Kalau membaca judul begitu saja, pasti kita berkesimpulan bahwa ujiannya dijadikan ladang uang bukan? Meskipun mungkin ada saja pihak pelaksana ujian yang menjual buku contoh ujian, atau ada saja sekolah/bimbingan belajar yang mengadakan kursus tambahan untuk mengajarkan “cara-cara menjawab ujian”, itu semua masih dalam lingkungan ujian itu sendiri. Yang ingin kukatakan di sini adalah menggunakan saat-saat persiapan ujian sebagai sumber pemasukan, dan fenomena ini mungkin khas di Jepang.
Seperti yang pernah aku tulis juga, pelajar di Jepang boleh dikatakan “tidak perlu bersusah payah” supaya lulus, tapi mereka “harus bersusah payah” untuk masuk sekolah. Bukan kelulusan atau sotsugyou 卒業 yang lebih penting, tapi justru ujian masuk atau nyugaku 入学 yang lebih penting. Ibaratnya keluar mudah, masuk susah. Jarang sekali mendengar anak tinggal kelas atau tidak lulus. Dan ujian masuk ini bisa dilihat dari tingkat SD, SMP, SMA dan Universitas. Mungkin untuk SD dan SMP tidak terlalu kelihatan karena SD dan SMP adalah wajib belajar, sehingga semua pasti bisa masuk sekolah negeri. Ini dijamin!
Mereka harus BELAJAR UNTUK UJIAN MASUK yang disebut JUKEN 受験 jika mau masuk SD dan SMP swasta terkenal. Jika mau masuk SD terkenal itu, mereka harus persiapan juken sejak TK, dan jika mau masuk SMP swasta atau SMP yang menjadi satu sampai SMA (ikkan kyouiku 一貫教育) persiapan juken harus dimulai sejak kelas 4 SD. Jika berhasil masuk SMP Swasta, dia akan belajar juken lagi untuk masuk SMA waktu kelas 2 SMP (bahkan sebisanya dari 1 SMP). SEMUA SMA baik negeri maupun swasta (kecuali ikkan kyouiku ya) harus juken karena tidak termasuk dalam wajib belajar. Seperti Riku, dia sekarang di SD negeri, dan rencana akan masuk SMP negeri saja, sehingga dia akan juken nanti setelah kelas 2 SMP untuk masuk SMA, dan nanti juken untuk masuk universitas. Jadi setiap anak Jepang minimum juken itu 2 kali yaitu untuk masuk SMA dan universitas (jika mau ke universitas).
Juken Benkyou (belajar untuk juken) ini memang menjadi momok bagi setiap keluarga Jepang. Aku sendiri awalnya tidak mengerti, tapi sebentar lagi jika Riku sudah SMP, aku harus bersiap menemani Riku juken benkyou. Momok karena harus lulus untuk masuk SMA. Jika tidak lulus masuk sekolah SMA negeri pilihan, harus bersiap untuk masuk sekolah swasta yang mau menerima tapi dengan uang masuk yang mahal tentunya. Jika tidak bisa membayar ya bersiap untuk menjadi rounin 浪人 dan bekerja. Di Jepang pun ada pekerja yang hanya lulusan SMP karena tidak bisa masuk SMA. Setiap ibu rumah tangga akan bersimpati pada rekannya yang mempunyai anak sedang juken. Satu keluarga seakan menemani jukensha, anak yang sedang belajar juken supaya bisa konsentrasi belajar ujian masuk.
Nah di sini yang aku katakan sebagai komersialisasi ujian. Masa-masa puncak belajar adalah pada musim dingin mulai bulan Desember, Januari dan ujiannya biasanya sekitar bulan Februari. Bisa dibayangkan pada musim dingin, anak-anak ini masih harus terus belajar sampai malam. Ibu-ibu akan menyediakan makanan bergizi, yang enak-enak, dan tak lupa menyediakan snack-snack sebagai teman belajar. Pada masa-masa ini hampir di setiap makanan dan snack akan tertulis : Juken gambare! 受験がんばれ (Selamat menempuh ujian) , Juken gokaku 受験合格 juken kigan 受験祈願. Seakan setiap produsen berlomba untuk mendukung anak-anak belajar. Apalagi menghubungkan dengan bentuk-bentuk tertentu, seperti yang berbentuk stick = nomor satu, atau bentuk bulat = jawaban benar (setiap jawaban benar di ujian akan diberi lingkaran). Tentu saja selain makanan dan snack, di setiap kuil juga dijual “jimat” khusus untuk juken.
Yang kasihan, ujian masuk itu biasanya diadakan pada hari Sabtu atau Minggu (karena hari biasa tentu masih ada sekolah biasa). Tapi tanggal 8-9 Februari dan 15-16 Februari kemarin di Tokyo turun salju lebat sehingga menyulitkan peserta ujian untuk pergi ke tempat ujian. Minggu yang lalu waktu aku berusaha ke gereja, aku melihat seorang peserta ujian bergegas masuk ke mobil papanya, karena tidak ada bus yang bisa dipakai. Dan kemarin aku membaca pengumuman di TV bahwa pelaksanaan ujian masuk diundur dari jadwalnya. Ah, bisa dibayangkan betapa anak-anak Jepang yang sedang juken panik dengan cuaca seperti ini. Tapi terus terang, aku senang melihat semua pihak seakan mendukung peserta ujian, meskipun sampai komersialisasi segala. Aku tidak tahu apakah ada produk-produk di Indonesia yang khusus mencetak bungkus khusus untuk anak-anak menghadapi ujian UAS misalnya. Atau “panik belajar” ini hanya milik keluarga siswa saja?
Hari Selasa, 11 Februari yang lalu kami libur. National Foundation day. Dan karena weekend sebelumnya kami terkurung di rumah karena salju, Riku minta pergi. Katanya, “Kemana saja deh. Kalau bisa doraibu, kalau tidak bisa jalan-jalan sekitar sini juga boleh. Soalnya aku harus cerita di kelas karena besok aku jadi petugas kelas. Jadi harus ada cerita dong”.
Senin malamnya memang Gen sudah mengajak aku pergi ke National Museum of Nature and Science, yang terletak di Ueno. Dan untuk ke situ paling praktis memang naik kendaraan umum. Riku juga sangat setuju begitu aku katakan bahwa kami akan ke museum itu. Tapi memang kami berangkat santai sehingga baru keluar rumah jam 10 lebih, dan sampai di ueno menjelang pukul 12 siang. Nah, bingung kan mau masuk museum dulu atau makan dulu, karena sudah jam makan siang.
Kebetulan ada teman SMP nya Gen yang mempunyai restoran Taiwan di Ueno. Gen baru tahu dan mengajak kami makan di situ saja. Lumayan besar loh restorannya (untuk ukuran restoran Jepang bukan chain-store ya) dan porsinya besar!!! Kami salah perhitungan karena biasanya kalau porsi orang Jepang itu tidak sebanyak itu. Susah payah kami menghabiskan makanan yang tersedia. Cuma ada satu kekurangan yang aku rasakan, dan aku rasa ini merupakan ciri khas kebiasaan negara asal. Yaitu WC nya, cuma ada 2 kloset untuk 2 lantai, dan tidak bersih…. jika aku bandingkan dengan WC Jepang. Kalau bandingkan dengan WC Indonesia sih masih lebih bersih resto itu (haduh jadi teringat WC sebuah tempat makan di Pluit yang aduhai joroknya hhihihi. Sampai Kai bilang: “Mama kok jorok sekali ya? dan memang banyak lalatnya juga hiiiiii). Memang WC restoran (dan pertokoan) Jepang itu bersih-bersih ya, meskipun bangunannya tua, atau WCnya kecil, tapi tetap bersih dan tidak bau. Susah deh aku yang sudah terbiasa bersih jadinya cerewet begini hehehe.
Setelah selesai makan, perlahan kami jalan menuju museum. Memang kompleks taman Ueno cukup besar dan restoran yang kami tuju berada berlawanan dengan kompleks museum. Sambil berjalan melewati patung Saigo Takamori, aku ingat aku pernah mengunjungi tempat ini 18 tahunan yang lalu untuk mewawancarai pendengar program radioku. Saat itu orang Indonesia banyak yang berkumpul di sini. Di taman ini pula aku bertemu pendengar setia dari Aceh yang bernama Banta, dan akhirnya beberapa hari setelah itu aku pun mengunjungi pabrik tempat kerjanya untuk shooting acara TV NHK. Saat itu taman Ueno masih tanah merah belum memakai trotoar.
Kami sampai di depan Museum dan kaget membaca bahwa kami harus antri 60 menit sebelum bisa masuk ke dalam museum. Wah terlambat! Jadi ingat kejadian yang hampir sama waktu aku, Riku dan Kai datang ke situ untuk menonton pameran Cumi-cumi besar dan harus antri 3 jam! Wah mending ngga usah deh…dan memang akhirnya kami batalkan pergi ke pameran itu. Tapi kali ini HANYA 60 menit, dan kami berempat jadi masih bisa sabar menunggu 1 jam. Meskipun… banyak godaan untuk kesal 😀
Dibandingkan dengan Indonesia tentu antri di Jepang sangat teratur. Tapi hari itu hari libur, jadi banyak yang datang ke museum itu sekeluarga. Dan anak-anak tentu tidak bisa menunggu dengan tenang. Tapi itu bisa aku maklumi. Yang aku tidak bisa mengerti jika yang datang ibu bapak dan balita yang masih duduk di babycar. Siapa sih yang mau menonton di museum? Ibunya? Bapaknya? Tidak mungkin dong anaknya 🙂 Aku tidak melarang loh pasangan muda membawa anak balitanya ke mana-mana, tapi lihat tempat dong. Kasihan dong anaknya kalau harus menunggu 1 jam. Orang dewasa saja bosan, apalagi anak-anak. Aku dan Gen berbicara dalam bahasa Indonesia mengenai hal ini, dan kami dulupun waktu anak-anak masih balita, tidak pernah mengajak belanja di mall, atau ke museum, atau ke tempat yang penuh orang, karena KAMI TIDAK MAU MENGGANGGU ORANG LAIN. Aku paling tidak bisa mengerti waktu melihat seorang ibu muda yang mendorong bayinya masuk BUTIK di pusat pertokoan terkenal, hanya untuk belanja bajunya! Apa salahnya titip dulu deh kepada orang tuanya, atau pasangannya lalu belanja. Lebih cepat dan lebih nyaman. Pasti! Ah… seorang ibu itu MEMANG harus berkorban kok untuk bayinya. Kalau merasa tertekan, ya justru harus berpisah sebentar dengan bayinya. Daripada saking kesalnya bayi itu dicederai kan? (Banyak kasus ibu-ibu stress membunuh anaknya sendiri di Jepang)
Ok, akhirnya…setelah satu jam lebih, kami bisa masuk ke pameran DINOSAURUS dari Gobi Desert di Mongolia. Aduuuh kalian musti lihat deh betapa banyaknya pengunjung di pameran itu. Heran deh orang Jepang kok suka ya dengan pameran seperti ini? Bayarnya cukup mahal loh 1500 yen (Rp 150.000) untuk dewasa. DAN mereka mengerti dan hafal nama-nama jenis dinosaurus itu loh! Tidak lelaki tidak perempuan, banyak yang suka dan mengerti tentang dinosaurus. Terdengar percakapan sana-sini yang mencerminkan mereka TAHU tentang dinosaurus. Aku bisa bayangkan kalau orang Indonesia masuk sini pasti cepat-cepat jeprat-jepret berfoto bersama lalu sudah pulang hihihi.
Aku tidak hafal jenis-jenis dinosaurus, meskipun aku tahu dinosaurus ada yang herbivora, pemakan tumbuhan dan ada yang carnivora pemakan daging. Jadi aku memang cuma ikut-ikutan Riku dan Gen berkeliling dan memotret tulang-tulang yang dipamerkan. Nah, di museum ini memang diperbolehkan memotret, tapi ada keterangan kalau mengupload di internet harus minta ijin dulu. Yaaah, terpaksa deh postingan kali ini tidak bisa aku sertakan foto-foto yang bagus-bagus, karena aku malas minta ijin. Kalau mau lihat kasih tahu saja, supaya aku beri ijin hanya pada orang yang memang berminat dan berjanji tidak menyebarkan. Soalnya, aku merasa penemuan-penemuan ini hebat sekali. Ada replika yang dipamerkan, tapi kebanyakan adalah tulang asli yang ditemukan di gurun Gobi itu. Duuuh betapa peninggalan yang berharga sekali. Dan yang paling mengharukan adalah ditemukannya 15 telur yang belum menetas, jadi kita bisa melihat tulang belulang bayi dino yang ternyata kecil!
Rangkaian pameran diakhiri dengan pemutara film jenis dinosaurus dan kami digiring keluar melewati toko souvenirs. Tentu saja banyak orang yang membeli cendera mata di sini, termasuk anak-anakku. Kami membiasakan mereka memilih satu souvenir seharga 500 yen sebagai kenang-kenangan bahwa sudah pernah pergi ke suatu tempat. Tapi Gen membelikan mereka pictorial book mengenai dinosaurus dari gurun Gobi dan itu cukup mahal huhuhuhu…. (kalau aku sih tidak perlu deh hehehe)
Pasti banyak yang sudah mengetahui bahwa hari Sabtu kemarin, sejak pukul 2 pagi di Tokyo turun salju. Memang sebelumnya sudah diperkirakan bahwa salju kali ini akan besar, dan disebut sebagai 大雪 Ooyuki (Oo = besar, yuki =salju). Jadi aku pun sudah menerima email peringatan dari kelurahan tempatku tinggal. Tapi sayangnya hari Jumat itu aku batuk parah sekali sehingga meliburkan Kai dari TK nya dan tidur seharian. Tidak sempat pergi berbelanja. Hanya sempat melihat isi kulkas apakah ada yang bisa diolah untuk dimakan seandainya kita terkurung dalam rumah selama 2 hari. Yang pasti ada beras, dan itu cukup deh hehehe.
Sabtu pagi waktu terbangun, aku melihat atap rumah sudah berselimutkan salju tipis. Rupanya salju mulai turun pukul 2pagi, dan butirannya amat halus. Aku membangunkan Riku karena dia harus pergi ke sekolah Sabtu itu. Setiap bulan ada 1 hari sabtu yang murid diwajibkan datang (merupakan hari sekolah), dan kebetulan Sabtu kemarin itu adalah 学校公開 Gakkou Koukai (open school) di sekolahnya. Aku sudah menunggu ada tidaknya hubungan hantu ke hantu atau jaringan telepon dari orang tua murid yang memberitahukan bahwa open school dibatalkan. Tapi sampai pukul 7:30 tidak ada telepon sehingga aku tahu bahwa acara sekolah jalan terus. Dan aku buka website sekolahnya ternyata acara open school yang tadinya diadakan sampai jam pelajaran ke 4 , diperpendek menjadi 3 jam pelajaran saja.
Aku sendiri tidak pergi ke acara open school karena masih batuk, sehingga Gen yang kebetulan libur mewakiliku pergi ke SD. Aku dan Kai menunggu di rumah. Tapi begitu Riku dan Gen pulang, Riku langsung minta ijin pergi bermain salju dengan temannya. Aku suruh dia makan dulu sebelum pergi supaya tidak masuk angin. Selesai makan dia pergi ke rumah temannya. Tapi tak lama kemudian dia pulang karena mau mengambil ember, botol plastik dan serok yang tidak terpakai. Dan aku menyuruh dia mengajak adiknya untuk ikut bermain.
Ada satu foto yang kuambil waktu aku pergi menjemput pulang anak-anak di rumah temannya yang dikomentari oleh dua orang. Keduanya mempertanyakan kenapa aku pakai payung? Kan salju bukan hujan. Nah, keduanya memang tinggal di daerah yang biasa tertutup salju, sedangkan kami di Tokyo jarang sekali turun salju. Untuk daerah yang bersalju memang tidak perlu payung, mereka biasa haya memakai topi yang menyambung pada jaket (hood) atau topi wool. Dan kebanyakan di Amerika mereka keluar rumah hanya dengan mobil atau bus, sedangkan di Tokyo kami menggunakan transportasi umum, bus dan kereta. Kemana-mana jalan kaki (dalam salju sudah pasti tidak bisa bersepeda) dan naik kendaraan umum sehingga jika salju masih turun, kami memakai payung, jika salju berhenti turun, payung bisa dipakai sebagai tongkat.
Meskipun orang Tokyo mempunyai mobil pun jarang sekali ada yang berani menyetir mobil dalam salju. Karena untuk menyetir dalam salju kami perlu melengkapi ban dengan studless tire atau rantai ban supaya tidak slip. Selain itu perlu kemahiran khusus untuk menyetir dalam salju. Daripada menimbulkan kecelakaan lebih baik tidak menyetir dalam kondisi bersalju. (Di Tokyo saja 2 orang meninggal dan 300 an orang luka dalam badai salju kali ini)
Ada yang mengatakan setelah 25 tahun, ada juga yang mengatakan 45 tahun lalu Tokyo mengalami badai salju yang besar seperti ini. Berapapun itu, salju yang menumpuk di seluruh permukaan Tokyo mencapai 20-30 cm. Dan untuk ukuran Tokyo ini BANYAK! Kalau utara Jepang bermeter-meter sudah biasa, tapi Tokyo….. belum pernah. Ada satu lagi kekhususan salju kali yaitu bentukya seperti bubuk yang halus dan kering sehingga sulit dibuat gumpalan. Aku tidak berhasil membuat boneka salju karena sulit sekali menyatukan salju-salju itu.
Minggu pagi aku bersiap-siap ke gereja jam 9 pagi. Aku Riku dan Kai mulai berjalan ke halte bus jam 8:10 menit, tentu dengan hati-hati. Salju sudah berhenti sejak dini hari dan mulai mencair. Sebelum tidur aku melihat tumpukan yang tinggi di atas planter terasku, tapi paginya sudah tidak ada. Mungkin karena terasku juga menghadap timur sehingga cepat cair. Tapi di jalan salju masih tebal dan banyak. Salah menginjakkan kaki di atas salju yang mengeras membuat kita terpeleset. Tapi akhirnya kami bisa sampai di halte, sambil berfoto sambil jalan dan tentu sambil melihat bus datang atau tidak. Ternyata setelah menunggu 30 menit bus tidak datang dan kami memutuskan untuk membatalkan rencana. Toh sudah terlambat juga untuk mengikuti misa jam 9 pagi.
Sebetulnya aku sudah mempertimbangkan untuk memanggil taxi, tapi aku sedang tidak ada uang cash di dompet. Selain itu Taxi pun jarang lewat. Begitu ada satu taxi kosong, dipanggil oleh seorang ibu berkimono yang sedang menunggu bus sebelumku. Dia harus pergi, tapi ada dua orang lagi di depan dia yang meminta untuk ikut dalam taxi yang sama. Noriai 乗合 (orang-orang dengan tujuan searah naik taxi yang sama dan biayanya dibagi rata). Terus terang aku baru kali ini melihat orang Jepang yang sedesperate itu sampai mau noriai. Biasanya mereka cool sekali, gengsi untuk mengajak orang yang tidak kenal untuk naik dalam satu taxi yang sama. Aku sempat terpikir untuk ikut noriai juga, tapi tidak bisa! Perlu diketahui bahwa Taxi di Jepang itu hanya mau mengangkut EMPAT orang saja (lima kalau dengan anak kecil kadang masih mau), karena memang peraturannya begitu. Jangan pernah coba deh merayu supir taxi Tokyo ya, tidak seperti di Jakarta kalau bisa 8 orang disumpel ya masuk semua hehehe. Nah aku kan bertiga dengan Riku dan Kai, jadi imposible untuk ikut noriai bersama mereka. Tapi saking lucunya aku sempat mengambil foto mereka hehehe. (Untung tampak belakang jadi muka tidak terlihat)
Akhirnya kami bertiga pulang ke rumah, dan anak-anak membersihkan mobil papanya dari salju yang menumpuk. Kebanyakan memang Riku yang bekerja, sedangkan Kai bermain saja. Dalam waktu 1,5 jam mobil papanya sudah bersih, kinclong, tapi belum bisa dipakai karena tidak berantai 😀
Sementara kami di rumah, papa Gen pergi mengurus perpanjangan SIM dan mengikuti pemilihan gubernur Tokyo yang baru! Ya sekarang gubernur Tokyo sudah ganti menjadi Masuzoe Yoichi, menggantikan Inose Naoki yang terjerat kasus penerimaan uang kampanye. Semoga Tokyo bisa lebih bebenah mempersiapkan diri menyambut Olimpiade 2020.
Setelah kami menonton film Di Bawah Langit Berbintang, kami makan siang cepat-cepat dan pergi ke Enoshima Aquarium. Konon aquarium ini masih baru, dan menurut temanku orang Jepang, sangat bagus sampai dia menjadi anggota tahunan. Tapi memang dia berkata kalau bisa jangan pergi ke sana waktu musim dingin karena dingiiin! brrrr.
Tapi mumpung sudah di Enoshima ya kami pikir sekalian saja, daripada datang lagi wazawaza (dengan sengaja- khusus). Jadi kami langsung ke Aquarium itu dan sampai di pintu gerbangnya pukul setengah dua. Untung aku mengambil jadwal acara dan mengetahui bahwa ada show lumba-lumba pukul 2 siang. Jadi begitu masuk kami tidak berlama-lama lagi, langsung jalan terus menuju tempat pertunjukan lumba-lumba, padahal banyak sekali pemandangan yang menggoda kami. Begitu sampai di tempat show, pertunjukan baru dimulai dan tentu tak ada tempat lagi untuk menonton, di deretan berdiripun. Jadi kubiarkan Kai dan Riku mencari jalan sendiri, menyelinap di antara kaki-kaki orang dewasa supaya bisa melihat. Jadi memotret menjadi amat sangat tidak memungkinkan.
Setelah pertunjukan selesai, kami masuk lagi dan jalan kembali (melawan arus) sampai ke aquarium pertama depan pintu masuk. Perlahan kami menikmati akurium berisi ikan-ikan dan hewan laut lainnya yang begitu menakjubkan. Aku membawa kamera digital, tapi ternyata untuk kondisi gelap dalam ruangan, kamera iPhone paling mantap dan cepat (karena fokus dan shutter speednya cepat).
Setelah melihat aquarium dengan ikan-ikan di dasar laut dalam kami melihat pojok khusus yang sedang menengahkan ubur-ubur. Baru tahu bahwa ubur-ubur juga banyak jenisnya. Ada yang benar-benar transparan dan besar-besar (sebesar telapak tangan), ada pula yang berwarna-warni. Tapi secara keseluruhan jika melihat ubur-ubur langsung teringat mushroom/ jamur yang juga bermacam-macam jenis. Bagus juga penyajian mereka dalam satu pojok tersendiri.
Tapi memang yang paling menyenangkan adalah melihat aquarium besar yang berisi ikan-ikan kecil, tuna, ikan pari, hiu dll. Seandainya ada tempat duduk di depannya pasti banyak yang akan duduk berlama-lama di depannya. Sama sekali tidak membosankan melihat ikan-ikan itu dengan bebasnya bersliweran di depan mata. Suatu pemandangan dasar laut yang tidak bisa kita lihat tanpa pergi menyelam. Aku ingat di Kasai Rinkai Koen juga ada aquarium sebesar itu tapi kok rasanya lebih menarik yang di sini ya?
Yang menurutku menarik adalah pasangan seekor hiu yang (hampir) menempel di atas ikan pari besar. Dia selalu mengikuti kemana saja ikan Pari itu pergi. Simbiose mutualisma!
Setelah itu kami bersiap untuk menuju pintu keluar, tapi sebelum itu ternyata ada semacam ruangan yang dipakai untuk belajar kehidupan pantai dan laut. Di situ Riku dan Kai sempat memegang Bintang laut.
Sekeluarnya dari kompleks Aquarium kami sempat berjalan sepanjang pantai menuju lapangan parkir. Untung saja perjalanan pulang kami menemui kemacetan sehingga dapat cepat sampai ke rumah.
Hoshizora no shita de 星空の下で、adalah judul film yang diputar dalam Festival Film Asia di Enoshima 2014. Enoshima itu terletak di prefektur Kanagawa, bermobil sekitar 2 jam dari rumahku. Gen ingin sekali menonton, karena kebetulan hari Minggu (2 Februari 2014) itu dia tidak harus bekerja. Aku sendiri sebetulnya tidak suka menonton, malas sekali ikut tapi… ya harus dong menemani suami 😉 Untung waktu kulihat pamfletnya ada stand masakan Indonesia dari Restoran Cabe Meguro dan tarian dari anak-anak Sekolah Republik Indonesia Tokyo. Ya paling tidak seandainya aku tidak menonton aku bisa tunggu di luar.
Kami berangkat jam 8:30 dari rumah, untuk mengejar film yang tayang jam 11 siang. Kalau terlambat berarti kami harus menunggu sampai jam 2 siang, tayang yang ke dua. Untung saja meskipun hujan, kami sampai sekitar 10:30 di sana. Riku dan Kai tidak mau menonton (untung saja), jadi kukatakan pakai saja uang Riku dulu nanti mama ganti jika mau makan atau beli sesuatu. Ternyata setelah itu papanya kasih masing-masing 1000 yen. Waktu kami tinggalkan mereka, mereka sedang melukis di atas patung ala Bali di stand Bali. Meskipun agak waswas, kutinggalkan mereka berdua. Lagipula ada Ohira san, pemilik restoran Cabe yang sudah lama kukenal sehingga jika ada apa-apa mereka bisa menghubungi Ohira san. (Waktu selesai film ternyata mereka sudah beli bakso di stand resto Cabe itu hehehe).
Aku jadinya ikut menonton! Filmnya memang sudah ditulis dokumenter, tapi menurut Gen itu bukan dokumenter karena sepertinya sudah diatur jalan ceritanya. Memang sih. TAPI film itu menurutku memang tidak akan diputar di Indonesia, tidak ada orang Indonesia yang mau menonton, karena isinya adalah Indonesia yang…. jelek! Dan cukup banyak orang Jepang yang menonton saat itu. Aku sendiri berharap bisa bertemu orang yang kukenal, tapi ternyata tidak ada yang kukenal. Ini berita bagus, karena berarti orang-orang Jepang ini memang datang untuk menonton film, bukan untuk bersilaturahmi.
Cerita tentang sebuah keluarga, di saat terjadi demonstrasi reformasi 1998 si nenek yang kristen pulang ke kampung, karena tidak mau ganti agama. Lalu si anak lelaki (Bakti) tetap tinggal di Jakarta bersama anak perempuan dari kakaknya (cucu perempuan). Si anak tetap bisa survive di Jakarta dan menjadi ketua RT. Di satu saat dia pulang ke kampung menjenguk ibunya sekaligus nyekar ke makam leluhurnya. Dia menelepon keponakan perempuan supaya si nenek bisa bicara dengan cucunya. Tapi akhirnya si nenek jadi ikut kembali ke Jakarta karena kangen dengan cucu perempuannya dan meninggalkan sahabatnya seorang nenek juga yang sudah tua dan hidup sendiri juga. Yang menarik di sini si nenek berusaha menyetop kereta di dekat rumahnya. Katanya dulu kereta mau berhenti di situ, tapi sekarang tidak lagi. Tidak bisa menyetop kereta sembarangan!
Ahhh aku jadi ingat oma Poel, yang tidak menikah sampai tua dan meninggal. Bagaimana nenek-nenek di kampung jika sakit ya? Hidupnya hanya mengumpulkan kayu ranting untuk memasak tanpa ada pemasukan lain. Mungkin anak-anaknya mengirimi uang setiap bulan? Atau hidup dari pensiunan yang tidak seberapa itu? Hatiku mulai berat menonton film ini sejak si nenek berpisah dengan temannya itu.
Kehidupan di Jakarta digambarkan dengan gamblang. Si ketua RT tinggal di rumah yang terletak perkampungan kumuh, di gang sempit. Pekerjaannya ya hanya sebagai ketua RT meskipun dia terlihat jujur. Pemasukan keluarganya dari istrinya yang membuka warung di rumahnya. Nah di sini diperlihatkan istri menggoreng dan memasak dengan kompor minyak tanah. Tapi karena harga minyak tanah naik terus, dan pemerintah memperkenalkan tabung gas hijau 3 kg, maka keluarga ini pun memakai kompor dengan tabung gas. Karena baru pertama kali pakai, waktu si istri menyalakan kompor dengan wajan penuh berisi minyak goreng, api yang baru menyala biasanya besar sehingga sempat menjilat wajan penggorengan. Hampir terjadi kebakaran yang membuat semua panik, terutama tetangga-tetangga yang membuat cerita menjadi besar. Ciri khas tinggal di perkampungan dalam kota, satu kejadian akan menyebar dengan bumbu lebih banyak sehingga berkesan besar. Tapi si suami memang mengatakan: “Manusia harus bisa beradaptasi dengan perubahan. Harus belajar, jangan statis. Ini pengalaman, tapi tidak bisa kita kembali lagi ke kompor minyak tanah. Maju terus”.
Ya sama majunya dengan si cucu perempuan yang terus menikmati pendidikan SMAnya. Pergaulan membuat dia juga harus mempunyai HP merek N*kia yang bisa dipakai untuk foto-foto. Dia merengek kepada neneknya supaya dibelikan. Dan akhirnya dibelikan, entah dengan uang dari mana. Yang miris dia akhirnya mempunyai 2 HP, sepertinya trend di kalangan pelajar waktu itu bahwa satu HP saja tidak cukup 🙁
Si ketua RT ini jika tidak ada kerjaan, hobinya memelihara ikan hias yang dipakai untuk bertanding. JUDI! Layaknya sabung ayam, ini sabung ikan, dan dengan demikian dia menghabiskan uangnya juga untuk memberikan makanan ikan dan membeli lagi ikan yang lebih “kuat”. Bahkan saking mencintai ikannya, dia memakai semua sisa air suci yang dimiliki istrinya (si istri minum air suci yang suci yang sudah disembahyankan di mesjid karena ingin hamil) . Ini kemudian menjadi sumber pertengkaran hebat antara keduanya. Istri yang sudah capek bekerja demi penghasilan keluarga merasa tidak diperhatikan oleh suami yang kerjanya untuk hobi saja, tanpa ada pemasukan. Uang menjadi pemicu pertengkaran yang mengakibatkan si istri menggoreng semua ikan hias suaminya, dan melihat itu suaminya marah dan menendang kompor gas modal istrinya berjualan sehingga rusak. Ah… ciri khas pertengkaran suami istri yang kurang komunikasi.
Dalam film ini juga digambarkan betapa marahnya seorang bapak yang tinggal menumpang di rumah si ketua RT waktu tahu anaknya diajak si nenek ke gereja. Karena anak ini tidak diperhatikan bapaknya, anak ini menjadi nakal dan suka mencuri baju-baju penduduk. Mungkin oleh si nenek diajak ke gereja untuk lebih mendekatkan dengan Tuhan, karena tidak ada seorangpun di rumah itu yang bisa mengajarinya. Si Ketua RT itu islam KTP yang tidak pernah sembahyang, sedangkan bapak kandungnya bekerja terus ngojek. Ah di sini bisa terlihat bahwa ahlak anak-anak itu semua tergantung dari orang tuanya, apakah orang tuanya mengajarkan yang benar atau dibiarkan saja. Akhirnya setelah kejadian itu, sang anak diajak mengikuti sunat massal.
Ada satu adegan yang sebetulnya sudah diperingatkan oleh Ohira san. Dia sempat mengatakan, “Lebih baik makan sebelum nonton film…..” Aku sudah curiga pasti ada sesuatu yang membuat eneg. Eh ternyata iya hehehhe. Jadi di Jakarta sering ada fogging, pengasapan untuk mencegah demam berdarah kan. Dan diperlihatkanlah got, comberan di daerah pemukiman itu difogging, menyebabkan semua tikus, kecoak keluar dari sarangnya berlari terbirit-birit. Si kameraman ini juga kurang ajar sih, mengikuti kecoak mabok itu berlari, dan rupanya mendarat di atas sayur gulai masakan si ibu RT. Berenang dan berlari lagi entah kemana. Kemudian dengan sengaja diperlihatkan si ibu memberi makan anak lelaki dengan nasi + sayur tadi, yang dimakan dengan lahap oleh si anak. Huh… benar-benar menjijikan… dan aku langsung berpikir, asal jangan semua orang Jepang yang menonton ini berpikir bahwa semua masakan yang dijual di Indonesia seperti itu deh hehehe.
Tari akhirnya menyelesaikan SMA nya, dan dia mau masuk universitas. Atau tepatnya neneknya MAU cucunya belajar di universitas karena dia TIDAK bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai tinggi. TAPI kondisi keuangan mereka tidak memungkinkan! Jadilah dia mendaftar untuk beasiswa atau sebagai penerima ZAKAT. Tapi si cucu ini beragama kristen! Tidak bisa dia menerima Zakat karena tidak bisa menjawab 5 hukum Islam. Bahkan dia dikatai arogan berani mendaftar sebagai penerima Zakat. Karena dia tidak bisa mendapatkan beasiswa itu, si nenek akhirnya menggadaikan surat tanahnya supaya dapat membayar uang masuk universitas. Miris sekali melihat si nenek menerima lembaran-lembaran rupiah itu yang akhirnya lenyap. Biaya universitas bukan saat masuk saja kan?
Puncaknya waktu si ketua RT a.k.a omnya melihat dia menggandeng tangan seorang pemuda. Omnya marah karena perbuatan seperti itu memalukan. Keluarlah di situ pertengkaran Om dan keponakan yang didengar oleh si nenek. Apalagi waktu si cucu menjawab bahwa dia masuk universitas untuk menyenangkan neneknya, tanpa tahu apa yang dia mau kerjakan setelah lulus. Si Om berpikir praktis saja, untuk semua uang yang dikeluarkan dan yang diusahakan untuk membayar biaya kuliah, apa hasilnya kelak?
Si nenek tahu bahwa dia tidak bisa lagi berharap, atau tidak bisa lagi melihat pola hidup di Jakarta. Dia kembali ke desanya sendirian, dengan membawa dua bungkusan. Hadiah untuk temannya. Sebuah kompor gas dan tabung gas 3 kg. Dan tentu saja ditolak oleh temannya yang menyatakan bahwa dia tidak bisa berubah lagi. Sudah terlalu tua untuk belajar berubah. Lagipula jika gasnya habis, dia tidak bisa membelinya lagi. Lebih baik masak dengan ranting-ranting yang gratis!
Malam yang pekat, kedua nenek duduk di sebuah tanah lapang dengan penerangan petromaks. Bercerita bahwa kota itu kejam, padahal langitnya sama.
“Aku tidak bisa melihat bintang di kota. Udaranya kotor!”
dan diperlihatkan langit penuh bintang yang indah.
“Apa ya lagu-lagu tentang bintang? Aku kok banyak lupa sekarang. Yang kuingat cuma lagu…
Bintang kecil di langit yang luas…. amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari, jauh tinggi ke tempat kau berada……….”
Dan tamatlah film ini, meninggalkan aku menahan air mata. Manusia semakin tua semakin lupa, dan mungkin keinginannya cuma satu terbang meninggalkan dunia ini.
Gen hanya memegang tanganku dan bilang, “maaf ya”. Dia tahu aku menjadi sedih melihat film seperti ini. Film yang berat. Menunjukkan betapa kerasnya hidup di Jakarta, dengan berbagai masalah agama dengan aku sebagai bagian minoritas. Dan ya, film yang menunjukkan bahwa tanpa uang, jangan hidup di Jakarta. Berat sekali film ini, tapi gamblang. Memang demikianlah adanya. Jelek tidak jelek memang begitulah Jakarta.
Film dengan judul bahasa Inggrisnya : Position among the Stars atau Stand van de Sterren ini dibuat oleh Leonard Retel Helmrich, seorang Belanda yang beribukan orang Indonesia pada tahun 2010, dan dipakai sebagai film pembuka dari International Documentary Festival Amsterdam. Kalau mau melihat website resminya silakan buka di sini, tapi semua dalam bahasa Belanda.
Tahun lalu tanggal 14 Januari 2013 itu salju turun lebat sekali sehingga sempat melumpuhkan transportasi dan kegiatan masyarakat Tokyo dan Yokohama. Apalagi hari itu tepat peringatan hari Dewasa (Seijin no hi 成人の日 – setiap tahun lain tanggalnya tapi pasti hari Senin minggu ke dua)sehingga kasihan sekali rasanya melihat wanita-wanita Jepang yang berusia 20 tahun itu jalan di salju dengan kimono dan sandal yang terbuka. Duh pasti basah dan dingin sekali. Kami sekeluargapun sampai membatalkan naik ke Sky Tree pada hari itu, padahal kami sudah merencanakan jauh-jauh hari.
Tapi tahun ini sekitar ulang tahunku tidak ada salju sama sekali. Padahal waktu aku janjian dengan Sanchan pertama kali tgl 15 Januari, paginya mendung dan aneh, jadi kami batalkan untuk bertemu dan diganti menjadi tgl 20 Januari. Hari yang cerah untuk merayakan ulang tahun berdua Sanchan, dan akupun tidak jadi dinobatkan menjadi Lady Snow.
Selasa 4 Februari kemarin dari pagi hujan dengan langit yang mendung aneh. Setelah tinggal di Jepang 20 tahun lebih aku bisa membedakan bagaimana warna langit akan turun salju. Dan memang prakiraan cuaca mengatakan bahwa di Nerima salju akan turun sekitar pukul 12 siang sampai pukul 6 sore. Padahal aku ada dua kelas, pertama dari jam 10:00 -11:30 dan 18:30 – 20:30, dan biasanya aku menyetir mobil. Tapi seperti yang kutulis di sini, amat berbahaya menyetir waktu turun salju (dan sesudahnya) apalagi mobil kami tidak dilengkapi dengan ban khusus. Lagipula jika aku pakai mobil, Gen harus naik kendaraan umum (bus dan kereta) padahal dia sedang tidak enak badan. Meskipun aku juga sedang batuk pilek, dua kelas yang berbeda tempat itu masih mudah untuk ditempuh dengan kendaraan umum daripada Gen ke kantornya (naik bus 2 kali dan ganti kereta 2 kali, 1,5 jam lebih). Jadi aku mengalah dan membiarkan Gen naik mobil.
Pas kami keluar rumah pukul 8:4o, rintik berhenti aku mengantar Kai ke TK naik sepeda, tapi waktu aku menuju ke stasiun mulai lagi hujan. Cepat-cepat aku parkir sepeda di tempat parkir (biaya 100 yen) dan cari info bagaimana untuk ke Balai Desa tempatku mengajar. Dari internet aku tahu bahwa aku bisa naik bus sampai di dekat tempat itu dan masih harus jalan lagi. Duh dalam cuaca seperti begini aku masih harus cari-cari jalan lagi? Mending aku naik taxi saja karena aku tahu naik mobil ke sana tidak lebih dari 15 menit (jadi aku tahu juga kira-kira berapa biaya taxinya). Jadilah aku naik taxi yang supirnya sangat ramah dan memberitahuku jalan-jalan tikus yang bisa kutempuh jika menyetir sendiri.
Sampai di tempat mengajar, masih ada waktu 20 menit dan pas aku bertemu dengan si bapak penyitas kanker di lift (bisa baca di : Mereka Tetap Belajar). Aku bertanya dia naik apa, dan dijawab bahwa dia jalan kaki 30 menit! Wah dalam hujan dia berjalan kaki untuk belajar bahasa Indonesia. Padahal hujan setiap saat bisa berubah menjadi salju loh. Jadi hari itu aku juga menyangka bahwa akan banyak murid yang tidak hadir. Tapi ternyata tidak loh! Kecuali ibu yang memakai kursi roda semua murid datang. Memang orang Jepang itu rajin-rajin. Dan aku kok jadi teringat lagu dengan lirik “Gunung pun akan kudaki lautan kan kusebrangi.” (hayooo ada yang tahu lagu ini ngga? hehhehe) Sedangkan untuk murid-muridku ini: salju pun kan kuterjang 😀 Oh ya, hari ini aku juga mengetahui bahwa si bapak itu ternyata mantan jenderal bintang dua euy.
Dan akhirnya sekitar pukul setengah satu siang ketika aku sudah sampai di rumah, salju mulai turun dengan deras meskipun belum menumpuk karena langsung mencair begitu kena aspal. Tapi pukul 4 sore sudah memutihlah atap rumah-rumah di sekitarku. Dan karena akupun tidak begitu sehat, akhirnya aku membatalkan kelas malam yang disambut kegirangan murid-murid. Maklum murid-murid yang malam hari ini kebanyakan ibu-ibu yang mempunyai keluarga dan rumah jauh sehingga seandainya bus/kereta tidak jalan mereka tidak bisa pulang ke rumah.
Salju di pintu masuk musim semi mengagetkan warga Tokyo, apalagi karena suhu Tokyo sehari sebelumnya sampai 18 derajat, dan esoknya langsung turun sampai sekitar 5 derajat. Yang pasti anak-anakku senang karena sempat bisa bermain salju di lapangan parkir apartemen. Untung saja tidak sampai badai salju sehingga hari ini tidak ada lagi salju yang tersisa.
Lagu Doraemon versi bahasa Indonesianya memang seperti ini
Aku ingin begini
Aku ingin begitu
Ingin ini Ingin itu banyak sekali~~~~
Padahal bahasa Jepangnya
こんなこといいなできたらいいな
こんな夢あんな夢いっぱいあるけど
yang terjemahan langsungnya menjadi
Kalau bisa begini bagus ya
Mimpi ini mimpi itu, banyak sekali
Memang kita harus punya banyak mimpi, karena mungkin saja suatu waktu kelak mimpi kita bisa terwujud.
Sejak kemarin, TV Jepang meliput tentang pengumuman bahwa telah ditemukan teknologi baru yaitu sel punca baru yang diberi nama STAP saibou (Stimulus-Triggered Acquisition of Pluripotency cells). Kalau sebelumnya Prof Yamanaka Shinya telah menemukan iPS Saibou dan menerima Nobel, kali ini yang menemukan STAP Saibou adalah seorang wanita berusia 30 tahun yang bernama Haruko Obokata. Kalau kesan ilmuwan itu orangnya suram, tidak menarik, maka Ms. Obokata itu jauh dari kesan itu. Dia seorang wanita yang cantik dan pandai berdandan. Berita dalam bahasa Indonesianya bisa baca di sini.
Aku ikut bangga mendengar bahwa dia merupakan lulusan Jurusan Kimia Terapan Fakultas Sains dan Teknik Lanjutan Universitas Waseda, meskipun tentu bidangnya lain sekali. Yang dia temukan ini berasal dari penelitian bertahun-tahun dan secara mudahnya : bagian sel limpa diberi rangsangan cairan asam, maka dalam jangka dua-3 hari akan terlihat perkembangan sel yang mempunyai fungsi seperti jantung dan berkembang. Memang baru dicoba pada tikus, tapi jika penelitian selanjutnya berhasil, bisa jadi ibu-ibu yang tidak bisa mempunyai anak karena sakit atau hal lain sehingga rahimnya tidak bisa menghasilkan sel telur, dengan cara ini bisa mempunyai anak. Jadi mengubah pandangan bahwa anak hanya bisa dibuat dari sel telur. Memang mimpi Haruko Obokata ini untuk membantu reproduksi manusia secara klinis.
Membaca berita ini aku merasa kagum pada Ms Obokata. Sudah cantik, pintar dan masih muda lagi. Semoga saja penelitiannya bisa berhasil. Dan selanjutnya seperti biasanya televisi akan meliput tentang diri Ms Obokata sendiri, seperti apa kesukaannya, bagaimana fashionnya dsb. Satu yang menarik bagiku, di TV diliput bahwa dia suka membaca, sejak kecil. Dan waktu SMP ada sebuah buku yang sangat membuatnya berpikir. Judulnya “小さな小さな王様Chiisana chiisana Ousama” yang setelah kucari judul aslinya dalam bahasa Jerman: Der kleine Koenig Dezember (2002) yang dikarang oleh Axel Hacke. Cerita tentang seorang raja yang semakin bertambah tua semakin mengecil, dan akhirnya hilang saking kecilnya. Suatu kebalikan dari pemikiran umum bahwa kalau kita berkembang pasti menjadi besar. Tapi dengan pemikiran bahwa semakin tua kita akan mengecil dan menghilang, mungkin membuat kita menyadari bahwa kita HARUS berusaha sekeras mungkin SEKARANG jangan menunggu sampai kita lenyap dari pandangan orang lain. Pandangan ini membuat Ms. Obokata melakukan penelitian yang sepertinya tak ada ujungnya.
Dan memang buku ini menjadi best seller di Amazon JP, ntah karena Ms Obokata membacanya sehingga semua mau membaca, atau mungkin sudah lama buku ini merupakan buku yang layak dibaca. Ingin aku menyuruh Riku membacanya, tapi dia mau tidak ya? karena sekarang dia lebih suka membaca buku berlatar sejarah dengan samurai-samurainya 😀 Mungkin aku akan membeli buku bahasa Inggrisnya dulu, karena aku tidak suka membaca buku terjemahan ke dalam bahasa Jepang. Sedapat mungkin aku membaca buku aslinya, tapi untuk membaca bahasa Jerman langsung… mungkin buku itu akan menjadi penghuni sudut lemari hehehe. (FYI buku bahasa Jepangnya seharga 1360 yen, sedangkan buku bahasa Inggrisnya 840 yen 😉 )
Senang sekali bisa mendapatkan semangat biarpun sedikit dari Ms Obokata, di sela-sela berita ekonomi dan politik yang tidak begitu bagus di Jepang. Yuk mari kita bermimpi yuk…. dan berusaha tentunya.
Tentu ada yang sudah membaca tulisanku mengenai pak Watanabe dalam tulisan “Belajar Sampai Mati”. Mantan muridku yang meninggal dalam usia 96 tahun dan sampai detik-detik terakhirnya masih membaca buku-buku bahasa Indonesia padahal belum sekalipun dia pergi ke Indonesia. Banyak yang bertanya mengapa orang Jepang mau belajar bahasa Indonesia? Well, tentu setiap orang mempunyai alasannya. Ada yang mau bercakap-cakap dengan kekasihnya yang orang Indonesia, atau hanya mau bercakap-cakap dengan penduduk setempat, atau untuk mahasiswa biasanya untuk SKS. Tapi ada pula yang belajar bahasa Indonesia hanya karena mau belajar. Itu saja….. seperti pak Watanabe.
Setiap Selasa pagi, mulai awal Januari sampai akhir bulan Maret nanti, aku mengajar di sebuah Balai Desa (kota?) di sebuah pemerintah daerah atau sebut saja kelurahan yang berjarak 10 km dari rumahku dan bisa dicapai dalam waktu 15 menit naik mobil. Kuliah umum ini diadakan oleh kelurahan sana dan bisa diikuti oleh warga kelurahannya dengan gratis. Rencana mengadakan pelajaran bahasa Indonesia tingkat dasar ini saja menurutku sudah hebat, karena masuk dalam program kelurahan yang dibiayai pajak tentunya. Pajak yang dikumpulkan dari rakyat, dikembalikan lagi dalam bentuk mengadakan pelajaran yang bermanfaat. Tapi yang lebih hebat lagi adalah pesertanya.
Ada sekitar 13 orang yang terdiri dari 12 wanita dan 1 pria lansia yang mengikuti pelajaranku ini. Semuanya tinggal di sekitar daerah itu, dan beragam pekerjaannya. Ada yang pegawai honorer, ada yang pensiunan, ada yang ibu rumah tangga. Awalnya dengan takut-takut mereka mengikuti kelasku, takut karena belum pernah belajar bahasa asing. Aku pun tahu bahwa mereka perlu diberikan semangat untuk menyukai bahasa baru ini, jangan sampai merasa putus asa. Sambil mengajar, kadang aku berpikir, “Kok orang-orang ini mau-maunya belajar bahasa yang sama sekali baru. Memutar otak dan lidah untuk sesuatu yang baru. Kalau aku sih rasanya malas deh……” Tapi mereka rajin! Sebelum jam 10 sudah duduk menunggu di kelas. Aku biasanya masuk ke kelas 5 menit sebelum kelas dimulai karena aku tahu, jika aku masuk lebih cepat akan merepotkan pegawai kelurahan yang sedang mempersiapkan kelas.
Tapi Selasa lalu aku masuk kelas 12 menit lebih awal. Sambil membaca email yang masuk, menunggu murid datang. Dan saat itu ada si Bapak peserta, satu-satunya pria di kelas. Dari perkenalan sebelumnya, dia rupanya suka belajar bahasa apa saja, sebatas percakapan mudah, karena dia suka berwisata ke mana-mana. Tapi kemarin itu dia berkata,
“Sensei, maaf minggu lalu (pelajaran ke 2) saya tidak bisa datang. Kemarin dulu saya sudah menitipkan istri saya di rumah sakit, jadi bisa ke sini.”
“Loh… istrinya sakit? Jangan paksa datang ya…”
“Tidak apa-apa. Dia tidak akan sembuh ini, jadi saya bisa lari ke sini sebentar nanti kembali lagi. Dia sakit kanker!”
“Duh… prihatin ya. Bagaimana kondisinya?”
“Ya untuk sementara lebih baik di RS. Saya sendiri juga sakit kanker. Kami sudah tahu kok tidak bisa sembuh. Jadi kami mau pergi wisata selagi kami masih mampu”
Duhhh… aku tidak tahu harus bicara apa ….
“Jangan patah semangat. Siapa tahu bisa sembuh. Teman saya ada loh yang sembuh setelah 6 tahun minum teh hijau terus. Yang penting semangat ya.”
“Iya. Sebelum saya mati, saya mau ke Bali. hampir semua tempat wisata yang ingin kami kunjungi sudah kami pergi, kecuali Bali. Sensei, kalau mau bilang TV nya tidak nyala bagaimana (tentu percakapan ini dalam bahasa Jepang)”
“TV rusak. Rusak itu kowareru. Jadi bisa dipakai untuk apa saja yang tidak bisa dinyalakan, tidak bisa dijalankan, dioperasikan. Kata ‘rusak’ mudah dihafal karena mirip kata rucksack (ransel) kan”…. dan pernyataannya berlanjut terus, macam-macam sampai waktu pelajaran mulai. Terpancar dari wajahnya bahwa dia senang bisa bertanya-tanya di luar jam pelajaran.
Aku salut padanya. Meskipun pada awal kursus aku kurang senang karena dia selalu bertanya di luar topik pelajaran dalam waktu pelajaran yang sudah ditentukan hanya 1,5 jam itu. Ya seperti TV rusak, WC mampet lah. Menghabiskan waktu belajar untuk teman-teman pengikuti kursus lainnya. Sekarang aku sudah tahu latar belakangnya untuk belajar bahasa Indonesia, sehingga mulai sekarang aku akan langsung masuk saja ke kelas guna menampung pertanyaan di luar bahan pelajaran. Daripada aku buang waktu di dalam mobil kan? (Aku selalu sampai di tempat itu sekitar pukul 9:30 padahal pelajaran mulai jam 10:00 pagi). Dan waktu dia bertanya dalam kelas, aku akan mempertimbangkan pertanyaan itu berguna atau tidak untuk peserta yang lain.
Selain bapak penyitas kanker (kata penyitas aku ambil dari blog bunda Lily, dan masih terus mencari kata dasarnya sebetulnya apa ya? Karena kalau cari di KBBI tidak ada. Atau mungkin karena kata baru?), di antara 12 wanita yang mengikuti kelasku itu, ada satu penyandang cacat sehingga harus memakai kursi roda. Ibu ini duduk paling depan dekat pintu sangat sumringah, selalu tersenyum. Awalnya aku tidak begitu memperhatikan bahwa dia duduk di kursi roda, bukan di kursi biasa. Tapi tanpa malu, waktu perkenalan dia mengatakan bahwa dia sudah berkali-kali ke Bali berkursi roda, dan sangat menikmati perjalanan wisatanya. Aku bersyukur, karena aku tahu negara kita itu masih kurang memikirkan sarana-sarana untuk penyandang cacat, kurang barrier free. Dan ternyata meskipun berkali-kali pergi ke Bali, dia belum tahu bahwa 車いす (くるまいす) itu bahasa Indonesianya adalah kursi roda. Ibu K ini senang sekali waktu aku memasukkan kursi roda ke dalam daftar kata benda yang harus dihafalkan.
Setelah selesai mengajar pelajaran kali ke dua, aku sempat melihat Ibu K pulang naik mobil! Ya, dia menyetir sendiri mobilnya, sebuah sedan yang cukup besar. Tentu dilengkapi dengan stiker “kursi roda” di badan mobilnya. Dia mendekati mobilnya, dan membuka pintunya. Aku yang waktu itu baru akan membuka pintu mobil, jadi membatalkan dan mendekatinya. Aku tahu dia tidak perlu bantuan, jadi aku mendekat dan berkata, “Maaf, saya boleh lihat bagaimana ibu masuk ke dalam mobil?”
Lalu dia memperlihatkan caranya. Dia lempar semua tas dan bukunya ke tempat duduk penumpang. Lalu dia menyejajarkan kursi roda dengan kursi mobilnya. Dia naik dengan sigap, pindah duduk di dalam mobil. Lalu dia mulai mencopot bagian-bagian kursi roda, juga ke dua bannya, lalu melipatnya. Voila. Dia tinggal memasukkan lipatan kursi roda itu ke dalam mobil.
“Mudah kok sensei. Kursi roda ini ringan, dan mudah sekali dicopot-copot. Coba sensei tekan poros ban ini. Mudah lepas kan?”
“Iya ya… hebat. Tapi biarpun ringan, melakukan semuanya sendiri kan pasti butuh energi yang besar. Saya salut”
“Kemarin saya menjaga cucu saya dan mengajak mereka makan di restoran. ” Dan memang aku melihat ada Baby Seat di bagian belakang mobil. Aku tak bisa membayangkannya.
Dalam hati aku berpikir, “Ampuuun deh, Ibu K ini sudah cacat masih harus menunggui cucunya? Anaknya bekerja atau bersenang-senang ya? Kalau bekerja ya apa boleh buat, tapi kalau hanya bersenang-senang, rasanya kok tidak kasihan pada ibunya ya? Tapi kalau si Ibu K memang mau dan merasa senang karena dirinya masih berguna ya apa boleh buat juga. Bukan hakku untuk mengadili anaknya”(Aku jarang sekali menitipkan anak-anak pada ibu mertuaku)
“Aduh… pasti capek sekali ya. Sudah lebih baik cepat pulang dan istirahat saja ya. Sampai jumpa minggu depan!”
Dua orang peserta kuliah umum di kelurahan, yang sakit, yang penyandang cacat. Tanpa merasa minder, atau kesakitan, penuh semangat mengikuti pelajaran yang kuberikan. Mereka TETAP belajar. Sedangkan aku? Masih suka mengeluh sakit lah, malas lah melakukan sesuatu. Apalagi memulai sesuatu yang baru… huhuhu
Yoshhhhh Gambaru! Berusaha lebih baik lagi. Harus mengalahkan rasa malu, rasa malas, juga rasa sakit. Dan yang penting harus semangat terus!
Aku tidak mau berlama-lama membahas banjir di Jakarta. Tapi memang harus diakui bahwa salah satu penyebab banjir adalah air sungai yang tidak mengalir karena sungainya dipenuhi sampah yang dibuang oleh penduduk sekitar.
Memang kebiasaan membuang sampah pada tempatnya harus dimulai dari kecil. Dan jangan menyangka bahwa sampah kecil tidak berpengaruh loh. Semua yang besar bermula dari yang kecil bukan? Dan jangan menyalahkan tidak ada tempat sampah! Kami di sini jika ada acara di sekolah misalnya, pasti membawa pulang sampah sendiri dalam kantong plastik dan buang di tempat sampah di rumah. Apa salahnya membawa sampah kita sendiri kan? Anak-anakku terbiasa mengantongi bungkus permen di kantongnya, atau memberikan bungkus itu kepadaku untuk dikumpulkan dan dibawa pulang. Di dalam mobilku pasti ada kantong plastik untuk mengumpulkan sampah.
Aku sendiri kalau ada acara kumpul-kumpul komunitas orang Indonesia di gereja, jika membawa mobil pasti membawa pulang dua plastik besar sampah terbakar (sampah dapur dan kertas) serta sampah tidak terbakar (plastik). Untungnya aku tinggal di apartment yang mempunyai “kamar sampah” sehingga bisa menaruh semua sampah di situ. Jika aku tinggal di rumah biasa, maka aku harus memperhatikan hari-hari pengumpulan sampah terbakar dan tidak terbakar. Di daerahku sampah terbakar dikumpulkan setiap hari Selasa dan Jumat. Jadi kalau acaranya hari Sabtu, aku harus “menyimpan” sampah bau itu di rumah sampai hari Selasa pagi kan?
Aku lupa pernah menulis di TE atau tidak, tapi di Jepang jika akan membuang sampah yang berukuran lebih dari 30 cm, harus membayar. Kurasa di Eropa dan Australia juga begitu, karena aku pernah membaca tulisannya DV tentang sampah di Aussie. Sampah elektronik biasanya bisa dikumpulkan di toko elektronik, atau meminta dinas kebersihan pemda untuk mengambilnya di rumah dengan biaya antara 500-3000 yen tergantung bendanya. Kalau mau membuang sepeda? Harus membayar 1000 yen! Jadi memang aku sendiri pikir panjang dulu sebelum membeli, karena waktu membuang sampah-sampah besar itu kita harus membayar! Kecuali kalau kita jual lagi melalui auction atau ke toko loak. Tapi yang menjadi masalah biasanya transportasi/pengangkutannya. Dan aku malas mengurus sampai ke situ.
Sebetulnya aku ingin menulis tentang sampah, karena menonton berita di TV tadi pagi tentang pembersihan kolam Inokashira di Kichijouji yang biasanya kami lalui setiap minggu. Sudah beberapa hari ini pemerintah daerah membersihkan kolam yang sudah 30 tahun tidak dibersihkan. Taman Inokashira ini terkenal dengan keindahan pohon sakura dan kolam yang bisa dinikmati dengan naik perahu. Tapi memang air kolam taman ini bersih tapi tidak transparan. Banyak ikan Koi dan bebek yang berenang di sana. Kebetulan ada teman Jepangku yang anaknya sekelas dengan Riku menulis di status FB nya: “Lewat taman Inokashira dan melihat pembersihan kolam Inokashira, dan banyak ditemukan sepeda. Suami saya berkata, jangan-jangan nanti ketemu tulang belulang manusia juga hiiiii”. Katanya memang ditemukan sampai 200 sepeda yang dibuang begitu saja ke dalam kolam. Selain sepeda, ditemukan banyak dompet tanpa uang kertas, juga tas ransel berisi batu yang sepertinya hasil pencurian.
Mendengar hal-hal mengenai sampah begitu, aku juga menyadari bahwa meskipun Jepang yang sudah bersih dan warganya cukup taat menjalankan peraturan pembuangan sampah, masih ada juga orang-orang tidak bertanggung jawab, yang tidak patuh pada peraturan. Ya tentu karena mereka juga tidak mau membayar untuk membuang sampah. Jumlah warga seperti begitu memang tidak sampai satu persen, tapi ada. Dan pemerintah daerahlah yang terpaksa membuang sampah-sampah itu dengan biaya dari pajak penduduk. Coba bayangkan kalau orang tak bertanggung jawab itu setengah dari jumlah penduduk. Berapa biaya dan waktu yang diperlukan untuk membuang dan membersihkan suatu tempat?
Jadi harus bagaimana? Tentu masing-masing warga harus menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya sendiri. Semua bermula dari masing-masing pribadi! Dan selain itu pada saat membeli barang baru, PIKIRLAH cara bagaimana aku membuang benda ini jika tidak diperlukan lagi. Misalnya beli satu tas, pikir bagaimana atau kepada siapa akan kuberikan tas ini jika tak perlu lagi. Reduce, Reuse, Recycle. Dan untuk kami di sini, harus menyisihkan uang sampah setiap membeli barang yang besar atau elektronik.
Kan, katanya kebersihan adalah sebagian dari iman? Sudah beriman-kah kita?