Gender Free

8 Mei

Aku sering mendengar kata ini dalam masyarakat Jepang, gender free... tapi kalau cari dalam huruf alfabet, tidak akan ketemu, karena ternyata kata “mirip” bahasa Inggris ini adalah Wasei Eigo 和製英語 Japlish, buatannya orang Jepang saja. Kalau mau tahu tentang Japlish bisa baca di sini. Soalnya kalau kita telaah dalam bahasa Inggrisnya akan terasa aneh. Gender = sex, jenis kelamin, sedangkan free artinya bebas. Bebas sex? Sex Bebas? weleh weleh nanti bisa kepikirannya free sex lagi 😀 Jadi kalau diperhatikan  “bebas jenis kelamin”, artinya tidak tahu dia itu berkelamin laki-laki atau perempuan.

Padahal maksudnya gender free itu adalah menghilangkan batasan-batasan yang dibuat oleh masyarakat yang dipatenkan pada jenis kelamin tertentu. Misalnya : laki-laki bekerja di luar sedangkan perempuan di rumah. Perempuan pakai make up, sedangkan laki-laki tidak. Perempuan pakai rok, sedangkan laki-laki celana panjang dsb dsb. Dan ya memang sekarang di Jepang banyak pula laki-laki yang pakai make up dan rok! (Bisa juga baca transgender di sini)

Mau tidak mau tadi pagi aku mengatakan soal gender ini kepada Riku. Jadi ceritanya Riku amat senang dengan set peralatan menjahitnya, sampai tadi pagipun dia masih berlatih menjahit. Lalu dia mengatakan pada papanya yang sedang duduk di meja makan.
“Riku mau kasih hadiah set peralatan jahit seperti ini ke Achan deh (Achan adalah panggilan kesayangan kepada bapaknya Gen – kakek)”
Lalu Gen menjawab, “Achan pasti tidak suka!”
“Kenapa?”

Lalu aku tahu bahwa Gen juga pasti tidak akan menjelaskan lebih lanjut, jadi aku yang menjelaskan pada Riku:
“Riku, sekarang Riku perlu belajar menjahit, perlu belajar macam-macam pekerjaan karena jaman sekarang ini ada kemungkinan kamu tidak menikah. Banyak orang yang akhirnya tidak menikah dan hidup sendiri. Jadi harus bisa semua. Sedangkan jamannya Achan, ada yang namanya gender, ada kebiasaan dalam masyarakat bahwa laki-laki bekerja di luar rumah dan tidak masak, tidak menjahit… karena pekerjaan itu adalah pekerjaan perempuan. Sekarang beda, dulu beda. Jadi kamu tidak bisa menyuruh Achan untuk menjadi seperti kamu di jaman ini dengan membelikan peralatan menjahit. Achan mungkin sudah bisa menjahit kalau perlu, tapi tidak dengan sukarela menyukai pekerjaan menjahit. Masih oldefo… kuno”

Sambil mangut-mangut Gen mengatakan,… iya ya, jaman berubah. Dan kupikir memang jaman berubah (terus). Bukan lagi tentang feminisme yang didengungkan wanita yang mencari kesamaan hak, tapi memang sudah harusnya begitu. Karena kalau tidak, kalau masih kolot, tidak akan bisa survive. Tidak bisa bertahan hidup!

Sebagai tambahan cerita, Kai sebetulnya ingin masuk latihan sepak bola di TK nya. Kalau ikut kegiatan ekstra kurikuler begitu, kami harus membayar tambahan 6300 yen perbulan. Dulu Riku juga ikut, tapi kebanyakan bolos, padahal mamanya bayar terus 😀 TAPI lucunya tahun-tahun ini tidak ada lagi pemberitahuan soal ekstra kurikuler sepak bola. Biasanya ada semacam pamflet yang membuka pendaftaran anggota baru. Aku heran dan sempat menanyakan pada seorang ibu. Katanya: “Sepak bola kan sekarang terkenal. Banyak anak perempuan juga yang mau ikut karena kemenangan tim sepakbola wanita Nadeshiko. Jadi langsung penuh. Banyak yang waiting list, tapi sepertinya tidak akan ada kesempatan untuk yang waiting list deh….” Di Indonesia? mungkin belum biasa ya?

Aku jadi teringat perkataanku pada Priskilla yang berkata, “Aneh ya aku mom, aku suka foto-foto tower seperti yang mommy ambil” Lalu aku bilang, “Aneh? Suka foto tower aneh dan menganggap seperti laki-laki? Gimana perempuan-perempuan yang suka manjat towernya? Kamu mau bilang apa tentang mereka? ” hehehe.

Tidak ada lagi yang aneh di sini, di Jepang. Meskipun aku masih sebal hilang kesempatan mengambil foto seorang laki-laki yang memakai rok panjang tipis seperti rok lilit di musim panas tahun lalu. Atau laki-laki yang mencukur alis mereka dan menggambarnya bagaikan perempuan! Harus bisa mengerti dan tidak menganggap aneh apalagi mendiskriminasikan mereka, meskipun berdoa sungguh-sungguh  jangan sampai anak-anakku seperti mereka 😀 (hush… prejudice lagi :D)

PKK dan OSIS

15 Apr

PKK yang kumaksud tentu bukan yang ibu-ibu PKK, tapi yang kepanjangan Pendidikan Ketrampilan Keluarga sebagai salah satu mata pelajaran di SD. Bahasa Jepangnya Kateika 家庭科. Dan sejak Riku akan naik ke kelas 5, menjadi topik pembicaraan ibu-ibu di pertemuan orang tua murid. Kenapa? Ya, karena di kelas 5 mereka harus belajar MENJAHIT! Aku sendiri pernah melihat pameran hasil jahitan anak-anak kelas 5 dan 6 SDnya Riku, dan wahhhh jahitannya bagus banget! Aku saja tidak akan bisa menjahit sebagus itu 😀 Gawat!

amplop pemesanan set alat jahit yang akan dipesankan oleh pihak sekolah

Nah, seperti tahun lalu-lalu waktu ada,pelajaran menggambar, kaligrafi dan musik, sekolah memesan alat-alat bersama. Sesuai dengan karakter anak-anak, kami orang tua tinggal memilih mau paket yang mana (karena gambarnya beda, maka biasanya anak-anak sendiri memilih yang mereka maui) sesuai karakter laki-laki dan perempuan. Tadi pagi aku melihat amplop pemesanan alat menjahit yang satu set harganya 3080 yen (sekitar 300 ribu Rp). Kita pilih mau set yang mana, dan masukkan uang ke dalam amplop itu.

bagusnya di sini ditanya apakah kidal atau tidak… Karena bentuk gunting dan beberapa alat berbeda untuk anak kidal dna normal. Diperhatikan sampai begitunya 🙂

 

Wah si Riku pilihnya klub bola barcelona tuh 😀 Keren sih. Tentu saja yang tidak mau membeli satu set bisa membeli isinya saja. Tapi karena aku sendiri tidak punya set menjahit yang bagus dan lengkap lebih baik pesan yang baru saja. Lagipula nanti bisa dipakai Kai kalau dia sudah kelas 5 kan? Lungsuran 😀 (Eh tapi setelah memilih alat jahit untuk Riku, aku jadi buka amazon, jadi kepingin beli untuk diri sendiri nih… selama ini yang penting ada benang putih/hitam dan jarum aja hehehehe)

tas berisi alat-alat jahit yang dipesan Riku. Keren dan sederhana 😉

Selain topik PKK, sesuai judulnya aku mau menulis soal OSIS nya Riku. Mulai kelas 5 mereka harus mengikuti kegiatan OSIS dan aktif di dalamnya, selain dari ekskul yang mereka pilih. Yang pasti di SD tingkat tinggi 小学校高学年 (kelas 5-6) mereka semakin sulit, semakin sibuk, dan semakin berinteraksi dengan murid/guru lain. Seperti yang pernah kutulis, dulu waktu kelas 4, Riku mengambil ekskul Science dengan praktikum macam-macam. Tapi karena tahun ini praktikumnya sama persis dengan tahun lalu, dia memilih ekskul lain. Dan ternyata di hari kedua, dia diberitahu bahwa Riku bisa masuk ekskul ilustrasi. Nah… sesuai dengan keinginan yang pertama.

Untuk kegiatan OSIS, akhirnya dia memilih ikut seksi Perpustakaan (tadinya kupikir akan memilih majalah sekolah, ternyata dia malah memilih perpustakaan). Wah cocok sekali dengan papanya 😀 yang memang kutu buku. Aku sendiri sekarang merasa aku bukan kutu buku lagi, karena sudah malas sekali membaca. Eh tapi masih suka beli buku dan simpan…. dan aku menjadi kutu beneran ya?karena membiarkan buku tertutup terus  hahahaha.

Nah tadi ada pertemuan seksi perpustakaan, dan dia menawarkan diri menjadi wakil ketua! Hebat ah… Rupanya di sini di setiap kegiatan berorganisasi, menghindari pemilihan berdasarkan suara. Lebih mengutamakan kesediaan orang tersebut untuk menjalankan tugas, dan tentu dengan melihat juga kemampuan serta apakah ada teman lainnya yang lebih pantas mengemban tugas itu. Kata Riku teman-temannya tidak ada yang mau, jadi dia angkat tangan. Good boy, sama seperti mamanya, yang sering angkat tangan karena tidak ada yang lain yang mau 😀

Waktu kulihat pointers pembicaraan seksi perpustakaan itu, tentu bukan membuat anggota seksi perpustakaan itu menjadi suka baca, tapi justru lebih dari itu, membuat teman-temannya suka membaca, dan berkunjung ke perpustakaan. Termasuk di dalamnya membuat pamflet, membuat kuiz, memperbaiki buku yang rusak, dll. Semoga deh, dengan menjadi seksi perpustakaan, dia semakin cinta buku dan suka membaca.

Sebagai penutup, tadi aku mendapat pemberitahuan dari gurunya Kai, bahwa dia akan datang ke rumahku tanggal 24 April jam 14:40 😀 Berarti aku harus membereskan rumah sampai sebelum itu… masih ada seminggu! Horreeee.

Aku juga mau mengucapkan terima kasih untuk peserta Giveaway Ultah TE ke 5 yang detailnya ada di sini. Aku harus memeriksa hasil ujian 40 peserta, tapi bagi yang masih mau ikut masih bisa kok. Kuiz BD TE5 akan ditutup tgl 22 April minggu depan, jadi masih ada waktu untuk belajar dan googling 😀 😉

 

 

PKK

28 Apr

Aku bukan mau membahas soal Perempuan Kurang Kerjaan loh, tapi Pelajaran Ketrampilan Keluarga di Sekolah Dasar.

Masih ingat pelajaran PKK di SD? Aku sih cuma ingat pernah coba merajut, menyulam membuat saputangan/celemek. Tapi lupa kelas berapa.

Di Jepang pelajaran PKK dimulai kelas 5. Waktu pameran hasil pelajaran PKK kelas 5 dan 6 di sekolahnya Riku, aku bisa lihat mereka membuat tas kain dan celemek. Dan hasilnya benar-benar bagus deh. Kalau ini pameran di Indonesia aku akan merasa yakin hasil itu dibuatin ibu atau tukang jahit deh hehehe (berdasarkan pengakuan salah satu teman di SMA, dia menyuruh tukang jahit tuh hihihi). Tapi anak SD di Jepang? Mungkin juga ortunya ya? Karena Riku belum kelas 5, ya aku belum tahu… nanti ya aku cari tahu 😀

Anak-anakku sejak kecil memang sudah menunjukkan minat pada pekerjaan rumah tangga. Kalau mereka lihat aku mengepel, mereka juga mau. Tapi hasilnya …becek di mana-mana. Kalau memang aku lagi “ngga angot” ya aku perbolehkan mereka membantu, tapi kalau lagi “High Voltage” aku bilang lain kali aja ya, soalnya mama buru-buru 😀

Setiap kali aku mau membuat kue pasti berebut yang mau memecahkan telur atau memutar mixernya. Tapi tentu saja mereka juga yang pertama mau memotong jika sudah jadi.

Tadi pagi ada kejadian yang membuat aku tercengang. Si Kai (3th) membungkus buku dengan selebaran seperti membungkus untuk kado. Dia minta diambilkan selotip, sehingga aku beri saja. Dan hasilnya cukup rapih loh. Padahal aku tidak pernah membungkus kado di rumah. Dia belajar atau melihat dari mana ya?

Kai membungkus buku dengan kertas pamflet toko + selotip. Kanan: hasil bungkusannya

Nah, kalau Riku (8th) waktu dia melihat aku menjahit label nama untuk seragam TKnya Kai beberapa waktu yang lalu, dia minta diajarin menjahit. Jadi aku ajarkan saja dulu cara memasukkan benang, membuat simpul dan jelujur. Tengah-tengah melakukan jelujur dia bosan hihihi.

Riku belajar memasukkan benang ke jarum. Yah sebentar lagi mama ngga bisa liat loh, musti minta bantuan kamu 😀

Tapi pada prinsipnya, aku selalu membiarkan anak-anak untuk mencoba berbuat sesuatu, sepanjang tidak berbahaya. Aku juga membiarkan mereka berkreasi dengan bahan yang ada. Setiap ada kardus bekas, Riku minta katanya mau membuat robot-robotan atau ntahapabentuknya. Jadi harap maklum ya kalau rumahku itu berantakan dan jika mau ada tamu membereskannya butuh waktu lama 😀 (alasan hihihi). Anak-anak memang harus diberi kebebasan. Bisa baca di tulisan Desri di 3 Contoh Pembunuh Kreativitas Anak.

Tulisan ini juga terinspirasi oleh tulisannya Devyi Yudhistira yang “Belajar di Dapur“.

Bongkar foto jadul ada foto Riku belajar buat kue waktu umur 3 th. Tanpa ada rival, dia punya waktu banyak bersamaku. Sekarang setiap Kai mau belajar, mesti diganggu oleh kakaknya yang juga mau membantu...susah deh 🙁