Three Wise Monkeys!

24 Nov

Tepat hari ini sebetulnya di sebuah restoran di Jakarta akan diadakan reuni teman-teman jaman SD-ku. Aku belum begitu lama bergabung dalam group WA SD ku itu, dan setiap hari ribuan msg “nangkring” di sana. Maklum aku tidak getol buka-buka group di socmed manapun (di FB pun sebagian besar biasanya aku matikan notificationnya, kecuali jika aku yang administratornya). Nah, mereka akan berkumpul di resto milik temanku juga, masih baru (sepertinya), dan bernama three wise monkeys!

three wise monkeys shrine at Nikko Toshogu

Hmmm rasanya aku pernah mendengar nama ini ya? Tapi aku tidak yakin di mana. Dan baru kuketahui minggu lalu, saat deMiyashita jalan-jalan ke Nikko. Setelah cukup lama tidak jalan-jalan karena masing-masing memang sibuk, kami menyempatkan diri ke Nikko pulang hari.

Nikko terletak di perfektur Tochigi, kira-kira 4 jam perjalanan dari rumah kami. Aku sudah pernah pergi ke Nikko sekitar 20 tahun yang lalu, tapi hanya pergi ke Edo Mura (perkampungan Ninja) bahkan pernah menyetir melewati hutan-hutan di sana. Tapi aku belum pernah pergi ke Toshogu Shrine, tempat yang biasanya menjadi tujuan wisata di Nikko. Setiap kali aku mengajak Gen ke Toshogu, pasti dia malas nyetir ke arah Nikko…. memang macet sih.

Tapi seminggu lalu waktu kami pergi ke sana, perjalanan lancar. Mungkin karena musim melihat dedaunan berwarna-warni musim gugur (disebut Kouyou) sudah hampir habis. Kami hanya perlu “antri” parkir waktu mendekati kuil tersebut. Karena kelihatannya cukup lama, padahal kami mau pergi ke beberapa tempat, akhirnya kami masuk ke tempat parkir yang lebih mahal, yang berjarak 10 menit sebelum Toshogu. Daripada buang waktu menunggu, lebih baik kami jalan kaki ke sana.

sisa sisa pemandangan dedaunan merah kuning, ciri khas musim gugur di Nikko

Berkat jalan kaki itu kami juga bisa menikmati keindahan daun-daun yang menguning dan memerah sepanjang jalan. Meskipun cukup menakutkan juga karena jalan cukup sempit padahal cukup sering bus-bus pariwisata yang melewati jalan itu. Jadi biasanya kami menepi dulu begitu melihat ada bus yang mendekat.

Kami memasuki kompleks Toshogu dari samping, bukan dari pintu gerbang. Begitu muncul di kompleks, kami menjumpai sebuah tenda yang menjual manju (kue Jepang seperti bakpao tapi bahan rotinya lebih padat dan berisi pasta yang terbuat dari kacang kedelai, kacang merah dan kacang hitam). Kami bisa melihat juga torii (gerbang) dari batu dan kuil pagoda 5 tingkat. JDari situ kami masih harus menaiki tangga untuk bisa masuk ke kompleks kuil, dengan membayar 1300 yen (kuil utama+museum) untuk orang dewasa. Wuih mahal!!! Baru kali ini aku membayar semahal ini untuk “karcis tanda masuk” (kalau bahasa Jepang tidak pakai istilah tanda masuk tapi tanda berziarah). Memang sih semua souvenir yang dijual di sini jauh lebih mahal daripada di kuil-kuil lainnya. Riku sempat ingin membeli sebuah “omamori (jimat) ” tapi karena harganya 1000 yen, tidak jadi beli.

sebelum membayar HTM, terlihat torii dan pagoda

Kami melewati Kuil Three Wise Monkeys dulu sebelum menuju ke tangga kuil utama. Sayang sekali pintu masuk kuil utama sedang dalam perbaikan, yang konon baru selesai tahun 2020. memang semua kompleks kuil ini tahun depan akan berusia 400 tahun! Bayangkan mereka merenovasi pintu masuk yang berusia 400 supaya tampak sesuai aslinya. Dan memang bagian dalam kuil utama, yang merupakan “makam” dari Tokugawa Ieyasu itu benar-benar mewah! kayu hitam berlapis emas, semua detil yang begitu mewah, menunjukkan kebesaran seorang Tokugawa Ieyasu, yang bahkan setelah dia meninggalpun “dipuja”. Kami harus menanggalkan sepatu sebelum memasuki kuil dan dilarang memotret dalam kuil. Memang di tempat-tempat wisata yang kuno, pengaruh cahaya lampu kilat bisa merusak benda-benda seni, sehingga biasanya memang tidak boleh memotret di dalam.

setelah masuk kompleks kuil, menuju kuil utama

Tempat menanggalkan sepatu tersambung dengan jembatan masuk yang berwarna merah jreng! persis di dekat tempat menaruh sepatu ada sebuah tempat sembahyang yang sedang melangsungkan upacara pernikahan ala Shinto. Ada kejadian yang membuatku gusar. Ada seorang wisatawan yang berasal dari negara C, yang meskipun mengetahui dia tidak boleh memotret, tetap saja memotret, bahkan sampai masuk ke tempat-tempat yang dilarang untuk dimasuki. Duh! menyebalkan sekali. Memang kebanyakan orang Asia, termasuk negara kita, sering melanggar peraturan. Bukan soal bahasa, karena jelas-jelas dipakai tanda berupa gambar kamera coret. Tapi masalah mentalitas. Aku tidak pernah melihat ada orang Jepang yang (mencoba) melanggar loh.

Setelah mendengarkan penjelasan dari seorang pendeta Shinto mengenai “Tuhan” kuil itu, kami kemudian beranjak ke kuil yang berada di samping kiri yang bernama Kuil Naga Menangis. Di sini cukup ramai, sehingga kami harus antri masuk. Memang kami harus mendengar penjelasan seorang pendeta, mengapa kuil itu dinamakan Kuil Naga Menangis. Di atas langit-langit ada sebuah lukisan naga yang besar. Lalu diperagakan bahwa jika memukul dua tongkat persis di bawah lukisan  muka Naga, maka suara pukulan tongkat itu akan bergema seperti suara Naga yang menangis. Jika dipukul tidak tepat di bawah lukisan muka naga, maka tidak bergema. Kuil itu juga merupakan kuil “tabib” untuk semua shio. Sehingga disarankan untuk membeli “jimat” sesuai dengan shio kelahirannya. Di sini Riku juga ingin membeli jimat tapi karena harganya 1000 yen, mengurungkan niatnya.

langsung silau melihat kuil utama yang keemasan. Kanan bawah relief detil pada kuil utama, yang terlihat dari luar

Kami kembali lagi ke tempat parkir dan menuju tempat tujuan yang kedua. Sebetulnya ada dua tempat tujuan, yaitu air terjun dan hotel Kanaya, tapi karena waktunya mendesak kami membatalkan pergi ke Hotel Kaneya. Kami langsung pergi ke Air Terjun Kegon.

Tadinya aku enggan pergi ke air terjun itu, karena kakiku yang tiba-tiba sakit dan sulit untuk dipakai berjalan (gara-gara sehari sebelumnya membawa barang berat 🙁 ) Tapi ternyata untuk melihat air terjun itu kami bisa naik lift. Naik lift yang menurun hehehe, jadi mestinya turun lift ya. Lift itu menuruni 100 meter ke bawah dalam 1 menit. Kami harus membayar 500 yen per orang dewasa. Aku senang karena tidak perlu jalan jauh, tapi ternyata setelah turun dari lift, kami masih perlu menuruni tangga 2 tingkat.

Kegon Falls, dekat danau Chuzenji

Pemandangan di sini sebetulnya biasa saja, kalau bukan musim gugur. Dan karena kami datang pemandangan kouyounya sudah lewat ya terlihat biasa saja. Kalau googling Kegon Falls in autumn, bisa melihat foto-foto air terjun dengan pepohonan menguning dan memerah yang indah. Ya kami datang sudah musim dingin di Nikko! Dan dingiiiiin sekali. Menggigil deh, apalagi kami waktu itu belum makan siang, sehingga begitu kembali ke tempat parkir, kami langsung mencari makan. Makanan yang populer di tempat-tempat wisata Jepang, apalagi waktu musim dingin adalah ikan bakar Ayu (jenis ikan ini memang namanya ayu), tapi mahal! Bayangkan satu ekor ikan ayu bakar harganya 600yen …duh! Tapi karena Gen dan Riku mau, kami membeli dua ekor dan makan bersama. Coba lebih murah, pasti kami bisa makan 10 ekor deh hehehe.

Kami akhirnya makan siang di sebuah rumah makan di tempat parkir yang juga menyediakan wifi. Sayang sekali set menu ikan Masu yang kami pilih tidak begitu enak. Tapi kami cukup puas bisa menikmati Nikko dalam waktu yang sempit. Kamipun bergerak menuju Tokyo, karena kami tahu kami pasti akan terjebak macet di jalan tol pulang.

Oh ya, Gen memang agak memaksakan pergi ke Nikko dalam satu hari itu karena dia ingin mengulang memorinya pergi karya wisata waktu kelas 6 SD! Dan Riku sekarang kan kelas 6, sehingga rasanya tepat jika Gen, sebagai seorang ayah mengajak anak lelakinya ke Nikko. Masih banyak bagian Kuil Toshogu yang belum kami jelajahi sehingga kami bermaksud mengunjungi Nikko lagi, nanti 5 tahun lagi, waktu Kai kelas 6 SD 😀

Mudik Kilat

10 Nov

Bulan November sudah berlalu 10 hari, tapi belum ada satu tulisanpun di sini. Malas rasanya memulai, karena tak tahu lebih baik menulis apa, tapi kuputuskan kutulis saja yang paling mudah tetapi singkat panjang!

Ya, sebetulnya sejak tanggal 30 Oktober malam aku meninggalkan rumah di Tokyo, untuk mengadakan perjalanan kilat ke tanah air. Berangkat pukul 30 malam, tepatnya pukul 00:30 tanggal 31 Oktober. Kali ini aku menumpang pesawat Garuda. Memang murah, karena aku akan melanjutkan perjalanan dari Jakarta menuju Makassar, jadi Garuda merupakan peilihan terbaik, dibanding jika aku membeli tiket terpisah lagi di Jakarta. Lagipula pikiran kami (aku pergi bersama Sanchan yang kebetulan juga ada acara di jakarta) naik Garuda bisa memangkas waktu kami antri untuk mengambil Visa On Arrival bagi anak-anak kami.

Berangkat dari Haneda…sambil menahan kantuk! Dan sampai pukul 6 pagi di Cengkareng

TAPI, ternyata untuk keberangkatan Garuda dari HANEDA, tidak menyediakan proses imigrasi dalam pesawat, tidak seperti kalau berangkat dari Narita. Hmmm satu point ini sudah merusak image kami untuk maksud menggunakan Garuda di lain waktu. Kalau tetap antri juga, buat apa kami naik Garuda? Karena ANA pun berangkat dari Haneda, dan makanannya lebih enak menurutku hehehe. Satu point lagi yang mengurangi penilaianku, adalah waktu penerbangan pulang masih harus naik bus lagi (dan tentu naik tangga – tanpa garbarata) dari lobi ke pesawat yang parkir ntah di terminal mana….. sama seperti pesawat domestik saja hehehe. Jadi sepertinya kalau tidak mendesak sekali, aku akan tetap pakai ANA seperti yang sudah-sudah.

Kami sampai pukul 6 pagi, menyelesaikan VoA, lalu menunggu jemputan Opa yang datang pukul 7 pagi setelah mengikuti misa pagi. Kami menunggu di AW, sambil menunggu kedatangan adik Sanchan yang membawakan telepon Indonesia untuk dipakai selama berada di Indonesia. Enaknya aku bisa nebeng memakai wifinya 😉 karena 80% kami bergerak bersama selama di Indonesia.

Mengunjungi “makam” mama di Oasis, Tangerang

Dari bandara, kami berlima, Opa, Aku, Kai, Sanchan dan anaknya langsung menuju ke Oasis, di tangerang tempat makam mama. Tak terasa mama sudah hampir 1000 hari meninggalkan kami.  Pada hari ke 1000, aku tidak bisa datang sehingga aku berdoa dari Tokyo saja.

Karena masih pagi, lalulintas masih lancar. Kami pun menuju Jakarta Selatan untuk mampir di kedai bubur ayam langganan dekat rumah. Selain bubur ayam juga ada mie ayam sih. Padahal Kai maunya makan sate ayam! Tapi karena anak-anak ketiduran di mobil, kami langsung pulang ke rumah  dan minta pak supir membelikan sate ayam RSPP kesukaan Kai.

Sebelum ke sency belanja dulu oleh-oleh snack Indonesia di Nusa Indah, dan sesudah Sency mengejar sate padang di pasaraya tapi sudah habis. Senang bisa bertemu Yuko san lagi di pasaraya

Tadinya aku mau langsung jalan lagi, belanja barang-barang yang mau dibawa ke Tokyo. Tapi ternyata cukup capai, apalagi Sanchan yang sebelum berangkat bertubi-tubi dikejar deadline (aku sebelum berangkat malah boleh dibilang agak santai karena univ libur). Jadi deh kami berdua tidur siang dulu sebelum pergi lagi pukul 3 siang menuju Sency dan bertemu dengan kolega kerja kami. Nah, yang menjadi masalah, aku penuh jadwalnya untuk keesokan harinya, sehingga harus mengejar makan sate mak syukur untuk makan malam. Tapi begitu pergi ke counter di Pasaraya ternyata sudah habis. Terpaksa deh pulang dan tidur malam itu sambil mimpi sate padang deh **lebay**

Hari kedua, 1 November, Sabtu. Tadinya aku tidak ada rencananya apa-apa. Tapi ternyata ada sahabat baik waktu SMP yang melihat postinganku di FB bahwa aku mendarat di Jakarta. Dia rupanya menyelenggarakan pesta peringatan 25 th pernikahannya di Hotel Hermitage, Cikini pukul 11 siang. Jadi dia mengharapkan aku bisa hadir juga. Undangan itu cukup menggoda, karena sekali kayuh dua-tiga pulau bisa terlampaui. Aku bisa bertemu teman-teman lainnya di sana, tanpa perlu mengadakan reuni! TAPI….aku tidak punya baju yang layak!!! Tapi untung aku selalu membawa baju hitam-hitam, sehingga cukup ditutupi selendang batik, jadi cukuplah bisa memenuhi dress code, Smart Casual. CUMA, aku terpaksa harus pakai sepatu kets warna hitamku, karena tidak ada sepatu lain. Untung tidak perlu difoto satu badan 😀

Sabtu yang menyedihkan di RS Tjikini dengan Tjokie dan waktu yang menggembirakan di ultah pernikahan 25th sahabat waktu SMP.

Tapi sebelum aku ke hotel untuk acara itu, aku menyempatkan diri mampir ke RS Tjikini untuk menjenguk teman SD yang sedang dirawat di ICU, Tjokie Tambunan. Waktu kujumpai, wajahnya cukup segar dibanding foto-foto sebelumnya yang dibagikan via BBM/WA. Sempat berfoto bersama, tapi ternyata penyakitnya sudah mengalami komplikasi parah dan dia meninggal 3 hari sesudah aku bertemu atau persis waktu aku meninggalkan Jakarta tgl 4 November pukul 12 siang.

Sabtu siang, sekitar pukul 1 aku pamit dari acara temanku itu, dan menjemput Kai yang kutitipi pada Sanchan di Sency. Ya, aku punya satu janji pada Kai, yaitu membelikan dia sate Padang. Dia suka sekali, dan ternyata anaknya Sanchan pun suka. Jadilah dibuka pertandingan makan sate Mak Syukur di Foodcourt Pasaraya siang itu. Puas makan sate, kami pulang karena Sanchan akan dijemput adiknya untuk menghadiri acara keluarga dan menginap di hotel. Kai sempat menangis karena harus berpisah, padahal hanya untuk dua malam saja. Kami toh akan pulang bersama ke Tokyo.

Sabtu malam kedatangan tamu tiga bidadari, sahabatku di rumahku. Sesudah itu makan bubur ayam di Barito

Sambil aku bingung akan makan malam apa, tiga sahabat yang memang sering berkunjung ke rumah, tiba-tiba berdatangan tanpa janjian. Ria, Lia dan Eka! Dan akhirnya malahan bisa berfoto berempat. Karena Lia harus kembali ke RS menjaga temannya, aku, Ria dan Eka akhirnya makan supper di Bubur Ayam Barito.

Aku dan Kai bersama Opa pada hari Minggu, 2 November naik pesawat pagi menuju Makassar, tujuan utamaku dalam perjalanan mudik kali ini. Begitu sampai di Makassar, kami langsung sarapan nasi dan ikan bolu (Bandeng) bakar di rumah makan langganan alm. mama. Nah sepertinya ini yang menjadi penyebab perutku bertingkah sesudahnya. Mungkin sambalnya ya? Karena begitu cek in di hotel, perutku mulai aneh. Meskipun aku sempat berbelanja Nyuknyak  (bakso) dan bakpao dan meninggalkan opa yang beristirahat di kamarnya serta Kai di kamarku. Setelah itu aku juga langsung menuju bandara Hasanuddin untuk menjemput, adikku Novi yang mampir ke Makassar setelah selesai dinas di Papua. Jika dia tidak ke Makassar, bisa-bisa aku tidak bertemu dengannya sama sekali.

Makassar, tanah nenek moyangku. Bertemu oma Dodo (94th) di bandara dan restoran, setelah itu aku tepar di hotel.

Tapi sebetulnya aku beruntung karena ternyata jadwal kedatangan adikku hampir berbarengan dengan kedatangan oma Dodo. Pertemuan dengan oma Dodo inilah yang merupakan tujuan utamaku mudik sesingkat 5 hari 4 malam. Karena Oma Dodo sudah berusia 94 tahun, ingin pulang kampung ke Makassar dari Belanda. Jadi menurut papaku, lebih baik aku menemuinya di Makassar daripada di Belanda, yang tentu butuh biaya dan waktu lebih lama daripada kalau aku ke Indonesia. Terakhir aku bertemu Oma tahun 2002 di Belanda, itu berarti 12 tahun yang lalu. Dan…. betapa senangnya aku melihat muka Oma yang kaget melihat aku ada di depannya. Terlihat beberapa kali dia menyeka air mata setelah keluar gerbang kedatangan bandara Hasanudin. Ya, Oma telah sampai di tanah kelahirannya, yang akan dilewatkan cukup panjang.

Sayang aku hanya bisa bertemu dengan Oma di bandara dan waktu makan malam. Rencananya tgl 3 pagi sebelum aku pulang ke Jakarta, aku akan pamitan dulu dengan Oma. Sayang sekali aku terkapar kena diare parah, sehingga sampai 4 jam sebelum terbang aku terpaksa minum obat terkeras yang paling cocok untukku Im*dium. Begitu aku kuat, 2,5 jam sebelum take off aku dan Kai bergegas ke bandara , tanpa sempat pamitan dengan Oma Dodo.

Mereka yang kutemui tidak lebih dari 10 menit! Ni Camperinique di Soeta, Deasy di Makassar dan Andrea Hirata yang sepesawat pulang di Haneda.

Sesampai di Jakarta pun aku terpaksa membatalkan janji makan malam, dan bertemu dengan sahabat blogger Ni Camperinique yang datang khusus ke bandara, serta kakak kelas (sempai) Yeye yang juga baru mendarat dari Singapore. Malam itu aku langsung pulang ke rumah dan beristirahat diselingi packing koper untuk pulang ke Tokyo keesokan siangnya.

Perjalanan mudikku kali ini adalah perjalanan yang tersingkat dan tersibuk selama ini. Tapi aku bisa menikmati silaturahmi yang begitu dalam, ada yang sakit dan sedih, ada yang gembira, ada yang merindu, ada yang sibuk, ada yang spontan…. macam-macam deh. Tapi aku beruntung bisa bertemu dengan mereka semua. They are really MINE! 

Terima kasih untuk waktunya, dan puji syukurku pada Tuhan yang telah membuat rencanaku berjalan mulus. Juga telah menjaga Riku yang kutinggal di Tokyo, yang ternyata melewatkan waktu yang menyenangkan dengan papanya! Put your anxiety to the Almighty and everything WILL be all right!

 

HP untuk Anak-anak

27 Okt

Hari Kamis lalu, aku sempat berdiskusi dengan mahasiswaku di kelas menengah Universitas W mengenai sejak kapan mereka memakai HP. Tiga mahasiswa mengatakan bahwa mereka pertama kali memakai HP waktu SMP kelas 3/SMA kelas 1. Hanya satu yang mengatakan bahwa dia memakai HP sejak SD.

Seperti pernah kutulis, HP tidak diperbolehkan untuk anak SD. Tepatnya TIDAK BOLEH membawa HP ke sekolah. TAPI setelah pulang sekolah dan meletakkan ransel dan topi mereka, boleh saja! Karena sejak ransel dan topi copot, murid-murid ini bukan lagi 100% tanggung jawab sekolah. Dan seperti mahasiswaku yang memakai HP sejak SD, biasanya murid-murid SD ini adalah murid yang aktif yang harus mengikuti kelas-kelas kursus di luar rumah. Juku (bimbingan belajar), kelas renang, olahraga dan ketrampilan lain.

Waktu aku memikirkan kapan sebaiknya memberikan HP kepada Riku, aku menentukan “paling cepat SMP!”. Itu karena kegiatan Riku hanyalah pergi ke bimbel saja. TAPI waktu aku mendaftarkan Riku ke bimbel dekat rumah, aku cukup senang karena mereka ternyata memberikan pas masuk yang bisa mengirimkan berita ke emailku bahwa Riku masuk/keluar kelas. ITU CUKUP bagiku. Karena aku tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk pergi pulang dari tempat bimbel ke rumah. Dengan adanya kartu PIT ini aku, sebagai orang tua merasa aman.

Lalu ada temanku (orang Jepang) yang anaknya sudah SMP dan cukup sibuk dengan latihan basket ball di waktu-waktu luar sekolah, baik pagi maupun sore/malam hari. Nah Ken-kun ini tidak MAU mempunyai HP. Lucu juga alasannya, yaitu dia tidak mau terpaksa ikut grup-grup percakapan LINE di smartphone. Katanya: “merepotkan!”. Jadi kalaupun dia perlu menelepon ibunya, cukup menelepon dari telepon di sekolah yang disediakan untuk dipakai murid-murid untuk menghubungi rumah. Jadi? Aku inginnya menunda lagi memberikan HP ke Riku kalau SMA saja…. 😀

Tapi sebetulnya yang penting adalah bagaimana kita saling bisa berkomunikasi. Kalaupun tanpa HP pun bisa berkomunikasi, buat apa kita bayar langganan tiap bulan yang mubazir? Seperti telepon rumahku yang jarang sekali dipakai. Paling sebulan sekali! Dulu tetap mempertahankan telepon rumah karena perlu fax. Tapi sekarang sudah jarang sekali orang pakai fax! Dulu aku pikir harus tetap punya telepon rumah supaya bisa pakai telepon kalau terjadi gempa dsb. Tapi ternyata sama saja kalau gempa dan mati lampu, telepon tak bisa dipakai 😀

Baru sepuluh hari lalu aku mengajarkan pada Riku pemakaian inbox FB. Maksudnya supaya aku bisa menghubungi dia dari mana saja, as long as dia ada di rumah yang mempunyai koneksi wifi. Dengan FB messenger aku bisa menelepon dia, dan gratis. Awalnya aku hanya pakai untuk menelepon. Tapi akhirnya aku iseng mengirim ikon ikon lucu, dan namanya anak-anak itu lebih pintar dari orang tuanya, dia bisa menemukan cara untuk mengirim ikon-ikon juga. Saling berbalas 😀 Aku merasa geli… meskipun sebetulnya kami berada di ruangan yang sama. Karena gadget yang dia pakai belum mengunduh ikon-ikon banyak, jadi terbatas saja.

“percakapan”ku dengan anak sulungku

Yang paling menyenangkan adalah waktu aku masih berada di dalam kereta, sedangkan Riku ada janji ke dokter gigi jam 5 sore itu. Paginya, aku sudah menyiaipkan kartu berobat dan kartu asuransi, supaya dia bawa dan pergi sendiri. Memang ini pertama kalinya dia pergi berobat sendiri, dan kupikir sudah waktunya juga (dulu aku kelas 5 sudah ke RS sendiri hehehe). Kukirim ikon ke inbox, tapi ternyata tidak dijawab. Dia baru menjawab setelah pukul 5:10. LOH! kutanya:
“Sudah selesai?”
“Sudah”
“Kok cepat”
“Iya cepat sekali”
“Kamu bawa sikat gigi? Tidak lupa? (karena aku lupa menyediakan)”
“Bawa dong. Tidak lupa”
“Hebat!”
“Sekarang di mana?”
“Dalam bus. Sebentar lagi sampai. Mama beli sushi”
“Asyiiik…kami tunggu”

Horreeeeee…chat pertama dengan anakku! senang deh rasanya. Aku mau simpan sebagai kenangan di masa tua nanti (lebay yah ehhehe).

Sebetulnya ada lagi yang aku simpan dalam bentuk rekaman, yaitu rekaman answering machine nya Kai yang menelepon ke HP ku waktu aku sedang bekerja. Lucuuuu sekali suaranya dan bahasanya. Gemes! Pertama kali dia meninggalkan pesan itu waktu dia baru masuk kelas 1 SD sedangkan aku bekerja jauh sekali. Ada rekaman waktu dia tanya apa boleh makan es krim yang di lemari es. Atau laporan dia sudah membuat PR, bahkan waktu dia takut sendirian di rumah (yang akhirnya aku telepon dan ajak bicara sambil aku jalan ke stasiun).

Kenangan chatting, kenangan answering machine. Kenangan memakai gadget untuk komunikasi pertama kali yang mengubah cara berkomunikasi karena memang sudah waktunya untuk berubah. Anak-anak semakin besar, semua semakin sibuk dengan kegiatan masing-masing yang tidak bisa dihindari lagi seiring dengan pertambahan umur. Selalu menjadi kenangan untukku.

Termasuk menjadi seorang blogger, aku banyak membaca tulisan-tulisanku yang dulu-dulu dan tersenyum membacanya. Kadang kupikir: “Wah hebat juga dulu aku bisa menulis seperti ini.” Atau “Aduuuh kek ginian kok ditulis”….tapi semuanya menjadi kenangan. Menjadi sejarah hidupku. Ngeblog buatku = mencatat sejarahku.

Dan aku senang sekali waktu beberapa saat lalu, ada seorang kawan lama waktu masuk UI menyapaku lewat BBM:
Dia: Mel… ini D*** gue dapet PIN elu dari mantan elu
Aku: Hahaha.. yang mana? mantan gue kan banyak 😛
Dia: Yang itu si ****, dia masih ngefans tuh sama kamu
Aku: Hahaha ya bagus lah. Lah Kamu masih ngefans ngga sama gue?
Dia: Masih lah… kan gue baca terus tuh blog kamu.
Aku: Wow thank you!

Nah, ternyata masih ada yang (mau) baca blogku ini! Horreeeee 😀 😀 😀
So, selamat Hari Blogger Nasional hari ini tgl 27 Oktober untuk teman-teman blogger ya.
Keep blogging, keep writing!

Shiori

23 Okt

Kalau mencari di kamus kata shiori, akan keluar arti bookmark. Penanda buku, atau seperti yang pernah kutulis di sini, memang shiori adalah pembatas buku. Aku tahunya seperti itu, sampai pada saat aku menyekolahkan anakku. Mereka akan mendapat SHIORI jika akan mengadakan acara keluar sekolah, semacam kertas berisi daftar apa saja yang harus dibawa.

Kai sekarang kelas satu SD, dan setiap tingkatan kelas dalam kurikulumnya SD di Jepang mempunyai acara keluar sekolah. Karya wisata yang disesuaikan dengan tingkatan kelasnya. Untuk Kai, besok dia akan pergi ke taman besar yang letaknya lumayan dekat rumah kami. Aku katakan lumayan, karena sebetulnya perlu waktu jalan kaki 20 menit dengan kaki orang dewasa, dan mungkin 30 menit bagi anak-anak. Taman yang besar dengan danau dan treking untuk jalan-jalan. Di sana mereka akan mengadakan penelitian tentang tumbuhan dan hewan pada musim gugur. Memunguti daun-daun (dan mungkin akan dibuat kompos di sekolah) dan biji-bijian seperti donguri (semacam mlinjo). Mereka harus menggambar apa yang mereka temukan dan menulis laporan tentang itu. Tentu saja yang setaraf dengan kemampuan seorang anak SD (mereka baru selesai belajar huruf hiraga).

Dalam shiori untuk acara “Kunjungan sosial Kelas 1” ini tertuliskan :
bekal makanan obento, tempat minum suito berisi teh atau air (tidak boleh manis), alas duduk (shikimono biasanya berukuran satu orang terbuat dari plastik), jas hujan kappa atau payung lipat jika hujan, 1 kantong plastik binil bukuro untuk sampah dan 1 kantong plastik untuk daun/biji yang dibawa pulang, tissue basah oshibori, saputangan hankachi,  tissue chirigami, clip board untuk menulis dan kotak pensil fudebako, serta oshiori itu sendiri.  Setiap barang diberi kotak untuk mengecek apakah sudah lengkap atau belum.

Waktu Riku kelas satu SD, (bahkan sampai kelas 5) aku yang menyiapkan barang-barang yang harus dia bawa. Tapi tadi waktu aku pulang kerja, aku melihat Kai sudah menyiapkan sendiri bawaannya dalam ranselnya. “Aku sudah siapkan yang aku tahu ma, tapi chirigami itu apa? Oshibori itu apa? shikimono itu apa?” Ya, dia tidak tahu kata-kata itu! Dia tahunya tissue, wet tissue atau sheet saja. Memang sehari-harinya orang Jepang memakai kata-kata dari bahasa Inggris yang sudah dijepangkan :D. Tapi dalam situasi resmi, tentu memakai bahasa Jepang yang baku hehehe. jadinya aku menjelaskan pada Kai tentang kata-kata itu. Untung aku bisa bahasa Jepang hehehe.

Dan ada satu hal yang baru kuketahui dari Kai. Yaitu waktu aku menyiapkan wet tissue yang bekas kakaknya. Jadi sudah ada nama kakaknya. Aku bilang padanya, tidak apa ya pakai nama kakak? Atau mama potong nama riku, jadi miyashita saja ya?
Lalu Kai jawab, “Miyashita saja juga tidak apa-apa kok ma. Di SD ku kan yang namanya miyashita cuma aku dan Riku” Wah… untunglah punya nama keluarga yang tidak pasaran 😀

Jadi SHIORI itu artinya bookmark, pembatas buku dan DAFTAR  acara (dalam pertunjukan sekolah) /keperluan (dalam acara keluar sekolah) yang berupa leaflet. Yang pasti aku tidak pernah melihat guru-guruku dulu di sekolah di Indonesia menyediakan shiori jika ada acara. Ada?

shiori

Torei

15 Okt

Duh, rasanya aku sudah lama sekali tidak menulis di blog ini. Maklum sedang banyak shimekiri 締切, deadline sehingga aku tidak bisa menulis. Alasan lain sempat sakit kepala hebat dan batuk-batuk, dua kali mengalami taifun di Tokyo.

Hari ini aku ada pertemuan orang tua dan guru untuk kelasnya Kai, lalu aku harus mengajar malam. Tapi sebelum pergi rasanya aku harus menulis sedikit, untuk mencaharkan sembelitku ini 😀

Judulnya TOREI, pelafalan dari katakana トレイ (bukan toire loh). Karena katakana kita harus curiga bahwa kata ini berasal dari bahasa lain, bahasa asing gairaigo 外来語. Dan memang ini berasal dari bahasa Inggris : TRAY.

tray dengan gambar daun Haran

Kemarin dulu aku berbelanja di supermarket yang lain dari biasanya. Karena kebetulan lewat naik mobil, sekalian mampir untuk mempersiapkan kedatangan taifun. Harus isi kulkas dengan makanan. Nah, kemarin aku masak daging yang ditempatkan pada tray plastik berwarna kuning muda. Tapi aku merasa aneh kok daun yang ada di tray itu tidak tercuci (kami selalu cuci dulu sebelum dibuang/dikumpulkan). Rupanya itu gambar daun yang tercetak pada tray nya, sehingga tidak bisa lepas.

Kalau kita berbelanja daging/ikan mentah di supermarket memang biasanya kita menemukan daun plastik di dalamnya. Aku dulu sering heran. Kenapa sih susah-susah masukkan daun plastik ke dalamnya. Dasar orang Jepang suka “kecantikan”, sampai daging saja di hias. Memang ada benarnya, untuk kecantikan tapi ini sebetulnya pengganti kebiasaan menaruh daun sungguhan di dalam tray daging/ikan.

Biasanya kalau membeli daging yang khusus untuk curry akan diberikan daun laurier (semacam daun salam), untuk dimasak bersama-sama daging, sebagai bumbu tambahan. Atau kalau daging yang mahal biasanya diberi daun hiba (bentuknya seperti daun cemara) yang katanya mempunyai khasiat mencegah pembusukan. Sedangkan  gambar daun yang di tray kubeli kemarin itu ternyata daun Haran, yang hanya dipakai sebagai hiasan saja. Mungkin karena susah atau mahal, atau merepotkan, supermarket itu lebih baik memakai tray yang sudah ada gambar daunnya 😀

Apapun alasannya, aku tetap merasa bahwa orang Jepang memang masih memegang kebiasaan lama, meskipun lama-kelamaan diganti dengan imitasinya. Demi kebudayaan dan estetikanya.

Kalau di Indonesia, apakah ada yang memasukkan daun pepaya ke dalam bungkusan daging ya? hehehe

SBY after 30+ years

2 Okt

Perjalananan Daeng Senga Ke Jawa dimulai dari SBY, Surabaya. Karena perjalanan kami kali ini juga memakai kereta, aku sudah mewanti-wanti Riku dan Kai agar travel light. Masing-masing membawa satu tas geret yang tidak perlu dicek-in di pesawat. Dengan pertimbangan tas yang sama akan kami bawa naik kereta. Yang pasti baju atas (+baju dalam) 5 buah dan celana panjang 3 biji. (Padahal dalam tasku sebetulnya ada baju + jaket tipis Riku dan Kai sebagai cadangan sih) Tapi tas Riku berat karena dia membawa buku juga!!! Duh anak itu tidak bisa lepas dari buku-bukunya. Dan tentu aku bilang boleh bawa, asal bawa sendiri, mama tidak mau bantu bawakan! Aku sendiri membawa tambahan satu tas berisi oleh-oleh.

Kami sampai di Bandara Juanda pukul 9:25 pagi. Langsung kutelepon Kang Yayat, yang ternyata menjemput kami dengan mobil kerennya. Lucunya meskipun aku baru pertama kali bertemu Kang Yayat, rasanya sudah akrab saja. Mungkin itu merupakan privilege blogger ya? Langsung merasa akrab dengan sesama blogger karena sering membaca blog atau status di FB, sehingga rasanya sudah kenal lama.

dijemput Kang Yayat di bandara Juanda Surabaya dan langsung ke Malang

Kami langsung menuju MALANG! Padahal tadinya rencana kami lain, yaitu jalan-jalan di Surabaya dulu, baru ke Malang keesokan harinya. Tapi karena sebelum berangkat aku sempat chating dengan Mak Dea yang tinggal di Malang, aku ingin sekali bertemu dengannya! Bayangkan Mak Dea aku kenal di FB karena merupakan teman Pakde Dekry dan Mas Nugroho, tapi dia sudah kirim kopi Jambi dan oleh-oleh jauuuh sebelum aku sampai di Jakarta! Dan jadwal Mak Dea hanya kosong tanggal 11 Agustus itu saja. Tentu dong aku ubah rencanaku, sehingga aku langsung ke Malang begitu mendarat. Tujuan pertama : makan siang di Restoran Hotel Tugu Malang.

Namun di tengah jalan ada dua kejadian yang membuat kami harus stop. Pertama Kai muntah di mobil. Mungkin masuk angin. Terpaksa kami harus menepi dan membersihkan Kai. Kasihan mobilnya Kang Yayat jadi bau deh.

Kedua kami berhenti di pinggir jalan Porong. Ya, aku sempatkan melihat Lumpur Lapindo. Miris deh rasanya kalau membaca: Wisata Lumpur. Lah kejadian yang menyedihkan kok menjadi tempat wisata? Kami (anak-anak tetap di mobil) memang ditarik “uang wisata” di pintu masuk (ngga tahu deh Kang Yayat bayar berapa). Tapi setelah aku naik tangga dan melihat “lautan lumpur” aku ditawari DVD oleh seorang bapak di sana. Kupikir, siapa yang mau lihat? Aku paling tidak suka melihat tayangan sebuah bencana, apalagi kalau itu dimaksudkan untuk mendapatkan uang. Akhirnya aku katakan pada bapak itu, “Gini pak, saya tidak beli, tapi ini seharga DVD bagi-bagi saja”. Dan kami meninggalkan tempat itu dalam sunyi. Ah, bendera merah-putih juga berkibar di pinggiran tanggul. Tapi rasanya bendera itu membawa perasaan yang lain, apalagi kalau dia mewakili masyarakat sekitar yang menjadi korban.

wisata lumpur lapindo? Ngenes ya 🙁 🙁 🙁

Mendekati Malang, kami bingung melihat banyak rombongan sepeda motor membawa bendera Arema. Waduh rupanya ada ulang tahun grup sepak bola Malang 🙁 Dan mobil Kang Yayat memakai plat nomor Surabaya. Ngeri juga jika mobil dipukuli oleh fans Arema. Sesampai di hotel Tugu, Kang Yayat membeli handuk Arema untuk dipasang di dashboard, paling tidak menunjukkan bahwa kami mendukung Arema.

rombongan sepeda motor fans Arema yang menguasai jalanan. Cukup membuat deg-degan

Hotel Tugu Malang merupakan hotel tua, dan menyuguhkan interior kuno ala candi-candi yang misterius. Kami memang tidak melihat interior kamarnya, tapi aku tidak mempunyai keinginan untuk menginap di hotel semacam itu. Bukan karena aku takut, tapi lebih karena aku tidak suka kesan hotel (rumah) yang gelap dan dingin. Not my type, aku lebih suka bernuansa putih dan terang…. ya seperti hotel Majapahit itu 😀

Sambil menunggu Mak Dea, kami makan siang di Cafe Melati Hotel Tugu. Katanya makanannya enak di sini, dan aku memesan Rijstafel, gado-gado dan soto ayam. Rupanya makanan di sini disajikan di piring besar beralaskan daun pisang dan rempeyeknya itu loh yang besar sekali 😀

semuanya pakai rempeyek raksasa 😀

Akhirnya yang ditunggu, Mak Dea datang bersama suaminya. Tentu langsung berfoto bersama, juga berkeliling lobby hotel untuk berfoto. Kami akhirnya menentukan bahwa kami akan pergi ke Musium Angkut Batu……

berfoto bersama Mak Dea di Cafe Melati Hotel Tugu

Jika aku pulang kampung

1 Okt

Waktu alm mama masih hidup, aku jarang menggunakan waktu mudikku di Jakarta untuk pergi-pergi ke luar kota. Paling jauh Bandung dengan maksimum 1 malam menginap. Karena aku merasa waktu mudik = bercengkerama dengan mama. Meskipun akhirnya di Jakarta pun aku “sibuk” ketemu teman-teman sana sini, kopdar sana sini. Kalau aku sudah sibuk begitu, biasanya aku mengajak mama juga untuk jalan-jalan. Tapi karena mama kakinya sudah tidak bisa berjalan jauh, dia suka malas bepergian. Paling-paling jalan ke Sency untuk makan sushi.

Karena menurutku mudik = bertemu teman atau saudara. Ada beberapa judul di dalam blog ini yang menamakan mudikku sebagai perjalanan hati. Well menurutku hampir semua perjalananku adalah perjalanan hati, untuk silaturahmi. Wisata adalah nomor dua bagiku.

Mudikku yang terakhir summer kemarin, kuberi nama dengan Daeng Senga Pulang Kampung, karena memang aku mengunjungi daerah asalku: Makassar. Tapi selain Makassar, kemarin itu Daeng Senga juga berlibur ke Surabaya dan Yogyakarta. Kenapa? Karena papa yang menjadi tujuan utamaku jika mudik, tidak berada di Jakarta. Dia ingin mencoba jantungnya, apakah kuat bepergian jauh sampai London. Jadi, selama papa pergi ke London, buat apa aku di Jakarta? hehehe

Banyak sebetulnya tempat yang ingin kukunjungi, tapi karena waktuku hanya 5 hari, aku perlu memikirkan perjalanan yang efisien. Surabaya kupilih karena aku sudah 30 tahun lebih tidak ke sana. Aku terakhir pergi ke sana waktu SMP, sekeluarga. Perjalanan wisata keluarga yang kuingat sekali. Sayang waktu itu belum ada digital camera sehingga sisa foto-foto kami sangat terbatas.

 

entah di Tretes atau Selekta 🙂 Papa yang potret sehingga tidak ada dalam foto

Tapi aku juga ingin pergi ke Yogyakarta. Kami sebetulnya pernah merencanakan pergi ke Yogya pada summer tahun 2012, namun kami batalkan, karena mama meninggal. Rasanya belum siap untuk jalan-jalan ke luar daerah saat itu.

aku dan alm. mama

Nah yang menjadi masalah, bagaimana mengatur perjalanan dari Jakarta ke Surabaya dan Yogya semaksimal mungkin. Dari jauh hari aku sudah meminta papa untuk membelikan tiket pesawat ke Surabaya dan Yogyakarta. Karena tidak ada pesawat dari Surabaya ke Yogya, terpaksa papa membelikan tiket Jkt-Sby dan Yogya – Jkt. Aku berarti harus naik kereta dari surabya ke Yogya. Yang penting tiket pergi dan pulang sudah ada deh, karena waktu itu 2 minggu setelah lebaran sehingga aku takut sulit tiket karena arus balik.

Aku langsung menghubungi Kang Yayat bertanya-tanya tentang surabaya, terutama transportasi selama di sana dan kereta dari Surabaya ke Yogya. Berbekal jadwal kereta dari surabaya jogja itu, aku menentukan bahwa aku akan menginap 2 malam di Surabaya dan 2 malam di Yogya. Untuk mengatur rencana di Yogya aku menghubungi Ata chan. Senang sekali aku mempunyai teman blogger di dua kota itu, yang sangat membantuku merencanakan perjalanan Daeng Senga ke Jawa 😀 Kang Yayat, dan Ata-chan, terima kasih banyak atas bantuannya

Karena tempat tinggal di Yogya sudah fix, aku tinggal mencari hotel di Surabaya. Ada 3 hotel yang kupakai selama summer kemarin, yaitu hotel Celebes di Makassar, Hotel Mid Town dan hotel Majapahit di Surabaya. Ketiganya kupesan melalui agoda.com. Hotel Celebes, karena papa mau di situ. Hotel Mid Town karena aku pesan dua kamar yang tadinya kuperuntukkan untuk pasangan Hana dan Masbro yang rencananya akan bertemu di Surabaya, tapi batal karena kesehatan Hana yang tidak memungkinkan mengadakan perjalanan jauh. Hotel Majapahit kupilih karena…. aku ingin menginap di situ 😀 Bangunan tua yang mengingatkanku pada Raffles Hotel di Singapore, yang pernah kuinapi tahun 2002. Untuk mengajak anak-anak menginap di Raffles Hotel aku tak mampu karena mahal sekali. Raffles Hotel mah untuk penganti baru aja 😀 Sedangkan Hotel Majapahit ini masih terjangkaulah untukku, sekaligus ingin memberikan pengalaman pada anak-anak. Meskipun….. ada banyak orang menanyakan apakah aku berani menginap di situ 😀

Dengan berbekal jadwal kasar, aku, Riku dan Kai siap untuk berwisata ke Jawa (Timur dan Tengah)……

Hari Penerjemah Internasional

1 Okt

Aku baru tahu ada hari penerjemah Internasional ketika membaca status temanku, Charity. Sasuga penerjemah tersumpah Bahasa Jepang- Indonesia! Tapi Imelda tidak bisa berhenti sampai di: “Oooo ada toh hari penerjemah? ” Tentu aku jadi ingin tahu kenapa tanggal 30 September ditetapkan sebagai hari penerjemah internasional.

Berkat googling kudapati bahwa : International Translation Day is celebrated every year on 30 September on the feast of St. Jerome, the Bible translator who is considered the patron saint of translators. The celebrations have been promoted by FIT (the International Federation of Translators) ever since it was set up in 1953. (wikipedia)

Lalu kucari dalam bahasa Jepang, apakah penerjemah Jepang ikut merayakan hari peringatan penerjemah internasional itu, dan ternyata tidak! Memang sepertinya gaungnya lebih pada penerjemahan dari dan ke bahasa Inggris.

Tapi yang pasti dari yang pernah kudapat selama kuliah dan hidup di Jepang selama 22 tahun ini, Jepang bisa maju juga karena peran penerjemah! Meiji awal banyak diterbitkan buku terjemahan dan bisa disebutkan Futabatei Shimei sebagai pelopornya. Dia menerjemahkan buku “Aibiki” dari bahasa Rusia karangan Ivan Turgenev Ивáн Серге́евич Турге́нев、ke dalam bahasa Jepang. Selain itu ada nama Mori Oogai yang seorang dokter yang banyak menerjemahkan buku-buku bahasa Jerman. Sampai-sampai disebutkan bahwa kesustraan jaman Meiji merupakan kesusastraan terjemahan!

Dari sebuah sumber diketahui bahwa sampai dengan tahun ke 15 Meiji (1882), ada 1500 buku terjemahan hampir 15% dari buku yang diterbitkan di Jepang. Sebuah jumlah yang menurutku cukup besar untuk kondisi pada jaman itu. Dan buku-buku terjemahan itu sedikit banyak membantu modernisasi Jepang.

Sekarang memang kemampuan bahasa Inggris sudah menjadi syarat untuk setiap orang di dunia. Untuk mengglobal katanya. Tapi masih ada bidang-bidang yang masih sulit dimengerti masyarakat awam sehingga peran penerjemah masih (sangat) dibutuhkan. Itu untuk bahasa Inggris, padahal dunia itu luas. Untuk mengetahui kebudayaan dan kemajuan negara-negara lain, tentu masih diperlukan orang-orang yang menguasai bahasa negara-negara tersebut.

Salah satu profesiku memang penerjemah, tapi itu kalau ada permintaan dalam bentuk pekerjaan. Di luar pekerjaan, sering aku menemukan artikel atau tulisan yang bagus, yang ingin sekali kuterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tapi sering kali  tidak ada waktu untuk mengerjakannya, atau tidak ada kata-katanya yang tepat untuk menggambarkan maksud tulisan aslinya. Di blog ini, ada beberapa terjemahan picture book, cerita anak, syair lagu dan puisi. Akhir-akhir ini aku juga menulis sedikit pemikiran tentang Jepang berdasarkan artikel bahasa Jepang yang tidak bisa aku terjemahkan semua (karena kurang waktu) di sini. Semoga ke depannya aku masih ada waktu untuk menerjemahkan tulisan-tulisan menarik lagi di sini ya.

Sebagai penutup aku ingin mengucapkan selamat bekerja untuk teman-teman penerjemah, termasuk sempai Charity, my dimple sister Sanchan, dan narablog Krismariana.

Kata Baru

29 Sep

Waktu aku membereskan koran untuk dibuang, aku menemukan sebuah artikel yang menarik tentang bahasa Jepang. Yaitu sebuah survey dari kata-kata buatan baru bahasa Jepang yang sering dipakai. Biasanya bahasa Jepang untuk kata-kerja memakai tambahan suru する (melakukan) yang ditempelkan pada kanji gabungan yang dibaca secara onyomi  音読み(cara china). Misalnya benkyo suru, shokuji suru dan lain-lain.

Tapi ada bahasa Jepang yang memakai kata dari bahasa Inggris yang dijepangkan dan ditambahkan kata suru. Misalnya Attakku suru アタックする. Kata attack itu sendiri sebetulnya sudah kata kerja (dalam bahasa Inggris), tapi masih ditambahkan suru yang menjadi ciri kata kerja bahasa Jepang. Bingung kan 😀 Dan sekarang ada kecenderungan untuk menambahkan hanya RU dibelakang kata-kata yang bukan kata kerja (kata benda atau kata asing). Dan kata-kata ini cukup populer dalam masyarakat.

Hal ini diketahui dari survey yang diadakan Dirjen Kebudayaan pada bulan Maret 2013 yang dilakukan pada 3473 pria wanita berusia di atas 16 tahun dan dijawab oleh 2028 orang. Kepada peserta angket diberikan 10 kata populer bentuk “baru ini” dan diketahuilah ranking penggunaan/pengetahuan mereka tentang kata-kata ini.

1. Chin-suru チンする (レンジで加熱) 94% pernah pakai, 8,3% pernah dengar dan 1,2 % tidak pernah dengar.

2. Saboru サボる (なまける)   86,4% pernah pakai, 12,5% pernah dengar dan 1,0 % tidak pernah dengar

3. Ochasuru お茶する (喫茶店に入る) 66,4% pernah pakai, 27,6% pernah dengar dan 5,8 % tidak pernah dengar

4. Jiko-ru (事故に遭う) 52,6% pernah pakai, 41,5% pernah dengar dan 5,7 % tidak pernah dengar

5. Panikuru パニックる (慌てる) 49,4% pernah pakai, 41,6% pernah dengar dan 8,8 % tidak pernah dengar

6. Guchiru 愚痴る (愚痴を言う) 48,3% pernah pakai, 44,7% pernah dengar dan 6,8 % tidak pernah dengar

7. Kokuru 告る (告白する) 22,3% pernah pakai, 52,3% pernah dengar dan 25.0 % tidak pernah dengar

8. Kyodoru きょどる (挙動不審に) 15,6% pernah pakai, 34,9% pernah dengar dan 48,7% tidak pernah dengar

9. Takuru タクる (タクシー利用) 5,9% pernah pakai, 21.6% pernah dengar dan 71.9 % tidak pernah dengar

10. Dissuru ディスる (けなす) 5,5% pernah pakai, 20,1% pernah dengar dan 73,7 % tidak pernah dengar

hasil survey Dirjen Kebudayaan Jepang

Waduh, aku sendiri tidak tahu kata-kata mulai nomor 7 deh (dan dibilang Gen, tidak perlu tahu hehehe). Maksud diadakannya survey ini sendiri untuk menunjukkan bahwa TIDAK SEMUA orang TAHU kata-kata itu, sehingga PERLU memperhatikan dan mengerti kalau TIDAK SEMUA ORANG TAHU. Sewajarnya MENGGUNAKAN KATA YANG SEMUA ORANG TAHU.

Indonesia juga mempunyai banyak kata baru. Aku senang kalau mengetahui kata baru itu sebetulnya sudah terdapat di KBBI hanya kurang populer, dan dipopulerkan kembali. Biasanya kata-kata itu berasal dari bahasa daerah. TAPI ada beberapa kata yang menjadi trend HANYA karena dipakai seorang artis dan menjadi terkenal, atau menunjukkan trend sesaat. Kata-kata ini memang biasanya tidak lama. Dan aku senang mengetahui kata-kata baru ini dari tulisan-tulisan di socmed seperti FB dan twitter. Meskipun memang harus dilihat sekitar 3-5 tahun apakah kata-kata itu bisa bertahan atau tidak. Seperti kata lebay, mungkin sudah bisa dimasukkan pada kamus ya 😀 (kalau galau sih memang sudah ada di kamus). Untuk alay? Masih harus tunngu 2-3 tahun mungkin ya 😀

Akhir-akhir ini yang aku lihat trend pemakaian kata “bingit” sebagai pengganti banget. Mungkin teman-teman yang lain bisa menambahkan di sini?