Di Bawah Langit Berbintang

7 Feb

Hoshizora no shita de 星空の下で、adalah judul film yang diputar dalam Festival Film Asia di Enoshima 2014. Enoshima itu terletak di prefektur Kanagawa, bermobil sekitar 2 jam dari rumahku. Gen ingin sekali menonton, karena kebetulan hari Minggu (2 Februari 2014) itu dia tidak harus bekerja. Aku sendiri sebetulnya tidak suka menonton, malas sekali ikut tapi… ya harus dong menemani suami 😉 Untung waktu kulihat pamfletnya ada stand masakan Indonesia dari Restoran Cabe Meguro dan tarian dari anak-anak Sekolah Republik Indonesia Tokyo. Ya paling tidak seandainya aku tidak menonton aku bisa tunggu di luar.

Kami berangkat jam 8:30 dari rumah, untuk mengejar film yang tayang jam 11 siang. Kalau terlambat berarti kami harus menunggu sampai jam 2 siang, tayang yang ke dua. Untung saja meskipun hujan, kami sampai sekitar 10:30 di sana. Riku dan Kai tidak mau menonton (untung saja), jadi kukatakan pakai saja uang Riku dulu nanti mama ganti jika mau makan atau beli sesuatu. Ternyata setelah itu papanya kasih masing-masing 1000 yen. Waktu kami tinggalkan mereka, mereka sedang melukis di atas patung ala Bali di stand Bali. Meskipun agak waswas, kutinggalkan mereka berdua. Lagipula ada Ohira san, pemilik restoran Cabe yang sudah lama kukenal sehingga jika ada apa-apa mereka bisa menghubungi Ohira san.  (Waktu selesai film ternyata mereka sudah beli bakso di stand resto Cabe itu hehehe).

Aku jadinya ikut menonton! Filmnya memang sudah ditulis dokumenter, tapi menurut Gen itu bukan dokumenter karena sepertinya sudah diatur jalan ceritanya. Memang sih. TAPI film itu menurutku memang tidak akan diputar di Indonesia, tidak ada orang Indonesia yang mau menonton, karena isinya adalah Indonesia yang…. jelek! Dan cukup banyak orang Jepang yang menonton saat itu. Aku sendiri berharap bisa bertemu orang yang kukenal, tapi ternyata tidak ada yang kukenal. Ini berita bagus, karena berarti orang-orang Jepang ini memang datang untuk menonton film, bukan untuk bersilaturahmi.

Cerita tentang sebuah keluarga, di saat terjadi demonstrasi reformasi 1998 si nenek yang kristen pulang ke kampung, karena tidak mau ganti agama. Lalu si anak lelaki (Bakti) tetap tinggal di Jakarta bersama anak perempuan dari kakaknya (cucu perempuan). Si anak tetap bisa survive di Jakarta dan menjadi ketua RT. Di satu saat dia pulang ke kampung menjenguk ibunya sekaligus nyekar ke makam leluhurnya. Dia menelepon keponakan perempuan supaya si nenek bisa bicara dengan cucunya. Tapi akhirnya si nenek jadi ikut kembali ke Jakarta karena kangen dengan cucu perempuannya dan meninggalkan sahabatnya seorang nenek juga yang sudah tua dan hidup sendiri juga. Yang menarik di sini si nenek berusaha menyetop kereta di dekat rumahnya. Katanya dulu kereta mau berhenti di situ, tapi sekarang tidak lagi. Tidak bisa menyetop kereta sembarangan!

Ahhh aku jadi ingat oma Poel, yang tidak menikah sampai tua dan meninggal. Bagaimana nenek-nenek di kampung jika sakit ya? Hidupnya hanya mengumpulkan kayu ranting untuk memasak tanpa ada pemasukan lain. Mungkin anak-anaknya mengirimi uang setiap bulan? Atau hidup dari pensiunan yang tidak seberapa itu? Hatiku mulai berat menonton film ini sejak si nenek berpisah dengan temannya itu.

Kehidupan di Jakarta digambarkan dengan gamblang. Si ketua RT tinggal di rumah yang terletak perkampungan kumuh, di gang sempit. Pekerjaannya ya hanya sebagai ketua RT meskipun dia terlihat jujur. Pemasukan keluarganya dari istrinya yang membuka warung di rumahnya. Nah di sini diperlihatkan istri menggoreng dan memasak dengan kompor minyak tanah. Tapi karena harga minyak tanah naik terus, dan pemerintah memperkenalkan tabung gas hijau 3 kg, maka keluarga ini pun memakai kompor dengan tabung gas. Karena baru pertama kali pakai, waktu si istri menyalakan kompor dengan wajan penuh berisi minyak goreng, api yang baru menyala biasanya besar sehingga sempat menjilat wajan penggorengan. Hampir terjadi kebakaran yang membuat semua panik, terutama tetangga-tetangga yang membuat cerita menjadi besar. Ciri khas tinggal di perkampungan dalam kota, satu kejadian akan menyebar dengan bumbu lebih banyak sehingga berkesan besar. Tapi si suami memang mengatakan: “Manusia harus bisa beradaptasi dengan perubahan. Harus belajar, jangan statis. Ini pengalaman, tapi tidak bisa kita kembali lagi ke kompor minyak tanah. Maju terus”.

Ya sama majunya dengan si cucu perempuan yang terus menikmati pendidikan SMAnya. Pergaulan membuat dia juga harus mempunyai HP merek N*kia yang bisa dipakai untuk foto-foto. Dia merengek kepada neneknya supaya dibelikan. Dan akhirnya dibelikan, entah dengan uang dari mana. Yang miris dia akhirnya mempunyai 2 HP, sepertinya trend di kalangan pelajar waktu itu bahwa satu HP saja tidak cukup 🙁

Si ketua RT ini jika tidak ada kerjaan, hobinya memelihara ikan hias yang dipakai untuk bertanding. JUDI! Layaknya sabung ayam, ini sabung ikan, dan dengan demikian dia menghabiskan uangnya juga untuk memberikan makanan ikan dan membeli lagi ikan yang lebih “kuat”. Bahkan saking mencintai ikannya, dia memakai semua sisa air suci yang dimiliki istrinya (si istri minum air suci yang suci yang sudah disembahyankan di mesjid karena ingin hamil) . Ini kemudian menjadi sumber pertengkaran hebat antara keduanya. Istri yang sudah capek bekerja demi penghasilan keluarga merasa tidak diperhatikan oleh suami yang kerjanya untuk hobi saja, tanpa ada pemasukan. Uang menjadi pemicu pertengkaran yang mengakibatkan si istri menggoreng semua ikan hias suaminya, dan melihat itu suaminya marah dan menendang kompor gas modal istrinya berjualan sehingga rusak. Ah… ciri khas pertengkaran suami istri yang kurang komunikasi.

Dalam film ini juga digambarkan betapa marahnya seorang bapak yang tinggal menumpang di rumah si ketua RT waktu tahu anaknya diajak si nenek ke gereja. Karena anak ini tidak diperhatikan bapaknya, anak ini menjadi nakal dan suka mencuri baju-baju penduduk. Mungkin oleh si nenek diajak ke gereja untuk lebih mendekatkan dengan Tuhan, karena tidak ada seorangpun di rumah itu yang bisa mengajarinya. Si Ketua RT itu islam KTP yang tidak pernah sembahyang, sedangkan bapak kandungnya bekerja terus ngojek. Ah di sini bisa terlihat bahwa ahlak anak-anak itu semua tergantung dari orang tuanya, apakah orang tuanya mengajarkan yang benar atau dibiarkan saja. Akhirnya setelah kejadian itu, sang anak diajak mengikuti sunat massal.

Ada satu adegan yang sebetulnya sudah diperingatkan oleh Ohira san. Dia sempat mengatakan, “Lebih baik makan sebelum nonton film…..” Aku sudah curiga pasti ada sesuatu yang membuat eneg. Eh ternyata iya hehehhe. Jadi di Jakarta sering ada fogging, pengasapan untuk mencegah demam berdarah kan. Dan  diperlihatkanlah got, comberan di daerah pemukiman itu difogging, menyebabkan semua tikus, kecoak keluar dari sarangnya berlari terbirit-birit. Si kameraman ini juga kurang ajar sih, mengikuti kecoak mabok itu berlari, dan rupanya mendarat di atas sayur gulai masakan si ibu RT. Berenang dan berlari lagi entah kemana. Kemudian dengan sengaja diperlihatkan si ibu memberi makan anak lelaki dengan nasi + sayur tadi, yang dimakan dengan lahap oleh si anak. Huh… benar-benar menjijikan… dan aku langsung berpikir, asal jangan semua orang Jepang yang menonton ini berpikir bahwa semua masakan yang dijual di Indonesia seperti itu deh hehehe.

Tari akhirnya menyelesaikan SMA nya, dan dia mau masuk universitas. Atau tepatnya neneknya MAU cucunya belajar di universitas karena dia TIDAK bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai tinggi. TAPI kondisi keuangan mereka tidak memungkinkan! Jadilah dia mendaftar untuk beasiswa atau sebagai penerima ZAKAT. Tapi si cucu ini beragama kristen! Tidak bisa dia menerima Zakat karena tidak bisa menjawab 5 hukum Islam. Bahkan dia dikatai arogan berani mendaftar sebagai penerima Zakat. Karena dia tidak bisa mendapatkan beasiswa itu, si nenek akhirnya menggadaikan surat tanahnya supaya dapat membayar uang masuk universitas. Miris sekali melihat si nenek menerima lembaran-lembaran rupiah itu yang akhirnya lenyap. Biaya universitas bukan saat masuk saja kan?

Puncaknya waktu si ketua RT a.k.a omnya melihat dia menggandeng tangan seorang pemuda. Omnya marah karena perbuatan seperti itu memalukan. Keluarlah di situ pertengkaran Om dan keponakan yang didengar oleh si nenek. Apalagi waktu si cucu menjawab bahwa dia masuk universitas untuk menyenangkan neneknya, tanpa tahu apa yang dia mau kerjakan setelah lulus. Si Om berpikir praktis saja, untuk semua uang yang dikeluarkan dan yang diusahakan untuk membayar biaya kuliah, apa hasilnya kelak?

Si nenek tahu bahwa dia tidak bisa lagi berharap, atau tidak bisa lagi melihat pola hidup di Jakarta. Dia kembali ke desanya sendirian, dengan membawa dua bungkusan. Hadiah untuk temannya. Sebuah kompor gas dan tabung gas 3 kg. Dan tentu saja ditolak oleh temannya yang menyatakan bahwa dia tidak bisa berubah lagi. Sudah terlalu tua untuk belajar berubah. Lagipula jika gasnya habis, dia tidak bisa membelinya lagi. Lebih baik masak dengan ranting-ranting yang gratis!

Malam yang pekat, kedua nenek duduk di sebuah tanah lapang dengan penerangan petromaks. Bercerita bahwa kota itu kejam, padahal langitnya sama.
“Aku tidak bisa melihat bintang di kota. Udaranya kotor!”
dan diperlihatkan langit penuh bintang yang indah.
“Apa ya lagu-lagu tentang bintang? Aku kok banyak lupa sekarang. Yang kuingat cuma lagu…
Bintang kecil di langit yang luas…. amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari, jauh tinggi ke tempat kau berada……….”
Dan tamatlah film ini, meninggalkan aku menahan air mata. Manusia semakin tua semakin lupa, dan mungkin keinginannya cuma satu terbang meninggalkan dunia ini.

Gen hanya memegang tanganku dan bilang, “maaf ya”. Dia tahu aku menjadi sedih melihat film seperti ini. Film yang berat. Menunjukkan betapa kerasnya hidup di Jakarta, dengan berbagai masalah agama dengan aku sebagai bagian minoritas. Dan ya, film yang menunjukkan bahwa tanpa uang, jangan hidup di Jakarta. Berat sekali film ini, tapi gamblang. Memang demikianlah adanya. Jelek tidak jelek memang begitulah Jakarta.

Film dengan judul bahasa Inggrisnya : Position among the Stars atau Stand van de Sterren ini dibuat oleh Leonard Retel Helmrich, seorang Belanda yang beribukan orang Indonesia pada tahun 2010, dan dipakai sebagai film pembuka  dari International Documentary Festival Amsterdam. Kalau mau melihat website resminya silakan buka di sini, tapi semua dalam bahasa Belanda.

foto from website : http://www.standvandesterren.nl/nl/de-familie.php

 

6 Replies to “Di Bawah Langit Berbintang

  1. Merinding saya Mba bacanya. Sebagai yang hidup di Jakarta memahami banget bahwasannya kejadian itu memang benar-benar terjadi. Sediiih sekali baca terutama bagian neneknya.
    Di jaman sekarang kekerasan, toleransi dan segala macam hal yang seharusnya menjadikan hidup lebih baik masih belom bisa terwujud untuk banyak orang. Gak bisa membayangkan kalo lihat sendiri Mba. T.T

  2. aku pengen bisa nonton film ini. tapi bisa nggak ya? mana mungkin diputar di Indonesia?

    ngomong-ngomong tentang fogging dan kecoak, itu dulu pernah kulihat sendiri waktu tinggal di kontrakanku yang lama. tiap kali ada pengasapan, semua kecoak mati. untung sih aku nggak jijik dengan kecoak. dan biasanya aku nggak masak kalau tahu ada pengasapan. mending makan di luar. atau memasaknya setelah kecoak-kecoak itu kusapu habis.

    memang hidup di Jakarta itu keras. sampai sekarang aku masih terheran-heran melihat orang yang bisa hidup di lingkungan kumuh. kok bisa ya? itu pasti terpaksa ya. tapi mereka juga bisa beli barang-barang bagus sih. jadi, kalau kubilang, mungkin sebetulnya mereka nggak miskin-miskin amat. entahlah… mungkin karena sudah merasa hidupnya ya di Jakarta, dan mau nggak mau harus di lingkungan yang kumuh. mungkin…

  3. aaaargh, kenapa film-film yang seperti ini ga diputar di Indonesia sih?! 🙁
    padahal setelah membaca resensi yang bunda Imelda tulis, rasanya film ini cocok dengan selera saya. soalnya suka dengan film-film dokumenter.

  4. Saya berasumsi ini berdasarkan kisah nyata …
    Tapi seperti Om Gen bilang … itu bukan dokumenter karena sepertinya sudah diatur jalan ceritanya.

    Berdasarkan kisah nyata atau bukan … namun yang jelas (berdasarkan penuturan EM) film ini memang penuh konflik. Konflik kerasnya ibukota Jakarta

    Saya lihat beberapa film dokumenter dan bahkan bukan dokumenter banyak yang kurang lebih menceritakan hal ini. Tentang kerasnya Jakarta … juga perbedaan agama.

    Salah satunya mungkin “?” … (Melfi Yendra tentu tau film ini)(kamu masih ingat Bang Melfi ini kan, kopdar jaman dulu ? )

    Film ini sampai ke Indonesia atau tidak ?
    Ya kita tunggu saja … 🙂

    Salam saya EM

    (8/2 : 20)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *