Gelap euy

28 Mar

Hari ini pertama kali aku menyetir lagi ke arah kota Tokyo, Meguro-ku tepatnya ke Sekolah Republik Indonesia Tokyo. Selama 2 minggu kursus bahasa Indonesia yang aku ajar itu libur. Minggu pertama karena sesudah gempa dan pemadaman bergilir, tidak adanya transportasi dsbnya, masih chaos sesudah gempa. Sedangkan minggu ke dua memang karena hari libur di Jepang, equinox day (21 Maret).

Hari ini kami keluar rumah lebih cepat 30 menit dari biasanya, karena aku mau mampir ke drugstore untuk membeli odol untuk Riku (heran deh Odol deMiyashita itu macam-macam, setiap orang punya kesukaan masing-masing. Jadi wastafel penuh dengan odol berbagai jenis :D. Semoga di rumah teman-teman tidak begitu ya hehehe). Aku sekalian juga mau inspeksi barang apa yang tidak ada.

Masuk ke drugstore itu, kesannya sudah suram, karena penghematan listrik jadi lampu juga dikurangi. Putar-putar rak, ambil sabun cuci, ambil sabun cuci piring, lalu ke tempat tissue. Wah tissue kotak tidak ada! Memang sejak gempa tissue kotak seakan menghilang dari peredaran. Entah stock habis, ntah produksi berhenti. Padahal tissue kotak itu termasuk barang utama di rumahku. Karena semua sering pilek alergi. Tidak ada tissue kotak! Hmmmm mungkin kalau ibu Jepang sudah panik ya? Tapi aku tidak! Karena dulu waktu aku kecil di Jakartapun tidak ada tissue. Kami mempunyai saputangan sebesar handuk face towel, terbuat dari bahan gauze (yang biasa dibuat popok bayi) , yang dibuat mama khusus (Kata Gen: “hebat perawat kita” karena dulu mama memang perawat) . Bahan itu lembut sehingga tidak melukai hidung kami yang memang sensitif. Nah! Aku masih punya beberapa kain gauze  di rumah dan bisa dijadikan saputangan. Back to nature deh, tanpa tissue!

Barang lain yang tidak ada adalah air mineral 2 l. Habis! Masih ada tertempel di raknya “Satu keluarga 1 botol”. Rupanya waktu pemkot Tokyo mengumumkan agar bayi tidak minum susu dari air keran, semua orang menyerbu penjualan air mineral (kecuali imelda tentunya, wong untuk bayi kan…. dan memang masih ada persediaan RO Water yang aku khususkan untuk anak-anak saja.)

Oh ya, satu lagi yang sedikit persediaannya adalah pembalut wanita! Nah loh, kalau tidak ada persediaan, cukup panik juga ya. Susah memang menjadi wanita itu. Dan aku yakin sedikit sekali pembaca TE yang pernah hidup di jaman belum ada s*ftex hehehe. Jadi tidak tahu kan, bagaimana penyelesaiannya jika tak ada pembalut wanita. Sekali lagi kecanggihan mama akan tergali kembali, karena jaman baheula aku masih sempat memakai pembalut kain buatan mama…. lagi-lagi dari bahan gauze. Kalau sampai harus begitu, ya apa boleh buat yah hehehe. Asal jangan kembali ke jaman batu deh. Tanpa kain….. berarti harus pakai rumput, seperti wanita-wanita di Papua jaman dulu 😀

Aku jadi teringat dulu kami sering beli s*ftex dalam kemasan kardus di pasar belakang rumah. Jaman dulu satu kardus berisi sekitar 12 pembalut, dan langsung masuk kardus tanpa diplastiki satu per satu seperti sekarang. Tak jarang kami menemukan bangkai kecoak di dalam kardus itu…hiiiiii 😀

Tadinya aku mau lihat satu-persatu barang apa lagi yang tidak ada, tapi karena waktunya tidak banyak jadi aku cepat-cepat membayar belanjaanku. Pegawai kasir yang melayaniku ternyata orang yang mengenalku. Sudah beberapa kali dia menegurku setiap aku belanja di situ. Dan kali ini sambil dia men-scan harga barang yang kubeli, dia curhat padaku, “Aduh aku menghilangkan buku catatan kesehatan anakku. Bagaimana ya?”
Aku cukup heran kok tanya padaku, “Loh tidak apa-apa, pasti bisa minta ganti ke kelurahan. Jangan khawatir”
“Tapi kan data-data vaksinnya tidak ada lagi”
“Kan dia pernah sekolah TK. Waktu mendaftar kan kamu tulis data-data vaksin segala di kertas formulir. Minta copynya saja ke TK itu. Tinggal disalin kembali ke buku catatan yang baru”
“Oh iya ya…. terima kasih. Saya sudah panik kemarin, tidak tahu mau tanya ke siapa. Kalau tanya ibu saya, pasti dia marah-marah.”
“Pasti tidak apa-apa. Kalau perlu bisa tanya ke RS tempat kamu menerima vaksin, mereka pasti punya catatannya juga”

Buku catatan kesehatan ibu dan anak, sejak kehamilan sampai sekitar usia 12 tahun

Begitulah aku yang orang asing menenangkan warga Jepang. Sok teu banget ya aku hahaha. Dan saat menulis posting ini aku baru sadar bahwa odolnya Riku tidak terbeli, karena lupa hahaha.

Dengan santai aku menyetir di jalan yang tidak begitu padat. Rekor deh 30 menit sudah sampai di Meguro, padahal tidak ngebut loh. Langsung mengantar anak-anak ke rumah teman untuk menunggu aku selama aku mengajar. Dan aku sendiri ke SRIT. Di koperasi SRIT aku beli mie sedap, kecap manis, dan…batagor. Wah rejeki aku bahwa ada ibu-ibu orang Indonesia yang membuat batagor untuk kantin, dan aku kebagian. Satu bungkus 200 yen, cukup untuk menahan rindu pada siomay bandung deh hehehe. (Belinya sih ngga satu bungkus, semua yang tersisa aku beli tuh hahaha)

slurp...sambil membayangkan siomay bandung nih

Hari ini ada 3 murid yang absen, 4 yang hadir. Karena takut kehabisan kereta, maka pelajaran dipersingkat seperempat jam. Aku juga cepat-cepat menjemput anak-anak dan menyetir pulang. Untuk pulang aku harus melewati jalan Kan 7, jalan yang cukup besar di sebelah barat Tokyo. Dan saat itu aku perhatikan, waaahhh lampu listrik di sepanjang jalan Kan 7 itu mati! Hanya beberapa yang nyala. Pantas terasa gelap. Suasana yang sama seperti yang aku rasakan setiap aku mendarat malam hari di Soekarno Hatta, dan memasuki jalan tol, kemudian ke arah kebayoran. Gelap!

Ternyata yang salah bukan Jakarta, tapi Tokyo! Tokyo selama ini terlalu terang benderang deh. Buktinya Kan 7 tanpa lampu jalan saja masih terang kok, karena banyak mobil yang lewat. Bagus deh dengan demikian orang Tokyo juga belajar untuk berhemat listrik. Selama ini terlalu manja nih. Dan ntah kenapa aku juga merasa semua mobil mengurangi kecepatannya. Sebelum gempa, aku lumayan bisa ngebut di Kan 7, tapi hari ini bawaannya santai sekali. Ah…. kalau terang memang rasanya adrenalin juga meningkat dan semangat untuk “berlari terus”. Kali ini Jepang juga harus slow down ….dan kadang memang perlu juga kita slow down ya.

Air Keras dan Air Lunak

15 Okt

Bukan minuman keras, tapi Air Keras dan Air Lunak. Sudah pernah dengar? Dan yang pasti Air Keras yang kumaksud ini  bukan air keras yang sering disebut-sebut sebagai pengganti merkuri (Hg) atau air raksa. Tapi ini mengenai kesadahan air.

Air sadah disebut juga air keras (hard water) , sedang yang tidak sadah disebut air lunak (soft water). Kesadahan air menunjuk kandungan mineral-mineral tertentu dalam air, terutama ion kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) dalam bentuk garam karbonat. Tapi tentu saja ion logam, garam bikarbonat dan sulfat juga bisa menyebabkan kesadahan itu.  Jadi air sadah atau air keras adalah air yang kadar mineralnya tinggi sedangkan air lunak kadar mineralnya rendah.

Lalu bagaimana tahunya air itu sadah atau tidak, keras atau lunak. Yang paling mudah adalah dengan sabun. Jika berbuih banyak maka air itu air lunak, tapi jika berbuih sedikit maka termasuk air keras. Sebetulnya kita juga dapat melihat bahwa air keras karena mengandung mineral tinggi dapat menyebabkan garis kuning seperti karat di keramik tempat cuci tangan, atau membuat endapan di sekitar mulut ledeng.

Sebetulnya kesadahan air minum bisa langsung diketahui waktu meminumnya. Mungkin karena saya sudah lama tinggal di Jepang, lidah saya jadi bisa membedakan air minum itu air keras atau air lunak. Dan istilah  air keras  (硬水 kousui) air lunak (軟水 nansui) memang sering dipakai di Jepang (berlainan dengan di Indonesia, mungkin karena di Indonesia lebih banyak air keras ya?) Tadinya saya juga tidak tahu apa-apa mengenai kesadahan air ini. Saya baru tahunya (bahwa saya bisa membedakan air keras dan lunak itu) pada waktu mengadakan kunjungan ke pabrik Suntory Natural Mineral Water yang terdapat di Hakushu. (Tulisan ini seharusnya saya buat sudah lama, bersamaan dengan kunjungan ke Pusat Kupu-kupu Oomurasaki)

Kami sekeluarga memang kadang-kadang  membeli air mineral merek ini, sebelum minum air RO Pure Water yang sudah saya tulis di tulisan sebelum ini (Air Minum Gratis), atau kalau kami lupa dan tidak sempat mengambil air di supermarket tersebut. Sebagai jaga-jaga jika terjadi gempa bumi. (RO water itu hanya tahan 2 hari jika dibiarkan di suhu kamar, atau seminggu jika dimasukkan dalam lemari es. Mineral Water tentu jauh lebih tahan lama)

Karena mengenal merek ini, dan waktu mencari di internet, ternyata pabrik ini mengadakan open-house kunjungan ke pabrik setiap hari! Bayangkan setiap hari loh. Tapi memang kami baru bisa mengunjunginya Minggu 29 Agustus. Tentu saja pakai acara antri karena penuh nuh nuh pas week end dan akhir liburan musim panas.  Orang Jepang memang suka ya pergi ke tempat-tempat begini. Berwisata sambil belajar. Karena selain mengunjungi pabrik air minum (penyulingan/ pembotolan –seluruh proses), di lokasi yang sama ada pabrik pembuatan whisky. Tapi karena saya tidak suka whisky, jadi tidak mengikuti program kunjungan ke pabrik pembuatan whisky.

Kami diantar guide cantik dari perusahaan Suntory ini naik bus ke lokasi pabrik. Karena wilayah pabrik ini sangat luas, bagaikan berada dalam  hutan saja. Di pabrik baru yang belum lama beroperasi itu kami dijelaskan proses pembuatan/pembotolan air mineral yang diambil dari sumber mata air dari pegunungan Minami Alps. Pabrik baru itu sebetulnya juga dibangun dengan solar panel yang bisa menyediakan listrik yang akan dipakai pabrik itu sendiri.

selalu berada terdepan mengikuti penjelasan mbak cantik

Yang menggelikan sebetulnya melihat kedua krucilku ini mengikuti si mbak cantik kemana saja dia pergi. Sedapat mungkin berada di barisan paling depan untuk mendengarkan penjelasan si mbak. Well, tentu saja dia menjelaskan bahwa perusahaannya selain menjamin mutu air yang disuling dari sumber air itu sampai pada proses pembotolan, tapi juga menekankan usaha mereka untuk mengurangi pengeluaran CO2, dengan membuat eco packing. Kalau soal recycle botol plastik yang digunakan sih memang sudah menjadi program pemerintah, sampai semua warga memang harus memilah dan mengumpulkan pet botol untuk bisa didaur ulang kembali.

Sebagai konsumen ada satu hal yang membuat saya senang dengan produk ini yaitu bentuk botolnya yang canggih. Persis di bagian tengah tempat kita memegang botol untuk menuangkan isinya, sengaja dibuat lekukan yang pas untuk jari kita.

si Koala belum bisa baca aja serius banget sih hihihi

Setelah melakukan kunjungan pabrik itulah, kami dibawa ke sebuah ruangan untuk menikmati minum air mineral. Di depan kami terdapat dua gelas berisi air. Di sebelah kiri adalah produk suntory,  sedangkan yang kanan adalah Vittel, merek air mineral buatan Perancis yang didistribusikan di Jepang oleh group Suntory. Vittel kadar kesadahan Vittel 315 sedangkan suntory mineral water hanya 30. Beda sekali bukan?  Dan memang langsung terasa bahwa gelas yang sebelah kiri jauuuuh lebih enak, mudah diminum (rasanya minum seberapapun masuk) sedangkan yang sebelah kanan  terasa berat. Ternyata orang Jepang memang terbiasa minum air dengan kesadahan rendah, karena memang ditekan supaya kadar kesadahannya tidak melebihi angka 100.

dua gelas berisi air untuk membandingkan kesadahan air

Air dengan kesadahan rendah ini cocok dipakai untuk membuat susu bayi atau menyeduh teh atau kaldu. Air ini tidak “menutupi” rasa asli dari bahan yang dicampurnya. Aku juga merasa bahwa air RO pure water yang kami biasa minum ini memang kesadahannya rendah, mau minum sebanyak apapun tidak terasa “berat” (kecuali berasa kembung tentunya).

Tertulis kadar kesadahan 30

Katanya sih kesadahan air tidak berpengaruh pada kesehatan manusia. Tapi saya pernah sekilas baca mungkin perlu diperhatikan bagi mereka yang punya penyakit jantung. Saya tentu saja bukan ahli kimia yang bisa menjelaskan tentang kesadahan air dengan mendetil, hanya ingin berbagi saja bahwa ternyata selain masalah PH, ada pula istilah kesadahan yang terdiri dari air keras dan air lunak.

Terkadang saya yang tinggal di Jepang merasa iri hati bahwa negara ini benar-benar beruntung karena kaya akan sumber air yang sehat dan bersih (+enak) , belum lagi teknologi mereka (+dana) yang memungkinkan mengadakan air yang enak seperti proses desalinasi dengan RO. Seperti komentar sahabat blogger Clara di tulisan sebelum ini bahwa harga mesin pembuat RO water itu mahaaaal sekali. Padahal saya bisa mendapatkan air minum RO dengan gratis di Tokyo. Sementara di belahan dunia lain masih banyak yang belum bisa mendapatkan jangankan air minum, air bersih saja sulit.

Beberapa waktu yang lalu saya juga sempat menonton berita tentang perusahaan air Jepang yang “menjual” teknologi pembuatan air bersih ke negara-negara di Arab Saudi yang mulai kekurangan air minum. Negara Arab masih kaya sehingga bisa membayar teknologi itu, tapi untuk negara miskin? Mendapatkan air bersih saja merupakan suatu impian.

Memang sudah banyak kampanye memberikan sumbangan dari banyak perusahaan Jepang dengan cara membeli produknya maka sekian persen akan menjadi air minum bagi rakyat di Afrika. Atau beberapa penemuan orang Jepang yang bisa dipakai langsung di negara-negara sulit air. Antara lain saya pernah lihat diperkenalkan penemuan (bukan orang Jepang sih)  drum air berbentuk roda murah sederhana yang tidak memerlukan banyak tenaga yang bisa dipakai untuk mengambil air dari sumur yang jauh. Yang jika dengan cara tradisional, seseorang (wanita) harus memikul gentong air seberat 20kg di atas kepalanya, dan berjalan jauh. Paling sedikit drum air berbentuk roda itu bisa meringankan beban serta mempercepat proses pengambilan air. Nama drum ini adalah Qdrum, dan waktu saya mencari websitenya ternyata ada program sumbangan untuk mengirimkan Qdrum ini ke Timor Timur juga.

Daripada menaruhkan gentong di atas kepala, tentu saja lebih baik menarik Qdrum ini. Sebetulnya penemuan yang sederhana tapi sangat membantu.

Banyak juga sebetulnya yang masih bisa kita lakukan sebagai upaya penghematan air, seperti yang sudah pernah saya tuliskan di Bermula dari Air antara lain dengan memakai sistem dual flush untuk WC, atau dengan menggunakan kembali air yang masih bisa dipakai setelah berendam di ofuro (bak mandi) untuk mencuci pakaian seperti yang pernah saya tulis di Maternity Blue. Atau memakai beras musenmai yang tidak perlu dicuci lagi seperti yang saya tulis di Menanak Nasi.

Satu lagi yang juga pernah saya sadari bahwa usaha ini adalah salah satu mengurangi pemakaian air demi perwujudan Eco Kitchen yaitu memakai baskom cucian di tempat cuci piring. Di rumah orang Jepang PASTI di tempat cuci piring ada baskom ini, tempat mereka memasukkan piring kotor ke dalam air dan memberi sabun di dalamnya. Tunggu dulu sebentar sehingga air baskom itu bisa melarutkan kotoran dari piring sehingga mudah disabuni dan dibilas. Coba jika tanpa baskom itu, air keran yang mengalir terus bisa berapa liter terbuang? Memakai baskom itu saja bisa menghemat air (+ uang rekening air).

Saya rasa memakai baskom cuci seperti ini bisa lebih mengirit air dibanding mencuci langsung di bawah kucuran ledeng

Ada banyak cara untuk menghemat air di rumah seperti yang ditulis Alamendah, tetapi semuanya kembali lagi pada diri kita sendiri. Maukah kita melaksanakannya? Semoga….. (saya berharap sambil menghabiskan air  mineral dari gelas anak-anak yang tidak habis…. daripada dibuang kan… mendingan ibunya yang minum)

Tulisan ngalor ngidul tentang air ini dalam rangka berpartisipasi dalam aksi global dunia maya, Blog Action Day 2010.