Nyeni

19 Feb

Wah … sudah tanggal 18 Februari. Kalau melihat daftar posting aku terakhir tulisannya tanggal 12 Januari. Setelah itu sebetulnya mau menulis tentang ultahku, atau tentang perjalanan dengan bus ke daerah Kanzawa…. tapi ya begitu, ditunda-tunda terus sehingga akhirnya ceritanya “terasa” basi! Sedangkan untuk cerita yang melulu tentang anak-anak sekarang aku tulis di Rabbit’s Home sih. Sehingga bisa dikatakan TE ditelantarkan 😀

Tapi hari ini aku memaksakan diri menulis di sini. Karena aku mendapat ucapan selamat dari WP (wordpress) waktu aku membuka dashboardku ini. Katanya 8 tahun yang lalu aku join WordPress. Ya, memang 8 tahun lalu, sahabatku si Marten membuatkan blog dengan domain ini, mendaftarkan aku di wordpress, dan menjadikan wordpress sebagai platform blog Twilight Express. Meskipun sebetulnya aku sudah menulis blog di blogspot sejak 2005. Tapi karena perlu belajar pemakaian wordpress, memasang thema, menentukan mau menulis apa, tulisan pertama baru bisa tampil tanggal 2 Maret. Dan aku biasanya sih “merayakan” ultah TE di awal April.

OK, Hari ini aku mau menulis sedikit tentang seni dalam merintang waktu. Kalau dulu aku merintang waktu di taman, kemarin aku mempunyai waktu kosong 5 jam sebelum aku mengajar malam. Jadi aku merintang waktu di sebuah museum Art di Roppongi.

Biasanya aku memang ke rumah dulu untuk masak makan malam, baru keluar lagi untuk mengajar. Itu kalau aku tidak ada janji atau pekerjaan lain. Nah, kebetulan ada dua teman baru di sebuah grup di FB mengajak anggota grup untuk pergi melihat karya lukisan Murakami Takashi yang sedang mengadakan pameran di Roppongi. Murakami Takashi ini konon terkenal di seluruh dunia dengan karyanya yang kontemporer.

OK, aku ingin sekali bertemu ke dua teman baru itu. TAPI aku tidak suka lukisan kontemporer hehehe (dan aku terus terang), jadi aku bertanya apakah mereka mau bertemu ngopi setelah melihat pameran lukisan Murakami itu. Dan mereka meng-iya-kan. So, aku pikir aku akan mengerjakan sesuatu sambil menunggu mereka ke museum dan bergabung pada pukul 4:30 untuk minum kopi bersama.

Poster di museum Kiri: Murakami Takashi Kanan: Vermeer dan Rembrant kamu pilih mana? hehehe

Tapi waktu aku mencari transportasi tersingkat untuk bisa ke Roppongi dari Kanda (yang ternyata naik bus dari Shinbashi adalah solusi terbaik), aku menemukan bahwa di tempat yang sama, tapi ruangan yang lain, sedang berlangsung pameran lukisan dari Belanda, yaitu Vermeer dan Rembrant (dan pelukis lain tentunya). Pelukis-pelukis Belanda yang hidup dalam jaman keemasan di abad 17. Nah, kalau aliran ini aku suka. Klasik, impressionis, realisme. Apalagi lukisan Vermeer yang Gadis dengan Bejana itu merupakan lukisan terkenal. Aku lupa apakah aku sudah lihat lukisan aslinya atau belum. Kalau Rembrant aku sudah pernah lihat di Rijks Museum (dan benar-benar kagum dengan lukisannya yang besar-besar).

Jadilah aku pergi ke bagian museum yang lain untuk melihat lukisan-lukisan Belanda ini sendirian, sementara ke dua temanku pergi ke bagian lain. Memang orang Jepang suka pameran! Untuk membeli karcis saja harus antri 10 menit. Dan harga karcis tidak murah. 1600 yen untuk karcis hari itu, terasa cukup mahal. Tapi bagi orang Jepang, segitu sih cemen! murah!  hehehe. Dan aku pun berada di belakang sepasang suami istri yang memakai kimono menuju ke lantai 52 untuk melihat lukisan-lukisan orang Belanda.

Banyak sekali lukisan yang dipamerkan. Menurutku untuk jumlah sebanyak itu, wajar lah harga tiket semahal itu. Pihak museum menata lukisan dengan baik, sesuai dengan jamannya dan kategorinya. Ada kategori lukisan tidak bergerak, ada kategori lukisan potret, kategori laut, kategori pemandangan dll. Bak seorang yang “nyeni” aku melihat lukisan-lukisan itu satu persatu lamat-lamat sambil mengikuti arus pengunjung.

Aku tidak mengerti lukisan! Pertama kali melihat lukisan dengan “sadar” ya di Jepang. Awalnya tidak bisa menikmati, tapi lama kelamaan bisa menyukainya. Tapi memang secara keseluruhan lukisan Belanda ini menurutku ya memang bagus, memang real, tapi dominan berwarna coklat tanah (termasuk piguranya), dan sambil melihat lukisan-lukisan itu, aku membayangkan kedua temanku yang sedang melihat lukisan kontemporer itu. Ya, pasti menurut orang yang suka kontemporer, lukisan yang kulihat ini semesti membosankan. Semua hampir sama goresannya, warnanya terbatas, dan dan tidak dinamis. Membosankan deh. Tapi ya itulah seni, hanya bisa dinikmati oleh orang yang mengerti, dan kita tidak bisa memaksakan bahwa aliranku yang paling bagus.

Ada dua lukisan yang menarik menurutku, tentu saja selain yang populer, yaitu dua buah lukisan bundar dan kecil. Kok bisa dengan kanvas sekecil itu menggambarkan detil memakai cat minyak. Satu lagi adalah lukisan seorang wanita yang membawa lentera di jendela. Aku cukup kaget dengan ukuran lukisan-lukisan itu. Kusangka lukisannya berukuran besar, ternyata tidak.

Satu lagi yang selalu menjadi pertanyaannku adalah mengapa di pameran-pameran lukisan di Jepang tidak boleh memotret! memang itu tergantung perjanjian antar pihak museum dengan empunya lukisan. Dan…. karena itu orang Jepang suka membeli souvenir sebelum pulang. Karena itu aku juga biasanya membeli kartu pos dari lukisan-lukisan yang dipajang. Mungkinkah ketentuan tidak boleh memotret itu supaya jualannya laku? hehehe

Setelah menikmati lukisan-lukisan terkenal itu kamipun akhirnya bertemu dan  ngopi di dekat Roppongi Hills sampai waktuku mengajar.

Kurasa cara yang nyeni dan mendidik seperti itu merupakan salah satu cara jitu untuk merintang waktu. Don’t you think so? 😉