Ada seorang teman menegurku cukup keras di suatu percakapan dunia maya, di suatu waktu. Katanya, “Aku sebal ketika ada orang yg liat kesusahan orang lain baru merasa bersyukur. aku ga nyalahin dikaw juga yg udah default kek gitu. cuma kadang hal2 bersyukur itu ya… piye ya..rada annoying juga“. Ini gara-gara aku bercerita padanya, bahwa aku tidak pernah merasa anugerah Tuhan itu berhenti. Contohnya aku baru saja bertemu dengan teman yang ibunya harus dioperasi usus besarnya, karena dia tidak bisa “buang air besar” selama 2 minggu. Bayangkan hanya karena tidak bisa beol… kita yang normal harus bersyukur tentunya kan?
Mungkin saja bagi orang yang mengalami penderitaan itu akan sebal, karena penderitaannya itu menjadi contoh rasa bersyukurnya orang lain. Atau mereka menjadi self defence dengan mengatakan “Aku tak butuh simpatimu!”. Atau mungkin ada orang-orang yang tertimpa bencana memohon agar media massa jangan lagi mengungkit yang sedih-sedih saja, tapi justru yang bisa membuat korban bersemangat lagi untuk maju…. Memang mata uang selalu ada dua sisi kan? Belum tentu apa yang kita anggap bagus/baik itu dilihat bagus/baik juga oleh orang lain.
Aku tahu temanku ini tidak bermaksud buruk dengan mengatakan itu. Karena mungkin saja banyak orang yang memang begitu, hanya merasa bersyukur, jika sudah melihat suatu kesusahan orang lain. Tapi dunia memang berputar, dan bahkan setiap detik kita bisa mengetahui betapa ada beragam kesusahan orang lain di dunia ini. Berbagai kemalangan dan bencana dialami orang-orang setiap hari. Dan sudah sepantasnya kita bersyukur bahkan setiap detik atas nafas yang kita hembuskan, hidup yang telah diberikan Tuhan. Setiap hari, baik itu cerah maupun mendung. Setiap kicau burung, sinar matahari, pemandangan yang indah…. semua bisa memperkuat iman kita, jika kita mau bersyukur.
Jadi meskipun temanku itu menganggap aku seperti orang yang merasa bersyukur atas kesusahan orang lain (dan kebetulan kemalangan itu bukan terjadi pada diriku sendiri), biarlah, aku tidak akan berhenti berkata, bahwa aku selalu merasa “blessed by HIM”. Every second of my life. Dan apakah itu salah jika contoh yang saya pakai waktu itu adalah penyakit orang lain? Yang pasti aku merasa bersyukur bukan karena “bukan aku” a.k.a orang lain yang mengalami gempa di Padang waktu itu misalnya, tapi terlebih bahwa Tuhan masih mau melindungi semua teman, saudara yang kukasihi di sana. Benar-benar aku merasa lega mengetahui orang-orang yang kukenal selamat dari bencana. (Wah bisa-bisa aku disalahin lagi bahwa tidak memikirkan orang lain yang menjadi korban di sana…. mau menyatakan pendapat aja susyah ya hehehe)
Cukup dulu ah menumpahkan uneg-unegnya…
Kemarin malam kami semua masuk kamar tidur jam 8 malam. Baca buku untuk mendongengkan Riku dan Kai…akhirnya kami berempat tertidur. Gen pastinya karena minum obat flu akibat bersin-bersin yang menjurus ke flu, bukan hanya sekadar alergi. Riku juga cepat tertidur seperti biasanya, karena dia tidak pernah tidur siang. Kai yang agak lambat tidur… tapi aku terjaga pukul 11 malam. Kebiasaan, tidak pernah bisa tidur terus lebih dari 3 jam. Pasti 2-3 jam terbangun, melakukan sesuatu dulu, baru bisa tidur lagi. Kembali masuk tempat tidur jam 2 pagi, dan jam 4:30 dibangunkan oleh Riku yang terbatuk dengan hebatnya. Setelah minum obat dan air hangat, dia kembali tidur, tapi jam 6 pagi aku dibangunkan Gen yang mengatakan bahwa Riku demam.
Wah…. jangan demam dong. Akhir-akhir ini paling takut mendengar kata demam, karena memang influenza jenis baru H1N1 itu sudah cukup menyebar kemana-mana. Seorang mahasiswaku sudah kena.
Sambil berdoa agar Riku tidak demam, aku ukur suhu badannya. Ternyata hanya 36,9. Normal. Tapi memang batuknya mengkhawatirkan karena dia sempat beberapa kali memuntahkan dahak dan sarapannya. Aku tahu, dia ingin bolos sekolah. Tapi hari ini di sekolah ada pertunjukan musik khusus bagi SD itu, di jam pelajaran 5-6, dengan sebuah pertunjukan dari kelompok paduan suara terkenal di Tokyo. Karenanya aku tawarkan dia untuk sama-sama ke RS dan sesudah itu aku akan antarkan dia sampai ke kelas (memang peraturannya harus antar sampai kelas) begitu selesai pemeriksaan. Untung Riku juga ingin melihat pertunjukan itu, sehingga tidak merengek untuk bolos sekolah.
Setelah mengantarkan Kai ke penitipan kami dokter THT yang canggih dekat rumah. Wah klinik spesialis ini buka jam 9, dan waktu kami tiba pukul 8:55 sudah ada 10- 12 pasien mendaftar dan menunggu. Sial…bakal lama nih aku pikir. Eh, tapi ngga juga soalnya jam 9:10 sudah dipanggil 6 pasien. Jam 10 mustinya sudah bisa selesai.
Dokter itu canggih amat deh…dan kliniknya memang dilengkapi peralatan canggih sih. Sambil dia melihat tenggorokan Riku dan dalam hidungnya, kami orang tua bisa melihat lewat televisi disampingnya. Geraknya cepat sekali. Oles obat, sedot ini itu…lalu disuruh pindah ke meja treatment dengan “penguapan” ah apa lagi tuh namanya nebulizer? YES! Nebulizer.
Kalau di RS lain, nebulizer pakai alat yang portable, kalau di klinik THT ini, nebulizernya sudah berbentuk meja dengan 12 selang. Tinggal tekan tombol nomor 1,2,3 yang berisi obat berbeda, jadi deh. Tidak usah ukur-ukur dan ambil obatnya lagi. Sudah tersedia di pipa dalam meja itu.
Keluar dari ruang periksa, menerima obat lalu pulang. Obatnya ngga tanggung-tanggung… 7 macam yang dibawa pulang. Sampai banyak yang heran dan memberikan komentar di status FB saya. Kok batuk aja segitu banyak. Nih daftar obatnya:
1 antibiotik utk batuk sekali sehari saja
1 obat spray utk hidung…
1 troche (permen) utk batuk/leher gatal
1 selotip (semacam salonpas kecil) untuk melegakan pernafasan dan mencegah pnumoneia
1 obat cair untuk dahak
1 obat cair untuk radang tenggorkan
1 obat cair untuk pilek
(1 obat uap untuk melegakan saluran pernafasan hy satu kali diuapkan di kliniknya…)
semua racikan bukan obat jadi….
Untung Riku tidak pernah susah minum obat, tidak seperti Kai. Jadi kami pulang ke rumah, kasih minum obat dulu, baru berjalan sama-sama ke sekolah Riku. Sambil saya membekali dia dengan plastik dan handuk kecil, kalau-kalau dia terpaksa harus munmun waktu makan siang nanti.
Sore jam 15:30 dia pulang dengan wajah berseri, dan dia berkata “Aku mau menjadi anggota paduan suara”…dan batuknya sudah jarang terdengar.
Obat memang perlu waktu sakit, tapi seperti yang Uda Vizon katakan di status FB saya “obatnya cuma satu sebetulnya nechan, cuma ‘temen’nya obat itu yang banyak, hehe.. cepet sembuh ya..”
Rasa syukur, percaya pada dokter dan Tuhan, rasa bahagia dan terhibur dari suara-suara emas…. dll dll…semuanya merupakan “obat” yang kita perlukan. (Eh… sapaan dan komentar dari teman-teman juga merupakan obat atau suplemen buatku loh…. menegaskan saja 😉 terima kasih ya )