Bukan, aku bukan ingin menceritakan atau membahas studi perbandingan yang dilakukan anggota DPR RI ke luar negeri. Tapi ingin menceritakan tentang Riku (lagi).
Jadi, selama liburan musim panas, sejak kelas 3 SD, mereka diberi tugas untuk membuat proyek sendiri. Namanya Jiyuu Kenkyuu 自由研究, untuk mengisi liburan musim panas. Topiknya boleh apa saja. Boleh prakarya, atau penelitian bintang, museum atau coba resep …apa saja. Dan setelah liburan selesai, mereka harus membawa ke sekolah dan memamerkannya di kelas. Jadi, cukup malu kalau hasil proyek itu tidak bagus (itu pemikiran deMiyashita).
Padahal Riku selalu ikut aku berlibur di Jakarta kira-kira sebulan, sehingga otomatis waktu liburannya habis di Jakarta. Karena itu kami mengusulkan pada Riku untuk membuat karangan tentang apa yang ditemui di Jakarta. Kelas 3 dia menulis hal-hal yang mengejutkannya yang ditemui di Jakarta. Misalnya waktu dia main di Kidzania, naik delman, naik bajaj, ketemu buah lengkeng dan buah Naga. Kelas 4 dia menulis tentang hutan Mangrove, karena waktu itu kami pergi ke pelabuhan Sunda Kelapa. Kemudian kelas 5 masih melanjutkan dengan Mangrove dengan tujuan waktu itu ke Taman Wisata Mangrove di Angke.
Kelas 6 ini, seperti yang telah kutulis di Daeng Senga Pulang Kampung, Riku mengunjungi Fort Rotterdam untuk proyek musim panasnya. Tapi sayangnya waktu hari pertama kami pergi ke museum itu, sedikit sekali informasi tentang benteng yang bisa kami dapat. Tapi berkat info dari suami Mugniar, kami merasa kami perlu kembali ke Fort Rotterdam lagi.
Jadi setelah pulang dari rumah Karaeng Toto, Opa dan Kai beristirahat di hotel, sementara aku, Riku dan Yuko jalan lagi. Kami sempatkan pergi ke lapangan Karebosi yang di bawahnya terdapat pertokoan dan pergi makan es pisang ijo! Wah aku tidak mau pergi ke rumah makan MM itu lagi ah…. penuuuh dan musti antri, sambil lihat siapa yang sebentar lagi selesai makan, berdiri di dekatnya dan berebut tempat duduk 🙁 Ngga biasa sih…. aku juga tidak akan enak makan jika ditunggui seperti itu deh.
Nah aku ingat kenapa kami mampir ke Kareboshi dan makan pisang ijo dulu sebelum ke benteng Fort Rotterdam lagi, karena aku tahu waktu hari pertama ke sana, panaaaaaaasnya minta ampun. Jadi mau menunggu agak sorean dulu baru ke sana. Dan untung saja, memang waktu kami ke benteng sudah tidak terlalu panas. Dan satu hal yang paling mengejutkan kami, yaitu bertemu dengan pemandu wisata yang bisa berbahasa Jepang! Di pintu masuk kami disapa apakah perlu guide, lalu kujawab perlu yang bisa bahasa Jepang. Dan si bapak setengah abad itu menjawab : “Saya bisa bahasa Jepang!”
Wah, meskipun kalimat bahasa Jepangnya tidak sempurna, cukuplah untuk Riku. Kami diantar naik ke bagian depan benteng yaitu bagian yang berbentuk kepala kura-kura. Memang benteng ini memakai bentuk kura-kura sejak di didirikan oleh Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karang Mangunungi Tumaparisi Kallona dan diselesaikan oleh putranya Raja Gowa X pada tahun 1545. Awalnya tentu tidak bernama Fort Rotterdam tapi Benteng Ujung Pandang. Awalnya berfungsi sebagai benteng pengawal yang melindungi Benteng Induk Somba Opu yang juga sebagai pemukiman pembesar-pembesar kerajaan. Pada tahun 1667 benteng Ujung Pandang diserahkan kepada VOC bersamaan dengan ditandatanganinya perjanjian Bungaya. Dari 1667 sampai kedatangan Jepang tahun 1942 diganti nama menjadi Fort Rotterdam dan digunakan sebagai markas komando pertahanan, pusat perdagangan, pemerintahan dan pemukiman pejabat-pejabat belanda. Pangeran Diponegoro pernah ditawan dari tahun 1834-1855 di sini.
Konon Raja Gowa membuat benteng berbentuk penyu/kura-kura ini karena menginginkan kerajaan Gowa jaya di laut dan di darat, seperti layaknya kura-kura. Keseluruhan luas benteng 28.595,55 meter dengan tinggi benteng bervariasi antara 7 sampai 5 meter, dengan ketebalan benteng rata-rata 2 meter. Waktu aku membantu Riku mengetahui luas benteng ini, memang panjang/lebarnya tidak ada yang sama! Menurut data sisi muka (kepala ) 225 m, lalu ke arah utara 155,35meter , timur 193.2 meter dan sisi selatan 164,2 meter. Kok sisi-sisinya tidak sama ya? Asumsiku jaman dulu benteng dibangun juga mungkin tanpa denah dan perhitungan ya sehingga tidak simetris. Di dalam lingkungan benteng terdapat 14 bangunan Belanda + 1 bangunan Jepang.
Lain sekali dengan Goryokaku (kastil segilima) yang terdapat di Saku-shi, Nagano. (Sudah pernah ditulis di sini) Tentu tahun pendiriannya juga lain. Jauh lebih modern, sudah mendekati restorasi Meiji. Bahkan sebetulnya pembangunan parit sekeliling kastil yang berbentuk segi lima itu belum semuanya selesai, baru 3 sisi saja. Kastil Goryokaku jadi merupakan kastil “termuda” di Jepang dan belum pernah dipakai untuk perang. Sekarang di dalam lingkup kastil itu berada gedung sekolah SD Taguchi, lengkap dengan lapangan untuk olahraga. (di sebelah salah satu sisi juga dibangun kolam renang untuk pelajaran renang). Satu-satunya bangunan yang masih lengkap dan masih berada dalam kastil hanyalah bangunan dapur. Sebetulnya masih ada bagian-bagian kastil, seperti gerbang, tapi dipindah ke tempat yang lain.
Riku membandingkan dari tahun pembuatannya, bentuk/luasnya (di sini pakai skala untuk menyamakan, cukup berat untuk dia karena belum dipelajari di sekolahnya) kemudian pemikiran dia mengenai keberadaan kastil itu sendiri. Kami biarkan dia menulis pemikirannya sendiri, tanpa ada campur tangan pendapat kami. (padahal banyak tuh yang mau kita tambahin hehehe) . Tapi sejak awal aku sudah menanamkan pada Riku kalau menulis sesuatu, coba saja jawab pertanyaan: Apa? Siapa? Kapan? Di mana? Bagaimana? Kenapa? Supaya tulisannya tidak ngawur hehehe. Betul kan?
Dan memang untuk mendapatkan informasi yang cukup, perlu waktu. Kami sampai dua kali pergi Fort Rotterdam dan menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Untung juga waktu kami pulang, sempat menanyakan juga apakah ada buku tentang benteng, dan membeli dua buku (fotocopy-an) untuk melengkapi informasi. Semakin lama, semakin banyak informasi, tentu kita bisa menulis lebih bagus dan lengkap.
http://i282.photobucket.com/albums/kk254/coutrier/blog24/kenkyu_zpsa4db9ec9.jpg