Jumat lalu sepulang dari kerja, aku menjemput Kai dan sambil mendorong baby-car dengan Kai di atasnya, aku menjemput Riku dari les bahasa Inggrisnya. Dalam perjalanan pulang, sambil berjalan dia berkata,
“Mama, nanti kalau besar aku mau jadi pelukis saja”
“Hmmmm…”
“Kan Riku suka menggambar”
“Ya, boleh tapiiiiii…. harus belajar semua, jangan cuma menggambar saja”
“Iya, nanti kan aku mau masuk universitas, belajar yang susah-susah, yang tidak diketahui anak SD”
“Iya…. Riku mau jadi apa saja boleh, tapi tetap musti belajar ya” .
Sambil aku ngedumel dalam hati…. jangan jadi pelukis kenapa ya? Pemasukannya tidak tetap. Iya kalau terkenal…kalau tidak terkenal mau makan apa? Masak bergantung pada orang tua terus sampai tua?.
Sesampai di rumah, pas aku lagi menyalakan komputer untuk online, Kai datang padaku membawa kamera kami yang lama. Cara pakai kamera ini memang agak rumit, sehingga dia tidak bisa pasang sendiri. Kalau yang baru, dia bahkan sudah tahu di mana tempat SD cardnya segala. Setelah aku ajarkan bagaimana-bagaimananya, dia pergi dengan mengambil foto semua yang dia lihat. Hmm untung digital, jadi nanti bisa dihapus. Kai juga sudah semakin besar….
Malam hari, anak-anak sudah tertidur, aku menemani Gen yang baru pulang untuk makan malam. Saat itu aku baru ingat bahwa Riku hari ini menerima rapor semester ganjilnya. Tidak ada kebiasaan orang tua murid mengambil rapor anaknya. Loh? Jadi, tidak ada pesan-pesan yang disampaikan oleh guru seperti waktu orang tua mengambil rapor di Indonesia?
Sebetulnya ada waktu orang tua murid bertemu dengan gurunya, yaitu waktu ada pertemuan per kelas antara orangtua dan guru hari Selasa sebelumnya. Selama satu jam, kami orang tua berkumpul di kelas, dan gurunya memberikan evaluasi kegiatan murid selama satu semester, termasuk kegiatan undokai yang lalu. Lalu menjelaskan tentang rapor murid yang diberi nama AYUMI. Seperti nama gadis Jepang memang, tapi ayumi itu bisa berarti “Langkah” juga. Jadi namanya bukan seperti “Laporan Belajar” atau nama-nama keren lainnya, tapi “Langkah” yang memang kedengarannya lebih membumi, cocok untuk murid SD. Sehingga “AYUMI” (semestinya) tidaklah menakutkan.
AYUMI untuk kelas satu SD ternyata hanya dinilai dengan 2 nilai. Yaitu “Bisa” できる dan “Sedikit lagi” もう少し. (Kalau di Indonesia berapa nilai ya? Masihkah dengan angka maksimum 10?) Penilaian ini untuk 5 pelajaran yaitu Bahasa Jepang 国語, Berhitung 算数, Musik 音楽, Prakarya 図工 dan Olahraga 体育, serta Kepribadian. Penilaian Riku untuk semua bidang “Bisa” kecuali dalam bahasa Jepang untuk membuat kalimat dan membaca masih kurang. Hmmm memang seniman (pelukis) tidak berhubungan dengan kalimat dan membaca sih hahahaha. (Aku juga pusing euy membaca tulisan dia yang kayak cakar ayam… tapi aku juga introspeksi diri, mungkin ini gara-gara dia bilingual di rumah, sehingga kata-kata dia tahu, tapi untuk menyambungnya menjadi satu kalimat yang bagus agak kurang).
Pembagian nilai dengan dua saja dan kebanyakan diisi dengan “Bisa” seakan menjadi “penghargaan” bagi murid-murid yang baru saja 6 bulan menjalani kehidupan bersekolah. Sehingga untuk selanjutnya murid-murid tidak malu dan rendah diri dalam berusaha.
Dan di bagian akhir ada kolom “Pesan Sekolah kepada orang tua” yang memuat penilaian guru tentang Riku. Dan pesan gurunya itu membuat aku bangga pada Riku (cieee). Katanya, “Riku setiap pagi selalu masuk kelas dengan bersemangat dan mengucapkan Selamat Pagi (Di sekolah ini salam sangat dijunjung tinggi…kami pasti harus mengucapkan salam jika berpapasan dengan siapa saja…. senang deh). Waktu berlatih menulis hiragana, Riku menjiplak dengan rapih dan menunjukkan usaha menulis dengan rapih. Waktu melakukan kebersihan kelas juga berusaha sungguh-sungguh, dan sering terlihat waktu acara makan bersama, Riku bahkan membagikan piring dan makanan kepada teman-temannya dan memikirkan teman-temannya juga.” Wow… bangga deh… yang penting itu nak! Ngga usah pinter-pinter juga (ngga) apa-apa….hehehhe.
Jadi sambil makan dan membaca AYUMI itu, kami berdua tertawa dan membayangkan ….. dua anak yang MUNGKIN menjadi PELUKIS (Riku) dan KAMERAMAN (Kai) hihihi. Padahal namanya anak-anak…cita-cita bisa bergulir, berganti-ganti terus seperti sikat gigi yang dibuang jika sudah tidak bisa dipakai lagi.
Dan dalam hati aku berkata…”Masih bagus mereka punya cita-cita daripada kamu dulu mel, sama sekali tidak bercita-cita kan?”