Tidak biasanya aku ingin bergossip di sini. Tentang tetangga sih, terutama yang muncul dalam berita seminggu ini di Jepang.
Mengenai tetanggaku sendiri? Aku cuma kenal tetangga sebelah kiriku, sebuah keluarga dengan anggota 5 orang, bapak-ibu dan anak kembar dua, serta neneknya. Karena ada neneknya, kami cukup akrab sampai saling memberikan oleh-oleh berupa makanan atau sayur/buah kiriman. Osusowake お裾分けnamanya dalam bahasa Jepang, artinya membagi sedikit. Sayangnya keluarga ini anggota sebuah partai politik, sehingga agak mengganggu jika dia membawa misi partainya. Dan untungnya aku tidak punya hak pilih di Tokyo jadi aku cuma jawab, “OK saya sampaikan suami saya” hihihi.
Tetangga sebelah kanan? Aku tidak kenal, tapi yang aku tahu dia punya anak perempuan yang masih di TK, karena kadang bertemu di parkir sepeda, atau waktu mau naik lift. Well, kami memang sudah tinggal di apartemen yang sama selama 13 tahun, jadi banyak penghuni yang sudah berganti, kecuali penghuni kamar yang tinggal di bawah kami, yang pernah jadi korban banjir, seperti kutulis di sini.
Tuntutan kehidupan di Tokyo memang membuat tetangga tidak saling mengenal. Untuk yang punya rumah (bukan apartemen) mau tidak mau harus mengenal tetangga, karena mereka harus mengerjakan tugas se-rt (chonaikai) termasuk mengedarkan pengumuman dari kelurahan, dan utamanya penanganan sampah. Biasanya (menurut yang aku dengar dari ibu mertua) mereka mempunya grup yang wajib membersikan tempat (titik) pengumpulan sampah yang sudah ditentukan. Petugas sampah tinggal mengambil saja, jadi mereka yang membereskan jaring net penghalau burung gagak atau jika ada sampah yang tidak terangkut karena salah hari (Di sini sampah diangkut berdasarkan hari pengambilan, misalnya hari senin pengambilan kertas bekas, selasa sampah dapur dsb). Belum lagi setiap rumah, harus menyapu dan membersihkan jalanan di depan rumahnya, tentu setiap hari. Jadi kalau ada jalan yang kotor itu merupakan tanggung jawab rumah yang ada di dekatnya. Keruwetan ini pun yang membuat aku agak malas pindah (sewa atau beli) rumah, karena apartemen punya tempat pengumpulan sampah sendiri, dan kami sudah bayar orang yang memelihara kebersihan sekitar apartemen kami.
Nah, di perumahan seperti beginilah biasanya terjadi masalah antar tetangga. Dua hari yang lalu kami dikagetkan dengan berita bahwa seorang ibu berusia 60-an mati ditusuk seorang kakek tetangga depan rumahnya yang berusia 80 tahun, Berita ini menjadi besar, karena si kakek adalah mantan polisi ranking tinggi. Dan si kakek akhirnya bunuh diri dengan pedang (samurai) miliknya, dengan menebas lehernya sendiri. Masalahnya apa? Kalau aku dengar dari beritanya, sebetulnya masalahnya hanya dari kesukaan si nenek untuk merawat kebun, dan dia meletakkan tanamannya sampai di depan rumah, sehingga agak mengganggu jalanan. Ya memang, orang seperti itu ada! Menimbun rumahnya dengan tanaman sampai meluap ke jalan. Tapi sebetulnya kalau tanaman masih mending! Ada yang menimbun sampah! duh… Dan sepertinya si kakek sering memperingatkan dia tapi dicuekin.
Aku setiap mengajar hari kamis pasti naik sepeda ke stasiun terdekat, dan di salah satu pojok ada sebuah rumah berlantai 3 yang sekilas seperti rumah kosong, tapi BAUUUU sekali. Bau kucing! Sepertinya pemilik rumah seorang nenek yang suka kucing, dan mungkin karena sedih kucingnya hilang, dia menyimpan semua barang-barang milik kucingnya begitu saja, dan dia sendiri tinggal di luar rumah 🙁 Aku benar-benar kasihan pada tetangganya, karena bau pesing itu bisa tercium sampai jarak 100 meter loh. Aku belum sempat tanya gossip mengenai rumah itu sih, tapi sepertinya pihak kelurahan harus turun tangan menyelesaikan masalah itu. Nah, kan… takut kan kalau pindah rumah lalu dapat tetangga yang aneh begitu 😀
Selain masalah tetangga yang berkelahi sampai menyebabkan kematian, akhir-akhir ini juga timbul kejahatan pada mereka yang tinggal sendirian di mansion/apartemen. Secanggih-canggihnya keamanan apartemen yang memakai pintu lock otomatispun jika memang ada yang “gila” ya kejahatan bisa saja terjadi. Karena itu biasanya aku (dan aku ajarkan kepada Riku juga) untuk tidak naik lift hanya berduaan dengan orang yang tidak dikenal. Lebih baik pura-pura lupa sesuatu di sepeda, atau pura-pura pergi beli minuman di toko tetangga, aau kalau perlu ke koban/pos polisi dan bilang takut, pasti akan ditemani pulang. Untung saja rumahku dekat sekali dengan pos polisi, tidak sampai 200 meter.
Tapi tetangga itu memang dibutuhkan jika terjadi apa-apa juga. Tetangga juga bisa meredam jika ada pertengkaran dalam keluarga. Aku ingat beberapa tahun yang lalu, di apartemen seberang kami, terdengar teriakan-teriakan. Anak remaja berteriak minta tolong, dan ntah siapa menelepon polisi, sehingga polisi cepat datang. Aku dan beberapa tetangga keluar di teras rumah dan melihat ke arah apartemen itu. Rupanya anak itu yang seperti “kemasukan” sampai ibunya keluar dan berteriak minta maaf kepada tetangga-tetangga. Waktu polisi datangpun, masalah sudah selesai.
Sampai sekarangpun aku binkan (alert) jika mendengar anak-anak yang menangis keterlaluan dan lama. Biasanya kami bisa dengar masalahnya apa, apakah ibunya memarahi atau karena ibunya memukul. Kejadian pemukulan ibu kepada anak-anak, akhir-akhir ini cukup banyak, bahkan sampai menyebabkan sang anak meninggal. Dalam satu bulan ini saja di seluruh Jepang ada empat berita besar yang menyorot pembunuhan ibu terhadap anaknya. Gyakutai 虐待(ぎゃくたい), mungkin kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia cukup KDRT saja. Dan tadi di TV dibahas kenapa ibu-ibu itu bisa sampai ‘hilang akal’ dan membunuh anak-anaknya sendiri. Kata kuncinya: Isolasi. Mengisolasikan diri dari masyarakat, tak punya teman, dan memikirkan semua masalah sendiri, tidak berbagi, tidak bisa curhat, sehingga sampai pada tahap ‘meledak’. Pantas saja setiap ada vaksinasi atau pemeriksaan berkala, dari puskesmas selalu ditanya, apakah kamu punya masalah dalam membesarkan bayimu. Dan aku selalu bilang: Tidak ada. hehehe.
Jadi, beruntunglah ibu-ibu Indonesia yang mempunyai teman berbagi, punya suami yang mendukung dan mau membantu, punya orang tua yang bisa tinggal sama-sama atau bisa dimintai tolong, punya baby sitter atau pembantu khusus untuk bayinya. Atau bahkan punya tetangga yang bisa dimintai tolong. Ini semua merupakan kemewahan bagi ibu-ibu di Jepang, yang harus merawat bayinya benar-benar sendiri.
Ibu-ibu… gambarou ne (semangat ya) dan tentu saja kita harus berusaha membina hubungan yang baik dengan tetangga kita.
Have a nice weekend!