Harga Dewasa

22 Apr

Meskipun sebenarnya yang dianggap dewasa di Jepang adalah mereka yang sudah berusia 20 tahun, Riku sudah harus membayar “harga dewasa” otona no ryoukin 大人の料金 jika naik kendaraan umum di Jepang. Jadi yang biasanya membayar setengah harga yaitu 110 yen (kodomo ryoukin 子供料金) sekarang harus membayar penuh (dan setelah pajak naik aku masih belum hafal berapa harga naik bus karena selalu pakai prepaid card). Juga waktu menginap di hotel, seperti waktu kami pergi ke Kyoto, sudah harus dihitung sebagai orang dewasa. Memang sih tidak bakalan bisa tidur satu tempat tidur dengan dia lagi, wong badannya guede banget hehehe. Selain itu yang biasanya hanya membayar 75% untuk tiket pesawat sekarang sudah harus membayar penuh.

Mulai tanggal 1 April kemarin, dia memang sudah harus membayar “harga dewasa”, padahal baru tanggal 7 nya dia resmi menjadi murid SMP. Hmm murid SMP kok dewasa ya? hehehe. Tapi benar deh, aku sebagai orang tua murid SMP, ikut tegang dan khawatir dengan hari-harinya di SMP.

ruangan aula sebelum upacara mulai

Upacara masuk SMP juga lain rasanya dibanding waktu masuk SD. Aku perhatikan sekali, hall sudah siap sejak 15 menit sebelum acara dimulai pukul 10 pagi. Memang kami diminta untuk datang dan berada paling lambat 15 menit sebelumnya. Karena hari itu hujan, kami keluar lebih cepat lagi dan sudah sampai di aula sekolah pukul 9:30…. tapi aula sudah penuh!

Kebiasaan di Jepang, menuliskan susunan acara sehingga semua hadirin tahu urutannya dan tidak perlu penjelasan bertele-tele dari MC

Dan murid baru masuk ke dalam ruangan itu 5 menit sebelum pukul 10 sehingga pas pukul 10, langsung mendengarkan sambutan dari kepala sekolah. Wuiih atmosfir aulanya yang jauh lebih besar dari SD saja sudah berbeda. Murid baru angkatannya Riku sebanyak 249 orang, yang terbagi dalam 7 kelas ditambah 1 kelas untuk anak-anak terbelakang yang dinamakan I gumi (baca lafal bahasa Inggris “ai” gumi). Riku sendiri masuk ke kelas F. Aku sendiri selama bersekolah tidak pernah satu angkatan lebih dari 5 kelas di SMA (SMP hanya 3 kelas), jadi keder juga mendengar ada 7 kelas.

Riku dengan teman lelaki sekelasnya. Tingginya memang beda-beda, ada anak yang keciiil sekali, ada yang tinggiiii sekali

Upacaranya juga tidak bertele-tele meskipu cukup banyak sambutan. Sambutan dari kepala sekolah yang masih kuingat bahwa dia mengambil contoh dua penemu shinkansen (kereta super ekspress Jepang) . Kedua penemu ini awalnya ditertawakan, tapi tidak pernah putus asa terus meneliti, sehingga akhirnya kereta shinkansen yang menjadi kebanggan Jepang dapat tercipta. Jadi dia juga mengharapkan agar murid-muridnya tidak cepat putus asa, pasti ada jalan menuju sukses.

murid kelas 2-3 di bagian belakang, sedangkan murid baru duduk di bagian depan

Acara ditutup dengan tampilan paduan suara dari kakak kelas 2 dan 3 yang begitu “lain” warna suaranya daripada SD. Ya, suara lelaki menyanyikan part rendah, sementara yang perempuan menyanyikan part tinggi. Musiknya juga lebih berani dibandingkan waktu SD. Kelihatannya sekolah Jepang memang menekankan pelajaran musiknya dengan sungguh-sungguh.

Nah, sebelum acara pemotretan dengan orang tua dan murid per kelas, kami mempunyai waktu 20 menit untuk berkumpul per kelas dan menentukan wakil-wakil yang duduk dalam kepengurusan PTA (Parent Teacher Association). Ada 5 pos dengan tugas masing-masing yang perlu dipilih. Nah, di pertemuan ini memang berlainan dengan ibu-ibu waktu SD, tidak ada yang spontan langsung mengangkat tangan. Alasannya? Kebanyakan ibu-ibu dengan anak SMP biasanya bekerja, baik part time maupun full time. Semakin tinggi sekolah sang anak, semakin banyak pengeluaran sehingga sudah biasa di Jepang untuk ibu-ibu anak SMP untuk bekerja. Well, aku juga bekerja (dan cukup sibuk). Tapi aku merasa sebel melihat ibu-ibu ini tidak ada yang mengangkat tangan. Waktu “diam” menunggu seperti itulah yang paling kubenci. Jadi deh aku mengangkat tangan untuk mengisi pos bagian “promosi” yaitu bertugas membuat majalah sekolah. Untung suamiku selalu mendukung dan sambil tertawa membiarkan aku angkat tangan.  Ada contoh majalahnya sih, dan kulihat mereka ada dana khusus untuk percetakan. Jadi paling mengisi rubrik, editing dan foto-foto saja. Keciiiil (huh sapa bilang hahaha). Lagi pula kupikir ada 7 kelas, berarti sedikitnya ada 20-an orang dalam satu seksi sehingga pekerjaan (mestinya) tidak begitu sibuk. Waktu Riku kelas 1 SD, aku juga menjadi pengurus PTA dan banyak manfaatnya jika kita aktif di PTA. Aku jadi banyak teman dan tahu informasi dalam sekolah yang mungkin tidak diketahui ibu-ibu lain.

Berfoto di depan papan di gerbang sekolah. Riku udah manyun aja 😀

Setelah acara pemotretan selesai, kami bergegas pulang ke rumah karena opa (papaku) dari Jakarta sudah sampai di rumah. Ya, papa datang ke Jepang satu pesawat dengan my dimple sister Sanchan, dan Sanchan mengantar dari bandara Haneda sampai ke rumah sementara kami tidak ada di rumah dan sampai Sanchan pulang juga tidak bertemu (terima kasih banyak ya Sanchan). Di rumah hanya ada Kai yang memang aku boloskan karena dia batuk parah. Jadi Kai yang membukakan pintu rumah. Dari opa kami mendengar ceritanya bahwa opa mengajak Kai (dan Sanchan) makan pagi di restoran dekat rumah. Tapi opa lihat si Kai seperti bingung, dan bertanya ke Sanchan. Rupanya Kai khawatir apakah opa bawa uang Yen tidak….. Kalau tidak, dia mau bawa uangnya. hihihi Aku geli mendengar ceritanya, tapi kagum juga karena kok bisa Kai terpikir bahwa uang Indonesia dan Jepang itu lain. Nalarnya jalan.

berfoto bersama opa setelah selesai upacara penerimaan murid baru. Kasihan opa disambut udara dingin! (Yang semestinya sudah hangat)

Sejak tanggal 7 April itulah rumahku jadi tambah sibuk dan ramai karena Riku sudah memulai kehidupan baru sebagai anak SMP, DAN opa melewatkan liburan selama 13 hari di Tokyo.