Solitaire dan Sendiri (2)

3 Mar

Entah apa yang menyebabkan aku menuliskan tentang Solitaire dan Sendiri di blog ini beberapa waktu lalu. Awalnya memang percakapan dengan sahabatku Nique yang mengatakan “Mbak aku mau nonton sendiri”…. “Loh kok bisa?” Eh… tapi aku juga bisa apa-apa sendiri, tapi tidak bisa makan sendiri di awal kedatanganku di Jepang, sehingga jadilah tulisan itu. Dan karena dilanjutkan oleh sahabatku ini dengan judul yang sama, maka akhirnya iseng kami berdua membuat Giveaway Mandiri, yang mengharapkan masing-masing blogger menuliskan kisahnya dengan judul “Solitaire dan Sendiri”.

Kesimpulannya : manusia itu (sebetulnya) bisa melakukan apa-apa sendiri! Apalagi jika terpaksa. Bahkan memang waktu kita menghadap ke Maha Pencipta kita juga dipanggil sendiri, dan menghadap sendiri. Kematian itu = kesendirian kita.

Tapi benarkah kita sendiri waktu menghadapi kematian? Waktu mama meninggal selama 3 hari disemayamkan di rumah, aku merasa bahwa mama memang meninggal sendirian, tapi diiringi oleh banyak doa dan layatan teman-teman yang hadir. Kami bisa membuat misa setiap malam dan bahkan misa pagi pelepasan sebelum dibawa ke kremasi. Detik-detik menyedihkan bagi kami sekeluarga adalah waktu peti ditutup dan waktu peti dimasukkan ke dalam pembakaran, selalu kami iringi dengan Doa Bapa Kami, Salam Maria dan kemuliaan tanpa henti. Aku bersyukur mempunyai doa-doa ini yang amat sangat menguatkan hati kami. Karena dalam doa kepada Bunda Maria, Bunda Yesus itu terdapat kata-kata : memohon doa Bunda bagi kami yang berdosa, sekarang dan waktu kami mati.

Dan yang pasti aku juga tidak merasa sendirian selama menghadapi kematian mama. Aku punya papa yang kuat dan tegar, yang dalam kesedihannya masih bisa memberi nasehat kepada para pasangan untuk saling menghargai. Dia juga amat menghargai keinginan mama untuk dikremasi padahal dirinya tidak setuju awalnya. Aku juga punya adik-adik yang begitu rukun dan sigap menyiapkan segalanya sebelum kami sampai di Jakarta. Tante-tante yang sigap mempersiapkan makanan buat tamu dan petugas. Saudara-saudara dan tetangga yang saling membantu. Ah persaudaraan itu memang indah.

Aku juga kaget waktu chatting dengan Nique kamis malam, waktu sedang packing untuk berangkat hari Jumatnya. Ternyata kamis pagi itu dia langsung datang ke rumah untuk melayat. Memang aku meninggalkan pesan padanya begitu aku mendengar berita mama meninggal dan memberi tahu bahwa aku akan pulang mendadak. Tapi aku tidak menyangka bahwa dia mencari alamat rumahku dan datang bertemu dengan papa dan adikku Novi. Aku juga senang mendengar bahwa Dharma, Sophie dan Kei langsung mengenali biuda Nique karena pernah bersama-sama pergi ke Kidzania.

Sahabatku Diajeng yang datang untuk menghibur

Selain biuda Nique, Kika juga hadir di rumahku, pas kami belum sampai di Jakarta. Hari Sabtu pagi aku dibangunkan dengan kedatangan Riris yang juga mewakili Reti. Masih kepet belum mandi, sahabatku Diajeng datang bersama putrinya (Diajeng juga menulis di sini). Setelah itu datanglah rombongan blogger Mbak Monda, Putri, Krismariana, Bu Enny dan Yoga. Juga Eka dan husband. Dan tentu saja kami tak lupa berfoto bersama. Bahkan papa mengatakan :”Hati-hati bicara di sini nanti ditulis loh di blog masing-masing” hehehe. Kunamakan pertemuan kami hari itu dengan “Kopdar Duka”.

Putri, Monda dan Krismariana

Tapi yang paling membuatku terkejut waktu upacara penutupan peti hari Sabtu malam, ada seorang wanita yang kupikir salah satu saudara dari keluarganya adik iparku yang memang berwajah “jawa” sekali. Tapi setelah itu di belakangnya kenapa ada broneo? Ya ampuuuuun ternyata Nana dan Broneo datang! Alangkah senangnya bisa bertemu karena aku sama sekali tidak menyangka. (Aku juga sempat heran mereka tahu alamatku dari siapa ya hehehe).

Bersama bu Enny

Malam itu juga Retty N Hakim sempat datang. Ah teman-teman bloggerku ini memang semua baik-baik. Belum lagi ucapan tanda duka yang disampaikan lewat berbagai media, FB, twitter, Blog dsb. Bahkan RZ Hakim juga menulis khusus di sini. Terima kasih atas semua dukungan dan doa dari semua teman-teman.

Nana dan Broneo

Merasa sendiri? Ah tidak perlu lagi, karena sesungguhnya teman itu banyak sekali, asal kitanya mau bergaul dan membuka diri. Dan tentunya selain itu kita wajib menjaga silaturahmi. Sapalah teman-teman yang mungkin  sudah lama tidak bertegur sapa, jangan hanya waktu perlu saja. Mungkin dengan sapaan kita, dia akan terhibur. Aku juga mau minta maaf pada teman-teman yang mungkin sudah lama tidak kusapa. Ingatkan aku juga ya.

Putri masih sempat narsis dengan Riku

Giveaway Mandiri: Solitaire dan Sendiri yang diikuti oleh 61 peserta juga sudah berakhir dengan pengumumannya di sini. Selamat untuk para pemenang.

 

 

PULANG

29 Feb

(lanjutan cerita kepulangan mendadakku untuk menghadiri upacara pemakaman mama)

Aku bangun pukul 3:30 dini hari. Supaya tidak ketiduran aku sengaja memasang alarm pada pukul 3:30, 4:00, 4:30 dan 5:00. Kami merencanakan berangkat pukul 5:30 ke Narita, meskipun pesawat Garuda yang kami tumpangi berangkat pukul 12:00 siang. Hari kerja biasa (Jumat) sehingga jalan sulit diprediksi. Apalagi ada sebagian jalan menuju Narita yang sedang ditutup, sehingga mau tidak mau kami harus mengambil jalur lain, yang kemungkinan padatnya sangat besar.

Setelah membuang isi lemari es yang berpotensi busuk, membersihkan dapur dan membuang sampah, aku menutup koper yang telah kupersiapkan semalam. Tentu saja isinya hanya baju hitam semua 🙁 Karena di Jepang sedang musim dingin, semua baju musim panas yang tipis sudah kusimpan dalam kardus-kardus di lemari. Jadi waktu packing aku harus membongkar kardus-kardus itu untuk mencari baju-baju yang cocok dipakai di Jakarta. Paling sulit travelling ke negara musim panas di bulan-bulan November – Maret karena perbedaan cuaca yang begitu besar. Tapi sempat terpikir olehku, “Ah aku kan sama besarnya dengan mama, aku bisa pinjam baju mama”.

Anak-anak bangun pukul 5 pagi dan tanpa banyak rewel langsung bersiap, ganti baju. Tepat pukul 5:30 kami turun dari apartemen menuju mobil di parkiran. Rekor terbaru karena biasanya kami molor 15-20 menit dari rencana awal (dan tentu sudah aku perhitungkan waktu menentukan jam berangkat, maklum aku sadar orang (setengah) Indonesia sering juga jam karet :D). Cuaca saat itu: berangin! tapi hangat, tampaknya musim semi sudah mulai mengetuk pintu.

Perjalanan ke Narita cukup lancar. Kemacetan hanya terjadi di titik-titik tertentu, sehingga pukul 8:30 kami sudah sampai di Narita. Setelah mencari parkir di terminal 2 yang akan kami pakai untuk 4 hari sampai Gen kembali dari Jakarta, kami pergi ke check in counter. Memang parkir dalam gedung keberangkatan ini mahal, karena untuk 4 hari kami harus membayar 8000 yen. Tapi kami sudah malas mencari tempat parkir di luar bandara yang lebih murah. Jadi untuk kepraktisan kami putuskan untuk parkir di terminal keberangkatan Narita.

Garuda berada di Counter D. Sudah lama aku tidak pakai maskapai kebanggan negeriku ini. Ada mungkin 15 tahun. Tapi kali ini aku memang harus mengalah dan membeli tiket Garuda, karena satu-satunya Garuda merupakan satu-satunya maskapai yang menyediakan tiket murah Tokyo – Jakarta meskipun untuk keberangkatan hari berikutnya. Memang aku diberitahu bahwa jika mau aku bisa langsung pergi ke Narita dan membeli tiket khusus untuk wni dengan special rate, tapi masalahnya yang pergi bukan hanya aku saja.  Dua krucil dan suamiku kan warga negara Jepang. Dan rasanya lebih aman jika tiket sudah di tangan sebelum berangkat ke Narita.

Karena selalu dimanjakan oleh maskapai penerbangan Jepang yang memungkinkan kita memilih tempat duduk waktu membeli tiket, sedangkan Garuda mengharuskan pemilihan tempat duduk pada waktu cek in, membuat kami juga ingin cepat datang di counter tersebut. Dan karena masih pagi, kami mendapat tempat duduk di bagian depan, meskipun sempat Tina bertanya apakah aku tidak apa-apa duduk di nomor 13. Ah aku tidak pernah percaya superstitious seperti itu.  Kami boarding sesuai waktu, meskipun aku sendiri tidak melihat jam. Payahnya sekarang aku terlalu mengandalkan jam di HP, sehingga jika HP dimatikan, aku tak tahu waktu.

Perjalanan selama 8 jam cukup lama, tapi karena kami berangkat berenam, deMiyashita + adikku Tina dan temannya Kiyoko a.k.a Koko  (disebut papa sebagai anak ke 3,5 – sebagai anak angkatnya di Jepang) perjalanan yang lama itu tidak terasa. Aku lebih banyak tidur daripada menonton film atau bermain game seperti Riku. Aku duduk berdua dengan Kai, sedangkan Gen dengan Riku. Kai memang masih belum bisa berpisah dariku. Oh ya di dalam pesawat aku juga sempat menulis kejadian hari kamis yang aku posting kemarin.

Kami mendarat pukul 6  sore di Cengkareng. Karena semua keluarga sibuk mempersiapkan misa yang akan diadakan pukul 19:30, kami dipesankan taxi besar Tiara Express, jadi tinggal naik mobil alphard yang cukup untuk 6 orang + 3 koper. Amat nyaman, dengan supir yang ramah apalagi aku bisa minta charge BBku dalam mobil itu. Tahu ada taxi begini, mending aku naik taxi setiap kali datang ke Jakarta, karena berarti tidak merepotkan penjemput. Apalagi taxi ini mencari jalan yang tidak macet, sehingga yang biasanya lewat Slipi, kami lewat Kebun Jeruk. Kami sampai di rumah pukul 19:40. Langsung masuk karena kami sudah ditunggu misa.

Dan…. aku pertama kali melihat jenazah mama….dengan muka mama yang tertidur di depanku persis selama misa.

Meskipun mukanya agak biru karena serangan jantung, mama terlihat seperti tidur saja. Tidak ada tanda kesakitan atau perubahan pada mama. Menurut papa, hari Rabu Abu tgl 22 Februari itu, merupakan hari besar bagi agama Katolik. Pada hari Abu kita diingatkan bahwa manusia berasal dari abu, dan akan kembali menjadi abu. Dan pada hari Rabu Abu, umat katolik melakukan pantang dan puasa (puasa katolik berarti satu kali makan kenyang). Jadi mama dan papa pergi misa pukul 5:30 pagi, menerima abu, menerima komuni. Sesuai kebiasaannya juga setiap jam 12 dan jam 3 berdoa rosario. Mama pun puasa pada hari itu. Sekitar pukul 19:30 malam mama minta pada mbak Win untuk dibantu waktu mandi. Memang sejak mama stroke tahun 2008, mama perlu dibantu kalau mandi. Katanya mama minta mandi yang bersih, cuci badan dan cuci rambut. Rupanya waktu itu Mama  sudah mulai merasa sakit tetapi ditahan, dan “mengancam” mbak Win untuk tidak memberitahukan pada papa. Pukul 10 malam Andy adikku yang bungsu masih mendapat ciuman sebelum dia pamit pergi. Setelah itu tidak ada yang tahu.

Menurut papa, akhir-akhirnya ini setiap papa terbangun tengah malam, pasti menemukan mama sedang berdoa. Tapi tengah malam itu, papa tidak melihat mama di tempat tidurnya. Maka papa yang memang mau ke kamar kecil, menuju kamar mandi. Dan disitulah mama ditemukan, sudah tidak bernadi. Saat itu pukul 00:45. Langsung dilarikan ke UGD RSPP, tapi dokter mengatakan bahwa sudah tidak bisa, karena sudah lewat 30 menit. Serangan jantung, dengan kemungkinan meninggal sebelum tanggal berganti, yaitu Hari Rabu Abu. Seandainya benar hari Rabu Abu, alangkah sempurnanya mama, mempersembahkan tubuhnya sendiri pada hari di saat manusia memperingati awal Pra Paskah dan mengingat bahwa manusia berasal dari abu dan akan kembali menjadi abu. Semoga Tuhan menerima persembahannya …. dan persembahan kami, keluarga yang ditinggalkannya. Tidak ada lagi hari yang lebih indah untuk menghadap Bapa di surga. 

 

Begitu banyak penghiburan yang diberikan kepada kami. Konon misa pada hari kamis malam (malam pertama) dihadiri oleh ratusan orang, sehingga ada beberapa teman yang pulang karena tidak bisa masuk.  Tapi tentu saja selama misa kami masih tidak bisa menahan isakan tangis kehilangan seorang ibu, seberapapun dia sudah panjang umurnya, atau seberapapun dia sakit karena bagaimana pun juga dia adalah orang tua kami, kekasih kami. Kehilangan itu perih, tapi aku ikhlas dan sebagai anak yang tertua aku harus tegar.

Malam itu aku menemani adik-adikku menjaga mama sepanjang malam, sambil berdiskusi mengenai pemakaman mama yang mengikuti kemauan mama sendiri yaitu dikremasi. Suatu cara pemakaman yang tidak biasa di antara keluarga kami, apalagi bagi masyarakat  selain masyarakat chinese yang memang mempunyai kebudayaan kremasi. Malam itu kami kakak beradik mengadakan “rapat keluarga” di depan jenazah mama. Malam itu aku pulang dalam arti sesungguhnya, pulang ke rumahku, pulang ke keluargaku, pulang ke  ideologi keluarga kami yang berlandaskan agama kami : katolik.

“Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepadaKu. Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempatKu, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada.” (Yohanes 14 : 1-3)

 

 

 

Kamis Kelabu

27 Feb

Sebelum saya  menuliskan posting ini, perkenankan saya mengucapkan banyak terima kasih atas ucapan belasungkawa lewat media apa  saja dan doa yang dipanjatkan teman-teman blogger sehubungan dengan meninggalnya Mama terkasih, Elizabeth Maria Mutter yang meninggal hari Kamis 23 Februari yang lalu. Saya yakin sekali bahwa mama sekarang berada di surga, dari apa yang saya alami selama 44 tahun bersama mama, dan terutama pada 3 hari terakhir melepas mama ke peristirahatan abadi. Keyakinan saya ini membuat saya merasa harus berbuat lebih baik lagi dan berdoa lebih banyak lagi, supaya kelak saya bisa bertemu dengan mama tersayang di dunia abadi.  Sedih dan sepi memang… apalagi jika terkenang akan tawanya, keras kepalanya, dalam kebiasaannya, atau lewat benda-benda miliknya. Tapi saya menikmati hari-hari berkabung ini juga sebagai salah satu proses kehidupan.

senyum yang tak kan pernah kulupa

***

Jika harus menuliskan judul dengan nama hari saat aku menerima berita terburuk dalam hidupku, pada tanggal 23 Februari itu, maka aku akan menuliskan Kamis Kelabu. Tapi dalam ke-kelabu-an hari ini, ada banyak sekali peristiwa yang membuatku bersyukur dan terlindungi oleh kuasa Tuhan.

Kamis 23 Februari

Aku terbangun sekitar pukul 2 pagi waktu Jepang (Jam 12 WIB). Maksudku untuk print out  bahan rekaman sebuah pekerjaan baru. Sudah cukup lama tidak ada kegiatan rekaman yang aku lakukan. Bahannya hanya 2,5 halaman,meskipun tidak susah,ada beberapa kalimat bahasa Inggris yang harus aku ucapkan.  Setelah mencetak bahan rekaman itu, aku juga menyiapkan bahan untuk mengajar hari Jumat.  Minggu ini memang jadwal padat setiap hari. Jumat itu kebetulan aku harus menggantikan teman mengajar.

Sambil mempersiapkan bahan-bahan itu, aku melihat ada email yang masuk. Betapa terkejutnya aku begitu menerima email dari adikku berjudul “Segera Pulang”. Mama sudah kembali pada Bapa. Segera telepon kami.
Aku langsung menelepon rumah di Jakarta dan cukup terkejut bahwa Dharma, si sulung yang mengangkat teleponku. Saat itu sudah pukul 2 pagi WIB. Lalu dia jelaskan bahwa Mamanya sedang di RS. Dia juga yang mengatakan bahwa Oma jatuh di kamar mandi, trus Opa teriak. Jadi oma dibawa ke RS. Setelah menanyakan no HP mamanya, aku langsung menghubungi mamanya. Aku sempat bicara dengan Opa, dan opa mengatakan bahwa mama akan dibawa ke rumah. Suatu keputusan yang melegakan. Karena biasanya orang-orang Jakarta akan memakai Rumah Duka selain rumah untuk segi kepraktisan. Tapi jika disemayamkan di Rumah Duka seperti itu maka kami tidak akan bisa selalu bersama mama, sampai saat penguburan. Jadi waktu papa mengatakan “bawa ke rumah”, aku setuju sekali. Ya, aku ingin selama mungkin bersama mama sebelum melepaskannya selamanya.  Aku katakan pada papa bahwa kami akan segera mencari tiket untuk berangkat Jumat pagi.

Saat menerima berita itu aku memang bisa tenang, apalagi Novi dan Opa juga menjawab dengan tenang. Tapi tidak setelah aku menutup telepon. Pukul 4 dini hari, aku menelepon Tina, adikku yang di Yokohama. Dia tidak angkat… pasti masih tidur… Dan tak lama Kai terbangun, menangis. Biasanya dia hanya berteriak, “Mama neyou… (Mama tidur yuk)”, tapi pagi ini dia menangis, dan belum sempat aku masuk kamar, dia sudah keluar kamar dan menemukan aku menangis.

“Mama kenapa menangis?”
“Oma meninggal”
Kamisama no tokoro? (Ke tempat Tuhan)”
“Iya, ke surga”
Iin janai? (Bagus kan?)
dan dia memeluk aku dan tertidur dalam pelukanku.

Aku tahu bahwa aku tidak bisa pulang hari itu juga (Kamis pagi). Karena jika begitu, aku harus segera bersiap pergi ke bandara.
Lagipula aku ada kerja studio jam 12 yang tidak bisa digantikan orang lain. Jadi aku memutuskan mencari tiket apapun juga untuk Jumat pagi. Sambil aku membatalkan pekerjaan lainnya selama aku pergi ke Jakarta.

Tidak biasanya Gen juga terbangun kira-kira pukul 4:30 , dan terkejut juga mendengar berita itu. Kai yang biasanya sangat rewel jika aku tidak mengikuti kemauannya, dapat mengerti bahwa mamanya sibuk, sehingga dia malah tiduran di lantai kamar makan. Sebelum pukul 6 Riku juga terbangun. Anak sulungku ini memang perasa sekali sehingga begitu mendengar Omanya meninggal langsung menangis terisak-isak tak terbendung. Kami berdua cuma bisa berpelukan saja.

Hari itu hujan. Langit Tokyo seperti ikut bersedih. Masing-masing pergi ke tempat kerja dan belajar. Bagiku hari Kamis itu amat melelahkan. Sesudah mengantar Kai ke sekolah aku langsung ke Tachikawa untuk mengurus re-entry visa. Aku cuma punya waktu 2 jam termasuk waktu untuk naik kereta. Aku tahu bahwa mengurus re-entry itu sebenarnya cepat…. tapi di hari hujan begini, biasanya macet.

Tapi aku merasa Tuhan membantuku. Waktu untuk menunggu bus, kereta, taxi tidak lama, langsung ada. Hanya satu yang kulupa
bahwa untuk mengurus re-entrypermt itu aku harus membeli meterai (3000 yen untuk single dan 6000 yen untuk multiply yang berlaku 3 tahun). Tentu aku butuh yang 3 tahun, tapi… di dalam kantor imigrasi Tachikawa itu tidak ada penjualan meterai! Sebelum giliranku sudah ada 13 orang yang sudah mengantri. OK, dalam hujan aku lari membeli meterai di toko konbini terdekat, sambil berdoa supaya giliranku tidak dilewati.

Benar saja proses mendapatkan re-entry tidak sampai 10 menit. Langsung lari mencari taxi, karena aku harus naik kereta jam 11:46 supaya bisa sampai di Stasiun Kanda tempat studio. Karena lama tidak ada taksi yang lewat, aku sambil menunggu bus juga. Nah saat itu ada taxi, tapi dia bertanda Kaisou 回送, berarti pulang (tidak terima penumpang). Tapi si supir membuka jendela dan bertanya mau kemana?
“Ke stasiun Tachikawa”
OK naik saja……

Aduh benar-benar berkat Tuhan. Aku naik taxi itu sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Kata si supir, “Abis Anda kelihatannya susah bener. Terbaca gerakan bibir “Ah kaisou ” dengan nada kecewa. Saya toh hanya mau makan siang saja (jam 11:30) jadi kalau dekat saya pikir tidak apa-apa”
“Saya benar-benar berterimakasih. Karena saya harus naik kereta jam 11:46 ke Tokyo. Makanya saya juga sambil menunggu bis”
“Oh kalau bus pasti tidak keburu, karena bus kan putar-putar dulu. Semoga jalannya tidak macet ya bu.”

Batere HP tinggal 2 garis…Hmmm harus hemat-hemat karena kalau sampai habis sebelum stasiun Kanda, aku akan bingung mencari staf yang akan menjemput aku ke studio. Jadi aku hanya menelpon adikku Tina menanyakan soal tiket. Aku percayakan soal tiket kepadanya, karena aku sendiri tidak bisa, karena di jalan terus. Aku juga senang karena Gen mendapat ijin cuti dari bossnya dan bisa ikut bersama untuk 3 hari.

Akhirnya aku bisa naik kereta yang sebelumnya jam 11:43. Benar-benar berterima kasih pada pak supir, yang masih mengingatkanku untuk tidak berlari karena jalanan licin karena hujan. Bisa duduk dengan tenang dalam kereta yang kosong. Aku matikan HP untuk menghemat batere, dan … tidur. Ya aku tidak tidur lagi sejak terbangun jam 2. Dan aku memang bisa tidur di dalam kereta cukup enak. Cukup untuk charge energi.

Yang menjadi masalah, aku lapar! wah lucu juga kalau perut keroncongan waktu sedang rekaman. Memang aku sampai di stasiun Kandanya cukup pagi dari janji jam 12:45. Masih ada waktu 15 menit. Andai saja ada kedai kopi “pronto”. Tapi aku lupa bahwa Kanda  (west exit) itu kecil dan tidak ada kedai atau toko roti dalam stasiunnya. Kecuali aku berjalan ke pertokoan sekitar stasiun. Ya sudah aku cukupkan dengan minum minuman jelly “energy” dari wieder. Minuman jelly ini biasanya cukup menahan rasa lapar  ntuk 2 jam, karena konon minuman ini setara dengan 1 kepal nasi. Pas aku mau minum …. si Mr Staff mendatangiku. Aduuuh kamu juga kepagian!

Jadi aku menjelaskan kenapa aku minum minuman jelly itu. Staff ini lelaki muda yang cukup tampan, tapi halus sekali. Sambil memegang bahuku, dia sampai menanyakan apakah aku tidak apa-apa…. Dia bilang studio tidak sampai 1 jam kok jadi bisa cepat-cepat  pulang. Aku hanya minta satu. Diperbolehkan men-charge HP ku selama aku rekaman 😀 Lumayan deh. Memang batere HPku boros sekali kalau dipakai untuk internet, padahal aku perlu. Oh ya, satu lagi yang aku berterima kasih pada Tuhan waktu itu, suaraku tidak berubah meskipun habis menangis banyak. Juga tidak terpengaruh cuaca sehingga rekaman cukup 1 kali take.

Jam 1:30 aku sudah berjalan kembali menuju stasiun Kanda dari studio. Puas karena batere HP cukup dan aku langsung membalas  mail dari Tina yang masuk selama aku rekaman. Uh ternyata aku salah ketik, kebanyakan angka untuk nomor paspornya Gen.  Menyusuri jalan pertokoan yang penuh dengan berbagai retoran kecil, tidak membuatku ingin memasukinya. Padahal lapar! Ntah, aku hanya ingin sepotong roti dan minuman hangat seperti sup atau cocoa. Tapi tidak ada yang kumaui. Sempat tergoda untuk memasuki resto sushi, tapi ternyata daya tariknya tidak cukup kuat mengalahkan rasa malas makan.

Sambil menghubungi Tina, aku mengetahui bahwa travel yang menyediakan tiket kami berada di Stasiun Kichijoji, stasiun yang akan ku tuju untuk pulang. Ya daripada Tina susah-susah mengurus tiket sembari kerja. Kerjaku sudah selesai jadi aku bisa take over proses  pembelian tiketnya. Jadi kupikir aku bisa juga makan di stasiun Kichijoji saja. Eh ternyata mengurus tiket itu cukup lama dari jam 2:30 sampai 4:30 aku berada di travel biro tersebut.

Dengan waktu tersisa 30 menit, aku cepat-cepat naik taksi pulang untuk menjemput Kai di TK nya. Pekerjaan sudah selesai, tiket di  tangan, anak-anak di rumah, dan bisa online di komputer rumah. Sambil masak makan malam, aku packing. Sekitar pukul 8:30 Kai  mengajak aku mandi air panas. Why not… berendam air panas merupakan kemewahan yang tidak bisa kurasa di Jakarta, karena di  Jakarta hanya bisa shower saja. Eh sewaktu kami masih berendam, Gen pulang! Tak kusangka dia bisa pulang secepat itu, karena pasti dia harus mengurus pekerjaan selama dia cuti 2 hari, hari Jumat dan Senin.

Jam berapa aku tidur? Aku hanya sempat tidur dari jam 1:30 sampai jam 3:30 Jumat pagi. Cukup dua jam saja… kebiasaan baruku sampai hari Minggu 26 Februari.