Bermain tapi Digaji

9 Sep

Mana bisa sih? Bermain kok digaji? Kalau berjudi nah bisa deh, kalau menang taruhan. Tapi ini benar kok, udah bermain digaji lagi.

“Mama, kenapa kalo aku jadi pencuri kok dapet 20 $ (Baca kidzos), tapi aku jadi polisi kok cuma dapet 5 $ ya? Aku mau jadi pencuri aja!”

Sebuah pertanyaan dari Riku yang amat sulit kujawab dengan singkat. Jika kujawab:

“Ya kan gede gajinya, soalnya kalo ketangkep dia tidak dapat gaji selama di tahanan. ” Nanti dia jawab, “Ya jangan sampai ketangkep” Nah loh… pusing kan?

Dan waktu kutulis di FB, seorang temanku berkata: “Namanya Indonesia, ya gitu. Polisi gajinya keciilll” hihihi. Ah…ini memang perlu jadi pemikiran. Karena akan mengubah cara pandang anak-anak terhadap pekerjaan. Aku tak tahu di Kidzania Jepang, berapa bayarannya. Mungkin memang perlu ke Kidzania Jepang untuk mengetahuinya. (Dan aku baru buka-buka homepagenya duuuh macam-macam atraksinya dengan harga masuk 2,5 kali lipat yang di Jakarta huhuhu. Nabung dulu!)

Riku menjadi pencuri dengan bayaran 20$ (kidzos)

Ya memang ini cerita tentang Kidzania Jakarta. Aku sudah tahu tentang Kidzania sejak tahun 2008, waktu aku bertemu seorang Narablog di Pasific Place (dan pertama kali juga ke PP). Sempat terpikir untuk mengajak Riku ke sana waktu itu, tapi diberitahu teman bahwa bahasa yang dipakai untuk penjelasan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dan waktu itu Riku belum mahir berbahasa Indonesia.

Waktu aku bertemu teman-teman Narablog di Pasific Place yang sudah kutulis di sini, Witcha sudah mengajak Riku dan Kai bermain di Kidzania…. selama 2 jam. Tentu saja KURANG! Jadi Riku merengek padaku, dan berkata: “Mama, aku ngga usah diajak ke tempat mainan lain deh. Aku mau ke Kidzania aja”

Nah, sambil cari waktu yang pas,  aku chatting dengan biudanya Egi dan Abang, si Nicamperenique pada hari Minggu , tgl 31 Juli. Karena tanggal 1 Agustus itu libur awal puasa, 3 keponakanku libur. Egi dan Abang juga libur. Kesempatan untuk melaksanakan rencana main bersama (sambil kopdar dengan si misterius Nique). Awalnya kami mau pergi ke Bandung. Heran juga kenapa tidak ke Pasirmukti, padahal aku ingin pergi ke sana loh…. Oh iya aku memikirkan Niquenya puasa, jadi kalau pasirmukti, panas-panas kan kasihan dia. Puasa pertama lagi. Dan aku juga tidak sanggup menjaga 5 anak sekaligus — Riku (8th), Kai (4th), Dharma (11 th), Sophie (8th), Kei(6 th) — di alam terbuka. Jadinya diputuskan untuk pergi ke Kidzania saja.

Dimana-mana memang harus antri Nak! Biasakan itu ya....

Dengan beberapa miskomunikasi, kami akhirnya bisa berbaris antri di depan kasir Kidzania pukul 9 pagi. Anak-anakku (termasuk sepupu mereka, berlima), tentu saja BISA TENANG menunggu di antrian. Kupikir sambil menunggu Nique aku antri saja, karena begitu sampai di kidzania itu cukup banyak orang yang antri. Salah perhitungan. Kupikir awal puasa pasti sedikit orang, tapi ternyata cukup banyak sekolah yang libur, dan anak-anak yang datang separuh diantar orang tua, separuh lagi diantar pembantunya! Duh….  Dan anak-anak yang antri di depan dan belakang kami itu ampuuuuun deh pecicilannya. Resek! Ngga biasa antri. Ngerti sih bahwa antri menunggu itu (dan cukup lama) menyebalkan bagi anak-anak. Tapi buktinya anak-anakku buktinya bisa loh. Calon-calon penerus bangsa ini kalau tidak diajari antri, ya susah lah. Ibu -bapaknya juga harus menunjukkan bahwa antri itu “peraturan”. Susah lah menyuruh anak-anak antri kalau ibu bapaknya duduk di luar barisan dan menyuruh pembantu yang antri. Bener deh, kesel memikirkan masa depan negara kita dilihat dari antri saja!

Untung sekali pas giliran kami maju ke counter, Nique sudah sampai, sehingga bisa cepat-cepat pakai “gelang” tanda masuk segera, dan bisa masuk wahananya. Di pintu masuk, tas-tas diperiksa apakah membawa makanan dan minuman tidak. Memang di sini tidak diperbolehkan membawa makanan/minuman dari luar. Dan you know lah, makanan dan minuman di dalam pasti lebih mahal dari biasanya (baca juga: Comparison) , dan ini memang akalnya pengusaha kan? Ngga ngerti apa istilahnya, tapi konsumer yang paling mendatangkan keuntungan adalah lapisan anak-anak. Mana ada orang tua tega membiarkan anak-anak “ngiler” di dalam? Susah dong meredam rengekan anak-anak kecuali dengan membelikan mereka yang diminta, tanpa ba-bi-bu. Untung saja kecuali Kai yang tidak bermain, anak-anakku tidak ada waktu untuk berpikir minta dibelikan ini-itu (Mungkin adikku juga sudah wanti-wanti anak-anakknya :D)

Well, aku pertama kali masuk ke Kidzania, dan cukup terperanjat dengan konsep mereka. Bagus! Memang anak-anak dilatih untuk mandiri, mengenal banyak pekerjaan yang ada di dunia nyata (meskipun tidak semudah itu ya nak heheheh). Juga bahwa jika mereka kekurangan uang (kidsos) untuk masuk ke wahana permainan yang butuh uang masuk, mereka harus “bekerja” untuk mendapatkan uang. Salah satunya ya dengan menjadi pencuri atau polisi di atas tadi 😀

Dan seperti yang sudah Witcha tulis di blognya waktu antar Riku dan Kai pertama kali ke Kidzania. Dua anak Jepang ini kan masih sulit bahasa Indonesianya, jadi aku sempat khawatir waktu mereka harus ke “Bank” pertama kali untuk mengambil “gaji pertama” mereka dan membuat akun/rekening bank. Yang lucu, aku mengkhawatirkan Kai yang notabene belum bisa sama sekali bahasa Indonesia, padahal dia yang paling cepat selesai! Dia langsung sebut namanya keras-keras, “MIYASHITA KAI” dan menunjuk tangannya 4 jari. 4 tahun! hihihi. Ngga tahu deh, kenapa justru kakaknya yang lama, mungkin karena dia tahu bahasa Indonesianya setengah-setengah ya? Well, aku dan Nique dan Aa, suaminya menunggu di luar Bank dengan cemas. Egi agak rewel pertamanya, karena dia memang masih manja dan malu bertemu dengan teman baru. Mengantar 7 anak memang sulit bo! (apalagi 20 mel hahaha)

 

Kai ambil gaji pertama di Bank, Riku juga sempat "bekerja" menjadi sekuriti di Bank

Setelah selesai acara pertama, mengambil gaji di Bank, langsung deh anak-anak mencar dengan keinginannya masing-masing. Aku sudah tidak peduli Riku, Dharma dan Sophie mau ke mana.  Egi yang nempel dengan abang padahal abang maunya nempel sama teman seumurannya Riku dan Dharma. Yang tadinya terbagi menjadi dua grup, bisa menjadi 3 grup dan Kei, anak bungsu adikku yang paling “nyentrik” sendiri, diam-diam dia pergi ke sana-sini sendirian. Hebat euy. Kai tentu saja nempel dengan mamanya. Kai hanya sempat membuat SIM, dan tidak mau mencoba bermain apa-apa meskipun sudah kubujuk-bujuk.

Wahana yang pertama dicoba, pemadam kebakaran. Kecuali Kai dan Kei

 

Repot menemani Kai, sambil mengambil foto anak-anak, sambil ngobrol dengan Nique…. mana tidak ada tempat duduk di depan wahana-wahana itu. Suatu saat saking capeknya berdua Nique duduk selonjoran di lantai hahaha. Eh tapi … tapi, kami sempat keluar sebentar sekitar pukul 12:30 untuk KOPDAR bersama mas/inyiak/om NH18 selama 30 menit! Bisa baca laporannya di sini dan di sini.

Pemadam kebakaran, tuning mobil, car-race, pekerja konstruksi, polisi, pengadilan, dokter gigi, suster, bakery, apalagi ya? … semuanya di lantai 1. Padahal sepertinya di lantai 2 masih banyak permainan lain. Tapi ogah ah kalau disuruh antar lagi ke Kidzania. Meskipun aku tahu, dibanding dengan disneyland, unsur pendidikan di Kidzania lebih banyak. Anak-anak sih enak bisa bermain, tapi orang tuanya bengong tak terkira. Tidak ada makanan yang enak juga sih di dalam. Coba ada bakso, sate padang, mpek-mpek, ketoprak, es shanghai, es teler dkk  dijual di situ… aku mau nganterin 10 anak lagi hahaha.

Berbagai wahana yang mereka coba...dan lihat muka mereka, puas dan gembira!

Senang sekali melihat keceriaan ketujuh  anak-anak ini. Tak tampak sama sekali rasa capek di muka mereka, padahal aku begitu sampai rumah, langsung teler…tidur sampai keesokan harinya. Duh aku ngga bisa ngebayangin deh kerjanya guru TK hehehe. Hari itu benar-benar isseki nichou (satu batu dua burung) atau peribahasa bahasa Indonesianya : Sekali mengayuh dua tiga pulau terlampaui. Selain bermain, anak-anak bisa belajar dan bersilaturahmi. Selain antar anak-anak, aku dan Nique bisa kopdar. Ah… kapan lagi bisa begini ya? Tahun depan kita kemana ya Nique? Semoga….

 

Berpose waktu akan pulang. Susah sekali mendapat pose yang bagus. Gerak terus hehehe

 

Cerita tentang Kidzania versi Nique di sini.

Menjawab pertanyaan Arman: Kidzania dimulai di Mexico, dan sampai sekarang ada franchisenya di beberapa negara, dan kelihatan akan berkembang lagi. (sumber : wikipedia)

  • KidZania Mexico City, opened in September 1999 as La Ciudad de los Niños, rebranded KidZania La Ciudad de los Niños
  • KidZania Monterrey, opened in May 2006
  • Kidzania Tokyo, opened in October 2006 (franchise)
  • Kidzania Jakarta, opened in November 2007 (franchise)
  • Kidzania Koshien, opened in March 2009 (franchise)
  • KidZania Lisbon, opened June 2009 (franchise)
  • KidZania Dubai, opened January 2010 (franchise)
  • KidZania Seoul, opened February 2010 (franchise)
  • KidZania Malaysia, opening in end of the quarter of 2011 (franchise)
Enhanced by Zemanta

Pertemuan

7 Agu

Syukurilah setiap anugerah perjumpaan karena setiap perjumpaan memberi perubahan dalam diri kita. Doakanlah setiap pribadi yang dijumpai karena melalui merekalah kasih Tuhan menjadi nyata dalam hidup kita.

Itu adalah status dari salah seorang Friend di Facebook saya, Robert Agung Suryanto OFM, seorang misionaris di Jawa Barat. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Pastor  Robert tapi melalui rangkaian pertemanan yang lain, bisa menjadi friendnya. Dan pagi itu aku merasa sejuk dengan status itu, karena sesungguhnya aku pun merasakan hal itu.

Jika teman-teman membaca posting-posting teman-teman blogger akhir-akhir ini memang dipenuhi oleh nuansa kopdar dan ramadhan. . Kopdar itu sendiri merupakan kata khusus yang dipakai di kalangan blogger, singkatan dari kopi darat. Teman-teman maya bertemu di kenyataan = kopdar =pertemuan. Dan selama 2 minggu aku berada di tempat kelahiranku ini, hampir setiap hari kupenuhi dengan kopdar dan pertemuan.Dan laporan mengenai kopdar-kopdar  itu belum sempat aku tulis di TE. Bagaimana bisa menulis kalau setiap hari jadwal padat? Atau jika ada waktu di rumahpun koneksi internet tidak memungkinkan? Benar-benar keteteran.

Kenapa sih aku begitu “getol” kopdar? Pernah kutuliskan dalam posting sang inyiak nya Putri di sini, sbb:

“It takes two to tango” kalau salah satu tidak mau tidak bisa terjadi sebuah rangkaian tarian indah.

Mas, aku senang kalau bisa mempertemukan sahabat-sahabat blogger, aku senang dia senang semua senang…apa lagi coba yang dicari. Apalagi kalau belum pernah ketemu. AKu ingin bisa bertemu semua kenalan, blogger, sahabat…at least sebelum semuanya terlambat dan Imelda hanya tinggal nama :D

Ada juga kok setelah bertemu malah menjauh dan bermusuhan, tapi yang penting aku sudah berusaha membuat jaring laba-laba yang kuat.

Kesempatanku hanya sekali setahun, karena aku jauh… Mungkin jika aku tinggal di Jakarta juga tidak akan segetol ini ingin bertemu teman :)

Hari Senin tanggal 25 Juli (aduh udah lama sekali berlalu ya?) itu aku melakukan dua pertemuan. Satu berupa kopdar dengan Uda Vizon dan satu berupa pertemuan dengan tokoh di dunia penulisan yaitu Mas Gola Gong. Keduanya orang yang saya hormati dan saya hargai karena kesederhanaannya sekaligus sepak terjangnya.

Memang sehari sebelumnya aku sempat kopdar dadakan dengan Uda Vizon, tapi saat itu boleh dikatakan aku tidak sempat bertukar sapa dengan Uda. Jadi pada pertemuan hari Senin itu aku mempunyai banyak waktu untuk bercakap-cakap dengannya.

Aku mengenal Uda Vizon melalui blog om-pak-mas Ordinary Trainer (memang dia makelar blog sejak aku mengenalnya th 2008). Kami mulai menjadi akrab sejak aku merencanakan kunjungan ke Kweni untuk bertemu bocah-bocah yatim di sana, Maret 2009. Jadi kopdar pertama kami adalah tanggal 5 Maret 2009 di hotel Rumah Mertua Yogyakarta. Bukan saja di kopdar pertama saja, tapi sejak aku chatting persiapan kunjungan, aku banyak belajar mengenai muslim dan agama islam  pada ustad bersahaja ini.

Setelah 2 tahun berselang, baru kami bertemu lagi kali ini di Jakarta. Tapi…rasanya kami sudah sering berjumpa, sampai aku kaget sendiri menemukan kenyataan bahwa aku dan Uda baru dua kali bertemu fisik. Rasanya aku cukup tahu tentang Uda dan keluarganya melalui blog, dan akhir-akhir ini melalui facebook.

Karena itu waktu kami melewati waktu dengan brunch sushi  di Sushi Tei Plaza Senayan, kami tidak lagi bertanya “Bagaimana kabar keluargamu” tapi sudah langsung berbicara mengenai pemikiran-pemikiran dan cerita-cerita lain yang belum diketahui dari blog masing-masing. Tentang gempa di Tohoku, tentang PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) seorang anak di Padang yang menyebabkan bapaknya pindah kerja, pindah kota. Suatu cerita yang sama yang dialami oleh adik iparku pasca gempa, meskipun penyelesaiannya berbeda. Mengenai kuliner Jepang karena kami makan sushi, mengenai pendidikan di Jepang dan lain-lain. Silakan baca juga tulisan Uda tentang kopdar kami di sini.

Satu tambahan cerita seperti yang juga sudah dituliskan Uda yaitu waktu kami keluar dari restoran sushi kami berpapasan dengan 4-5 orang murid SMA berseragam. Kami menyatakan keheranan kami dengan berpandangan, dan membandingkan situasinya dengan kami di jaman dulu. Mau traktir makan bakso saja susah, ehhh ini ke restoran sushi yang sudah pasti jauuuh lebih mahal, dan … yah bukanlah tempat makan yang cocok untuk pelajar. Mewah!

Tapi ternyata aku baru mengetahui  dari Apin sempai bahwa sekarang ada trend, kecenderungan di kalangan remaja untuk berlomba-lomba makan sushi. Seakan sushi itu menjadi “standar pergaulan”. Belum asyik rasanya kalau remaja sekarang tidak bisa makan sushi. Sehingga katanya banyak orang tua yang “terpaksa” mengantar anaknya makan sushi dan menraktir anak-anak di restoran sushi, sedangkan dia si orang tua sendiri tidak makan, HANYA SUPAYA ANAKNYA TIDAK KETINGGALAN JAMAN, dan tidak dikucilkan. Waaah suatu pendidikan yang salah. Jika alasannya untuk kesehatan (karena sushi itu memang termasuk makanan sehat) OK deh. Tapi untuk memenuhi standar pergaulan? Salah besar tuh. Turut prihatin atas kecenderungan ini. Di satu pihak aku memang senang bahwa semakin banyak orang Indonesia bisa makan dan mengetahui kuliner Jepang, tapi jika hanya untuk menjadi GAUL… tunggu dulu deh. Kerja dulu, cari uang sendiri dulu baru boleh makan makanan yang mahal. Tentu saja aku tidak menentang jika orang tua membelikan makanan mahal pada anaknya SESEKALI, karena aku juga selalu berusaha memberikan kesempatan pada anak-anakku untuk makan yang mewah dalam kondisi tertentu seperti peringatan/selamatan, tapi jangan jadikan kebiasaan. Memang benar “duit gue ini“, tapi pikirkan dampak negatifnya juga terutama di masa depan.

Terima kasih atas pertemuannya Uda. Semoga kita dapat bertemu lagi.