Torei

15 Okt

Duh, rasanya aku sudah lama sekali tidak menulis di blog ini. Maklum sedang banyak shimekiri 締切, deadline sehingga aku tidak bisa menulis. Alasan lain sempat sakit kepala hebat dan batuk-batuk, dua kali mengalami taifun di Tokyo.

Hari ini aku ada pertemuan orang tua dan guru untuk kelasnya Kai, lalu aku harus mengajar malam. Tapi sebelum pergi rasanya aku harus menulis sedikit, untuk mencaharkan sembelitku ini 😀

Judulnya TOREI, pelafalan dari katakana トレイ (bukan toire loh). Karena katakana kita harus curiga bahwa kata ini berasal dari bahasa lain, bahasa asing gairaigo 外来語. Dan memang ini berasal dari bahasa Inggris : TRAY.

tray dengan gambar daun Haran

Kemarin dulu aku berbelanja di supermarket yang lain dari biasanya. Karena kebetulan lewat naik mobil, sekalian mampir untuk mempersiapkan kedatangan taifun. Harus isi kulkas dengan makanan. Nah, kemarin aku masak daging yang ditempatkan pada tray plastik berwarna kuning muda. Tapi aku merasa aneh kok daun yang ada di tray itu tidak tercuci (kami selalu cuci dulu sebelum dibuang/dikumpulkan). Rupanya itu gambar daun yang tercetak pada tray nya, sehingga tidak bisa lepas.

Kalau kita berbelanja daging/ikan mentah di supermarket memang biasanya kita menemukan daun plastik di dalamnya. Aku dulu sering heran. Kenapa sih susah-susah masukkan daun plastik ke dalamnya. Dasar orang Jepang suka “kecantikan”, sampai daging saja di hias. Memang ada benarnya, untuk kecantikan tapi ini sebetulnya pengganti kebiasaan menaruh daun sungguhan di dalam tray daging/ikan.

Biasanya kalau membeli daging yang khusus untuk curry akan diberikan daun laurier (semacam daun salam), untuk dimasak bersama-sama daging, sebagai bumbu tambahan. Atau kalau daging yang mahal biasanya diberi daun hiba (bentuknya seperti daun cemara) yang katanya mempunyai khasiat mencegah pembusukan. Sedangkan  gambar daun yang di tray kubeli kemarin itu ternyata daun Haran, yang hanya dipakai sebagai hiasan saja. Mungkin karena susah atau mahal, atau merepotkan, supermarket itu lebih baik memakai tray yang sudah ada gambar daunnya 😀

Apapun alasannya, aku tetap merasa bahwa orang Jepang memang masih memegang kebiasaan lama, meskipun lama-kelamaan diganti dengan imitasinya. Demi kebudayaan dan estetikanya.

Kalau di Indonesia, apakah ada yang memasukkan daun pepaya ke dalam bungkusan daging ya? hehehe

SBY after 30+ years

2 Okt

Perjalananan Daeng Senga Ke Jawa dimulai dari SBY, Surabaya. Karena perjalanan kami kali ini juga memakai kereta, aku sudah mewanti-wanti Riku dan Kai agar travel light. Masing-masing membawa satu tas geret yang tidak perlu dicek-in di pesawat. Dengan pertimbangan tas yang sama akan kami bawa naik kereta. Yang pasti baju atas (+baju dalam) 5 buah dan celana panjang 3 biji. (Padahal dalam tasku sebetulnya ada baju + jaket tipis Riku dan Kai sebagai cadangan sih) Tapi tas Riku berat karena dia membawa buku juga!!! Duh anak itu tidak bisa lepas dari buku-bukunya. Dan tentu aku bilang boleh bawa, asal bawa sendiri, mama tidak mau bantu bawakan! Aku sendiri membawa tambahan satu tas berisi oleh-oleh.

Kami sampai di Bandara Juanda pukul 9:25 pagi. Langsung kutelepon Kang Yayat, yang ternyata menjemput kami dengan mobil kerennya. Lucunya meskipun aku baru pertama kali bertemu Kang Yayat, rasanya sudah akrab saja. Mungkin itu merupakan privilege blogger ya? Langsung merasa akrab dengan sesama blogger karena sering membaca blog atau status di FB, sehingga rasanya sudah kenal lama.

dijemput Kang Yayat di bandara Juanda Surabaya dan langsung ke Malang

Kami langsung menuju MALANG! Padahal tadinya rencana kami lain, yaitu jalan-jalan di Surabaya dulu, baru ke Malang keesokan harinya. Tapi karena sebelum berangkat aku sempat chating dengan Mak Dea yang tinggal di Malang, aku ingin sekali bertemu dengannya! Bayangkan Mak Dea aku kenal di FB karena merupakan teman Pakde Dekry dan Mas Nugroho, tapi dia sudah kirim kopi Jambi dan oleh-oleh jauuuh sebelum aku sampai di Jakarta! Dan jadwal Mak Dea hanya kosong tanggal 11 Agustus itu saja. Tentu dong aku ubah rencanaku, sehingga aku langsung ke Malang begitu mendarat. Tujuan pertama : makan siang di Restoran Hotel Tugu Malang.

Namun di tengah jalan ada dua kejadian yang membuat kami harus stop. Pertama Kai muntah di mobil. Mungkin masuk angin. Terpaksa kami harus menepi dan membersihkan Kai. Kasihan mobilnya Kang Yayat jadi bau deh.

Kedua kami berhenti di pinggir jalan Porong. Ya, aku sempatkan melihat Lumpur Lapindo. Miris deh rasanya kalau membaca: Wisata Lumpur. Lah kejadian yang menyedihkan kok menjadi tempat wisata? Kami (anak-anak tetap di mobil) memang ditarik “uang wisata” di pintu masuk (ngga tahu deh Kang Yayat bayar berapa). Tapi setelah aku naik tangga dan melihat “lautan lumpur” aku ditawari DVD oleh seorang bapak di sana. Kupikir, siapa yang mau lihat? Aku paling tidak suka melihat tayangan sebuah bencana, apalagi kalau itu dimaksudkan untuk mendapatkan uang. Akhirnya aku katakan pada bapak itu, “Gini pak, saya tidak beli, tapi ini seharga DVD bagi-bagi saja”. Dan kami meninggalkan tempat itu dalam sunyi. Ah, bendera merah-putih juga berkibar di pinggiran tanggul. Tapi rasanya bendera itu membawa perasaan yang lain, apalagi kalau dia mewakili masyarakat sekitar yang menjadi korban.

wisata lumpur lapindo? Ngenes ya 🙁 🙁 🙁

Mendekati Malang, kami bingung melihat banyak rombongan sepeda motor membawa bendera Arema. Waduh rupanya ada ulang tahun grup sepak bola Malang 🙁 Dan mobil Kang Yayat memakai plat nomor Surabaya. Ngeri juga jika mobil dipukuli oleh fans Arema. Sesampai di hotel Tugu, Kang Yayat membeli handuk Arema untuk dipasang di dashboard, paling tidak menunjukkan bahwa kami mendukung Arema.

rombongan sepeda motor fans Arema yang menguasai jalanan. Cukup membuat deg-degan

Hotel Tugu Malang merupakan hotel tua, dan menyuguhkan interior kuno ala candi-candi yang misterius. Kami memang tidak melihat interior kamarnya, tapi aku tidak mempunyai keinginan untuk menginap di hotel semacam itu. Bukan karena aku takut, tapi lebih karena aku tidak suka kesan hotel (rumah) yang gelap dan dingin. Not my type, aku lebih suka bernuansa putih dan terang…. ya seperti hotel Majapahit itu 😀

Sambil menunggu Mak Dea, kami makan siang di Cafe Melati Hotel Tugu. Katanya makanannya enak di sini, dan aku memesan Rijstafel, gado-gado dan soto ayam. Rupanya makanan di sini disajikan di piring besar beralaskan daun pisang dan rempeyeknya itu loh yang besar sekali 😀

semuanya pakai rempeyek raksasa 😀

Akhirnya yang ditunggu, Mak Dea datang bersama suaminya. Tentu langsung berfoto bersama, juga berkeliling lobby hotel untuk berfoto. Kami akhirnya menentukan bahwa kami akan pergi ke Musium Angkut Batu……

berfoto bersama Mak Dea di Cafe Melati Hotel Tugu

Jika aku pulang kampung

1 Okt

Waktu alm mama masih hidup, aku jarang menggunakan waktu mudikku di Jakarta untuk pergi-pergi ke luar kota. Paling jauh Bandung dengan maksimum 1 malam menginap. Karena aku merasa waktu mudik = bercengkerama dengan mama. Meskipun akhirnya di Jakarta pun aku “sibuk” ketemu teman-teman sana sini, kopdar sana sini. Kalau aku sudah sibuk begitu, biasanya aku mengajak mama juga untuk jalan-jalan. Tapi karena mama kakinya sudah tidak bisa berjalan jauh, dia suka malas bepergian. Paling-paling jalan ke Sency untuk makan sushi.

Karena menurutku mudik = bertemu teman atau saudara. Ada beberapa judul di dalam blog ini yang menamakan mudikku sebagai perjalanan hati. Well menurutku hampir semua perjalananku adalah perjalanan hati, untuk silaturahmi. Wisata adalah nomor dua bagiku.

Mudikku yang terakhir summer kemarin, kuberi nama dengan Daeng Senga Pulang Kampung, karena memang aku mengunjungi daerah asalku: Makassar. Tapi selain Makassar, kemarin itu Daeng Senga juga berlibur ke Surabaya dan Yogyakarta. Kenapa? Karena papa yang menjadi tujuan utamaku jika mudik, tidak berada di Jakarta. Dia ingin mencoba jantungnya, apakah kuat bepergian jauh sampai London. Jadi, selama papa pergi ke London, buat apa aku di Jakarta? hehehe

Banyak sebetulnya tempat yang ingin kukunjungi, tapi karena waktuku hanya 5 hari, aku perlu memikirkan perjalanan yang efisien. Surabaya kupilih karena aku sudah 30 tahun lebih tidak ke sana. Aku terakhir pergi ke sana waktu SMP, sekeluarga. Perjalanan wisata keluarga yang kuingat sekali. Sayang waktu itu belum ada digital camera sehingga sisa foto-foto kami sangat terbatas.

 

entah di Tretes atau Selekta 🙂 Papa yang potret sehingga tidak ada dalam foto

Tapi aku juga ingin pergi ke Yogyakarta. Kami sebetulnya pernah merencanakan pergi ke Yogya pada summer tahun 2012, namun kami batalkan, karena mama meninggal. Rasanya belum siap untuk jalan-jalan ke luar daerah saat itu.

aku dan alm. mama

Nah yang menjadi masalah, bagaimana mengatur perjalanan dari Jakarta ke Surabaya dan Yogya semaksimal mungkin. Dari jauh hari aku sudah meminta papa untuk membelikan tiket pesawat ke Surabaya dan Yogyakarta. Karena tidak ada pesawat dari Surabaya ke Yogya, terpaksa papa membelikan tiket Jkt-Sby dan Yogya – Jkt. Aku berarti harus naik kereta dari surabya ke Yogya. Yang penting tiket pergi dan pulang sudah ada deh, karena waktu itu 2 minggu setelah lebaran sehingga aku takut sulit tiket karena arus balik.

Aku langsung menghubungi Kang Yayat bertanya-tanya tentang surabaya, terutama transportasi selama di sana dan kereta dari Surabaya ke Yogya. Berbekal jadwal kereta dari surabaya jogja itu, aku menentukan bahwa aku akan menginap 2 malam di Surabaya dan 2 malam di Yogya. Untuk mengatur rencana di Yogya aku menghubungi Ata chan. Senang sekali aku mempunyai teman blogger di dua kota itu, yang sangat membantuku merencanakan perjalanan Daeng Senga ke Jawa 😀 Kang Yayat, dan Ata-chan, terima kasih banyak atas bantuannya

Karena tempat tinggal di Yogya sudah fix, aku tinggal mencari hotel di Surabaya. Ada 3 hotel yang kupakai selama summer kemarin, yaitu hotel Celebes di Makassar, Hotel Mid Town dan hotel Majapahit di Surabaya. Ketiganya kupesan melalui agoda.com. Hotel Celebes, karena papa mau di situ. Hotel Mid Town karena aku pesan dua kamar yang tadinya kuperuntukkan untuk pasangan Hana dan Masbro yang rencananya akan bertemu di Surabaya, tapi batal karena kesehatan Hana yang tidak memungkinkan mengadakan perjalanan jauh. Hotel Majapahit kupilih karena…. aku ingin menginap di situ 😀 Bangunan tua yang mengingatkanku pada Raffles Hotel di Singapore, yang pernah kuinapi tahun 2002. Untuk mengajak anak-anak menginap di Raffles Hotel aku tak mampu karena mahal sekali. Raffles Hotel mah untuk penganti baru aja 😀 Sedangkan Hotel Majapahit ini masih terjangkaulah untukku, sekaligus ingin memberikan pengalaman pada anak-anak. Meskipun….. ada banyak orang menanyakan apakah aku berani menginap di situ 😀

Dengan berbekal jadwal kasar, aku, Riku dan Kai siap untuk berwisata ke Jawa (Timur dan Tengah)……

Kata Baru

29 Sep

Waktu aku membereskan koran untuk dibuang, aku menemukan sebuah artikel yang menarik tentang bahasa Jepang. Yaitu sebuah survey dari kata-kata buatan baru bahasa Jepang yang sering dipakai. Biasanya bahasa Jepang untuk kata-kerja memakai tambahan suru する (melakukan) yang ditempelkan pada kanji gabungan yang dibaca secara onyomi  音読み(cara china). Misalnya benkyo suru, shokuji suru dan lain-lain.

Tapi ada bahasa Jepang yang memakai kata dari bahasa Inggris yang dijepangkan dan ditambahkan kata suru. Misalnya Attakku suru アタックする. Kata attack itu sendiri sebetulnya sudah kata kerja (dalam bahasa Inggris), tapi masih ditambahkan suru yang menjadi ciri kata kerja bahasa Jepang. Bingung kan 😀 Dan sekarang ada kecenderungan untuk menambahkan hanya RU dibelakang kata-kata yang bukan kata kerja (kata benda atau kata asing). Dan kata-kata ini cukup populer dalam masyarakat.

Hal ini diketahui dari survey yang diadakan Dirjen Kebudayaan pada bulan Maret 2013 yang dilakukan pada 3473 pria wanita berusia di atas 16 tahun dan dijawab oleh 2028 orang. Kepada peserta angket diberikan 10 kata populer bentuk “baru ini” dan diketahuilah ranking penggunaan/pengetahuan mereka tentang kata-kata ini.

1. Chin-suru チンする (レンジで加熱) 94% pernah pakai, 8,3% pernah dengar dan 1,2 % tidak pernah dengar.

2. Saboru サボる (なまける)   86,4% pernah pakai, 12,5% pernah dengar dan 1,0 % tidak pernah dengar

3. Ochasuru お茶する (喫茶店に入る) 66,4% pernah pakai, 27,6% pernah dengar dan 5,8 % tidak pernah dengar

4. Jiko-ru (事故に遭う) 52,6% pernah pakai, 41,5% pernah dengar dan 5,7 % tidak pernah dengar

5. Panikuru パニックる (慌てる) 49,4% pernah pakai, 41,6% pernah dengar dan 8,8 % tidak pernah dengar

6. Guchiru 愚痴る (愚痴を言う) 48,3% pernah pakai, 44,7% pernah dengar dan 6,8 % tidak pernah dengar

7. Kokuru 告る (告白する) 22,3% pernah pakai, 52,3% pernah dengar dan 25.0 % tidak pernah dengar

8. Kyodoru きょどる (挙動不審に) 15,6% pernah pakai, 34,9% pernah dengar dan 48,7% tidak pernah dengar

9. Takuru タクる (タクシー利用) 5,9% pernah pakai, 21.6% pernah dengar dan 71.9 % tidak pernah dengar

10. Dissuru ディスる (けなす) 5,5% pernah pakai, 20,1% pernah dengar dan 73,7 % tidak pernah dengar

hasil survey Dirjen Kebudayaan Jepang

Waduh, aku sendiri tidak tahu kata-kata mulai nomor 7 deh (dan dibilang Gen, tidak perlu tahu hehehe). Maksud diadakannya survey ini sendiri untuk menunjukkan bahwa TIDAK SEMUA orang TAHU kata-kata itu, sehingga PERLU memperhatikan dan mengerti kalau TIDAK SEMUA ORANG TAHU. Sewajarnya MENGGUNAKAN KATA YANG SEMUA ORANG TAHU.

Indonesia juga mempunyai banyak kata baru. Aku senang kalau mengetahui kata baru itu sebetulnya sudah terdapat di KBBI hanya kurang populer, dan dipopulerkan kembali. Biasanya kata-kata itu berasal dari bahasa daerah. TAPI ada beberapa kata yang menjadi trend HANYA karena dipakai seorang artis dan menjadi terkenal, atau menunjukkan trend sesaat. Kata-kata ini memang biasanya tidak lama. Dan aku senang mengetahui kata-kata baru ini dari tulisan-tulisan di socmed seperti FB dan twitter. Meskipun memang harus dilihat sekitar 3-5 tahun apakah kata-kata itu bisa bertahan atau tidak. Seperti kata lebay, mungkin sudah bisa dimasukkan pada kamus ya 😀 (kalau galau sih memang sudah ada di kamus). Untuk alay? Masih harus tunngu 2-3 tahun mungkin ya 😀

Akhir-akhir ini yang aku lihat trend pemakaian kata “bingit” sebagai pengganti banget. Mungkin teman-teman yang lain bisa menambahkan di sini?

Dua puluh dua tahun

27 Sep

Tanggal 23 September 2014, hari libur di Jepang yaitu hari shubun no hi 秋分の日, hari autumn equinox. Equinox ada dua, pada spring (sekitar tgl 22-23 Maret) dan autum (22-23 September), dan oleh orang Jepang dinamakan Higan 彼岸. Pada hari ini biasanya orang Jepang pergi nyekar ke makam keluarga. Jadi kebiasaan nyekar di Jepang sudah pasti ada 2 kali setahun pada musim semi dan musim gugur. Kalau ditanya kapan orang Indonesia nyekar? Ya biasanya aku jawab, tergantung yang mau pergi, kapan saja, atau biasanya sebelum bulan Ramadhan dan syawal untuk umat Islam. Atau waktu ulang tahun orang yang telah meninggal itu, selama masih diingat oleh keluarganya.

Karena hari libur, dan kebetulan Gen bisa libur juga (biasanya tidak bisa libur), kami berjanji untuk pergi ke Yokohama, ke rumah mertua untuk kemudian bersama-sama ke makam keluarga. Tapi Gen ingin mampir dulu ke Universitas Tokyo (Todai)  karena ada pameran kupu-kupu Jepang di sana, dan hari itu merupakan hari terakhir. Gen memang menyukai kupu-kupu.

Jadilah kami pergi pukul 9:30 pagi, dengan harapan jalanan tidak macet. Karena biasanya pada hari libur, semua orang mau pergi bermobil kan? Untunglah jalanan menuju kampus Todai di Komaba (Inokashira Line) tidak begitu macet, sehingga kami bisa sampai pukul 10:30. Langit cerah biru dengan semburat awan khas musim gugur. Tidak banyak orang yang datang ke pameran itu. Mungkin hanya orang-orang yang “gila kupu-kupu” saja ya 😀 Tapi aku senang karena bisa jalan menghirup udara segar dan bisa jeprat-jepret sana sini. Sayang di dalam ruang pameran tidak boleh memotret.

Pameran ini gratis, dan sebetulnya sudah diselenggarakan lama. Kami saja yang baru sempat ke sini. Di sini dipamerkan 280-an jenis kupu-kupu asli Jepang yang sudah dikeringkan dan dimasukkan dalam frame! Tidak banyak memang jika dibandingkan dengan negara kita, tapi ada beberapa jenis yang diketahui bisa terbang sampai 2500km, karena ditemukan di Taiwan! Kami boleh membawa fotokopi daftar nama yang telah disediakan. Ada beberapa kupu-kupu yang pernah kami tangkap dan buat specimennya.

Karena kami berjanji untuk sampai di rumah mertua pukul 12, kami bergegas keluar tempat pameran kembali naik mobil. Kami menjemput ibu mertua lalu makan siang di Motosumiyoshi, di sebuah restoran yang merupakan langganan bapak dan ibu mertua. Sebetulnya restoran itu kecil, tapi memang masakannya enak dan murah! Seluruh daerah motosumiyoshi ini memang murah, sehingga pulangnya kami sempatkan membeli sayur dan buah-buahan di sini.

Tapi persis sebelum masuk ke tempat kami memarkirkan mobil, kami sempat mampir ke sebuah toko yang menjual minuman keras, Sakaya. Tokonya kecil tapi banyak menyediakan sake dari berbagai daerah, termasuk juga sake daerah yang sulit didapat. Aku memang suka minum sake Jepang, tapi hanya yang  bermutu. Sake bermutu biasanya tidak memabukkan. Sake itu terbuat dari beras, sehingga biasanya sake yang enak itu dari daerah penghasil beras yang enak. Dan biasanya di daerah yang musim dinginnya ekstrim, seperti Niigata. Air di daerah ini juga enak, sehingga baik untuk campuran dalam pembuatan sake. Aku memang pernah berkeinginan menjadi sommelier khusus sake Jepang (biasanya sommelier adalah pencicip wine yang mengetahui rasa wine yang cocok untuk makanan tertentu). Karena hari itu merupakan ulang tahun ke 22 kedatanganku di Jepang (Aku datang pertama kali di Jepang tanggal 23 September 1992), maka Gen menghadiahkanku buku referensi untuk mengetahui sake Jepang.

Sekitar pukul 4 sore kami mengunjungi makam keluarga, memberi air pada nisan, membakar hio dan berdoa. Dan sepertinya sudah menjadi kebiasaan keluarga kami untuk mampir ke sebuah rumah tradisional, Yokomizo Yashiki yang terletak di dekat kuil dan terbuka untuk umum (dan gratis). Di situ kami bisa merasakan suasana Jepang pada setiap musim. Musim gugur merupakan musim untuk panen padi, sehingga kami bisa melihat sawah di depan rumah itu yang mulai menguning. Aku selalu senang mampir ke situ, untuk menyenangkan hati dengan kedamaian yang terpancar dari suasana dan tetumbuhan di sekitar rumah itu.

 

 

Studi Perbandingan

26 Sep

Bukan, aku bukan ingin menceritakan atau membahas studi perbandingan yang dilakukan anggota DPR RI ke luar negeri. Tapi ingin menceritakan tentang Riku (lagi).

Jadi, selama liburan musim panas, sejak kelas 3 SD, mereka diberi tugas untuk membuat proyek sendiri. Namanya Jiyuu Kenkyuu 自由研究, untuk mengisi liburan musim panas. Topiknya boleh apa saja. Boleh prakarya, atau penelitian bintang, museum atau coba resep …apa saja. Dan setelah liburan selesai, mereka harus membawa ke sekolah dan memamerkannya di kelas. Jadi, cukup malu kalau hasil proyek itu tidak bagus (itu pemikiran deMiyashita).

Padahal Riku selalu ikut aku berlibur di Jakarta kira-kira sebulan, sehingga otomatis waktu liburannya habis di Jakarta. Karena itu kami mengusulkan pada Riku untuk membuat karangan tentang apa yang ditemui di Jakarta. Kelas 3 dia menulis hal-hal yang mengejutkannya yang ditemui di Jakarta. Misalnya waktu dia main di Kidzania, naik delman, naik bajaj, ketemu buah lengkeng dan buah Naga. Kelas 4 dia menulis tentang hutan Mangrove, karena waktu itu kami pergi ke pelabuhan Sunda Kelapa. Kemudian kelas 5 masih melanjutkan dengan Mangrove dengan tujuan waktu itu ke Taman Wisata Mangrove di Angke.

Kelas 6 ini, seperti yang telah kutulis di Daeng Senga Pulang Kampung, Riku mengunjungi Fort Rotterdam untuk proyek musim panasnya. Tapi sayangnya waktu hari pertama kami pergi ke museum itu, sedikit sekali informasi tentang benteng yang bisa kami dapat. Tapi berkat info dari suami Mugniar, kami merasa kami perlu kembali ke Fort Rotterdam lagi.

Jadi setelah pulang dari rumah  Karaeng Toto, Opa dan Kai beristirahat di hotel, sementara aku, Riku dan Yuko jalan lagi. Kami sempatkan pergi ke lapangan Karebosi yang di bawahnya terdapat pertokoan dan pergi makan es pisang ijo! Wah aku tidak mau pergi ke rumah makan MM itu lagi ah…. penuuuh dan musti antri, sambil lihat siapa yang sebentar lagi selesai makan, berdiri di dekatnya dan berebut tempat duduk 🙁 Ngga biasa sih…. aku juga tidak akan enak makan jika ditunggui seperti itu deh.

Nah aku ingat kenapa kami mampir ke Kareboshi dan makan pisang ijo dulu sebelum ke benteng Fort Rotterdam lagi, karena aku tahu waktu hari pertama ke sana, panaaaaaaasnya minta ampun. Jadi mau menunggu agak sorean dulu baru ke sana. Dan untung saja, memang waktu kami ke benteng sudah tidak terlalu panas. Dan satu hal yang paling mengejutkan kami, yaitu bertemu dengan pemandu wisata yang bisa berbahasa Jepang! Di pintu masuk kami disapa apakah perlu guide, lalu kujawab perlu yang bisa bahasa Jepang. Dan si bapak setengah abad itu menjawab : “Saya bisa bahasa Jepang!”

Wah, meskipun kalimat bahasa Jepangnya tidak sempurna, cukuplah untuk Riku. Kami diantar naik ke bagian depan benteng yaitu bagian yang berbentuk kepala kura-kura. Memang benteng ini memakai bentuk kura-kura sejak di didirikan oleh Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karang Mangunungi Tumaparisi Kallona dan diselesaikan oleh putranya Raja Gowa X pada tahun 1545. Awalnya tentu tidak bernama Fort Rotterdam tapi Benteng Ujung Pandang. Awalnya berfungsi sebagai benteng pengawal yang melindungi Benteng Induk Somba Opu yang juga sebagai pemukiman pembesar-pembesar kerajaan. Pada tahun 1667 benteng Ujung Pandang diserahkan kepada VOC bersamaan dengan ditandatanganinya perjanjian Bungaya. Dari 1667 sampai kedatangan Jepang tahun 1942 diganti nama menjadi Fort Rotterdam dan digunakan sebagai markas komando pertahanan, pusat perdagangan, pemerintahan dan pemukiman pejabat-pejabat belanda. Pangeran Diponegoro pernah ditawan dari tahun 1834-1855 di sini.

Konon Raja Gowa membuat benteng berbentuk penyu/kura-kura ini karena menginginkan kerajaan Gowa jaya di laut dan di darat, seperti layaknya kura-kura. Keseluruhan luas benteng 28.595,55 meter dengan tinggi benteng bervariasi antara 7 sampai 5 meter, dengan ketebalan benteng rata-rata 2 meter. Waktu aku membantu Riku mengetahui luas benteng ini, memang panjang/lebarnya tidak ada yang sama! Menurut data sisi muka (kepala ) 225 m, lalu ke arah utara 155,35meter , timur 193.2 meter dan sisi selatan 164,2 meter. Kok sisi-sisinya tidak sama ya? Asumsiku jaman dulu benteng dibangun juga mungkin tanpa denah dan perhitungan ya sehingga tidak simetris. Di dalam lingkungan benteng terdapat 14 bangunan Belanda + 1 bangunan Jepang.

Lain sekali dengan Goryokaku (kastil segilima) yang terdapat di Saku-shi, Nagano. (Sudah pernah ditulis di sini) Tentu tahun pendiriannya juga lain. Jauh lebih modern, sudah mendekati restorasi Meiji. Bahkan sebetulnya pembangunan parit sekeliling kastil yang berbentuk segi lima itu belum semuanya selesai, baru 3 sisi saja. Kastil Goryokaku jadi merupakan kastil “termuda” di Jepang dan belum pernah dipakai untuk perang. Sekarang di dalam lingkup kastil itu berada gedung sekolah SD Taguchi, lengkap dengan lapangan untuk olahraga. (di sebelah salah satu sisi juga dibangun kolam renang untuk pelajaran renang). Satu-satunya bangunan yang masih lengkap dan masih berada dalam kastil hanyalah bangunan dapur. Sebetulnya masih ada bagian-bagian kastil, seperti gerbang, tapi dipindah ke tempat yang lain.

Riku membandingkan dari tahun pembuatannya, bentuk/luasnya (di sini pakai skala untuk menyamakan, cukup berat untuk dia karena belum dipelajari di sekolahnya) kemudian pemikiran dia mengenai keberadaan kastil itu sendiri. Kami biarkan dia menulis pemikirannya sendiri, tanpa ada campur tangan pendapat kami. (padahal banyak tuh yang mau kita tambahin hehehe) . Tapi sejak awal aku sudah menanamkan pada Riku kalau menulis sesuatu, coba saja jawab pertanyaan: Apa? Siapa? Kapan? Di mana? Bagaimana? Kenapa?  Supaya tulisannya tidak ngawur hehehe. Betul kan?

Dan memang untuk mendapatkan informasi yang cukup, perlu waktu. Kami sampai dua kali pergi Fort Rotterdam dan menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Untung juga waktu kami pulang, sempat menanyakan juga apakah ada buku tentang benteng, dan membeli dua buku (fotocopy-an) untuk melengkapi informasi. Semakin lama, semakin banyak informasi, tentu kita bisa menulis lebih bagus dan lengkap.

http://i282.photobucket.com/albums/kk254/coutrier/blog24/kenkyu_zpsa4db9ec9.jpg

 

Kumis dan Biore

8 Sep

Laporan Daeng Senga Pulang Kampung 2014-nya dipotong dulu ya, kebetulan ada topik yang pendek, tentang anak-anak.

Dalam kesempatan mudik lalu, aku bisa bertemu dengan seorang teman, adik kelas, Ira Inami yang suaminya sedang bertugas di Hanoi. Selama ini aku kenal dan bertegur sapanya hanya lewat FB, for the sake of almater. Eh ternyata aku kakak kelas dia, dan saat aku menjadi ketua Himaja (Himpunan Mahasiswa Japanologi) UI aku sempat “membaptis”nya dalam OSPEK prodi Jepang. Jadi beda angkatan hanya 3-4 tahun. Senang sekali akhirnya bisa bertemu muka langsung, kebetulan dia mudik (dari Hanoi) dan aku mudik (dari Jepang). Ketemunya di Plaza Senayan.

Pertemuan lintang dadakan di Garcon PS. Tengah “calon brondong-brondong” kami :D. Lihat, penampakan kuenya yummy kan?

Salah satu topik yang dipercakapkan dalam pertemuan di toko kue Garcon (toko kue Perancis ini memang enak dan mahal :D) adalah bahwa anak lelaki satu-satunya yang sudah duduk di kelas 2 SMP itu mulai bertanya soal urusan kumis. Ya, anaknya sudah mulai tumbuh kumis, dan disarankan ibunya jangan cukur, karena nanti tambah lebat. Aku menimpali, “Boleh cukur, tapi berarti sejak hari itu kamu harus setiap hari cukur. Kalau belum bisa komit untuk setiap hari cukur, ya berarti kumisnya akan tambah lebat dan semakin sulit lagi. Untuk sementara lebih baik tidak dicukur, kecuali tambah banyak dan mengganggu ya.”

Sambil berkata begitu, aku dalam hati, juga berkata pada diri sendiri bahwa aku juga harus siap jika tiba-tiba Riku (dan Kai) sudah berkumis. Sebentar lagi…. Tapi kelihatannya Riku sudah siap sih, pernah dia tanya, “Ma, aku sudah berkumis belum?”
“Belum lah…. kenapa? kamu mau berkumis?”
“Mau lah…. kan semua orang jadi besar dan berkumis…”
“Yaaaaah berarti kamu sudah tidak mau peluk dan cium mama lagi ya?”
“Mama ngomong apa sih….”
Memang benar, Riku sudah tidak mau lagi. Jangankan peluk, gandengan tangan saja tidak mau. Padahal aku juga sudah sering kecewa, kalau mencium Kai,  adiknya yang baru 7 tahun saja, dia langsung menghapus pipinya seakan-akan jijik…. huhuhu.
Mana bayikuuuuuuuuuu….. aku kan masih mau cium-cium anakku 😀 😀 😀

Waktu berada di Jakarta, tiba-tiba Riku datang padaku dan tanya,
“Ma, ini apa?” Sambil menunjukkan jerawat kecil di dagunya.
“Itu jerawat! Kecil sih… gpp!”
“Gimana cara hilanginnya?”
“Ya makanya mama kan bilang sehari makan telur maksimum 2 butir. Jangan makan yang berminyak”
“Kan aku juga atur makannya”
“Ya sudah, cuci muka saja yang bersih, setiap hari. Nanti hilang deh. Kalau mau pakai tuh biorenya mama. Tapi jangan banyak banyak…mahal!”
“Aku cuci sekarang ya?”
“Iya….” Akhirnya aku mengikuti dia ke kamar mandi.

“Eh ini ada biore untuk laki-laki… pakai ini saja. Mungkin punya om Chris atau kakak Dharma”
“Gini ya…..”
“Ya, nanti kalau mama ke supermarket, ingatkan untuk beli seperti ini ya”

Begitulah dia akhirnya aku belikan biore for men, sambil wanti-wanti jangan sering-sering nanti justru kulitnya kering.

Besoknya,
“Ma, udah kecilan ya jerawatnya”
“Iya… lanjutkan cuci mukanya. Musti rajin”
Besoknya dan besoknya,
“Horreeee sudah ngga ada jerawatnya”
“Iya, makanya musti cuci muka yang bersih setiap hari ya”

kiri biore beli di Jepang, kanan yang beli di Jakarta + Spray isi air untuk rambutnya 😀

Dan akhirnya aku membelikan dia biore foam sesampai di Jepang. Waktu di drugstore, dia datang bawa biore foam dalam botol itu.
“Ma, aku beli ini ya…”
Dan karena aku buru-buru tidak melihat harga lagi, tapi sempat mengomel dalam hati,”Huh aku sudah harus belikan kosmetik untuk anakku? huhuhuhuhu”… nangis deh ingat isi dompet yang berkurang 😀

Dan sekarang Riku (11 th) setiap pagi dan malam rajin mencuci mukanya.
Dan itu diikuti Kai (7th) juga ikut rajin mencuci mukanya dengan biore setiap malam sambil sikat gigi. Huhuhuhu…

Dan beberapa hari lalu, Riku minta pergi potong rambut dengan papanya, (padahal rambutnya masih pendek… tapi memang sudah agak tidak beraturan.) Dan pulangnya tiba-tiba kulihat ada botol spray berisi air di wastafel (seperti yang dipakai untuk spray tanaman gitu)
“Itu spray punya Riku ya?”
“Iya ma…. aku kan lihat di barbershop tukang potongnya pakai spray begitu untuk basahin dan siri rambutnya. Kupikir aku bisa bikin begitu setiap hari supaya rambutnya rapi”
“Iya…….”
(Sambil menahan tawa duuuuh anakku sudah mulai perhatikan penampilannya…
Umur berapa sih kamu? Kok mau cepat-cepat jadi gede aja?)
(dan aku teringat adegan aku dan papanya kaget saling berpandangan beberapa waktu yang lalu, ketika Riku bilang” Horree TUJUH TAHUN lagi aku bisa ambil SIM dan nyetir mobil….)
OMG anakku perlahan dan pasti menuju puber dan menjadi dewasa!

Be prepared mel! 7 tahun itu cepat, dan perkembangan anak itu lebih cepat lagi hehehe.

Biore adalah nama produk perusahaan Kao. KAO sendiri dulu namanya  Nihon Yuki Company (日本有機株式会社) didirikan oleh Tomiro Nagase pada tahun 1887  sebagai perusahaan manufaktur perlengkapan sabun mandi domestik. Tahun 1940,  nama perusahaan diubah menjadi Kao Soap Company(花王石鹸株式会社), dan 1985 menjadi Kao Corporation. Lucunya waktu aku mendengar nama perusahaan KAO itu langsung teringat kanji 顔 kao yang wajah, eh ternyata salah hehehe (padahal berhubungan ya).

(katanya pendek, tahunya 780-kata lebih hahaha)

Pertemuan Para Daeng

5 Sep

Akhirnya kami sampai pada tujuan  utama kunjungan Daeng Senga Pulang Kampung, yaitu berkunjung ke AS Center di Perumahan Dosen UNHAS. AS Center adalah sebuah yayasan dari keluarga Karaeng Toto, “Aminuddin Salle Center”. Tempat ini digunakan sebagai pusat kegiatan keluarga pak professor untuk membantu anak-anak sekitar mendapatkan pendidikan luar sekolah, dan menjadi pusat kegiatan masyarakat sekitar. Senang sekali aku bisa mengikuti kegiatan mereka mesti cuma lewat foto-foto. Seandainya aku berada di sana, ingin juga ikut serta dalam berbagai kegiatan tersebut.

AS Center huruf lontara…. kapan ya aku bisa baca/tulis huruf itu? Bawah Yuko san, Riku dan Dzaky bermain kendang.

Begitu sampai di AS Center kami melihat-lihat ruangan yang sedang dipersiapkan menjadi ruang pameran. Ada banyak karya dari kayu bertuliskan pepatah bahasa Makassar. Bahkan tulisan TOILET pun bertuliskan huruf Lontara. Wah aku serasa buta huruf deh kalau lama-lama di sini 😀 Padahal kalau melihat sekilas, huruf-huruf itu sepertinya tidak sulit ya. Tapi untuk otakku yang mulai menua ini, kelihatannya aku perlu tenaga ekstra untuk mempelajarinya.

Selain melihat koleksi buku, foto dan ukiran kayu AS Center, aku juga melihat tumbuhan yang ditanam di sekeliling center. Kami beristirahat di ruangan terbuka yang merupakan kolam ikan di bagian bawahnya. Ya, seperti horigotatsu di Jepang, tapi dibawahnya kolam yang berkawat supaya kalau ada barang jatuh tidak kecemplung ke dalam kolam.

Tanaman di AS Center. Kanan bawah buah Nangka cempedak yang jatuh waktu kami datang.

Selain unik tempat berkumpul itu, di sekelilingnya terdapat tanaman markisa. Aku baru tahu pohon markisa ternyata tidak sebesar pohon mangga/nangka dan menjalar. Waktu itu pula kami bisa mencicipi nangka cempedak yang jatuh dari pohon waktu kami berada di situ. Dalle (Rejeki) nya daeng Senga? hehehe. Rasanya? Ya nangka tapi harum dan dagingnya lembut seperti durian. Untuk beberapa orang mungkin tidak suka karena harumnya yang cukup keras.

Foto atas di ruang terbuka di AS Center yang seperti horigotatsu dan di bagian bawahnya merupakan kolam ikan. Dalam menu makan siang kami ada ikan goreng juku sala mata, ikan yang letak matanya salah katanya hehe.

Kami pun pindah dari lokasi AS Center ke rumah kediaman untuk santap siang bersama. Kami bisa merasakan suasana kekeluargaan bersama anak-anak dan cucu Karaeng Toto. Anak lelaki tunggal Karaeng yang bernama Donni memanggilku Daeng Senga terus, dan ini mengingatkanku bahwa … namaku adalah Daeng Senga. Dan kebetulan semua anak yang masing-masing mempunyai nama Daeng sehingga boleh dikatakan hari itu merupakan pertemuan para Daeng! (Tapi daeng yang ini yang paling tidak tahu apa-apa hehehe) Salam hormatku Daeng Memang, Daeng Salle, Daeng Tamae’, Daeng Bau’ dan Daeng Niso’na, serta tentu kepala keluarga Karaeng Patoto.

Dzaki dan Riku. Kiri: foto tahun 2012 waktu berjumpa pertama kali. Kanan foto waktu berjumpa ke dua kali tahun 2014.

Yang lucu adalah cucu karaeng yang bernama Dzaky itu amat lengket dengan Riku. Memang sejak 1,5 tahun lalu waktu pertemuan pertama, dia sudah nempel terus sama Riku. Bahkan kalau diperhatikan mukanya memang mirip!

Terima kasih atas jamuan dan waktu yang disediakan Prof Aminuddin Salle Karaeng Toto untuk menemui kami. Semoga nanti akan ada kesempatan-kesempatan lain di masa datang untuk saling berjumpa lagi ya. Tentu saja kalau bisa berjumpa di Tokyo lebih baik lagi hehehe.

 

Kue Blinjo dan Kopdar

4 Sep

Beberapa hari yang lalu aku sempat mengupload sebuah foto makanan. Tepatnya sekotak kue Jepang yang dibuat begitu rapih, dan jika dibuka kuenya berbentuk seperti apel. Memang ada campuran apel, yang merupakan produk khas prefektur Nagano, yang dicampur dalam adonan kue yang disebut Manju. Kalau mungkin pernah makan kue bulan, ya seperti itu. Ada bagian kulit dan bagian dalam, seperti paste dari kacang hijau. Rasanya? Enak untuk yang suka kue Jepang. Kebetulan aku tidak begitu suka kue-kue Jepang. Makan, tapi tidak mencarinya. Padahal kue Jepang tidak manis (aku tidak begitu suka yang manis-manis). Menurutku kue Jepang itu pantasnya untuk dilihat (saja) hehehe. Mereka menyatukan estetika bentuk dan rasa dengan pandainya. Sahabatku, Sanchan pandai membuat kue-kue Jepang yang cantik-cantik karena memang belajar.

Kue manju berbentuk apel yang sangat detil

Tapi sebetulnya aku sendiri memang memilih sekali untuk makan kue. Aku makan kalau aku tahu pasti enak 😀 Atau aku tanya dulu adikku atau temanku yang pemilih, apakah kue itu enak atau tidak. Maklumlah, aku tidak mau menambah kadar gula yang tidak perlu di dalam tubuh yang sudah melar ini. Nah, kebetulan aku mendapat sebuah kotak kue dari Makassar, Kue Blinjo namanya. Karena kali ini aku tidak bisa membawa pulang banyak-banyak (koper hanya tiga saja — biasanya 6 koper), maka aku taruh makanan yang kuterima sebagai oleh-oleh di atas meja, untuk dimakan bersama keluargaku di Jakarta. Waktu itu papa, yang juga picky untuk makanan karena harus menjaga asupan kalori untuk jantungnya, membuka kotak kue Blinjo ini.

“Mel, aku buka ya….”
“Buka saja pa, aku dikasih teman di Makassar. Enak ngga?”
“Eh mel…. ini kue bentuknya tidak cantik tapi enak sekali!”
“Masa sih…..” Lalu aku ambil satu….dan….. memang enak!
“Sorry… aku bawa ke Jepang ya :D” dan masuklah satu kotak Kue Blinjo itu ke dalam koperku. Dan sekarang sudah habis, oleh aku sendiri 😀

Kue Blinjo dari Niar. Terima kasih banyak ya daeng.

Kue Blinjo yang enak itu adalah oleh-oleh dari sahabat bloggerku yang baru, Mugniar Marakarma yang memang tinggal di Makassar. Kebetulan aku sudah berteman dengannya di FB, dan tepat sebelum aku mudik ke Jakarta, sempat berbincang-bincang dengannya. Dan kebetulan sekali aku punya rencana untuk ke Makassar, sehingga ada kemungkinan untuk berjumpa dengannya.

Karena memang aku datang ke Makassar waktu liburan lebaran, aku tidak mau mengganggunya dengan kegiatan keluarganya. Tapi waktu aku sedang bermain di pantai Akkarena itulah Niar menghubungiku. Aku sendiri tidak ada acara lain, kecuali makan malam yang belum diketahui rencananya ke mana. Jadi kami janjian untuk bertemu di hotel sekitar pukul 8 malam.

Ternyata kami saking capek dan masih kenyang karena makan siang cukup lambat, tidak pergi keluar hotel lagi setelah itu. Sehingga aku bisa berbicara dengan Niar cukup lama di lobby hotel. Kami berbicara tentang keluarga dan blog kami, sementara suami Niar duduk di tempat lain. Baru waktu aku mengantar mereka berdua untuk pulang, suami Niar justru memberikan banyak masukan mengenai Fort Rotterdam. Ya aku memang bercerita perjalanan ke Fort Rotterdam sehari sebelumnya kepada mereka berdua, dan menyayangkan tidak adanya informasi yang mendetil tentang benteng itu sendiri. Suami Niar menyarankan aku mencari di google saja, karena cukup banyak informasi yang bisa ditemukan. Tapi ada satu info bahwa jika naik ke bagian atas benteng, akan bisa melihat bulatan ring tempat menambat kapal, sehingga dapat diketahui bahwa benteng itu berada persis di pinggir laut.

Aku dan Niar yang cantik sekali. Siapa yang percaya anaknya sudah tiga orang?

 

LOH… bagaimana caranya naik ke atas? Dari informasi inilah aku kemudian pergi lagi ke Fort Rotterdam esok harinya. Terima kasih banyak atas informasi yang justru diberikan persis sebelum pulang. Terima kasih juga karena Niar langsung mengirimkan juga link tulisannya mengenai benteng di sini. Juga terima kasih untuk tulisan kopdarnya di sini. Terima kasih juga untuk oleh-olehnya Kue Blinjo yang sangat enak itu. Aku baru pertama kali mengetahui kue blinjo ini. Meskipun katanya bukan asli Makassar (ada yang bilang dari Surabaya) tapi kue ini patut dipromosikan.

Demikianlah kopdar pertamaku di kota Anging Mamiri. Semoga akan ada lagi kopdar-kopdar berikutnya di lain kesempatan.