HP untuk Anak-anak

27 Okt

Hari Kamis lalu, aku sempat berdiskusi dengan mahasiswaku di kelas menengah Universitas W mengenai sejak kapan mereka memakai HP. Tiga mahasiswa mengatakan bahwa mereka pertama kali memakai HP waktu SMP kelas 3/SMA kelas 1. Hanya satu yang mengatakan bahwa dia memakai HP sejak SD.

Seperti pernah kutulis, HP tidak diperbolehkan untuk anak SD. Tepatnya TIDAK BOLEH membawa HP ke sekolah. TAPI setelah pulang sekolah dan meletakkan ransel dan topi mereka, boleh saja! Karena sejak ransel dan topi copot, murid-murid ini bukan lagi 100% tanggung jawab sekolah. Dan seperti mahasiswaku yang memakai HP sejak SD, biasanya murid-murid SD ini adalah murid yang aktif yang harus mengikuti kelas-kelas kursus di luar rumah. Juku (bimbingan belajar), kelas renang, olahraga dan ketrampilan lain.

Waktu aku memikirkan kapan sebaiknya memberikan HP kepada Riku, aku menentukan “paling cepat SMP!”. Itu karena kegiatan Riku hanyalah pergi ke bimbel saja. TAPI waktu aku mendaftarkan Riku ke bimbel dekat rumah, aku cukup senang karena mereka ternyata memberikan pas masuk yang bisa mengirimkan berita ke emailku bahwa Riku masuk/keluar kelas. ITU CUKUP bagiku. Karena aku tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk pergi pulang dari tempat bimbel ke rumah. Dengan adanya kartu PIT ini aku, sebagai orang tua merasa aman.

Lalu ada temanku (orang Jepang) yang anaknya sudah SMP dan cukup sibuk dengan latihan basket ball di waktu-waktu luar sekolah, baik pagi maupun sore/malam hari. Nah Ken-kun ini tidak MAU mempunyai HP. Lucu juga alasannya, yaitu dia tidak mau terpaksa ikut grup-grup percakapan LINE di smartphone. Katanya: “merepotkan!”. Jadi kalaupun dia perlu menelepon ibunya, cukup menelepon dari telepon di sekolah yang disediakan untuk dipakai murid-murid untuk menghubungi rumah. Jadi? Aku inginnya menunda lagi memberikan HP ke Riku kalau SMA saja…. 😀

Tapi sebetulnya yang penting adalah bagaimana kita saling bisa berkomunikasi. Kalaupun tanpa HP pun bisa berkomunikasi, buat apa kita bayar langganan tiap bulan yang mubazir? Seperti telepon rumahku yang jarang sekali dipakai. Paling sebulan sekali! Dulu tetap mempertahankan telepon rumah karena perlu fax. Tapi sekarang sudah jarang sekali orang pakai fax! Dulu aku pikir harus tetap punya telepon rumah supaya bisa pakai telepon kalau terjadi gempa dsb. Tapi ternyata sama saja kalau gempa dan mati lampu, telepon tak bisa dipakai 😀

Baru sepuluh hari lalu aku mengajarkan pada Riku pemakaian inbox FB. Maksudnya supaya aku bisa menghubungi dia dari mana saja, as long as dia ada di rumah yang mempunyai koneksi wifi. Dengan FB messenger aku bisa menelepon dia, dan gratis. Awalnya aku hanya pakai untuk menelepon. Tapi akhirnya aku iseng mengirim ikon ikon lucu, dan namanya anak-anak itu lebih pintar dari orang tuanya, dia bisa menemukan cara untuk mengirim ikon-ikon juga. Saling berbalas 😀 Aku merasa geli… meskipun sebetulnya kami berada di ruangan yang sama. Karena gadget yang dia pakai belum mengunduh ikon-ikon banyak, jadi terbatas saja.

“percakapan”ku dengan anak sulungku

Yang paling menyenangkan adalah waktu aku masih berada di dalam kereta, sedangkan Riku ada janji ke dokter gigi jam 5 sore itu. Paginya, aku sudah menyiaipkan kartu berobat dan kartu asuransi, supaya dia bawa dan pergi sendiri. Memang ini pertama kalinya dia pergi berobat sendiri, dan kupikir sudah waktunya juga (dulu aku kelas 5 sudah ke RS sendiri hehehe). Kukirim ikon ke inbox, tapi ternyata tidak dijawab. Dia baru menjawab setelah pukul 5:10. LOH! kutanya:
“Sudah selesai?”
“Sudah”
“Kok cepat”
“Iya cepat sekali”
“Kamu bawa sikat gigi? Tidak lupa? (karena aku lupa menyediakan)”
“Bawa dong. Tidak lupa”
“Hebat!”
“Sekarang di mana?”
“Dalam bus. Sebentar lagi sampai. Mama beli sushi”
“Asyiiik…kami tunggu”

Horreeeeee…chat pertama dengan anakku! senang deh rasanya. Aku mau simpan sebagai kenangan di masa tua nanti (lebay yah ehhehe).

Sebetulnya ada lagi yang aku simpan dalam bentuk rekaman, yaitu rekaman answering machine nya Kai yang menelepon ke HP ku waktu aku sedang bekerja. Lucuuuu sekali suaranya dan bahasanya. Gemes! Pertama kali dia meninggalkan pesan itu waktu dia baru masuk kelas 1 SD sedangkan aku bekerja jauh sekali. Ada rekaman waktu dia tanya apa boleh makan es krim yang di lemari es. Atau laporan dia sudah membuat PR, bahkan waktu dia takut sendirian di rumah (yang akhirnya aku telepon dan ajak bicara sambil aku jalan ke stasiun).

Kenangan chatting, kenangan answering machine. Kenangan memakai gadget untuk komunikasi pertama kali yang mengubah cara berkomunikasi karena memang sudah waktunya untuk berubah. Anak-anak semakin besar, semua semakin sibuk dengan kegiatan masing-masing yang tidak bisa dihindari lagi seiring dengan pertambahan umur. Selalu menjadi kenangan untukku.

Termasuk menjadi seorang blogger, aku banyak membaca tulisan-tulisanku yang dulu-dulu dan tersenyum membacanya. Kadang kupikir: “Wah hebat juga dulu aku bisa menulis seperti ini.” Atau “Aduuuh kek ginian kok ditulis”….tapi semuanya menjadi kenangan. Menjadi sejarah hidupku. Ngeblog buatku = mencatat sejarahku.

Dan aku senang sekali waktu beberapa saat lalu, ada seorang kawan lama waktu masuk UI menyapaku lewat BBM:
Dia: Mel… ini D*** gue dapet PIN elu dari mantan elu
Aku: Hahaha.. yang mana? mantan gue kan banyak 😛
Dia: Yang itu si ****, dia masih ngefans tuh sama kamu
Aku: Hahaha ya bagus lah. Lah Kamu masih ngefans ngga sama gue?
Dia: Masih lah… kan gue baca terus tuh blog kamu.
Aku: Wow thank you!

Nah, ternyata masih ada yang (mau) baca blogku ini! Horreeeee 😀 😀 😀
So, selamat Hari Blogger Nasional hari ini tgl 27 Oktober untuk teman-teman blogger ya.
Keep blogging, keep writing!

Shiori

23 Okt

Kalau mencari di kamus kata shiori, akan keluar arti bookmark. Penanda buku, atau seperti yang pernah kutulis di sini, memang shiori adalah pembatas buku. Aku tahunya seperti itu, sampai pada saat aku menyekolahkan anakku. Mereka akan mendapat SHIORI jika akan mengadakan acara keluar sekolah, semacam kertas berisi daftar apa saja yang harus dibawa.

Kai sekarang kelas satu SD, dan setiap tingkatan kelas dalam kurikulumnya SD di Jepang mempunyai acara keluar sekolah. Karya wisata yang disesuaikan dengan tingkatan kelasnya. Untuk Kai, besok dia akan pergi ke taman besar yang letaknya lumayan dekat rumah kami. Aku katakan lumayan, karena sebetulnya perlu waktu jalan kaki 20 menit dengan kaki orang dewasa, dan mungkin 30 menit bagi anak-anak. Taman yang besar dengan danau dan treking untuk jalan-jalan. Di sana mereka akan mengadakan penelitian tentang tumbuhan dan hewan pada musim gugur. Memunguti daun-daun (dan mungkin akan dibuat kompos di sekolah) dan biji-bijian seperti donguri (semacam mlinjo). Mereka harus menggambar apa yang mereka temukan dan menulis laporan tentang itu. Tentu saja yang setaraf dengan kemampuan seorang anak SD (mereka baru selesai belajar huruf hiraga).

Dalam shiori untuk acara “Kunjungan sosial Kelas 1” ini tertuliskan :
bekal makanan obento, tempat minum suito berisi teh atau air (tidak boleh manis), alas duduk (shikimono biasanya berukuran satu orang terbuat dari plastik), jas hujan kappa atau payung lipat jika hujan, 1 kantong plastik binil bukuro untuk sampah dan 1 kantong plastik untuk daun/biji yang dibawa pulang, tissue basah oshibori, saputangan hankachi,  tissue chirigami, clip board untuk menulis dan kotak pensil fudebako, serta oshiori itu sendiri.  Setiap barang diberi kotak untuk mengecek apakah sudah lengkap atau belum.

Waktu Riku kelas satu SD, (bahkan sampai kelas 5) aku yang menyiapkan barang-barang yang harus dia bawa. Tapi tadi waktu aku pulang kerja, aku melihat Kai sudah menyiapkan sendiri bawaannya dalam ranselnya. “Aku sudah siapkan yang aku tahu ma, tapi chirigami itu apa? Oshibori itu apa? shikimono itu apa?” Ya, dia tidak tahu kata-kata itu! Dia tahunya tissue, wet tissue atau sheet saja. Memang sehari-harinya orang Jepang memakai kata-kata dari bahasa Inggris yang sudah dijepangkan :D. Tapi dalam situasi resmi, tentu memakai bahasa Jepang yang baku hehehe. jadinya aku menjelaskan pada Kai tentang kata-kata itu. Untung aku bisa bahasa Jepang hehehe.

Dan ada satu hal yang baru kuketahui dari Kai. Yaitu waktu aku menyiapkan wet tissue yang bekas kakaknya. Jadi sudah ada nama kakaknya. Aku bilang padanya, tidak apa ya pakai nama kakak? Atau mama potong nama riku, jadi miyashita saja ya?
Lalu Kai jawab, “Miyashita saja juga tidak apa-apa kok ma. Di SD ku kan yang namanya miyashita cuma aku dan Riku” Wah… untunglah punya nama keluarga yang tidak pasaran 😀

Jadi SHIORI itu artinya bookmark, pembatas buku dan DAFTAR  acara (dalam pertunjukan sekolah) /keperluan (dalam acara keluar sekolah) yang berupa leaflet. Yang pasti aku tidak pernah melihat guru-guruku dulu di sekolah di Indonesia menyediakan shiori jika ada acara. Ada?

shiori

Torei

15 Okt

Duh, rasanya aku sudah lama sekali tidak menulis di blog ini. Maklum sedang banyak shimekiri 締切, deadline sehingga aku tidak bisa menulis. Alasan lain sempat sakit kepala hebat dan batuk-batuk, dua kali mengalami taifun di Tokyo.

Hari ini aku ada pertemuan orang tua dan guru untuk kelasnya Kai, lalu aku harus mengajar malam. Tapi sebelum pergi rasanya aku harus menulis sedikit, untuk mencaharkan sembelitku ini 😀

Judulnya TOREI, pelafalan dari katakana トレイ (bukan toire loh). Karena katakana kita harus curiga bahwa kata ini berasal dari bahasa lain, bahasa asing gairaigo 外来語. Dan memang ini berasal dari bahasa Inggris : TRAY.

tray dengan gambar daun Haran

Kemarin dulu aku berbelanja di supermarket yang lain dari biasanya. Karena kebetulan lewat naik mobil, sekalian mampir untuk mempersiapkan kedatangan taifun. Harus isi kulkas dengan makanan. Nah, kemarin aku masak daging yang ditempatkan pada tray plastik berwarna kuning muda. Tapi aku merasa aneh kok daun yang ada di tray itu tidak tercuci (kami selalu cuci dulu sebelum dibuang/dikumpulkan). Rupanya itu gambar daun yang tercetak pada tray nya, sehingga tidak bisa lepas.

Kalau kita berbelanja daging/ikan mentah di supermarket memang biasanya kita menemukan daun plastik di dalamnya. Aku dulu sering heran. Kenapa sih susah-susah masukkan daun plastik ke dalamnya. Dasar orang Jepang suka “kecantikan”, sampai daging saja di hias. Memang ada benarnya, untuk kecantikan tapi ini sebetulnya pengganti kebiasaan menaruh daun sungguhan di dalam tray daging/ikan.

Biasanya kalau membeli daging yang khusus untuk curry akan diberikan daun laurier (semacam daun salam), untuk dimasak bersama-sama daging, sebagai bumbu tambahan. Atau kalau daging yang mahal biasanya diberi daun hiba (bentuknya seperti daun cemara) yang katanya mempunyai khasiat mencegah pembusukan. Sedangkan  gambar daun yang di tray kubeli kemarin itu ternyata daun Haran, yang hanya dipakai sebagai hiasan saja. Mungkin karena susah atau mahal, atau merepotkan, supermarket itu lebih baik memakai tray yang sudah ada gambar daunnya 😀

Apapun alasannya, aku tetap merasa bahwa orang Jepang memang masih memegang kebiasaan lama, meskipun lama-kelamaan diganti dengan imitasinya. Demi kebudayaan dan estetikanya.

Kalau di Indonesia, apakah ada yang memasukkan daun pepaya ke dalam bungkusan daging ya? hehehe

SBY after 30+ years

2 Okt

Perjalananan Daeng Senga Ke Jawa dimulai dari SBY, Surabaya. Karena perjalanan kami kali ini juga memakai kereta, aku sudah mewanti-wanti Riku dan Kai agar travel light. Masing-masing membawa satu tas geret yang tidak perlu dicek-in di pesawat. Dengan pertimbangan tas yang sama akan kami bawa naik kereta. Yang pasti baju atas (+baju dalam) 5 buah dan celana panjang 3 biji. (Padahal dalam tasku sebetulnya ada baju + jaket tipis Riku dan Kai sebagai cadangan sih) Tapi tas Riku berat karena dia membawa buku juga!!! Duh anak itu tidak bisa lepas dari buku-bukunya. Dan tentu aku bilang boleh bawa, asal bawa sendiri, mama tidak mau bantu bawakan! Aku sendiri membawa tambahan satu tas berisi oleh-oleh.

Kami sampai di Bandara Juanda pukul 9:25 pagi. Langsung kutelepon Kang Yayat, yang ternyata menjemput kami dengan mobil kerennya. Lucunya meskipun aku baru pertama kali bertemu Kang Yayat, rasanya sudah akrab saja. Mungkin itu merupakan privilege blogger ya? Langsung merasa akrab dengan sesama blogger karena sering membaca blog atau status di FB, sehingga rasanya sudah kenal lama.

dijemput Kang Yayat di bandara Juanda Surabaya dan langsung ke Malang

Kami langsung menuju MALANG! Padahal tadinya rencana kami lain, yaitu jalan-jalan di Surabaya dulu, baru ke Malang keesokan harinya. Tapi karena sebelum berangkat aku sempat chating dengan Mak Dea yang tinggal di Malang, aku ingin sekali bertemu dengannya! Bayangkan Mak Dea aku kenal di FB karena merupakan teman Pakde Dekry dan Mas Nugroho, tapi dia sudah kirim kopi Jambi dan oleh-oleh jauuuh sebelum aku sampai di Jakarta! Dan jadwal Mak Dea hanya kosong tanggal 11 Agustus itu saja. Tentu dong aku ubah rencanaku, sehingga aku langsung ke Malang begitu mendarat. Tujuan pertama : makan siang di Restoran Hotel Tugu Malang.

Namun di tengah jalan ada dua kejadian yang membuat kami harus stop. Pertama Kai muntah di mobil. Mungkin masuk angin. Terpaksa kami harus menepi dan membersihkan Kai. Kasihan mobilnya Kang Yayat jadi bau deh.

Kedua kami berhenti di pinggir jalan Porong. Ya, aku sempatkan melihat Lumpur Lapindo. Miris deh rasanya kalau membaca: Wisata Lumpur. Lah kejadian yang menyedihkan kok menjadi tempat wisata? Kami (anak-anak tetap di mobil) memang ditarik “uang wisata” di pintu masuk (ngga tahu deh Kang Yayat bayar berapa). Tapi setelah aku naik tangga dan melihat “lautan lumpur” aku ditawari DVD oleh seorang bapak di sana. Kupikir, siapa yang mau lihat? Aku paling tidak suka melihat tayangan sebuah bencana, apalagi kalau itu dimaksudkan untuk mendapatkan uang. Akhirnya aku katakan pada bapak itu, “Gini pak, saya tidak beli, tapi ini seharga DVD bagi-bagi saja”. Dan kami meninggalkan tempat itu dalam sunyi. Ah, bendera merah-putih juga berkibar di pinggiran tanggul. Tapi rasanya bendera itu membawa perasaan yang lain, apalagi kalau dia mewakili masyarakat sekitar yang menjadi korban.

wisata lumpur lapindo? Ngenes ya 🙁 🙁 🙁

Mendekati Malang, kami bingung melihat banyak rombongan sepeda motor membawa bendera Arema. Waduh rupanya ada ulang tahun grup sepak bola Malang 🙁 Dan mobil Kang Yayat memakai plat nomor Surabaya. Ngeri juga jika mobil dipukuli oleh fans Arema. Sesampai di hotel Tugu, Kang Yayat membeli handuk Arema untuk dipasang di dashboard, paling tidak menunjukkan bahwa kami mendukung Arema.

rombongan sepeda motor fans Arema yang menguasai jalanan. Cukup membuat deg-degan

Hotel Tugu Malang merupakan hotel tua, dan menyuguhkan interior kuno ala candi-candi yang misterius. Kami memang tidak melihat interior kamarnya, tapi aku tidak mempunyai keinginan untuk menginap di hotel semacam itu. Bukan karena aku takut, tapi lebih karena aku tidak suka kesan hotel (rumah) yang gelap dan dingin. Not my type, aku lebih suka bernuansa putih dan terang…. ya seperti hotel Majapahit itu 😀

Sambil menunggu Mak Dea, kami makan siang di Cafe Melati Hotel Tugu. Katanya makanannya enak di sini, dan aku memesan Rijstafel, gado-gado dan soto ayam. Rupanya makanan di sini disajikan di piring besar beralaskan daun pisang dan rempeyeknya itu loh yang besar sekali 😀

semuanya pakai rempeyek raksasa 😀

Akhirnya yang ditunggu, Mak Dea datang bersama suaminya. Tentu langsung berfoto bersama, juga berkeliling lobby hotel untuk berfoto. Kami akhirnya menentukan bahwa kami akan pergi ke Musium Angkut Batu……

berfoto bersama Mak Dea di Cafe Melati Hotel Tugu

Jika aku pulang kampung

1 Okt

Waktu alm mama masih hidup, aku jarang menggunakan waktu mudikku di Jakarta untuk pergi-pergi ke luar kota. Paling jauh Bandung dengan maksimum 1 malam menginap. Karena aku merasa waktu mudik = bercengkerama dengan mama. Meskipun akhirnya di Jakarta pun aku “sibuk” ketemu teman-teman sana sini, kopdar sana sini. Kalau aku sudah sibuk begitu, biasanya aku mengajak mama juga untuk jalan-jalan. Tapi karena mama kakinya sudah tidak bisa berjalan jauh, dia suka malas bepergian. Paling-paling jalan ke Sency untuk makan sushi.

Karena menurutku mudik = bertemu teman atau saudara. Ada beberapa judul di dalam blog ini yang menamakan mudikku sebagai perjalanan hati. Well menurutku hampir semua perjalananku adalah perjalanan hati, untuk silaturahmi. Wisata adalah nomor dua bagiku.

Mudikku yang terakhir summer kemarin, kuberi nama dengan Daeng Senga Pulang Kampung, karena memang aku mengunjungi daerah asalku: Makassar. Tapi selain Makassar, kemarin itu Daeng Senga juga berlibur ke Surabaya dan Yogyakarta. Kenapa? Karena papa yang menjadi tujuan utamaku jika mudik, tidak berada di Jakarta. Dia ingin mencoba jantungnya, apakah kuat bepergian jauh sampai London. Jadi, selama papa pergi ke London, buat apa aku di Jakarta? hehehe

Banyak sebetulnya tempat yang ingin kukunjungi, tapi karena waktuku hanya 5 hari, aku perlu memikirkan perjalanan yang efisien. Surabaya kupilih karena aku sudah 30 tahun lebih tidak ke sana. Aku terakhir pergi ke sana waktu SMP, sekeluarga. Perjalanan wisata keluarga yang kuingat sekali. Sayang waktu itu belum ada digital camera sehingga sisa foto-foto kami sangat terbatas.

 

entah di Tretes atau Selekta 🙂 Papa yang potret sehingga tidak ada dalam foto

Tapi aku juga ingin pergi ke Yogyakarta. Kami sebetulnya pernah merencanakan pergi ke Yogya pada summer tahun 2012, namun kami batalkan, karena mama meninggal. Rasanya belum siap untuk jalan-jalan ke luar daerah saat itu.

aku dan alm. mama

Nah yang menjadi masalah, bagaimana mengatur perjalanan dari Jakarta ke Surabaya dan Yogya semaksimal mungkin. Dari jauh hari aku sudah meminta papa untuk membelikan tiket pesawat ke Surabaya dan Yogyakarta. Karena tidak ada pesawat dari Surabaya ke Yogya, terpaksa papa membelikan tiket Jkt-Sby dan Yogya – Jkt. Aku berarti harus naik kereta dari surabya ke Yogya. Yang penting tiket pergi dan pulang sudah ada deh, karena waktu itu 2 minggu setelah lebaran sehingga aku takut sulit tiket karena arus balik.

Aku langsung menghubungi Kang Yayat bertanya-tanya tentang surabaya, terutama transportasi selama di sana dan kereta dari Surabaya ke Yogya. Berbekal jadwal kereta dari surabaya jogja itu, aku menentukan bahwa aku akan menginap 2 malam di Surabaya dan 2 malam di Yogya. Untuk mengatur rencana di Yogya aku menghubungi Ata chan. Senang sekali aku mempunyai teman blogger di dua kota itu, yang sangat membantuku merencanakan perjalanan Daeng Senga ke Jawa 😀 Kang Yayat, dan Ata-chan, terima kasih banyak atas bantuannya

Karena tempat tinggal di Yogya sudah fix, aku tinggal mencari hotel di Surabaya. Ada 3 hotel yang kupakai selama summer kemarin, yaitu hotel Celebes di Makassar, Hotel Mid Town dan hotel Majapahit di Surabaya. Ketiganya kupesan melalui agoda.com. Hotel Celebes, karena papa mau di situ. Hotel Mid Town karena aku pesan dua kamar yang tadinya kuperuntukkan untuk pasangan Hana dan Masbro yang rencananya akan bertemu di Surabaya, tapi batal karena kesehatan Hana yang tidak memungkinkan mengadakan perjalanan jauh. Hotel Majapahit kupilih karena…. aku ingin menginap di situ 😀 Bangunan tua yang mengingatkanku pada Raffles Hotel di Singapore, yang pernah kuinapi tahun 2002. Untuk mengajak anak-anak menginap di Raffles Hotel aku tak mampu karena mahal sekali. Raffles Hotel mah untuk penganti baru aja 😀 Sedangkan Hotel Majapahit ini masih terjangkaulah untukku, sekaligus ingin memberikan pengalaman pada anak-anak. Meskipun….. ada banyak orang menanyakan apakah aku berani menginap di situ 😀

Dengan berbekal jadwal kasar, aku, Riku dan Kai siap untuk berwisata ke Jawa (Timur dan Tengah)……

Hari Penerjemah Internasional

1 Okt

Aku baru tahu ada hari penerjemah Internasional ketika membaca status temanku, Charity. Sasuga penerjemah tersumpah Bahasa Jepang- Indonesia! Tapi Imelda tidak bisa berhenti sampai di: “Oooo ada toh hari penerjemah? ” Tentu aku jadi ingin tahu kenapa tanggal 30 September ditetapkan sebagai hari penerjemah internasional.

Berkat googling kudapati bahwa : International Translation Day is celebrated every year on 30 September on the feast of St. Jerome, the Bible translator who is considered the patron saint of translators. The celebrations have been promoted by FIT (the International Federation of Translators) ever since it was set up in 1953. (wikipedia)

Lalu kucari dalam bahasa Jepang, apakah penerjemah Jepang ikut merayakan hari peringatan penerjemah internasional itu, dan ternyata tidak! Memang sepertinya gaungnya lebih pada penerjemahan dari dan ke bahasa Inggris.

Tapi yang pasti dari yang pernah kudapat selama kuliah dan hidup di Jepang selama 22 tahun ini, Jepang bisa maju juga karena peran penerjemah! Meiji awal banyak diterbitkan buku terjemahan dan bisa disebutkan Futabatei Shimei sebagai pelopornya. Dia menerjemahkan buku “Aibiki” dari bahasa Rusia karangan Ivan Turgenev Ивáн Серге́евич Турге́нев、ke dalam bahasa Jepang. Selain itu ada nama Mori Oogai yang seorang dokter yang banyak menerjemahkan buku-buku bahasa Jerman. Sampai-sampai disebutkan bahwa kesustraan jaman Meiji merupakan kesusastraan terjemahan!

Dari sebuah sumber diketahui bahwa sampai dengan tahun ke 15 Meiji (1882), ada 1500 buku terjemahan hampir 15% dari buku yang diterbitkan di Jepang. Sebuah jumlah yang menurutku cukup besar untuk kondisi pada jaman itu. Dan buku-buku terjemahan itu sedikit banyak membantu modernisasi Jepang.

Sekarang memang kemampuan bahasa Inggris sudah menjadi syarat untuk setiap orang di dunia. Untuk mengglobal katanya. Tapi masih ada bidang-bidang yang masih sulit dimengerti masyarakat awam sehingga peran penerjemah masih (sangat) dibutuhkan. Itu untuk bahasa Inggris, padahal dunia itu luas. Untuk mengetahui kebudayaan dan kemajuan negara-negara lain, tentu masih diperlukan orang-orang yang menguasai bahasa negara-negara tersebut.

Salah satu profesiku memang penerjemah, tapi itu kalau ada permintaan dalam bentuk pekerjaan. Di luar pekerjaan, sering aku menemukan artikel atau tulisan yang bagus, yang ingin sekali kuterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tapi sering kali  tidak ada waktu untuk mengerjakannya, atau tidak ada kata-katanya yang tepat untuk menggambarkan maksud tulisan aslinya. Di blog ini, ada beberapa terjemahan picture book, cerita anak, syair lagu dan puisi. Akhir-akhir ini aku juga menulis sedikit pemikiran tentang Jepang berdasarkan artikel bahasa Jepang yang tidak bisa aku terjemahkan semua (karena kurang waktu) di sini. Semoga ke depannya aku masih ada waktu untuk menerjemahkan tulisan-tulisan menarik lagi di sini ya.

Sebagai penutup aku ingin mengucapkan selamat bekerja untuk teman-teman penerjemah, termasuk sempai Charity, my dimple sister Sanchan, dan narablog Krismariana.