Kertas vs Batu

6 Jun

“Mbak, maaf ya oleh-olehnya saya bungkus pakai kertas bekas. Soalnya saya lagi ikut program re-use, demi lingkungan hidup”

Wah tentu saja bagiku sama sekali tidak jadi masalah. Malahan aku juga sedapat mungkin menggunakan kembali apa yang masih bisa digunakan. Di universitas W tempatku bekerja malah memakai amplop besar yang sama untuk beberapa orang, jika itu masih mail dalam universitas. Tinggal dicoret nama sebelumnya dan tulis nama tujuan terbaru di bawahnya. Kalau sudah terima, buka isinya, ambil dan kembalikan amplop besar  itu pada staf di ruang dosen. Bukan untuk pelit tapi kalau kita sendiri tidak pernah memikirkan “sampah” yang kita hasilkan, siapa lagi? Maukah kita hidup di dalam sampah?

Bapakku memang bekerja untuk lingkungan hidup. Tentu untuk skala yang lebih besar, termasuk amdal and so on saat masih aktif bekerja, dan waktu pensiun pun masih mengajar tentang lingkungan hidup. Tapi tanpa pengaruh kata “demi lingkungan hidup” keluarga kami memang sudah mencoba menjalankan usaha-usaha 3R, Reduce, Re-use dan Recycle.

Karena keluarga besar, baju, buku, barang-barang pasti berputar. Lungsur melungsur. Tidak pernah ada baju dan buku yang masuk tong sampah. Apalagi rumah kami di Jakarta cukup besar, sehingga masih bisa menampung banya barang. Aku ingat dulu ada waktu-waktu tertentu seorang paman (yang mungkin sekarang disebut pemulung) datang ke rumah kami untuk mengambil koran bekas, kaleng dan toples bekas, untuk dia jual kembali. Ntah sekarang masih suka datang atau tidak, tapi kupikir pemulung amat berjasa dalam program re-use ini.

Sejak aku pindah ke Tokyo, aku mulai merasakan “gerah” dengan kebiasaan orang Jepang membuang barang. Jangankan TV, Radio dan alat elektronik, baju-baju yang masih layak pakai saja dimasukkan plastik sampah dan dibuang begitu saja. Dan… jarang ada yang mengambil (bukannya tidak ada loh, terutama warga asing banyak yang sering menjadi pemulung di malam hari). Ingin rasanya mengumpulkan baju-baju bekas itu dan kirim ke negaraku. Tapi sesungguhnya meskipun baju bekas, jika kami mengirim ke Indonesia, pasti akan ditarik biaya (pajak) karena dianggap sebagai barang komoditi. (Dan beberapa kali terpaksa juga aku minta maaf kepada teman di Indonesia, karena mereka “dimintai” uang oleh pihak pos Indonesia karena menerima barang-barang dari LN. Malah jadi menyusahkan mereka 🙁 )

Belum lagi tumpukan sampah plastik dan kertas bagus yang hanya berguna sesaat. Orang Jepang memang penyuka keindahan dan kebersihan. Jadi jika membeli kue dalam kotak, kebanyakan kue itu dibungkus lagi satu-per-satu. Memang berguna untuk menjaga kesegaran kue jika tidak bisa habis, dan memudahkan jika mau membagikan kue kepada banyak orang  karena bungkus yang rapi, tapi… sampahnya itu loh.

Atau waktu kami berbelanja bento atau noodle di toko konbini pasti diberikan juga sumpit kayu sekali pakai. Memang sekarang waktu membeli ditanya oleh petugas tokonya, apakah mau sumpit kayu/sendok atau tidak. Atau waktu pergi ke rumah makan pun masih banyak yang menyediakan sumpit kayu sekali pakai. Setiap kali aku melihat sumpit kayu itu pikiranku melayang ke hutan di Kalimantan. Aku akan lebih menghargai restoran yang menyediakan sumpit permanen yang memang lebih repot dan mahal untuk menyediakannya (sementara beberapa orang yang bersihan lebih suka sumpit kayu karena berarti bukan bekas orang lain :D). Kembali lagi ke orangnya deh.

Tapi selain kenyataan banyaknya sampah yang sebetulnya tidak perlu di Tokyo, aku pun bisa mengerti  bahwa pemerintah Jepang mempunyai sistem persampahan yang sudah mapan.  Sistem persampahan dengan pemilahan yang cukup disiplin ini memungkinkan bahan-bahan yang masih bisa didaurulang, langsung dibawa ke pabrik pengolahan.

Mau tahu pemilahan sampah di rumahku?

1. sampah busuk (sisa makanan), dibuang 2-3 kali seminggu
2. sampah plastik (yang ada lambang PET- ini juga daur ulang, biasanya styrofoam jepang ada lambang PET nya)
3. sampah botol dari kaca (dikumpulkan seminggu sekali utk daur ulang),
4. kotak susu dicuci dan dikumpulkan utk daur ulang juga di supermarket, atau seminggu sekali dikumpulkan pemda.
5. kertas dan kardus dikumpulkan utk di daur ulang oleh pemda
6. kaleng steel dan alumunium dikumpulkan utk di daur ulang dikumpulkan seminggu sekali
7. batere bekas dikumpulkan ke supermarket/toko elektronik. Pita bekas print dikumpulkan di toko elektronik, bahkan khusus untuk merek tertentu ada hadiahnya (bell mark)
8. sampah selain yang di atas.
(9) Untuk sampah yang lebih besar dari 30×30 cm harus bayar. Caranya kami harus menelepon ke dinas kebersihan dan memberitahukan mau buang apa saja. Lalu beli sticker sesuai harganya lalu tempel di sampah besar itu. Kemudian taruh di tempat yang ditentukan pada waktu yang ditentukan untuk diambil mobil khusus. Semisal aku mau buang karpet musti bayar, karenanya kalau mau buang lebih baik digunting-gunting hehehe. Memang kerja lagi sih, tapi dengan demikian bisa menghemat. Bahkan di daerah tertentu ada yang masih memilah lagi dengan bahan/kain di suatu pengumpulan khusus. Karena bahan/kain/baju ini kemudian akan dipreteli dan didaur ulang. Atau di daerah Chiba ada juga yang mengumpulkan botol sesuai dengan warnanya, sehingga memudahkan pengolahan gelasnya.  Memang semuanya harus dimulai oleh pemda dan ditaati warganya. Tanpa ada kerjasama ini ya tidak akan bisa berjalan.

Yang penting semuanya harus dimulai dari diri kita sendiri. Jika kita memang peduli pada masa depan anak-cucu, sewajarnya kita berusaha memikirkan lingkungan hidup kita. Untuk mengajar aku memang masih memakai kertas, tapi untuk test aku sudah berapa tahun ini aku memakai email. Sedapat mungkin aku mengurangi pemakaian kertas. Dan kebetulan kemarin aku melihat sebuah acara di televisi mengenai kertas baru, yaitu kertas batu. Ya Stone Paper namanya. Karena bahannya tidak memakai kayu sama sekali, otomatis juga tidak memakai air (air pasti diperlukan  dalam pembuatan kertas). Dan karena terbuat dari batu, kertas ini memang abadi, tidak bisa robek :D. Sayangnya aku tidak menonton kelanjutan acara itu jadi tidak tahu proses pembuatannya dsb karena sudah waktunya anak-anak untuk tidur.

Aku jadi teringat cerita jaman kakek-nenek kita belajar memakai batu tulis. Bagi kita yang hidup di masa serba modern mungkin kita merasa “kasihan”… duh kok sampai menulis di batu, tidak ada kertas yang bisa dibawa-bawa, dan  tulisannya lebih awet/tahan lama karena tidak harus dihapus jika mau menulis kalimat baru. Tapi jika kita pikirkan dengan kondisi lingkungan sekarang ini mungkin nenek moyang kita ini jauuuuh lebih ramah lingkungan daripada kita. Tak perlu harus menebang pohon dari hutan untuk membuat kertas, demi modernisasi. Memang modernisasi membutuhkan banyak pengorbanan. Dan kadangkala ini menimbulkan lingkaran setan.

Ternyata usaha mengenai kertas batu ini juga masih banyak menuai polemik. Jika kita mencari kata sandi “stone paper” di internet kita bisa tahu bahwa, ada yang mengatakan (terutama dari produsen) bahwa stone paper itu ramah lingkungan, karena tidak memakai kayu berarti juga menjaga hutan kan? Tapi ada pula yang mengatakan masih terdapat pertanyaan apakah stone paper ini benar-benar ramah lingkungan. Karena berarti kertas batu ini hanya satu kali pakai, tidak bisa didaur ulang. Biarkanlah mereka berdebat, karena memang adakalanya kita mendengungkan tindakan kita yang ramah lingkungan padahal kalau dilihat dari biayanya belum tentu juga. Tapi yang penting adalah usaha kita masing-masing untuk menjaga lingkungan hidup kita, jangan berpangku tangan apalagi merusaknya.

Tulisan ini untung menjawab tantangan Sdr Alamendah yang ini.