Siapa itu Daeng Senga? Baca di sini ya 😉 Nah dia pada liburan musim panas kemarin, tepatnya sejak tanggal 26 Juli pulang “kota” ke Jakarta. Setelah merayakan ulang tahun papanya tgl 29 Juli, pada tanggal 31 Agustus, pulang ke kampung halamannya di Makassar! Tentu saja berempat lagi! (Eh tambah satu teman orang Jepang deh 😀 jadi berlima)
Kepergian ke Makassar ini memang sudah direncanakan sejak jauh hari, dengan tujuan utama Fort Rotterdam dan silaturahmi lebaran ke rumah Prof Aminuddin Salle Daeng Toto. Kenapa Fort Rotterdam? Karena waktu kami ke Makassar 1,5 tahun yang lalu, kami tidak sempat pergi ke Fort Rotterdam. Dan nama Fort Rotterdam muncul waktu Riku ingin menulis tentang perbandingan Kastil di Jepang dan di Indonesia. Kastil bukan istana, lebih menyerupai benteng. Oleh karena itu aku mencari nama-nama benteng di Indonesia, dan menemukan informasi bahwa benteng Rotterdam itu yang paling besar, paling tua dan masih terpelihara sampai sekarang. Tentu saja ini merupakan daya tarik yang amat besar bagiku untuk bisa kembali ke Makassar lagi, setelah menerima nama Daeng Senga. Dan waktu kuajak temanku Yuko, dia juga mau ikut bersama.
Kami sampai di bandara Hasanuddin masih pagi. Karena kali ini tidak ada mobil/jemputan, kami naik taxi dari bandara. Ntah karena kami berlima + koper, taxi yang kami tumpangi kempes bannya pas melewati polisi tidur (mungkin juga bodynya terlalu pendek ya?). Kami menuju Hotel Celebes, sebuah hotel tua, hotel melati yang aku pesan lewat agoda untuk 3 malam. Papa yang suka menginap di sini karena letaknya yang dekat dengan gereja Katolik, sehingga papa bisa jalan kaki untuk mengikuti misa setiap hari.
Sesampai di hotel, kami cek in, menaruh koper dan barang-barang lalu jalan kaki ke warung-warung terdekat untuk makan pagi. Sebetulnya mau dibilang warug juga tidak, karena mereka menempati kiosk-kiosk permanen. Dan lucunya menunya hanya satu, eh dua, ikan bandeng bakar dan sop saudara. (Nama Sop Saudara ini juga aneh, ntah apa yang membuat sop ini dinamakan Sop Saudara. Kata papa: “Kalau sop sayur, sayurnya dipotong-potong lalu direbus. Kalau sop buntut, buntutnya dipotong lalu direbus. Nah kalau sop saudara, masa saudaranya dipotong lalu direbus? hehehe)
Jadilah kami berlima makan nasi dengan ikan bandeng bakar, dan tentu pakai tangan. Yuko san juga terlihat tidak aneh makan nasi dengan tangan, meskipun awalnya canggung, akhirnya terbiasa juga. Kai juga suka sekali makan nasi dengan ikan ini.
Setelah selesai makan, kami bergerak lagi menuju Fort Rotterdam. Tapi, katanya cukup jauh untuk berjalan ke sana (mungkin kalau orang Jepang sih biasa, tapi tidak untuk orang Indonesia). Jadi papa memanggil becak dan bertanya dalam bahasa Makassar. Berapa ongkos sampai benteng? Lalu si tukang becak berkata, “Seberapa saja ji…” Akhirnya sepakat 10 ribu, tapi tidak bisa dong kami berlima dengan satu becak. Jadi kami naik 3 becak, aku dengan Yuko, Riku dengan Kai dan Papa sendiri. Ternyata dekat juga sih 😀 Tapi anak-anak senang sekali bisa naik becak. Kami saling memotret di depan benteng. Benar-benar wisatawan deh (ya emang iya sih) 😀
Kami menulis nama di penerima tamu, dan waktu ditanya musti bayar berapa, dijawab seberapa saja. Wah rupanya tidak ada harga tanda masuk yang tetap. TAPI kalau masuk ke museum Galigo nya memang harus bayar 5000 rupiah. Karena di luar panas, kami berfoto sebentar, lalu masuk ke museumnya. Sayang sekali tidak ada guide bahasa Jepang saat itu. Kupikir aku mau pakai guide bahasa Jepang, supaya Riku bisa mendengar langsung dari guidenya. Tapi karena tidak ada, terpaksa deh aku yang menerjemahkan secara random.
Sayangnya keterangan-keterangan yang ada itu mengenai sejarah kota Makassar, bukan tentang bentengnya sendiri. Waktu aku mau membeli buku atau pamflet tentang bentengnyapun tidak ada. Kami akhirnya pulang ke hotel –tentu saja dengan naik becak– membawa kekecewaan karena minimnya dokumentasi sejarah benteng Fort Rotterdam itu.
Hari pertama di kampung halaman Makassar pun kami akhiri dengan melihat sunset di pantai Losari dan makan ikan (lagi) di sebuah restoran terkenal, bersama adik papa Tante Anneke, yang memang tinggl di Makassar. Dan yang membuatku heran adalah betapa murah harga masakan yang kami pesan. kalau di jakarta pasti aku harus membayar dua kali lipat. Kuliner Makassar memang ikan! Dan aku suka ikan!
wah sampai Makassar ya.
Pasti asyik tuh makan ikan murah.
Saya pernah ke Makassar tapi nggak sempat lihat benteng itu
Terima kasih reportasenya
Salam hangat dari Surabaya
Sebelum ke Surabaya ya saya ke Makassar dulu pakdhe hehehe. Pulkam kali ini cukup sibuk karena ditambah jjl ke Makassar, Sby dan Jogja
Huehehehe… pernah sekali sih masuk fort rotterdam dan emang agak mengecewakan sih ya…
Lucu deh mba, sop saudara itu apanya yang dipotong ya? hihihi… setau aku katanya dibilang sop saudara itu karena mejanya yang panjang, jadi yang makan disana semua jadi dianggap sodara gitu…(ga pisah2 meja)
Trus kalo soal ikan ya, ga bisa dipungkiri sih, ikan di sini emang murah dan lebih beragam… makan di mana ya mba itu?
hihihi kalau aku sepertinya pernah dengar bahwa dinamakan sop saudara karena yang masuk ke dalam sup itu sodara semua (sayur2an) hehehe whatever deh.
Aku makan di the New Dinar Restaurant. Ditawarin ke Ratu Gurih juga, tapi aku ngga begitu suka di Ratu Gurih krn panas dan banyak lalat 😀 sepertinya menunya juga kurang variatif ya
hihihihi… yah sama aja mba ya…yang penting rasanya….
ow, ke new Dinar ya… (soalnya jarang ke sana). Aku lebih suka ke losari… disana woku-nya enak banget…apalagi yang suka sama makanan pedas… Ratu Gurih aku kurang suka sih ya… orangnya kurang pinter bakar ikan dan sayurannya kurang enak menurutku…
Imeel, senang sekali bacanya…saya malah belum sempat ke Fort Rotterdam….maklum kalau tugas, masuk hotel udah malam.
Kelemahan di Indonesia, jarang ada buku panduan cerita sejarah museum atau tempat yang kita kunjungi……sayang banget ya, padahal menarik dan pasti kita mau bayar untuk beli buku panduan tersebut.
Ya, kalau di Jepang pamflet tentang bangunan sejarah pasti disediakan gratis. Tapi ya maklum juga karena pemda di Indonesia kurang dana utk pemeliharaan museum2 sih.
Soal Fort Rotterdam, nanti akan saya tulis lagi yang lebih lengkap. Karena saya kunjungi DUA kali hehehe
saya juga suka naik becak mbak… hahaha. jadi pengen naik becak lagi 😀
Jakarta udah ngga ada becak sih. Paling kalo mau naik becak musti ke Makassar, atau Jogja 😀
wah,ke makasar juga ternyata…dulu saya kira fort rotterdam itu di belanda,eh ternyata di indonesia ,tepatnya di mksr 🙂
Iyaaaaaa Fort Rotterdam itu di Makassar, kampungnya Mugniar juga 😀
Saya malah belum pernah pergi ke Makasar.
Emangnya putra-putranya nggak bisa bahasa Indonesia, Mbak ?
Tentu menjadi guide tersendiri bagi anak-anak nih.
Gak tau juga ya kenapa namanya Sop Sodara … tapi di mana2 nama sop ini sop sodara, sampe di Pangkep juga namanya sop sodara, memang pasangannya dengan ikan bandeng (di sini dibilangnya ikan bolu) bakar sambal kacang 🙂
kenapa bukan Sop Tamang (teman) ya? Jadi temannya makan ikan bolu hehehe
huhuh, jadi kangen ke makassar lagi… (ini krn ngeces liat ikan2nya…)
Pingback: Studi Perbandingan | Twilight Express