Kebanyakan anak-anak sekolah di Indonesia membawa bekal dari rumah atau diberi uang jajan oleh orangtuanya untuk membeli kudapan di kantin. Aku sendiri sampai SMP selalu membawa bekal dari rumah, baik itu roti, atau setelah lebih besar membawa bekal nasi. Sampai SMP aku tidak pernah dapat uang saku/uang jajan. Apalagi dulu aku sempat sekolah siang karena ada pembangunan gedung sekolah, jadi aku selalu membawa bekal. Dan aku ingat sekali bekalku itu amat sangat sederhana. Nasi dan telur ceplok pakai kecap. Tidak ada tuh bekal yang bagus dihias-hias segala susis atau ayam goreng. Apalagi spaghetti. Biasanya juga aku ceplok telur sendiri (aku sejak kelas 5 SD sudah sering masak sendiri, diajarin mama kalau tidak ada pembantu). Kalau mau lebih mewah, aku membuat bihun goreng. Jaman dulu belum ada tuh ind*mie goreng segala.
Di TK Jepang anak-anak membawa bento atau bekal. Jangan harap ada kantin sekolah untuk jajan di TK/SD/SMP. Lingkungan sekolah bersih dari segala macam “perdagangan”. Ada memang agak jauh dari sekolah toko-toko kombini, tapi di SD nya Riku, anak dengan ransel dan topi SD tidak boleh masuk toko sendirian. Kalau mau belanja harus dengan orang tua, atau menaruh ransel/topi di rumah dulu, dan berbelanja dalam keadaan “bersih” dari atribut sekolah. Itu berarti sudah menjadi tanggung jawab masing-masing keluarga. Bulan April nanti Kai masuk TK, sehingga aku musti siap membuatkan bekal untuknya. Padahal enaknya sudah istirahat 2 tahun karena Riku di SD mendapat makan bersama yang disebut Kyuushoku 給食, jadi tidak perlu menyiapkan bento di pagi hari, cukup sarapan pagi, yang bisa berkuah tentunya. (Tidak bisa membawa sup untuk bekal kan)
Aku tadi pergi ke SD nya Riku dalam rangka “Open School”. Tidak ada yang baru menurutku sehingga aku agak mengantuk sambil melihat kegiatan pembelajaran di kelas Riku. Tapi sekitar pukul 10:25 mereka ada waktu istirahat selama 15 menit, sehingga mereka berhamburan lari ke luar kelas. Memang anak-anak seharusnya berenergi begitu ya, berlarian menggerakkan badan di halaman sekolah, sambil melawan dinginnya udara hari ini yang cukup hangat dibanding kemarin. Tak jarang anak laki-laki kembali ke kelas hanya dengan kaos dalam saja karena kepanasan. Riku? Oh tentu saja dia tidak akan buka bajunya. Dia itu kelahiran musim dingin tapi paling tidak tahan dingin. (Apa gunanya itu lemak ya? hihihi **sambil mengaca diri sendiri sih**)
Nah sementara menunggu jam istirahat selesai itu, aku melihat-lihat kertas-kertas yang tertempel di dinding/lemari sekeliling kelas. Gara-gara ada anak yang bilang, “Yaaaaah hari ini menunya Hamburger pakai keju… aku ngga suka”, jadi aku membaca menu hari ini. Memang benar Cheese burger + roti+ petite tomato + sup sayuran. Hmmm ada anak yang bilang, “Aku tidak suka tomat”… Untung saja anakku bisa makan apa saja.
Ternyata dalam daftar menu itu aku membaca bahwa mulai tanggal 24- 30 Januari adalah Pekan Makanan Sekolah Seluruh Jepang. Tidak tahu apa maksud diadakan Pekan ini, tapi mungkin untuk menggalakkan menu sehat bergizi untuk meningkatkan ketahanan tubuh murid-murid selama musim dingin. Soalnya sudah mulai ada kelas yang ditutup karena muridnya kena influenza. Di sini kalau ada kelas yang muridnya banyak tidak masuk karena influenza, maka satu kelas akan ditutup, supaya tidak menulari kelas lain, dan tidak perlu diadakan penutupan sekolah.
Dalam kertas menu itu juga diberi keterangan sejarahnya kyuushoku atau makan bersama di sekolah yang disediakan sekolah ini. Rupanya kyushoku pertama kali disediakan di SD Tsuruokacho di daerah Yamagata pada tahun 1889. SD ini menyediakan makan siang untuk murid yang miskin berupa onigiri (nasi kepal), ikan salmon asin dan acar sayuran. Kemudian kyuushoku ini berkembang, berlanjut sampai sekarang. Setiap bulan kami harus membayar kira-kira 5000 yen untuk kyuushoku (pasti dapat subsidi dari pemerintah tuh) dengan menu beragam dan memenuhi kebutuhan kalori dan gizi anak SD. Kyuushoku ini juga membuat anak-anak “terpaksa” makan segala jenis makanan/masakan dan mengurangi “pilih-pilih makanan”. Apalagi dalam kyuushoku sekarang, sudah banyak masuk menu internasional juga. Riku malah pertama kali makan Nan dan Kare (dari India) di kyuushoku sekolah. Soalnya aku tidak suka kare India sih hehehe.
Menu setiap sekolah berbeda tapi memenuhi standar gizi yang ditentukan Departemen pendidikan. Kadang tiap daerah memakai sumber alam yang kaya di daerahnya selain juga memperkenalkan kekayaan kuliner tradisional daerahnya.
Aku sendiri merasa kyuushoku ini sangat bagus. Selain meringankan tugas ibu-ibu menyiapkan bekal, semua anak makan menu yang sama! Tidak ada yang setiap hari ayam atau yang mahal-mahal, dan yang lain telur ceplok terus (kayak aku dulu) hehehe. Harga sama, gizi sama. Semua sama, seragam. Sayangnya di SMP tidak ada kyuushoku, mungkin sekolah akan kewalahan kalau harus menyediakan makanan untuk anak-anak puber yang sedang banyak-banyaknya makan (subsidinya juga musti besar tuh).
Satu lagi keuntungannya, semua anak mempunyai tugas dalam menyediakan kyuushoku itu, ada yang menuangkan nasi, ada yang membagikan lauk, susu (setiap hari ada susu) dsbnya. Jadi murid-murid juga belajar bermacam hal yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. (Aku sudah pernah menulis tentang kyuushoku juga di sini)
Ada ngga ya sekolah di Indonesia yang menyediakan makan kyuushoku ala “asmara asrama” gini? 😀