Kalau mencari kata padma di Kamus Besar Bahasa Indonesia, akan tertulis : bunga teratai atau bunga seroja. Tapi kalau mencari di wikipedia, kita akan tahu bahwa yang dimaksud padma bukan sekadar lotus saja tapi sacred lotus.
Sebelum kami pergi ke Ashikaga Yakata dan Ashikaga Gakkou, kami melewati prefektur Gunma karena di situ ada bekas castle Tatebayashi. Memang Castle Tatebayashi ini tidak termasuk dalam daftar 100 castle terkenal di Jepang. Tapi Gen ingin melihatnya. Waktu kami mengikuti car navigator kami melihat papan: Tsutsujigaoka Koen. Hmmm kami pernah pergi ke taman tsutsuji (bunga azalea) di Ootawa Azalea Hills Yokosuka, jadi buat apa lihat lagi? Tapi Gen mengajak mampir saja sebentar kok sepertinya cukup besar, selain itu ada bekas Tatebayashi castle.
Memang kami tahu bahwa bunga azalea itu hanya berbunga sekitar bulan Mei, sedangkan waktu kami pergi ke sana bulan Juli. Dan memang taman di situ tidak ada bunganya lagi. Tapi kami bisa melihat ada semacam kolam/danau teratai besar di sana, dan melihat banyak orang berjalan ke arah lebih dalam yaitu ke tempat menaiki perahu. Rupanya bisa ikut tur dengan perahu mengelilingi danau itu yang makan waktu 30 menit.
Kami memang harus menunggu giliran naik sekitar 20 menit, sesudah membeli karcis seharga 700 yen untuk dewasa dan 300 yen untuk anak-anak. Dan perjalanan mellihat bunga teratai itu sangat menyenangkan. Selain melihat pemandangan yang meluas kami juga dibawa sampai ke tengah-tengah kumpulan teratai.
Pendayung perahu kami sudah tahu jalan-jalan melewati kumpulan teratai itu sehingga tidak merusak bunganya. Kami sampai bisa melihat bagian-bagian bunga lotus dan daunnya yang lebar, bahkan bisa memegangnya. Jarang kami bisa berada di tengah-tengah keindahan alam seperti ini, sehingga rasanya bahagia sekali.
Menurut pendayung perahu kami, batang teratai itu kosong, dengan pori-pori besar, sehingga bisa menjadi selang jika kita menaruh minuman di bagian daun, dan minum di bagian bawahnya. Selain itu daun teratai yang besar itu mempunyai lapisan lilin sehingga bisa dipakai seperti payung waktu hujan. Jadi ingat pohon pisang kan? Dan pendayung perahu memperbolehkan kami membawa pulang daun teratai itu asal janji tidak dibuang sembarangan.
Kurang lebih kami berada di sana 2 jam, tapi hati kami amat terhibur dengan keindahan taman Padma ini.
Peringatan ini bukan lelucon loh, tapi benar-benar dipasang di pinggir jalan berbunyi : “カルガモにご注意 Karugamo ni gochuui” termasuk gambar bebek dengan anak-anaknya. Memang bebek-bebek ini sering menyeberang jalan tanpa mengindahkan lalu lintas sih 😀 Pada musim panas, bebek bersama anaknya yang baru lahir akan berpindah mencari tempat hidup yang baru, yang lebih besar. Sehingga mereka perlu bermigrasi. Yang lucu pernah ada sebuah liputan TV di depan istana kaisar di pusat Tokyo yang memang terdapat parit besar. Nah bebek-bebek yang ada di sana mau menyeberang jalan raya yang cukup besar. TAPI hebatnya, semua mobil berhenti untuk memberikan jalan pada bebek-bebek ini menyeberang beriringan. Aku tak tahu kalau di Jakarta bagaimana nasib bebek-bebek ini 😀
Bebek-bebek yang kami lihat ini berada di parit sebuah komplek perumahan Ashikaga Takauji 足利尊氏 di kota Ashikaga, Perfektur Tochigi yang merupakan salah satu tempat yang termasuk dalam 100 Castle terkenal di Jepang. Kami mendapatkan stamp (cap) 100 castle itu di kuil utama yang merupakan pusat kompleks itu. Kuil itu bernama Bannaji 鑁阿寺 yang didirikan tahun 1196 oleh Ashikaga Yoshikane 足利吉兼. Kuil ini ditetapkan sebagai Peninggalan Berharga 需要文化財 karena usianya yang cukup lama. Hanya pernah menjalani pemugaran satu kali pada tahun 1926 dibawah pengawasan Departemen Pendidikan. Sangat beruntung kuil ini belum pernah mengalami kebakaran.
Castlenya sendiri di mana? Rupanya bayangan kita tentang castle Jepang itu adalah puri-puri yang dibuat pada jaman Edo (1600-an). Sedangkan castle atau puri sebelum jaman Edo itu memang hanya berupa rumah biasa yang besar, yang disebut Yakata. Kebanyakan yakata-yakata ini sudah tidak ada, ntah karena terbakar, atau dibakar pasukan musuh. Seperti Castle Terapung Nobou no shiro, awalnya tidak berbentuk seperti yang kita lihat sekarang. Ashikaga Takauji sendiri merupakan shogun pertama pada jaman Muromachi Bakufu tahun 1338, dan meninggal tahun 1358.
Selain kuil kuno yang masih gagah berdiri di sana, kita juga bisa melihat sebuah pohon Ginkgo biloba yang diperkirakan berusia 550 tahun dengan lingkar batang 8,3 meter.
Kami tidak lama di sini karena ingin melanjutkan perjalanan ke sekolah Ashikaga, sekolah tertua di Jepang.
Menjelang Hari Kebudayaan di Jepang yang diperingati setiap tanggal 3 November, universitas-universitas membuat festival di kampusnya. Ada yang mulai hari ini tanggal 1 November, ada yang mulai besok. Universitas W dan S tempatku bekerja juga mengadakan daigakusai atau festival universitas sehingga hari Kamis dan Jumat ini aku libur tidak mengajar. Kemarin aku pakai waktuku untuk bertemu teman lama di Shinjuku untuk makan masakan Thailand, tapi kurang enak masakannya. Ternyata aku memang bukan tipe yang gaul di Tokyo. Sama sekali tidak tahu tempat yang enak-enak. Anak mami (yang gede banget hehehe).
Hari Jumat ini sebenarnya aku ingin pergi berdua Kai dan Sanchan, tapi aku dan Sanchan ternyata kecapekan sehingga tepar di tempat tidur. Sayang sekali karena hari ini cerah sekali. Tapi biarpun hari ini kami libur, sesudah makan siang mulai lagi sibuk wara wiri, termasuk ke kantor pos untuk membayar rekening. Ternyata kantor pos Jepang mulai menjual kartu pos untuk tahun baru mulai hari ini, sehingga aku tergoda membeli kartu pos itu, dan tentu saja perangko-perangko baru.
Kembali ke Hari Kebudayaan di Jepang, seminggu menjelang hari Kebudayaan itu di sekolah-sekolah diadakan Pekan Baca 読書週間 Dokusho shukan. Menurut Riku setiap hari mereka diberikan waktu untuk membaca sebelum pelajaran atau waktu-waktu tertentu yang diberikan gurunya. Nah, tadi pagi dalam acara ZIP, diadakan semacam interview kepada anak-anak mengenai kegiatan membaca ini. Dan ternyata dibanding beberapa tahun yang lalu, anak-anak Jepang sekarang lebih banyak membaca buku. Rata-rata 10 buku dalam 1 bulan!
Wah hebat benar…. kupikir anak-anak Jepang suka manga (komik) saja, dan perlu diketahui manga itu TIDAK temasuk hitungan buku. Zukan (ensiklopedia) juga tidak dihitung. Yang dihitung adalah shosetsu (novel), monogatari (buku cerita), jiden (biografi) dll buku yang mempunyai tema dan tidak bergambar. Ternyata sekarang banyak cerita-cerita manga yang di-novel-kan. Jadi kalau komik anak-anak lebih memperhatikan gambar dan setelah itu alur cerita. Sedangkan untuk shosetsu pembaca diajak membuat “komik” sendiri di kepalanya. Kurasa ini bagus sekali!
Lalu kutanya Riku selama seminggu ini dia bisa baca berapa shosetsu? Ternyata dia bisa baca 3 buku! (Kalau dihitung sebulan bisa 12 buku kan) Wah hebat juga. Sayangnya pilihan bukunya masih cenderung ke tokoh-tokoh sejarah dan komik yang di-shosetsukan.
Kamu bisa baca berapa buku seminggu (atau sebulan) ini? Aku? Zero huhuhu!
Eh tapi aku boleh bangga ah, bisa menulis 31 tulisan untuk bulan Oktober kemarin. Masih banyak cerita yang belum aku tuliskan tapi ya begitu, pemilihan gambar dan mencari data tambahannya yang makan waktu lama. Biasanya satu tulisan aku tulis sekitar pukul 10 malam, sesudah Kai tidur. Kalau aku ketiduran ya gitu deh, cuma punya waktu 30 menit sebelum tanggal berganti 😀 Semoga semangatnya masih bisa dilanjutkan dalam bulan November ini.
“Mata dekat” merupakan terjemahan harafiah dari kin-gan 近眼 myopia atau kalau di Indonesia disebut dengan rabun jauh (kacamata minus). Dan ternyata kata dokter mata tadi, orang yang rabun jauh(kacamata minus) lebih beruntung daripada yang tidak, jika dia mau tetap bisa membaca dan menulis atau bermain komputer sampai tua, sekitar umur 80 tahun. Karena itu aku disarankan untuk memakai kaca mata + waktu memakai komputer saja, sedangkan untuk kegiatan sehari-hari masih bisa tanpa kacamata. Kecuali waktu menyetir karena mungkin akan ditegur waktu memperpanjang SIM.
Hari ini aku memang ke dokter mata. Riku disuruh oleh pihak sekolah, sebetulnya sudah sejak bulan Mei lalu, tapi baru sempat (dan baru teringat). Dengan membawa kertas pemeriksaan kembali dari sekolah untuk diisi dokter mata, kami bergegas ke dokter mata yang berada di gedung stasiun dekat rumah kami. Aku baru pulang pukul 5 sore sedangkan Riku baru pulang bermain pukul 5:15. Padahal dokter matanya cuma sampai jam 6. Jadi kami bergegas naik sepeda.
Kami baru pertama kali ke dokter itu, sehingga kami perlu mendaftar dan membuat karte dulu. Untuk itu kami perlu menyerahkan kartu asuransi, dan untuk Riku ditambah kartu bebas biaya dari kelurahan. Setelah menulis formulir pendaftaran, kami menunggu. Sebelum diperiksa dokter, kami diperiksa dulu kemampuan membaca. Dari situ ketahuan bahwa kemampuan pandang aku cuma 0,7 untuk mata kanan dan 0,8 untuk mata kiri (normalnya 1). Jangan tanya minus berapa ya, karena di Jepang tidak pakai istilah minus. Dan memang aku ada silindris dan perlu ditambah plus karena tidak bisa membaca yang kecil-kecil. Nah loh. Pemeriksaan oleh suster ini, hampir semua sama dengan pemeriksaan mata di Indonesia, tapi ada satu yang lain yaitu mata dihembuskan angin. Mungkin untuk mengukur kekeringan mata ya? Aku sungkan bertanya tadi.
TAPI yang hebat waktu dipanggil masuk ke kamar periksa dokter spesialisnya. Dia dengan alat khusus melihat retina mata, yang terekam dalam komputer. Wiiih benar-benar seperti kaca. Untuk aku pemeriksaannya ditambah dengan melihat kelopak mata bagian dalam, untuk melihat pembuluh darahnya. Hasilnya, mataku lumayan parah tingkat stressnya. Tapi oleh dokter aku hanya disarankan memakai kacamata plus +1 waktu memakai komputer, yang bisa dibeli di toko-toko kacamata. Tanpa obat, dan tanpa kacamata minus karena belum perlu (padahal udah siap-siap beli loh :D). Biaya dokter matanya 2100 yen (Rp210ribu) saja. Riku juga tidak perlu pakai kacamata dan biayanya nol.
Selain kecanggihan alat-alat dan kecepatan/ketepatan dokter memeriksa, ada satu hal lagi yang kuperhatikan. Kenapa dokter mata itu bermuka lonjong seperti Hercule Poirot, berkacamata dan pintar ya? Karena dokter Kato ini tipe-tipenya mirip dokter Slamet RSPP yang memeriksa aku setahun lalu 😀
Cuma ada satu perkataan dia yang terngiang terus di kepalaku. “Cepat-cepat pakai kacamata jika sudah berumur 40-an, karena kalau tahan terus pada umur tertentu tidak akan bisa menulis dan membaca lagi. Dulu orang (Jepang) hidup cuma sampai umur 50 tahun, belum ada komputer dan smartphone, jadi tidak sempat kehilangan penglihatan. TAPI sekarang orang hidup sampai lanjut usia, kira-kira 80-an. Tentu tidak mau pada usia lanjut itu tidak bisa membaca dan menulis ya? Apalagi aku kalau tidak bisa menulis dan membaca blog, pasti sedih dan kesepian sekali. Soalnya aku berencana ngeblog terus sampai umur 80 tahun hehehe.
Soal Hari Kacamata (1 Oktober) pernah kutulis di sini.
Istilah mata dalam bahasa Jepang : Kinshi 近視 (rabun jauh- kacamata minus), Ranshi 乱視 (silindris) dan Rougan 老眼 (rabun dekat -kacamata plus)
Sebelum pulang ke Jakarta musim panas lalu, deMiyashita sempat pergi jalan-jalan ke Tochigi, tentu dengan maksud melengkapi buku cap 100 castle. Tapi sebagai bonus kami bisa mengunjungi sebuah sekolah tertua di Jepang yang sudah ditetapkan menjadi peninggalan resmi oleh negara pada tahun 1921 dan sekarang sedang didaftarkan untuk menjadi “Warisan Dunia” World Heritage.
Nama sekolah itu adalah Ashikaga Gakkou, terletak di kota Ashikaga di Tochigi. Sekolah ini didirikan tahun 1439 oleh Uesugi Norizane. Jadi kalau dihitung sekarang sekolah itu sudah berusia 574 tahun! Sekolah ini mengalami perang Oni yang berlangsung 10 tahun (1467-1477), dan terus menerus melanjutkan pendidikan murid-murid yang konon sampai 3000 orang jumlahnya. Pada tahun 1549, Fransiscus Xaverius bahkan sudah menemukan dan menuliskan serta mengakui bahwa di Jepang sudah ada sekolah yang besar dan terkenal.
Pada tahun 1872, sekolah ini ditutup. Namun oleh penduduk sekitar mereka merawatnya dan menjadikan pusat pendidikan abadi (long life education) dengan berbagai kegiatan.
Harga karcis masuk untuk dewasa 400 yen, SMA 210 yen, tetapi untuk SMP dan sebelumnya (program wajib belajar) tidak perlu membayar. Demikian juga untuk penyandang cacat. Sebelum melihat bangunan yang ada, kami diminta memasuki sebuah ruangan di samping pintu masuk yang memutar video mengenai sekolah Ashikaga tersebut.
Keluar dari sesi menonton video, kami mendapatkan sebuah patung Confucius besar dengan sebuah kuil kecil di sebelahnya. Tentu banyak anak-anak (dan orang tua) yang berdoa di kuil tersebut. Memang banyak terdapat ema (papan permohonan yang digantung) bertuliskan nama sekolah tujuan mereka.
Memasuki gerbang sekolah gakkoumon 学校門, di sebelah kiri ada perpustakaan. Kami boleh masuk ke perpustakaan dan membaca di sana. Riku sempat mencari sebuah buku di situ. Tapi tentu saja tidak bisa dibawa pulang.
Di bagian tengah ada sebuah gerbang lagi yang bernama Kyoudanmon 杏壇門, yang di dalamnya terdapat bangunan berisikan patung Confusius, serta patung pendiri sekolah ini. Keluar dari sini baru kita bisa melihat bangunan sekolah yang menghadap sebuah taman buatan yang indah. Kalau melihat besarnya gedung sekolah ini, tak bisa dibayangkan kalau sekolah ini menampung 3000 orang. Tapi ntahlah mungkin mereka bergantian, atau belajar tidak hanya di dalam ruangan saja.
Sebelum masuk ke dalam gedung sekolah ada sebuah ember besi tergantung di atas sebuah bak kayu berisi air. Di sini kita bisa mencoba memasukkan air sampai seberapa banyak sehingga bisa membuat ember itu stabil dan tidak menumpahkan air yang dimasukkan. Dengan eksperimen ini, murid-murid diajarkan bahwa segala sesuatunya ada batasnya supaya stabil. Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Manusia harus berhenti di titik stabil itu. Rasanya ini cocok juga dengan pemikiran orang Jepang dengan kata-kata hodohodoni, jangan terlalu. Mungkin di filosofi Jawa juga ada, aku tidak tahu.
Selain gedung sekolah, dalam kompleks sekolah ada kebun sayuran, asrama, gudang dan di bagian belakang terdapat pekuburan guru-guru kepala sekolah. Kompleks ini sebetulnya tidak terlalu luas.
Suasana dan pemandangan perpaduan dari pohon yang hijau, gedung tradisional yang bersih, taman yang indah membuat kami betah berlama-lama di situ. Tentu bagi yang bisa membaca kanji akan menarik, tapi yang tidak bisa membaca, tidak suka bangunan kuno dan tidak mendalami sejarah pendidikan Jepang, tempat ini akan membosankan. Bagi yang mau melihat secara lengkap foto-foto Sekolah Ashikaga ini bisa juga melihat di sini.
Kalau membaca QA dari websitenya, ada beberapa hal yang menarik:
1. Yang belajar di sini kebanyakan pendeta dan mempelajari konfusianisme, tapi kebanyakan mereka membaca buku-buku dari china.
2. Uang masuknya mahal, karena sekolah ini terkenal. Tapi setelah masuk tidak ada catatan bahwa murid membayar uang sekolah. Kebalikannya sekolah yang memberikan murid-murid makan.
3. Jaman itu belum ada kurikulum dan tata cara, misalnya mulai jam berapa, belajar berapa jam. Murid datang dan pulang seenaknya saja. Ada yang belajar sampai 10 tahun, tapi ada pula yang hanya 1 hari. Karena belum ada kurikulum juga, tidak ada yang namanya test masuk. Memang karena sekolah ini mempunyai buku-buku lengkap, guru-guru terkenal sehingga level pendidikannya tinggi.
Tadi sore aku mengambil pos dalam kotak pos apartemenku. Suratnya cuma satu tapi ada 5 lembar kertas promosi. Memang selain surat seringkali orang mengisi kertas-kertas promosi atau pamflet dalam kotak surat di rumah-rumah. Yang membagikan tentu pekerja part time yang memang bertugas untuk membagikan kertas-kertas tersebut. Mengganggu memang kalau sambil bertumpuk banyak, tapi terkadang dari situ aku mendapatkan informasi tentang daerah sekitarku yang tidak termuat di koran atau TV. Dan untungnya daerah kami banyak perumahan sehingga jarang ada pamflet atau kertas promosi konsumsi orang dewasa. Dulu waktu aku tinggal di Meguro, mungkin karena dekat stasiun, sering mendapat kertas promosi video p*rn* atau wanita panggilan.
Nah, salah satu kertas promosi yang kuterima hari ini adalah mengenai Sharing Sepeda. Jadi ada penawaran selama bulan November bagi mereka yang mau mengikuti sharing sepeda di salah satu stasiun dekat rumahku. Intinya satu sepeda itu bisa digunakan banyak orang. Tentu sepedanya disediakan pemerintah daerah (Nerima). Jadi sistemnya seperti ini: Misal ada 5 sepeda. Awalnya aku mengambil sepeda di stasiun, jadi aku pakai sepeda no 1. Pakai ke mana-mana, lalu aku bawa ke rumah. Parkir di rumah, lalu aku pergi lagi ke stasiun untuk belanja, sesudah pulang belanja aku mungkin akan mendapat sepeda no 2, karena sepeda nomor 1 dipakai orang lain. Begitu selanjutnya. Mungkin untuk aku yang rutenya rumah-stasiun tidak begitu perlu, tapi untuk pegawai kantor (yang rumahnya jauh) yang datang ke stasiun itu kemudian kantornya cukup jauh untuk jalan kaki, akan praktis sekali. Intinya mengurangi jumlah kepemilikan sepeda, dan supaya sepeda itu bisa dipergunakan semaksimal mungkin.
Sistem ini memang untuk mereka yang setiap harinya perlu memakai sepeda. Tanpa perlu membeli sepeda, mereka dapat memakai sepeda ke mana-mana. Biaya sewa sepeda sudah termasuk parkir di stasiun, jadi jauh lebih murah daripada kalau harus mengeluarkan uang lagi untuk parkir. Selain itu sepeda dirawat oleh petugas, sehingga kita tinggal pakai saja.
Sistem sharing ini lah yang kelihatannya akan digalakkan oleh kelurahan-kelurahan di Tokyo. Karena sistem sewa untuk jam-jam-an biasanya hanya disediakan di lokasi wisata, bukan lokasi perumahan. Contohnya waktu aku pergi ke istana Kaisar yang kutulis di sini, aku juga melihat antrian untuk menyewa sepeda. Memang taman sekitar istana cukup luas dan melelahkan untuk dikelilingi dengan berjalan kaki. Biaya sewa di Nijubashi itu sekitar 1200 yen untuk 3 jam, atau 3000 yen untuk 24 jam.
Sepeda memang merupakan alat transportasi yang utama di Tokyo. Pernah seorang temanku yang sedang belajar di Korea, mengunjungi Jepang, dan dia sampai menanyakan padaku : “Nampaknya di jepang orang orang suka naik sepeda ya? kok bisa menjadi bagian hidup gitu ya, bu? ada yang bilang karena setelah tsunami, beberapa akses sulit dan akhirnya mereka pakai sepeda. terus keterusan sampai sekarang. benarkah demikian? hahaha… habis ini pertama kalinya saya lihat ada orang pakai jas rapi, terus berpergian naik sepeda gitu. ^^”
Pertama keterangan tentang pasca gempa itu SALAH besar. Karena 20 tahun aku hidup di Jepang ya memang pengguna sepedanya sudah banyak.Soal pemakai jas naik sepeda sih memang sudah biasa, kalau memang harus naik sepeda ya bagaimanapun bajunya pasti bisa saja naik sepeda. Cuma memang aku belum pernah melihat orang berkimono naik sepeda 😀 Tapi kalau wanita karir dengan rok mini dan span naik sepeda sih sudah sering. Sepeda adalah alat transportasi di perkotaan, selama jarak masih bisa ditempuh. Biasanya dari rumah ke stasiun naik sepeda. Taruh di parkiran, lalu naik kereta. Aku ke mana-mana selalu naik sepeda. Seandainya aku mesti selalu naik bus ke mana-mana bisa bangkrut deh!
Jepang merupakan pengguna sepeda yang cukup banyak di dunia. Jumlah sepeda di Jepang 86.550.000 unit (data th 2005) membuat angka 1 sepeda untuk 1,5 orang! Berarti hampir semua penduduk punya satu sepeda. Angka ini sejajar dengan Belanda, Jerman dan Belgia yang 1 sepeda untuk 0,9 orang, 1,2 orang dan 1,9 orang. Kalau mau diurut menurut 1 sepeda maka Jepang pengguna sepeda nomor 3 di dunia! Jauh lebih tinggi daripada Amerika, Inggris dan Cina. (Pantas temanku itu juga jarang lihat orang bersepeda di Korea. Kupikir Korea sama dengan Jepang, banyak pengguna sepedanya, ternyata tidak ya)
Jadi jangan heran kalau melihat satu keluarga berpiknik ke taman naik sepeda masing-masing pada hari Sabtu dan Minggu. DeMiyashita tinggal menunggu Kai mahir bersepeda, dan kami pasti akan bersepeda bersama ke Taman Shakujii dekat rumah. Cobalah pergi ke dekat stasiun sekitar pukul 8 pagi, pasti jalanan penuh dengan sepeda. Aku paling malas kalau harus mengantarkan Gen ke stasiun pagi hari karena pengguna sepeda mendominasi jalanan. Atau cobalah lihat di sekitar supermarket jam 11 atau jam 3 an. Ibu-ibu bahkan nenek-nenek naik sepeda untuk berbelanja (tentu termasuk aku hehehe). Jalanan bisa terlihat (agak) lengang dari sepeda hanya waktu hujan, tapi bukan berarti tidak ada yang naik sepeda sambil memegang payung atau menerobos hujan dengan jas hujan ya. Jadi untuk yang mau tinggal ke Jepang, aku sarankan belajarlah naik sepeda 😉
Sejak hari Sabtu aku sudah merasa kurang enak badan. Sepulang kerja Sabtu kemarin itu, Gen juga merasakan keanehan pada tenggorokan dan hidung. Hmmm mulai deh keluarga kami masuk angin karena udara memang mulai mendingin, selain dari waktu istirahat yang kurang. Karena itu hari Minggunya kami sama sekali tidak keluar rumah, pakai untuk dara-dara (santai-santai di rumah) makan yang benar dan minum obat. Ada satu perkembangan dari Kai (6th). Dia yang tadinya selalu hanya bisa tidur kalau bersamaku, mulai hari Sabtu kemarin dia sudah bisa tidur sendiri dan tidak mencariku. Yatta….(Horee) Tapi yang membuat aku terharu tadi waktu dia bilang “Oyasuminasai” padaku, aku jawab “Selamat tidur… ” dan dia tambahkan, “Mama juga cepat tidur ya. Nanti sakit…” huhuhu…. terharu biru deh. Padahal kemarin pagi aku sudah senang sekali waktu aku bilang, “Aduuuh pinggang mama sakit” lalu dia bilang, “Sini aku pijat!” dan aku manja ke dia minta dipijat. Enakan loh!~~Oyabaka edition (edisi ortu pamer)~~
Tadi pagi dini hari aku terbangun jam 3 dan sulit tidur lagi. Udara semakin kering tanda musim dingin tambah mendekat. Yang tadinya hidungku pilek, jadi kering dan sulit bernafas. Aku masak air dan membuat teh hangat. Tidak mempan. Lalu aku cari vicks vaporub oleskan di leher, tetap tidak mempan. Hidung mampet ini membuat aku tidak bisa tidur lagi, dan membuatku langsung membeli mesin pelembab humidifier di amazon. Tadi sore sudah sampai dan aku masukkan aroma oil dari vicks vaporub sehingga kami bisa mengisap uap peppermint untuk melegakan pernapasan.
Karena aku kurang tidur, begitu pulang mengantar Kai ke TK, aku minum obat dan tidur sampai siang. Makan siang menghabiskan sisa bakmi bakso yang kubuat kemarin dan membuat badan yang kedinginan menjadi cukup hangat. Apalagi waktu keluar rumah ternyata di luar itu hangat karena terkena matahari. Tapi waktu Kai minta bermain di halaman sekolah, terpaksa aku tolak karena berdiri di luar untuk waktu yang lama bisa tambah membuat masuk angin. Untung anakku ini bisa mengerti, dan mengajakku pulang. Kami sempat mampir ke konbini Circle K untuk membeli jus buah dan snack.
Begitu sampai di rumah, aku tidur lagi. Kai bermain game di sebelahku. Ah, shiawase bahagianya masih bisa memeluk Kai yang hangat. Aku tertidur lagi 1 jam sampai Riku pulang sekolah pukul 4. Merasa cukup sehat, aku tanya pada Kai apakah dia bisa jaga rumah sekitar 1 jam, karena aku mau belanja. Dan ya, dia bisa sehingga aku punya cukup waktu untuk belanja. Tujuan utama untuk belanja sayuran dan buah, karena sebetulnya freezerku penuh dengan daging-dagingan. Sepertinya aku cenderung menjadi vegan nih, karena sudah bosan makan daging euy. (Mungkin lebih bosan ke masak dagingnya sih)
Pergi ke toko sayur langganan, wah borong deh. Coba lihat buah yang kubeli. Persediaan untuk seminggu lebih nih. Mulai dari apel, pear korea, pear yamagata yang disebut La France, grape fruit, orange (seperti sunkist), mikan (jeruk mandarin), lemon tiga jenis, jeruk sudachi (Citrus sudachi) dan Shikuwasa (Citrus depressa), Yuzu (Citrus junos), kaki atau buah kesemek dan 3 jenis buah anggur. Semoga buah-buahan ini bisa mengusir bibit penyakit dari rumahku deh.
Tapi sebelum pulang aku sempat mampir ke toko bunga. Sebetulnya keranjang depan dan belakang sepedaku sudah penuh sekali. Tidak boleh belanja lagi. Tapi kok aku ingin sekali membeli bunga untuk ditaruh di meja makan. Sempat melihat kembang sepatu tapi sudah pasti tidak bisa kubeli karena ukurannya cukup besar sehingga tidak bisa lagi disumpelin di keranjang sepeda. Jadi aku beli cyclamen yang kecil. Tapi memang sempat ragu mau membeli cyclamen pot atau buket bunga potong mini yang cantik dan tidak mahal. Tapi aku putuskan untuk membeli cyclamen saja 2 pot kecil. Tahu-tahu si ibu penjual bunga memberikan buket mini itu sambil berkata, “Ini untuk kamu sebagai orang asing di Jepang pasti sudah banyak berusaha dan beradaptasi. Gambatta ”
Aku pun sudah menjadi setengah orang Jepang (tidak bisa menerima begitu saja) dengan berkata, “Jangan bu, saya memang tadi sudah mau beli kok. Saya bayar saja”.
Akhirnya aku beli buket itu setengah harga +diberi setangkai mawar putih. Aku sempat terpana dengan kejadian itu, karena sebegitu lamanya aku tinggal di Jepang, baru kali ini aku diberi bunga dan mengingatkanku bahwa kamu itu orang asing dan pasti tidak mudah untuk hidup di Jepang. Ya, aku tahu kadang aku memaksakan diri menyelesaikan dan mengerjakan semua dengan sempurna. Kadang saja aku membiarkan segala sesuatunya dan tidur seharian, seperti hari ini. Si ibu itu menyentuh hatiku, dan memberikan semangat baru lagi.
Sambil tersenyum aku menaruh bunga-bunga itu di atas belanjaan di keranjang sepeda, dan waktu baru akan menaiki sepedaku, seorang lelaki bertanya padaku, “Maaf Anda tahu tukang kunci di mana?”
“Tukang kunci? Setahu saya masih jauh dari sini….”
“Katanya ada sekitar sini”
“Kalau begitu coba jalan sedikit lagi, lalu ada pertigaan. Coba tanya pada toko di situ apakah dia bisa buat kunci atau tidak”
“Terima kasih”
Rasanya kontradiksi sekali, baru diingatkan bahwa aku orang asing, eh sudah ada yang bertanya padaku layaknya aku orang Jepang 😀 Well, hidup itu memang penuh kontradiksi ya.
Rasa bangga tentu bisa bermacam-macam. Bangga sebagai seorang ibu misalnya, aku bangga waktu bertemu dengan tetangga sebelah apartemenku yang mengatakan, “Anak lelakimu yang besar amat sopan ya. Anda sudah berhasil mendidiknya”. Dan memang meskipun Riku tidak cemerlang di bidang pelajaran, selama ini bagus perilakunya, dan semoga terus demikian.
Sebagai orang Indonesia yang tinggal di Jepang, aku ikut bangga jika mendengar berita-berita bagus tentang Jepang. Seharian ini kami tidak keluar rumah (bahkan sejak kemarin) karena masing-masing masih belum begitu fit. Terutama sekarang papanya yang masuk angin. Selain itu aku perlu mengeluarkan baju-baju musim dingin, juga mencuci baju yang tertimbun selama cuaca tidak cerah kemarin-kemarin. Dan seperti biasanya jika 3 boys ada di rumah, TV pasti nyala terus.
Ada dua acara TV yang kulihat hari ini, yang pertama tentang permaisuri Michiko yang berasal dari keluarga biasa di Jepang. Bagaimana perjuangannya mengubah kekolotan tradisi kekaisaran dan membesarkan anak-anaknya sendiri. Ada satu adegan yang kurasa bagus, yaitu beliau memasang kaca spion di baby car yang dipakai putra mahkota. Jadi sang bayi bisa melihat wajah orang tuanya yang sedang mendorong! Pintar!
Dan yang kedua adalah rekaman mengenai Ogata Sadako, mantan kepala UNHCR yang mengurusi pengungsi dunia selama 10 tahun. Bagaimana Mrs Ogata selalu menekankan penyelamatan hidup manusia yang terpaksa menjadi pengungsi. Katanya, “Jika mereka hidup, mereka punya kesempatan sekali lagi untuk berusaha. Tapi kalau mereka mati, selesai sudah!” Bagi para pengungsi, Mrs Ogata (UNHCR) adalah penyelamat mereka.
Yang mengagumkan keduanya lulusan universitas khusus wanita Sacred Heart (katolik) . Dan keduanya mendapat gemblengan dari rektor pertama universitas itu yaitu Mother Elizabeth Britt. Dan kata-kata Mother Britt yang paling membekas adalah : “Kalian dalam status apapun di masyarakat, hendaknya menjadi pelita yang dapat menerangi sekeliling.” 『あなたたちは社会のどんな場所にあっても、その場に灯を掲げる女性となりなさい』. Ah aku jadi ingat sekolah SMAku dulu yang juga wanita semua :D, dan memang kami juga diharapkan menjadi “bintang penerang”. Kami memang dididik untuk bisa mengerjakan semuanya sendiri. Aku bangga pada pendidikan ala katolik.
Kebetulan juga beberapa waktu lalu ada hasil dari survey yang diadakan di negara- OECD mengenai Programme for the International Assessment of Adult Competencies (PIAAC), yang dalam bahasa Jepangnya Seijinryoku 成人力. Kalau di-indonesia-kan menjadi “Kemampuan sebagai Orang Dewasa”. Dan untuk bidang pemahaman matematika Jepang menempati ranking pertama, mengalahkan Finlandia, Belanda, Australia dan Sweden. Tapi bukan hanya di bidang matematika saja, ternyata Jepang juga menempati ranking pertama di bidang pemahaman bahasa. Jadi ada standard tertentu yang seharusnya diketahui orang dewasa. Aku sempat melihat acara TV yang menanyakan orang Jepang di jalanan, dan hampir semua benar menjawab pertanyaan yang diberikan. Contohnya nih: 3,6,10,15, ….? Bisa jawab cepat? Orang Jepang bisa langsung jawab deh…. (Jawabannya 21). Ikut bangga sebagai sesama orang asia 😀
Yang pasti aku bangga tinggal di kelurahan Nerima, tempat tinggalku sekarang. Kebetulan aku sedang beres-beres dan menemukan sebuah buklet yang dibagikan ntah di sekolahnya Riku atau Kai, atau bahkan masuk ke kotak pos. Tapi waktu aku baca, ternyata buklet itu berisi tulisan-tulisan bertopik, “Nerima Nomor Satu”. Ternyata dari 23 kelurahan (KU) di Tokyo Nerima nomor satu untuk lahan ladang , yaitu seluas 250ha. Selain itu merupakan nomor satu untuk taman dan segala yang “hijau-hijau”. Kelurahan kami ini merupakan penghasil Kubis nomor satu di Tokyo. Juga menjadi penemu robot pembuat sushi yang pertama di dunia. Nerima juga merupakan satu-satunya kelurahan di Tokyo yang mempunyai peternakan sapi dan juga nomor satu dari 23 kelurahan di Tokyo yang tersedikit jumlah sampah yang dikeluarkan perhari. Masih banyak lagi yang tertulis dalam buklet itu, dan membuat aku makin mencintai tempat tinggalku ini. Memang tak kenal maka tak sayang ya.
Apa yang bisa dibanggakan dari daerah tempat tinggalmu? Siapa tahu ada sesuatu yang bisa dibanggakan, tapi kita saja yang tidak/belum tahu loh. Kenali daerahmu~~~
Oh ya, aku bangga sebagai seorang Blogger Indonesia loh! Hari ini tgl 27 Oktober adalah Hari Blogger Nasional. Dan bangga juga sudah bisa menyelesaikan 27 tulisan untuk bulan ini 🙂
Tadinya aku mau menulis judul “Ada Rupa Ada Harga” seperti yang sering alm. mama katakan. Kalau mau bagus ya mestinya mau bayar mahal. Tapi rasanya itu bagaimana kita menilai barang, sedangkan yang ingin aku tuliskan di sini adalah lebih tentang jasa.
Ada seorang eksekutif Jepang yang akan pergi ke Indonesia. Tentu dia harus mengambil Visa on Arrival (VoA) di imigrasi Jakarta, waktu mendarat nanti. Harganya 25 dollar untuk 30 hari. Nah, dia ingin supaya tidak perlu mengantri untuk mengurus VoA ini karena dia dengar koleganya harus antri selama 2 jam untuk mendapatkan VoA. Dia tanya apakah tidak ada cara lain sehingga dia bisa masuk Indonesia tanpa harus mengantri begitu lama. Ya, aku tahu memang mengantri VoA itu amat menyebalkan. Karena aku harus menemani anak-anakku yang warga negara Jepang untuk mengurus visa mereka. Dan terakhir aku sempat murka! Karena kami disuruh bolak balik karena loket untuk VoA tidak buka. Kami disuruh ke antrian orang Indonesia, ada 2 orang asing di depanku dan kulihat petugas imigrasi menyuruh orang asing itu untuk kembali ke loket VoA. Tanpa penjelasan, dengan cara mengusir dengan melambaikan tangan seperti mengusir anjing ke arah belakang. Dan tiba giliranku, dia bilang: Tidak bisa mengurus VoA di sini bu, kami tidak punya alatnya. Lalu aku katakan, “Lah kenapa kami disuruh ke sini? Jangan begitu dong. Beri keterangan yang benar. Pakailah bahasa Inggris. Orang asing ini tidak tahu harus bagaimana kan?”
Akhirnya aku dengan suara keras mengatakan pada orang-orang asing di belakangku dalam bahasa Inggris dan Jepang untuk kembali ke loket VoA, dan antri….. Waktu kami kembali itu sudah panjang karena sudah ada pesawat lain yang mendarat 🙁 Duh menyebalkan sekali. Orang Jepang memang sabar, mereka tidak ngomel-ngomel seperti aku. Tapi bersamaan dengan itu, ada rombongan orang Italia dan mereka marah-marah karena mereka terlambat untuk naik pesawat lanjutan. Aku dengar mereka mengancam dan memaksa petugas Imigrasi mengganti tiket pesawat dan hotel mereka. RASAIN!!!
Ekskutif ini menanyakan apakah tidak ada Fast Line seperti di Thailand, karena di Thailand ada jalur khusus bagi mereka yang mau cepat dengan membayar biaya tambahan. Duh, setahuku memang tidak ada. Kalaupun mau bisa saja mengurus visa multiple di kedutaan besar RI sebelum berangkat. Tapi bukan visa biasa, sehingga biayanya 12.000 yen (1,2 juta). Waktu aku mendengar biaya itu aku langsung kaget: “Mahal! Soalnya waktu aku mengambil multiple visa untuk Jepang HANYA 6.000 yen. Apa standarnya sehingga KBRI menetapkan harga visa segitu ya?
Aku sendiri juga sering heran. Biaya legalisasi di KBRI Tokyo biayanya 1800 yen. Dan kalau aku browsing berapa harga legalisasi di KBRI negara-negara lain, aku mendapatkan angka yang berbeda-beda. Apa standarnya? Padahal yang mengurus legalisasi itu kebanyakan warga negara Indonesia sendiri loh. Aku baca keluhan mahasiswa di luar negeri lain (Eropa) yang harus membayar mahal untuk legalisasi ijazah. Belum pernah aku bayar surat-surat di pemerintah daerah di sini lebih dari 300 yen! Mungkin ada pegawai Deplu yang bisa menjelaskan standar penentuan harga yang kadang tidak masuk akal.
Tapi ada satu perubahan yang kurasa bagus pada pelayanan imigrasi dan konsuler di KBRI Tokyo sekarang, yaitu pembayaran dilakukan bukan di loket lagi, tapi dengan membeli “karcis” di vending machine sesuai dengan keperluannya apa. Jadi misalnya mengurus legalisasi 1800, kami disuruh membeli tiket no 33 seharga 1800. Masukkan uang ke mesin dan kami mendapat struk. Serahkan struk dan setelah berkas selesai, kami akan mendapat kwitansi. Sistem vending machine ini memang banyak dipakai di kantor-kantor pemerintah, sekolah dan universitas untuk mengatur pembiayaan surat-surat yang diperlukan. Dengan demikian tidak ada lagi uang “di bawah meja” dan semuanya terekam otomatis oleh mesin tersebut. Inginnya sih mesin seperti itu ada juga di kantor-kantor kelurahan di Indonesia ya…. hehehe.
Ah ya, ada satu curhat lagi mengenai “jasa” ini. Aku melihat suatu kecenderungan negatif di Jepang, yaitu mengenai harga pasaran atau souba 相場 penerjemah. Semakin lama harga pasaran semakin rendah. Banyak perusahaan yang mencari penerjemah semurah-murahnya, dan aku sering menemukan hasil terjemahan yang begitu amburadul. Sepertinya si penerjemah memakai google translator dan memindahkannya semua plek plek secara harafiah. Masih mending kalau perusahaan itu membayar mahasiswa yang baru 2-3 tahun tinggal di Jepang. Langsung ketahuan kok dari hasilnya siapa yang menerjemahkan. Inilah yang kumaksud dengan ada mutu ada harga. Kalau mau membayar sedikit, ya silakan puas dengan hasil yang tidak bagus. Apalagi kalau mau gratisan? ya siap-siap saja menerima klaim atau dituntut karena salah translasi hehehe.
Jadi? Aku masih harus mencari cara supaya si Eksekutif Jepang itu bisa tidak menunggu lama di imigrasi mengurus VoA. Pernah dengar? Aku sih cenderung menyuruh si Eksekutif untuk antri dan merasakan yah begitulah Indonesia 😀 Cuma memang aku ikut malu sih, soalnya kalau aku mendarat dan di imigrasi Jepang, tidak sampai 10 menit (termasuk antri) udah selesai 😀 Loketnya puluhan bo…. begitu dilihat banyak orang langsung dibuka semua.