adalah waktu suhu belum mencapai 35 derajat, apalagi jika di luar masih 25 derajat-an, berarti tidak perlu pakai AC kan?
Gaya Cool Biz ini pertama kali dipelopori jamannya Koizumi menjadi perdana menteri (tahun 2005). Menteri Lingkungan Hidup saat itu Yukari Koike disuruh PM untuk mencari catch phrase (kata-kata yang menarik) , dan akhirnya kata Cool Biz yang diajukan perusahaan pakaian dalam Gunze terpilih. Saat itu PM Koizumi sendiri mempopulerkan pemakaian baju-baju Cool Biz. Apa sih bedanya gaya Cool Biz ini?
Yang pasti : tidak memakai dasi dan Jas. Sedapat mungkin bahan yang tipis dan sejuk. Coba lihat saja gaya pria-pria dengan baju-baju dari Uniqlo, toko baju casual terkenal di Jepang seperti foto di atas.
Pejabat Indonesia memang mempunyai baju safari yang katanya bapak saya memang “sejuk”, tapi kesannya birokrasi banget yah 😀 Indonesia juga punya batik, yang memang sejuk (aslinya) sehingga cocok untuk Indonesia yang panas sepanjang tahun. Atau Hawaii mempunyai baju “sejuk” dengan corak tetumbuhan. Masalahnya, di Jepang sebetulnya ada JINBEI, yaitu kimono pendek khusus untuk musim panas, tapi dirasakan tidak cocok untuk dipakai waktu bekerja (bawaannya ngantuk terus kali yah hehehe) sehingga tidak dicanangkan sebagai Cool Biz.
Baju Jinbei, kimono pendek untuk musim panas. Memang sih tidak cocok untuk dipakai kerja kan? heheheApalagi sekarang Jepang sedang kekurangan energi listrik sehingga perlu sekali penghematan listrik dengan tidak memasang AC. Disarankan sedapat mungkin memakai kipas angin, atau kalau terpaksa memasang AC ya dengan setting suhu 28 derajat itu. Setiap rumah tangga diharapkan kerjasamanya, dan yang aku rasa menarik juga, beberapa pemerintah daerah menggalakkan Green Curtain 緑カーテン, Tirai Hijau. Yaitu menghalangi sinar matahari supaya tidak langsung masuk ke kamar dengan memanfaatkan tanaman. Pemda Nerima tempatku tinggal bahkan memberikan harga khusus bagi warga yang membeli tanaman untuk Tirai Hijau itu.
Tapi yang pasti tanggal 1 Juni ini meskipun sudah bisa memakai baju gaya Cool Biz, tidak ada satupun orang di Tokyo yang mau pakai. Karena hari ini suhu maksimumnya 13 derajat! Sejak Sabtu kemarin memang Tokyo aneh, mulai masuk musim hujan, tapi kemudian datang juga badai No 2 (yang terlalu cepat a.k.a salah musim) sehingga sepanjang hari Minggu hujan terus , dan Senin angin kencang terus bertiup sampai malam. Rasanya hari ini warga Tokyo malah mencari jaket yang sudah keburu disimpan karena dinginnya seperti awal bulan April. Suhu yang naik turun seperti inilah yang juga membuat Kai batuk dan demam terus menerus. Hari ini dia sudah ke TK (Senin dan Selasanya aku boloskan), dan semoga Kamis dan Jumat tetap sehat sehingga aku bisa bekerja dengan tenang.
Semua pasti mau menjadi nomor satu! Tapi apakah mau jadi nomor satu untuk sesuatu yang negatif? OK, aku sedang berusaha untuk menjalankan “Positive Thinking” seperti yang dituliskan oleh Mbak Monda di sini. Kadang aku mungkin tidak berkata “negatif” tapi lebih pada “apatis” (terutama menghadapi keadaan tanah air), dan kurasa “apatis” ini lebih gawat dari negatif…. tanpa harapan jeh.
Beberapa ntah minggu ntah hari, tapi sepertinya masih di bulan Mei, aku menonton sebuah acara televisi NHK malam hari bersama Gen dan anak-anak. Judul program acaranya adalah “Tecchan no Worst Dasshutsu Daisakusen” atau kalau diterjemahkan menjadi “Strategi Besar Tecchan untuk Keluar dari Predikat WORST (Terjelek)”, program TV reguler. Wah…
Jadi yang kutonton waktu itu mengenai sebuah sungai di Nara yang bernama Bodaigawa. Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, Sungai Bodaigawa adalah sungai terkotor di Jepang! Nah, jadilah sungai ini menjadi obyek proyek Tecchan ini, yaitu membantu mengeluarkan Sungai Bodaigawa dari predikat terburuk.
Dari penelitian diketahui bahwa pencemaran sungai terjadi karena sistem pembuangan yang tidak bagus, terutama sampah dapur. Rumah-rumah sepanjang sungai Bodaigawa membuang sampah dapurnya langsung ke sungai. Suatu “problem” yang sama dengan banyak (kalau tidak bisa dikatakan seluruh) sungai di Indonesia. Aku ingat kok Alamendah juga pernah mengatakan soal sampah rumah tangga di sungai Citarum pada posting “Citarum Menjadi Sungai Paling Tercemar di Dunia“.
Nah, untuk bisa membuat sungai Bodaigawa lepas dari predikat WORST ini, perlu tindakan langsung dari warga sekitar. Percuma hanya “minta perhatian” atau menghimbau saja. Perlu ada tindakan/aksi aktif dari warga sendiri. Tapi karena ini dijadikan proyek program televisi, sang seleb yang terpilih (maaf aku lupa namanya) mendatangi rumah-rumah sepanjang sungai. Meminta mereka “mengendalikan” sampah dapur, dan ikut dalam program membersihkan sungai.
Dalam acara itu kemudian diperlihatkan bagaimana ibu-ibu berusaha mengendalikan sampah yang terbuang langsung ke sungai itu. Antara lain dengan TIDAK MEMBUANG MINYAK BEKAS ke saluran air. Ada yang memakai kertas koran, ada yang memakai bubuk pembeku minyak goreng bekas seperti yang pernah kutulis di sini. Sampah sisa makanan dijadikan pupuk, juga tidak membuang air cucian beras ke saluran air, tapi dipakai menyiram tanaman dll. Belum lagi kegiatan memungut sampah di sekitar sungai yang diadakan oleh keluarga-keluarga di sepanjang sungai. Anak-anak pun tidak ketinggalan.
Hasilnya? Setelah beberapa bulan, bisa terlihat bahwa “transparansi” air sungai mengalami perubahan cukup besar. Yang tadinya batu-batu di sungai tidak bisa terlihat, setelah beberapa bulan bisa terlihat, meskipun belum bening. Dan setelah menunggu survey dari Kementrian Lingkungan Hidup, bisa diketahui bahwa Sungai Bodaigawa itu berhasil turun rangking menjadi nomor 5 an (dari nomor satu yang terkotor). Program “Keluar dari Predikat Buruk” ini berhasil. Dan tentu saja warga sekitar menjadi BANGGA dengan sungainya sendiri. Well, kalau bukan warga siapa lagi yang bangga? Tapi memang warga mengakui, si seleb itu yang men-trigger kegiatan warga. Warga memang tahu bahwa mereka sendiri yang harus berusaha, tapi perlu “orang yang mendorong”, dan kebetulan si seleb ini yang menjadi pemicunya.
Kurasa usaha-usaha “membersihkan diri” sudah banyak dijalankan di Indonesia. Kalau tidak, kan tidak ada hadiah Kalpataru (masih ada kan ya?) atau penghargaan-penghargaan lain. Tapi yang aku lihat dalam program di TV ini, usaha “keluar dari WORST” ini akan berhasil cepat bila SEMUA pihak bekerja sama, dengan sedikit sentuhan “sang seleb” dan PUBLIKASI televisi. Masuk TV loh! Coba ada TV Indonesia yang membuat program acara seperti ini satu saja deh, sebagai pengganti acara yang kurang bermanfaat. Dan ada seleb yang peduli juga. Jangan dong budget dijadikan alasan terus 😀
Yang menariknya dalam acara itu tentu bukan hanya masalah Sungai Bodaigawa saja, tapi setelah itu pun ada program keluar dari worst di bidang lalulintas dengan mengurangi korban jiwa akibat kecelakaan di suatu daerah (sepertinya Nagoya, aku lupa) yang paling tinggi se Jepang. Jadi memang dikumpulkan segala macam ranking bukan yang terbaik, tapi yang terburuk, dan bagaimana keluar dari predikat terburuk itu. PASTI BISA! dan sepertinya tidak perlu kan meminta para seleb Jepang untuk membantu warga Indonesia keluar dari keterpurukan negara Indonesia sendiri kan?
Sudah baca tulisanmas trainer tentang anaknya yang manggung? Di postingnya diceritakan bagaimana anaknya berjuang untuk terus manggung dan berhasil menyanyikan lagu “A Whole New World”.
Terus terang aku geram membaca tulisan itu, karena tingkah orangtua dan penonton yang menertawakan episode jatuhnya peserta yang masih anak-anak. Sebiadabnya acara televisi di Jepang (artis saling pukul kepala, menertawakan/ mengejek sesama artis) tidak pernah aku melihat kasus orang tua atau penonton menertawakan seorang anak yang “gagal”, malah biasanya diberi tepuk meriah untuk ketegarannya. Mereka bahkan berteriak, “Gambare!” … Hmmm penonton Jepang memang dewasa menurutku.
Lalu aku sempat mengenang acara anak-anak manggung di dalam/ luar sekolah. Dulu waktu aku SD, aku dan adik-adikku mengikuti exkul angklung. Dan satu kali kami pernah “manggung” di dekat sekolah kami, tepatnya di Aldiron Plaza (Blok M). Entah dalam acara apa, kami murid-murid, memakai seragam sekolah, berbaris dan sukseslah membawakan beberapa lagu dengan angklung di situ. Tapi ternyata di balik layar terjadi sesuatu yang menyebabkan bapakku marah.
Papa datang untuk menonton dan memberikan dukungan tentunya. Dan saat masuk ke departemen store (well untuk jamanku dulu Aldiron sudah cukup besar) dia sudah merasa tidak enak. Kok murid SD disuruh datang bermain di sini? Dan … saat itu papa melihat! Seorang pemuda meraba-raba p*nt*t pemudi, padahal si pemudi tidak suka. Papa tegur pemuda itu, dan untung pemuda itu tidak belagu, meskipun juga tidak meminta maaf. Untung pemuda itu tidak memukul papa, dan tidak menjadi keributan di sana. TAPI, papa langsung menceritakan hal itu kepada pimpinan kegiatan exkul sekolah. Tentu papa membayangkan kalau putrinya yang digituin (diraba-raba) dan tidak bisa melawan. Papa minta untuk memikirkan dua kali jika mau memenuhi undangan bermain di luar sekolah demi alasan keamanan. Dan jika tidak diperhatikan tentu saja papa tidak akan mengijinkan ketiga putrinya ikut dalam kegiatan musik itu. Setahuku, setelah itu kami juga jarang manggung (eh tapi adikku Tina pernah loh manggung main band di Ancol, Band Putri dan menang lagi …cihuuy… aku lupa apakah papa ikut pergi ke sana dan bagaimana soal ijinnya 😀 FYI, adikku Tina memang ikut bela diri Kempo dan waktu itu sepertinya sudah ban coklat)
Dalam posting mas trainer itu juga tertulis begini: Gunanya untuk memupuk rasa percaya diri anak-anak, memberikan kesempatan mereka untuk berani tampil menyanyi sendiri di panggung. Ditonton oleh para orang tua murid dan teman-temannya. Suatu tujuan yang bagus, dan aku juga tahu bahwa di Indonesia ada acara-acara sekolah seperti ini, tapi…. aku kok belum menemukannya di Jepang ya? Belum pernah aku lihat liputan seperti itu juga 🙂 (Kalau ada nanti aku pasti lapor deh)
Tapi…. jika manggung semuanya berkelompok. Coba baca tulisanku tentang pertandingan olahraga yang selalu diadakan setiap tahun di Jepang, semuanya tentang kerjasama per kelompok. Tidak ada pertandingan perorangan! Juga acara musik, acara kesenian. Semua ditampilkan BERSAMA, dengan tema KERJASAMA. Paling-paling hanya dibagi dua kelompok Merah dan Putih.
Well, aku memang tidak lupa isi kuliah di Sastra Jepang dulu (terima kasih bu Jenny Simulya, bu Siti Dahsiar, bu Ansar Anwar) bahwa masyarakat Jepang itu selalu bergerak dalam wakugumi (dalam kerangka), tidak ada pribadi yang medatsu (mencolok), semua seragam. Dan bahwa kesalahan sebuah kolompok adalah tanggung jawab dari si pemimpin, sehingga tidak jarang jika kelompok itu kalah, si pemimpin akan mundur atau dulu bahkan bunuh diri. Kelompok, kelompok dan kelompok. Kelompok nomor satu! Dan untuk bisa bergerak selaku kelompok, kerjasama amat sangat penting.
Memang aku juga pikir, kalau pribadi tidak mencolok, bagaimana persaingan bisa terjadi. Tapi dalam kehidupan bermasyarakat kerjasama memang mutlak juga kan? Dan kerjasama itulah yang ditanamkan sejak kecil. Kegiatan selalu dalam kelompok.
Ada satu acara TV yang pernah aku tonton dulu. Sudah lama ada pokok tulisan tentang ini dalam draft, tapi aku belum menemukan moment yang pas dan sreg untuk mempublishnya. Dan kurasa kali inilah saatnya.
Biasanya 30 orang itu berarti 60 kaki bukan? Tapi ini yang pakai hanya 31 kaki! Karena 29 kaki lainnya DIJADIKAN SATU! Prinsipnya seperti dua orang yang sebelah kakinya diikat dengan tali, dan mereka berdua harus berjalan/berlari mencapai gol dengan seirama, kalau bisa senafas! Dua orang 3 kaki saja sulit, apalagi kalau 30 orang 31 kaki! Imposible deh.
Acara ini mulai diadakan tahun 1996. Diadakan seleksi di antara SD yang mendaftar, siapa yang tercepat dan maju ke babak final, kejuaraan se Jepang. Berbulan sebelumnya di sekolah diadakan pemilihan 30 atlit. Biasanya yang larinya cepat, atau dipilih berdasarkan satu kelas. Mereka berlatih sesudah pulang sekolah, dibimbing oleh guru yang bertanggungjawab. Dalam acara itu pun ditampilkan bagaimana masing-masing sekolah berlatih, bagaimana beberapa orang menyerah di tengah jalan, bagaimana mereka kesakitan jika jatuh, bagaimana proses pemilihan ketua regu, dsb. Berat! berat sekali latihan mereka. Tak jarang aku juga ikut mengeluarkan airmata melihat anak-anak ini berusaha. Bagaimana mereka berusaha menyamakan ritme dengan lagu yang mereka pilih. Bagaimana mereka berusaha berlari bersama dengan SENYUM. Acara semacam ini seharusnya diperlihatkan di Indonesia! Modalnya hanya KAKI, TALI, SEMANGAT serta KERJA SAMA.
Sayangnya acara yang dilakukan setiap tahun sejak 1996 ini harus diakhiri tahun 2009 di kali yang ke 14 (dan aku bersyukur masih sempat menontonnya). Ada berbagai alasan yang dikemukakan sehubungan dengan selesainya acara ini, tapi yang terbesar adalah masalah budget serta semakin TIDAK ADANYA waktu luang untuk berlatih (menambah beban) karena mulai 2011 ada perubahan kurikulum, penambahan jam dan materi belajar. Sebelumnya (sebelum 2011) Jepang sempat melaksanakan Yutori Kyoiku (Pendidikan Santai) karena ada kritik beratnya pendidikan anak-anak yang menyebabkan banyak murid stress. Tapi waktu diadakan yutori kyouiku tentu saja hasil pendidikan menurun jika dibanding sebelumnya, sehingga dikembalikan lagi (menjadi berat lagi deh hehehe). Well, semuanya memang trial and error, sepanjang Garis Besar Pendidikannya tidak berubah, yah warga tinggal menjalani saja. Tidak bisa memenuhi permintaan dan keinginan semua orang kan? Dalam pelaksanaan kebijakan tentu ada yang setuju dan ada yang tidak setuju.
Memang urusan kerjasama Jepang nomor satu deh, meskipun mungkin masih kalah dengan Korea atau Korea Utara yang bergaya militer. Tapi aku rasa kerjasama ini penting untuk ditanamkan pada anak-anak Indonesia, ntah bagaimana caranya. Mengajarkan pada anak-anak kita bahwa perjuangan tidak mudah dan tak selamanya manis. Tapi bersatu membuat kita bisa mengembangkan diri sendiri dalam kebersamaan. Jangan hanya mau menang sendiri dan makan enak sendiri, egois, tanpa peduli temannya apalagi orang lain.
Tumben sekali hari ini pukul 7 malam, Gen sudah sampai di rumah. Tapi dia tidak langsung masuk apartemen kami, malah menunggu di depan pintu. Aku yang langsung ingat, segera mengambil garam dari dapur, dan menyuruh anak-anak jangan memegang papanya. Lalu aku taburi garam itu di pundaknya.
Gen malam ini baru pulang dari melayat. Dan merupakan kebiasaan di Jepang, setelah pulang melayat, meminta orang rumah untuk menaburkan garam ke pundaknya. Maksudnya supaya tidak membawa “kesialan” masuk ke dalam rumah. Garam berfungsi sebagai kiyome, membersihkan/ menyucikan. Aku sendiri lupa apakah di Indonesia memakai garam? Tapi yang aku ingat memang bapak-ibuku jika pulang dari melayat biasanya langsung mandi. Tentunya kebiasaan ini berlainan menurut daerahnya ya?
Garam memang tidak diragukan lagi fungsinya sebagai penyuci (membuat tempat atau sesuatu menjadi suci). Garam juga disebarkan di lapangan tempat pertandingan sumo dohyou 土俵 (lingkaran yang bertepi tali) dengan maksud menyucikan tempat yang akan dipakai bertanding. Dulu sumo merupakan salah satu upacara keagamaan, dan penting diketahui bahwa perempuan tidak boleh menginjak dohyou ini (dengan pemikiran bahwa akan mengotori tempat suci).
Garam juga dipakai sebagai pengusir bala/pengaruh buruk dalam rumah. Jika pernah masuk rumah orang Jepang, ada semacam piring dengan garam berbentuk segitiga/gunung yang diletakkan di pintu masuk atau dalam ruangan. “Piramid garam” ini bernama morijio 盛り塩, dan ada banyak “cetakan” yang dijual untuk membuat gunungan garam ini berbentuk bagus. Aku rasa fungsinya ya sama saja seperti sesajen yang ditaruh di rumah-rumah orang Bali. Atau seperti cermin yang dipasang di pintu orang China. Menolak bala, memperlancar keberuntungan. Dan jika ditelusuri kebiasaan menaruh morijio ini ternyata sudah ada sejak zaman Nara atau sekitar tahun 710.
Dalam hal-hal religius memang garam memegang peranan penting, tapi dalam kegiatan praktis pun garam amat penting. Aku ingat kebiasaan menabur garam disekeliling tenda perkemahan untuk mengusir binatang melata seperti ulat, cacing dan diharapkan tentunya ular meskipun konon ular tidak takut garam. Garam memang pengusir ampuh ya. Kira-kira apa lagi yang bisa diusir si garam ini? Mungkin teman-teman bisa menambahkannya.
Masih selalu terbayang di benakku, hari pertama Kai harus mengikuti kelas perpanjangan Usagi-gumi (kelas kelinci).
“Kai, mama hari ini kerja jadi kamu nanti ikut kelas Tulip (kelas regulernya sampai pukul 2) dan sesudah bel pulang, Sensei akan membawa kamu ke perpustakaan di lantai 2. Di situ ada kelas namanya Usagi-gumi (kelas perpanjangan dari pukul 2- sampai pukul 5) bersama Mika sensei. Nanti di situ kamu bisa main lego, membaca buku, dan ada makan sorenya. Nanti mama cepat-cepat pulang dari kerja, langsung jemput Kai di lantai dua ya.”
Dan hari itu dia dengan penuh “pengertian” masuk ke gerbang sekolah, ganti sepatu dengan sepatu dalam uwabaki, dan berjalan menuju ke kelasnya. TANPA MELIHAT PADAKU lagi, paling sedikit untuk melambai. Tapi aku melihat, dia seperti menyeka airmata kering 🙁 Justru tanpa raungan/tangisan seperti itu membuatku ngenes. Dan benar juga, menurut laporan Mika sensei, Kai tidak menangis di hari pertama itu, tapi suatu kali dia juga sempat melihat Kai “mojok” dan seperti mengusap air mata….duuuh… Dilema ibu yang bekerja.
Dan hari ini pun, meskipun dia baru kemarin masuk sekolah karena sakit berkepanjangan, tanpa protes dia mengikuti kelas Tulip dan Usagi (dan dia tahu bahwa akan sampai pukul 5 sore) . Untunglah hari ini aku tak melihat dia “mengusap” air mata lagi, sehingga aku bisa cepat-cepat naik sepeda ke stasiun yang lumayan jauh dari rumahku.
Biasanya aku taruh kembali sepedaku di rumah, dan naik bus ke stasiun itu. Tapi hari ini kupikir aku coba untuk langsung naik sepeda ke stasiun itu. Jalan ke stasiun itu memang terkenal dengan tanjakannya, tapi untunglah aku masih bisa menggenjot sepeda pagi tadi (mungkin karena masih segar ya 😀 ) . Setelah mencari tempat parkir sepeda, aku cepat-cepat berjalan ke stasiun dan bisa naik kereta pukul 9:09 pagi. Wah rekor nih, aku bisa sampai di stasiun Takadanobaba sebelum pukul 9:30. Naik bus + jalan dan sampai di ruang dosen sebelum pukul 10 pagi. Asyik deh bisa membuat fotokopi bahan mengajar cukup banyak hari ini.
Nah waktu istirahat makan siang, aku makan bento di kelas sambil membuka email di HPku. Mengintip komentar teman-teman di TE dan aku melihat si Penganyam Kata mengirimkan aku satu link. Langsung kucoba buka dan berhasil! (HP ku bukan smart phone atau IPhone soalnya). Mau tahu linknya apa?
Judulnya : Siswa Siswi Jepang Paling Sopan di Dunia. Haiyah….. Memangnya segitu sopan ya? Aku tak mengetahui standar apa yang dipakai oleh pelaksana survey OECD, atau bahkan mungkin aku harus merasa khawatir dengan tindakan siswa negara lain yang tidak sopan? Aku tak tahu. Dan aku tak mau menjadi komentator soal itu.
Tapi memang kalau ditanyakan soal “Apakah ada tawuran antar sekolah?” Jawabnya pasti BIG NO! Apakah siswa-siswi tidak saling berkelahi di dalam sekolah? Nah itu aku tidak bisa jawab. Mungkin bukan berkelahi secara pukul-pukulan, tapi “berperang batin”. Buktinya masih ada kok kasus bullying, ijime, yang menyebabkan beberapa murid yang menerima perlakuan tekanan dari teman-temannya itu sampai bunuh diri. Masih ada. Dan biasanya terkuak setelah terjadi kasus bunuh diri di kalangan SD dan SMP. (Aku belum pernah mendengar kasus bunuh diri di SMA, entah apakah itu tidak mencuat di permukaan atau ntah apakah siswa SMA lebih kuat terhadap tekanan dibandingkan siswa SD dan SMP.
Tapi waktu aku ceritakan pada Gen soal hasil survey “Eh masa siswa Jepang itu paling sopan sedunia loh!” Dia berkata, “Mungkin ya kalau dilihat dari keberhasilan mengadakan Ujian Masuk Universitas Serentak. Itu kan diikuti 500.000 calon mahasiswa setiap tahunnya. Meskipun ada kasus penangkapan “kecurangan” ujian, tapi jumlahnya kecil sekali kan? ”
Yang kujawab, mungkin siswa-siswi Jepang itu kurang “mahir” menyontek yah 😀 (dan dijawab Gen mungkin juga karena polisi Jepang sangat ketat hihihi)
OK, memang secara umum siswa-siswi Jepang sopan-sopan. Mereka bersusah payah mengikuti bimbingan belajar untuk mengikuti ujian masuk universitas. Tak jarang mereka harus menjadi rounin (status pengangguran) setahun dua tahun untuk bisa masuk ke universitas idaman. Jalan masuk ke universitas itu berat bung! Tapi begitu bisa masuk universitas, 4 tahun di dalamnya Anda bisa menikmati kehidupan mahasiswa yang meriah. Asal mengikuti kuliah dan mengumpulkan tugas, sks bisa didapat. Jarang ada dosen killer yang menjatuhkan mahasiswa dengan tidak memberikan sks, jika absensi penuh. Di beberapa universitas ada yang menerapkan nilai 50 masih lulus. Sehingga dosen yang mau menjatuhkan diharapkan memberi nilai 49! (Dan jarang ada dosen yang mau membuat perkara). Ada universitas yang memberikan nilai A+ bagi mahasiswa yang mendapatkan nilai di atas 90. Prinsipnya: Masuk universitas sulit, tapi keluar (lulus)nya mudah. Banyak fakultas juga yang tidak memberikan syarat skripsi sebagai tanda kelulusan, kecuali mau melanjutkan ke S2.
Dan yang pasti aku pernah menjadi mahasiswa di universitas Jepang, dan terpana karena mahasiswa bisa tidur di kelas, sambil ngorok lagi 😀 . Selain itu mahasiswa juga ribut mengobrol sendiri dalam kuliah. Di kelas bahasa Indonesiaku? Aku biasanya sengaja menunjuk mahasiswa yang ngantuk untuk menjawab pertanyaan. Meskipun tidak bisa dipungkiri, aku pernah membiarkan satu-dua mahasiswa mendengkur di kelas. Biasanya mahasiswa itu pengikut extra kurikuler olahraga tertentu yang menjadi wakil universitas untuk bertanding di luar. Jadi biasanya aku juga sudah waspada terhadap mahasiswa seperti itu, dan sudah pasti aku ancam mereka harus menyerahkan tugas jika mau mendapat nilai 50 😀 (buat mereka yang penting lulus).
Jadi begitulah ceritaku sehubungan dengan link yang diberikan Danny. Tapi yang pasti tadi di kelasku, aku agak kesal karena ada 2 pasang mahasiswa yang cekakak cekikik dalam pelajaran mungkin karena menemukan kata lucu. Well, menghandle kelas dengan 35 mahasiswa memang sulit.
Tapi kekesalanku hari ini terobati waktu aku menjemput Kai di kelas Usaginya, dan dia langsung berlari menghambur, memelukku dengan senyum. Dan waktu kutanya, “Kamu menangis? ”
“TIDAK” jawabnya. Dan ditambah, “Maaf ma, aku sisakan makanan di bentonya.”
“Kenapa?”
“Aku kan tidak suka telur (puyuh)”
“Oh … ya sudah nanti tidak usah bawa telur puyuh lagi ya. Biar kakak Riku makan, dia suka sekali”