Aku tidak tahu apakah di Indonesia ada seperti ini. Dulu saya pernah dengar ada istilah POM, mungkin ini sebangsa PTA (Parent Teacher Association), dan aku tidak tahu seberapa sering mereka berkumpul dan membicarakan apa saja.
Kemarin aku mengikuti hogoshakai 保護者会 kelasnya Riku. Setiap tahun 3-4 kali diadakan pertemuan orang tua murid bersama gurunya untuk membahas perkembangan anak-anak. Kemarin adalah pertemuan terakhir di semester ganjil karena hari ini Riku menerima raport yang dinamakan Ayumi (あゆみ) artinya “langkah”. Pertemuan itu mulai pukul 3 siang, padahal aku musti mengajar sampai pukul 2:30. Dan butuh satu jam untuk pulang…. Terpaksa aku mempersingkat pelajaran sebelum waktunya selesai, dan lari pulang. Dari stasiun aku masih harus naik sepeda dan melewati jalan tanjakan. Tapi hebat, aku bisa sampai teng jam 3 di depan kelasnya Riku. Gurunya juga heran melihat aku, karena sebelumnya aku sudah memberitahukan bahwa aku akan terlambat.
Kami masing-masing menempati tempat duduk anaknya yang sudah disusun bentuk U mengelilingi guru. Sebelum mulai, kami menerima agenda pertemuan dalam selembar kertas dan gurunya berbicara menurut topik yang tertulis. Bahasan pertama adalah : Menoleh ke belakang, selama satu semester (Evaluasi) . Guru memberitahukan kami perkembangan murid-murid di matanya selama satu semester. Katanya dibanding 6 bulan yang lalu, murid yang masih kekanakan itu sudah berkembang menjadi setengah remaja. Contohnya anak-anak laki-laki sudah mulai memperlihatkan perhatian pada lawan jenis, dan bergerombol membicarakan “cewe” yang ditaksir (hihihi di mana aja sama ya?) dan teman-temannya memberi advis bagaimana cara “mengaku” bahwa si A itu suka pada cewe itu… kokuhaku 告白. Guru Riku memang laki-laki jadi cukup dekat dengan anak laki-laki, sehingga merasa lucu dan mungkin ada waktunya untuk mengontrol pembicaraan soal lawan jenis sehingga yang perempuan juga tidak terganggu. Ini soal kehidupan, sedangkan soal pelajaran, ya memang pelajaran Kanji yang paling sulit dan merupakan momok untuk hampir semua anak. Setiap tahun jumlah kanjinya bertambah terus dan memang kanjinya sulit-sulit.
Gurunya juga menjelaskan bahwa rapor yang dibagikan hampir semua tidak bermasalah. Seperti yang pernah kutulis di sini, raport Jepang untuk kelas 4 SD hanya ada 3 penilaian yaitu “yoku dekiru よくできる bisa sekali, dekiru できる bisa dan mou sukoshi もうすこし sedikit lagi”, bukan berupa angka seperti di Indonesia. Juga tidak ada ranking kelas apalagi juara-juaraan. Tapi yang dinilai kebanyakan adalah sisi moralnya, bagaimana bersikap di kelas, apakah menjalankan tugas yang diberikan atau tidak. Seperti Riku, semester ini menjadi petugas lampu dan jendela, jadi apakah dia menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab atau tidak. (Barusan Riku pulang dan memberikan ayuminya, lumayan lah hasilnya)
Selain membicarakan perkembangan selama satu semester yang telah lewat, gurunya juga menerangkan rencana-rencana di semester ke 2 seperti ada 3 kali kunjungan masyarakat yaitu ke Dinas Pengolahan Air Limbah, planetarium dan keliling Tokyo, serta 3 kali kegiatan bersama dengan SLB yang berada dekat SD nya Riku. Kegiatan bersama ini aku rasa hebat karena anak-anak bisa mengetahui bahwa ada anak-anak juga yang tidak seberuntung mereka karena cacat mental. Aku tidak tahu apakah SD Riku ini bisa mengadakan kerjasama karena letaknya yang dekat, atau ada SD lain yang juga punya program semacam ini.
Setelah penjelasan dan pengumuman gurunya, kami orang tua murid, diberi kesempatan untuk bicara, memberitahukan perkembangan apa yang menyolok dari anak-anaknya, dan apa yang kurang atau perlu diperhatikan. Kebanyakan ibu-ibu menyampaikan bahwa selama 6 bulan anaknya mulai rajin, bisa belajar dengan tenang, tidak suka lupa barang, atau membantu pekerjaan rumah dengan masak bersama dll. Pas giliran aku, aku juga menyampaikan bahwa Riku menjadi lebih dewasa, sampai sering memperingati aku agar tidak kecapaian, atau kalau ada yang perlu dibeli biar dia yang belikan di toko terdekat bahkan memperhatikan adiknya. Kadang aku merasa Riku menjadi dewasa karbitan terlalu cepat, padahal dia masih anak-anak. Itu kusadari waktu dia menangis jika bertengkar dengan adiknya. Rupanya dia juga masih anak-anak. Wajar kan.
Selain itu aku menceritakan kepada gurunya mungkin anak-anak laki-laki itu belajar untuk approach anak perempuan karena mengikuti acara TV anak-anak Piramekino. Karena ada suatu tayangan bagaimana caranya anak lelaki “menyatakan cinta” pada teman ceweknya. Aku sendiri selalu ikut menonton acara TV itu, sehingga aku langsung memperingati Riku jangan seperti itu, kalau mau kokuhaku, liat dulu si cewe itu ada perhatian juga ngga. Karena sakit loh patah hati itu hahahhaa. Dan selama aku menceritakan soal TV ini, ternyata ibu-ibu yang lain jadi rame, karena mereka juga menganggap acara itu “tidak berbobot” sama seperti aku :D. Dan gurunya tidak tahu acara ini karena pada jam tayang jam 6:30, dia masih di sekolah, jadi tidak tahu sama sekali. Jadi aku sarankan merekam acara itu sehingga bisa tahu trend anak-anak jaman sekarang seperti apa. Karena mau melarang Riku untuk tidak menonton acara itu juga tidak bisa, karena teman-temannya menonton. Kasihan Riku jika tidak ada topik percakapan yang sama dengan teman-temannya kan?
Jadi gurunya Riku berterima kasih sekali karena aku menyebutkan acara TV yang mungkin bisa menjadi bahan trend anak-anak. Rupanya selama ini dia tidak tahu keberadaan acara ini. Senang juga aku bisa bicara yang berguna bagi gurunya, juga bagi ibu-ibu yang bekerja dan tidak bisa menemani anak-anaknya menonton TV. Inilah pentingnya ada pertemuan orang tua murid, hogoshakai, sehingga ibu-ibu (atau bapak) bisa mengetahui perkembangan anaknya, juga sekaligus kehidupan berteman di sekolah. Karena semakin tinggi kelasnya (kelas 5 dan 6) akan lebih rumit lagi masalah-masalah yang dihadapi anak-anak, baik di bidang pergaulan atau pelajaran. Pentingnya pertemuan ini sangat aku sadari, sehingga aku selalu mengusahakan untuk datang. Dan ini jauh dari gosip di luar sekolah antar ibu-ibu, karena resmi dengan dipimpin gurunya. Biasanya pertemuan ini hanya berlangsung maksimal 1,5 jam sehingga tidak bertele-tele dan tidak buang waktu, langsung to the point. Tentu saja tanpa makan dan minum, bukan untuk nge-rumpi deh 😀 Sayang kegiatan ini tidak bisa aku foto, karena sulit mendapatkan ijin dari semua pihak terkait. Begitu masuk gedung sekolah, kami tidak bisa seenaknya memotret, karena berkaitan dengan privacy right kojin jouhou 個人情報。