Tadi pagi aku mengajar tentang “Rumah Makan, Kaki Lima dan Warung” , bagaimana cara-cara makan di Indonesia. Nah satu yang selalu menjadi topik pembicaraan adalah cara makan di restoran Padang. Jika kamu datang ke restoran Padang, maka begitu duduk, kamu akan disajikan nasi, teh tawar dan setumpuk piring berisi lauk. Orang Jepang yang pertama kali datang ke restoran Padang, pasti akan terkejut dan kalau dia bisa bahasa Indonesia pasti dia akan berkata, “Maaf pak, saya tidak pesan sebanyak ini!”.
Adalah tugasku untuk menjelaskan kebiasaan di restoran Padang itu. Jadi kamu ambil saja lauk yang akan kamu makan. Kalau dalam satu piring ada dua ayam, kalau kamu ambil satu, maka kamu bayar untuk satu itu saja. Nah…yang menjadi pertanyaan orang Jepang itu adalah, “OK kami bayar untuk satu daging, lalu satu daging yang masih di piring bagaimana?” .
“Dikembalikan ke wadahnya dan disajikan ke tamu lain lagi, toh kamu tidak pegang-pegang kan? ”
“hmmmm saya tidak pegang-pegang, tapi belum tentu orang lain tidak pegang-pegang sebelum disajikan ke saya ya?”.
Lalu saya jawab begini, “Kalau kamu makan di rumah, kamu kan juga ambil dari piring besar, dan menyisakan daging lainnya untuk anggota keluarga lain, dan tidak merasa jijik kan? Anggap saja pengunjung restoran Padang itu sebagai satu keluarga besar”. 😀
TAPI memang benar bahwa banyak orang Jepang yang “bersihan” sehingga banyak berpikir tentang sanitasi/kebersihan dan …”cerewet” :D. Di Restoran di Jepang, pasti dibagikan lap basah oshibori begitu duduk, dengan maksud untuk membersihkan tangan sebelum makan, meskipun makannya tidak dengan tangan! Kalau di Indonesia itu urusan pribadi masing-masing apakah mau cuci tangan sebelum makan atau tidak. Tapi sesudah makan ada lap/tissue basah untuk membersihkan tangan kalau memang makanan itu membutuhkan makan dengan tangan. Jadi menurutku memang orang Jepang yang “bersihan” tidak bisa tinggal lama di Indonesia. Di Indonesia kita perlu untuk mempunyai “kekebalan tubuh” dalam kehidupan. Susah bagi orang yang bersihan untuk tinggal di Indonesia. (FYI dulu aku sama sekali tidak bisa makan di warung karena merasa jijik, kalau sekarang… ya masih bisa deh “tutup mata” hehehe)
Pernah aku juga membaca polemik tentang “Apa reaksimu jika menemukan rambut dalam makanan restoran?”. Ada yang mengatakan, “Ya sisihkan saja rambutnya, dan makan terus tanpa ribut-ribut dengan pihak restoran”, “Kalau tidak begitu lapar, ya saya tinggalkan saja makanan itu dan pergi ke restoran lain”. Tapi ada yang mengatakan “Saya sih pasti lapor dan minta ganti makanan yang saya pesan itu…HARUS buat baru, jangan cuma diambil rambutnya di belakang lalu kembalikan ke saya”. Nah, orang yang langsung mengajukan claim begitu yang terbanyak. Aku? Hmmm… Aku merasa aku tidak termasuk orang yang jijikan. Tapi liat dulu juga ah rambut apaan, kalau pendek keriting mungkin aku juga ogah hihihi. Mungkin aku tidak akan buat ribut-ribut seperti claim, cukup beritahu restoran, dan pergi. Maklum lah Imelda kan ngga bisa marah (really? masa sih mel! 😀 )
Lalu ada juga pembicaraan menarik lainnya, yaitu tentang menu makanan dan minuman. Aku tanya pada murid yang pernah pergi ke Indonesia, “Kamu bisa baca menu?”
Dia jawab, “Bisa, tapi menu di Indonesia jenis makanannya tidak banyak ya…”
“Wah, kebetulan saja kamu pergi ke restoran yang sedikit menunya. Kalau restoran besar cukup banyak loh jenisnya.”
Dan memang aku juga merasakan memilih makanan di menu Jepang itu mudahnya karena ada foto-foto dan kadang ada contohnya yang terbuat dari lilin di etalase restoran itu. Yang biasanya menjadi masalah berikutnya adalah apakah ada kandungan babi/makanan tidak halal dalam masakan tersebut bagi umat muslim.
Lalu murid yang tadi itu mengatakan, “tapi sensei saya tidak bisa makan kodok goreng”….
“Hahaha, banyak orang Indonesia tidak bisa kok makan kodok goreng juga. Saya sih pernah dan rasanya seperti ayam saja. Lagipula kodoknya hanya kaki saja kan, tidak seperti di Cina yang kodok utuh dimasak…. kalau melihat kodok utuh, saya juga tidak mau makan”.
Lalu satu per satu menceritakan pengalamannya makan “masakan teraneh buat dirinya”. Ada yang berkata “Jangkrik goreng manis (inago tsukudani)” –aku juga sudah pernah, dan cukup enak kok heheheh. Lalu si murid anti kodok berkata, “Saya pernah makan sup kucing di Cina….” langsung semua berteriak…hiiiiiii termasuk saya (meskipun saya sudah pernah mencicipi anjing–dan ngga dua kali deh hihihi). Dan yang terakhir yang menurutku juga aneh adalah cerita seorang murid yang pernah tinggal di Kamboja. Katanya di sana dijual Laba laba goreng di pasar bertumpuk-tumpuk, dan dia pernah makan karena terpaksa. “Mungkin seperti kepiting ya rasanya?” tanyaku…dan dia mengatakan ya, seperti kepiting. Cuma aku ngga deh kalau disuruh makan laba-laba atau kepompong atau ulat atau…kecoak…hoekkk….
Maaf yah pembicaraannya jadi begini, tapi memang kebudayaan makanan di dunia ini amatlah beragam dan berbeda. Perlu ada pengertian dan tentunya tidak memaksakan orang lain untuk makan sesuatu yang memang tidak bisa/mau dia makan. Apalagi kalau itu berkaitan dengan agama.
So….. apa menu Anda hari ini? Aku lagi masak rawon nih 😀 Mari makan……
Rawon yang warnanya coklat ya Bu?
bukan coklat pak eM, yang ITEM hahahah
EM
Di Jepang mewarnainya pakai apa?
Kalau di Indonesia kan pakai sejenis buah yg namanya “kluwak”
ya sama lah pak, bumbunya kan dari Indonesia 😀
EM
hahha, dasar “cerewet” tuh orang jepang.. tapi gak salah juga sih cerewetnya dia..
tapi kalau aku mah ga peduli.. kalau udah di rumah makan padang, makan aja.. apalagi kalau dibayarin,hehhee
Hmmmm kalau dibayarin makan yang aneh-aneh mau ngga?:D
EM
Jiah …
kok bisa sama ya EM topiknya …
hahahaaha
Salam saya
bergidik? lain ah jijik dengan bergidik…
EM
Mbak Imelda, di Manado kan ada masakan tikus hutan, kucing, jg anjing. Sekalipun pernah hidup dengan orang Manado, ketiga binatang itu belum pernah saya santap.. hiyy…
aku cuma nyoba yang terakhir, di komunitas orang Manado di sini. Karena Gen mau coba, jadi aku nemenin hihihi
EM
Udah lama gak baca cerita K’ Imel ngajar, hehe.Iya juga, ya. Jadi kepikiran soal “dipegang” sama pengunjung laen, hehe. Jarang banget makan padang di restorannya langsung sih, biasa hasil dipesenin.
Aku sendiri sebenernya termasuk orang yang “jijik”an soal makanan, dan udah beberapa kali aku ketemu benda aneh di makanan yang aku pesen. Rambut? Pernah.. (gara-gara itu aku gak beli gado-gado selama berbulan-bulan). Semut? Pernah… (di rumah juga pernah, akhirnya aku buang setengah piring lebih. Satu kali lagi di warteg langganan, sempet gak makan di sana selama dua minggu sampai akhirnya ganti yang urusin wartegnya – tapi waktu kejadian itu, penjaganya nawarin untuk digantiin sih, tapi udah males). Isi stapler? Pernah juga (ini di restoran dimsum yang lumayan rame, parahnya. Akhirnya dikasih complementary buah dingin gitu, hehe). Tapi buat yang terakhir sih aku fine” aja (yang waktu itu komplain malah kokoku), selama gak berasal dari makhluk hidup dan alam, aku sih gak masalah, hehe.
Btw, terus gimana nerangin kaki limanya? Hehehe…
Udah pernah ketemu kecoak dalam bakpau? Om ku pernah tuh, pas makan kok ada suara kriyuuuk hahahaha. Abis itu dia ngga mau beli bakpau lagi
Kaki lima? seru deh. di sini juga ada sih kaki lima tapi mangkal di stasiun, ngga “jalan-jalan” hihihi
EM
Wah, yang itu untungnya gak pernah. Tapi pernah satu kali, aku beli bakpao daging yang dijual di gerobak (keliling gitu, biasanya sih abangnya bilang, “Bakpao M***n”) dan aku kayak makan karton bukan daging. Abis itu, gak pernah juga aku beli bakpao keliling, mending yang udah jelas aja, hehe.
Hehe, iya juga ya. Kalau di Indo kan pedagang kaki limanya kebanyakan keliling-keliling :p
Saya juga pernah mengalami ada rumah makan padang yang hitungannya satu porsi itu = 1 piring, dalam artian kalau dalam piring itu ada dua ayam dan kita makan hanya satu, tetap dihitungnya dua.
Nah kalau orang Jepang merasa jijik gak ya kalau makan di nampan rame2 seperti makan makanan Timteng macam nasi briyani atau nasi kebuli 😀
Kalau saya sebagai orang Sunda yang banyak dimakan adalah daun-daunan sebagai lalapan, *mbeeeekk* 😀
disini serba steril ya mba pokok e..( ada jg sih yg ngga hihi) dan karna udah terbiasa steril selama disini,
waktu ke jakarta makan di kaki lama sok bener deh perutnya langsung diare.. huhuhu.
Soal komplain di resto, jd inget kemaren mba di muffin McD ada kulit telor, pembeli nya balik lagi ke omise padahal udah abis itu makanan
akhirnya duitnya dikembalikan.. hahaha.
Hmmm..Aku kekenyangan kare nih mba..hehe bobo dulu ah.. oyasumi..
Di rumah makan Minang yang sudah kelas menengah, seperti Natrabu dll..saat kita baru duduk, juga diberi handuk basah. Dan saya sendiri lebih suka makan di restoran Padang daripada beli yang dibungkus, karena kalau dibungkus, kuahnya sudah bercampur, ini mengurangi selera makan plus saya nggak tahan pedas.
Membayangkan orang jepang yang bersihan, akan mudah sakit perut di Indonesia. Seperti sate, yang tradisional yang enak, yang dimasaknya diatas arang, dibanding yang dimasak di restoran yang warna satenya kurang matang (walau rasanya sih sama enaknya).
Rawon? Wahh Riku dan Kai suka Rawon? Juga Gen?
Soalnya buat orang lain, rawon kan warnanya hitam….btw saya baru suka rawon setelah menikah…hehehe…gara-gara suami suka rawon.
saya sampai sekarng malah gak doyan rawon lho Bu 😀
Wah kalau gak bisa mengesampingkan jijik, setiap kali bertualang di alam bebas pasti saya kelaparan, Mbak.
Apalagi kalau pas di kampung ada kendurian, makan bersama-sama dalam satu baki (nampan)….
hmmm… penduduk kota besar neee. kurcok ma wayoeng. kurang afdol tuh kl k Solo/Yk tnp mkn d warung..
hmmm.. aku hmpr g prnh mkn d resto Padang.. & seinget aku g ky gt sih yg d Solo.. hmmm.. kl d wkt y.a.d. aku mkn d resto Padang yg ky gt.. ngeles aja deh >..< (pantes gedenya ga jijikan)
oh, PS: di Indonesia.. (particularly Solo…) semakin joyok cemakin hwueeenagh! ^^
~LiOnA~
Hello…Saya dan Zainal sekarang di Bandung, holiday. Teringin juga mahu makan di tepi jalan..tapi takut..akan kebersihannya yang diragui. Makanya, terus ajalah ke restoran-restoran seperti Bumbu Desa, Sambara dan Nasi Padang (sudah lupa nama restorannya). Mungkin kalau ingin makan di tepi jalan harus ditemani oleh orang Indonesia..maka dia lebih tahu yang mana elok dan yang mana kurang. Agaknya….bila Gen san dan Imelda san mahu temani kami ke Jakarta?
aduuuuuh suliana….enak ya sedang jalan-jalan. Aku dan Gen tidak bisa ke Jakarta kalau bukan summer. Di Malaysia sedang libur? di Bandung menginap di mana?
EM
Mbak, saya kemarin nonton di teve, acara masak ulat jati, yang gendut-gendut menggeliat-geliat. Hwaaaa ….. saya langsung merem dan pindah channel. Hoek … hoek … 😀 (maap … mun-mun di TE )
lho mbak… kok bisa sama… menu kita hari ini juga rawon!!! hehehe.
iya ya bener juga tuh kalo di resto padang, kalo orang sebelumnya megang2 makanan kan kita gak tau ya. kok saya gak pernah kepikir gitu ya sebelumnya. hahaha. tapi kalo kebanyakan mikir malah jadi gak makan2 ya mbak… 😛
btw disini ada 1 resto namanya typhoon. isinya makanan dari negara2 yang pernah kena typhoon. nah disini ada tuh makanan yang aneh2. kayak semut, scorpio, dll. hahaha. kita sih gak pernah mesen yang aneh2 gitu sih… 😀
Saya kalau ke Jakarta, senang makan, makan terus, dan kalau pulang ke Barcelona, sudah naik 5 atau 6 kilo.
Ayam, udang, ikan, sampai kolesterolnya tinggiiiiiiiiiiii.
Salam
Makanya sukanya makan masakan Padang yang dibungkus aja, jadi ga kepikir kalo si lauk udah dipegang orang, hiks hiks..
Saya jijik banget kalo nemu di makanan ada rambut, bisa hilang selera makann.. entah kenapa.. padahal cuma rambut lurus, yang kalo dipikir-pikir ga akan berbahaya banget, tapi ga tau deh saya geli melihatnya ada di makanan saya Mba..
Dulu saya pernah punya teman yang rambutnya rontok.. dia masak, dan kemudian menawari kami makan di kamarnya.. tapi kamarnya penuh rambut, di baki, di piring, dan di dalam makanan juga ada 1.. waduh.. saya langsung ga jadi makan bareng dia..
Itu yg kusuka di jepang itu bersih dan serba higienis jadi ngga perlu takut pulang-pulang sakit perut atau keracunan. btw ditempatku ada semacam perkumpulan keagamaan yang makannya satu tampah besar nasi dan lauknya, dimakan barengan 5-10 orang, dari berbagai tangan ngucek dan ngaduk-ngaduk trus makan bareng-bareng. Di suatu tempat didaerahku ada yang makan nasi pake kuah teh…trus ada yang ikan asin dikasih kuah santan berbumbu…pernah nyoba tapi harus pake minum banyak-banyak bau amisnya itu..mending ikan asin goreng deh…pasti lezat! Rawon?…hmmm maknyusss…mau dooong.
wah…… kalau udah soal makanan saya g bisa komntar.. soalnya kanbeda-beda…
hehehe… bener juga tuh.. kalo orang Jepang makan di RM Padang bisa bingung..
waktu dulu aja saya juga sempat kaget lho mbak.. liat piring yang banyak banget..hihi
oh ya.. soal rambut..
pernah ada kejadian begitu.. saya panggil pelayannya dan saya bilang.. “mbak saya pesan menu ini tapi gak pake rambut”.. hihi…
Waaaaaaa.. ikutan nyicipin rawonnya dong mbak, hehehe…
Sup kucing?? hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…..
kalo kodok utuh dimasak?? Oh tidakkkkkkkkkkkkkkk….
soal rambut di masakan, saya sering juga nemuin tuh mbak, biasanya langsung saya tinggal dipiring dan keluar dari resto itu, tanpa ribut, tanpa claim macam2, apalagi kalo tipe pendek keriting tadi, hehehe…
yang lebih parah, saya pernah nemuin, ada lalat ijo, di piring..!! hoeeeeeekkkk… 🙁
Dlm perkamusan makanan, buat saya yang ada enak dan enak banget, cuma kalau beli makanan/cemilan, liat dulu abang yang ngelayaninnya kalau abis pegang rokok cuci tangan dulu nggak 😀
Tapi saya nggak mau nyoba makanan yang aneh2, kak, misalnya jangkrik itu, hehe.
Aku termasuk jijikan dalam beberapa hal. Kalau ada makanan dan ada ulat kecil gitu udah patah selera deh…Aku kan jijay bgt sama ulil…
Pernah juga kayak Bu Tuti, liat tayangan ulat jati, ulat sagu dan cacing wawo yg langsung dimakan mentah….huhghhh…lgs mual dan gak mau balik2 ke channel itu smp kira2 acaranya selesai…
Di sini, hampr semua penduduk makanan utamanya ikan. Di warung-warung makan juga kebanyakan ikan bakar yg dijual. Tapi aku ga suka ikan bakar di sini… karena ikan mentah langsung dibakar, hasilnya sebenernya kan setengah mateng, dan di bagian tertentu kadang masih mentah dan amis… aiii…. males ngebayanginnya… kalau sebelum ini, ikan bakar yang kukenal kan ikan yg udah mateng digoreng, baru dibakar utk “aroma bakar-nya” aja, jadi ikan bakar udah enak gurih full bumbu.
Sedangkan ikan bakar di sini, ikan mentah dibakar, pernah liat juga, nyucinya ala kadarnya gitu, plain, no taste, garam pun enggak pake. yang bikin sedap ya mengandalkan sambal aneka rupa… sampai sekarang aku ogah makan ikan bakar di sini Mbak… gimana gituu…
Mba’ imelda,
apa tanggapan orang jepang mengenai kebiasaan makan pakai tangan di Indonesia? 😀
saya penasaran. . . .
hari ini aku makan bakso mbak ^^
habis makan sama anak2 IT karena kita ada maintenance seluru area kantor hari ini dan kemarin.
kalau masalah jijik ini, di menado ada tuh kebiasaan penduduk asli sana makan tikus 😀 tapi mereka biasanya milih tikus hutan…tetep aja sih aku mah OGAH! hahahahaha
mak jleb, tante..
halah, kepencet deh enternya 😀
mak jleb, tante.. waktu tau temen saya ga bisa makan ikan teri (karena jijik), saya malah jadi tergoda buat maksa makan, huehue.. abisnya ikan teri kan favorit saya, enak banget gitu…
padahal saya klo dipaksa2 makan sesuatu yg saya ga suka/bisa, pasti juga bete..
Kamu bisa makan teri mentah ngga? hehehe Enak loh pake parutan daikon dan kecap asin. Cuma parutan daikon kadang pahit dan membuat bibirku gatel. Mungkin aku alergi. Anak-anak biasanya cuma teri mentah + shoyu aja
EM
Karena sudah terbiasa tinggal di asrama dengan cara makan seadanya, makanya aku tidaka terlalu jijikan. Yang penting halal, ya sudah, embat…. hahaha…
hihihi siiip aku setuju Uda. Embat aja yah
EM
Tentang reaksi saat ada “benda asing” di makanan kita, masalahnya, walaupun kita udah minta dikasih makanan yg baru, gimana kita bisa pastikan kalo itu makanan baru dan bukan makanan yg tadi cuma diambil benda asingnya aja? Kalo aku sih, ambil sendiri, lanjutin makan. Waktu bayar ingetin waiternya kalo tadi ada benda asing nyasar. Gak usah marah2 lah, namanya manusia bisa aja salah. Yg salah sistemnya, bukan orangnya.
Mba EM gak bisa marah?
Kalo dilihat dari avatarnya sih sy percaya 🙂
Saya juga punya bakat jijik, tapi gak terlalu.
Di tempat kami orang sangat pantang minum dari gelas yg sama, atau cuci tangan dari kobokan yang sama dengan orang lain.
Trus kalo bicara soal makanan yang aneh2 seperti kodok, ular, serangga dkk, sy nggak banget deh
sebentar… Abu kan dari sulawesi ya? Ibu saya pernah diundang makan di sana, makanan ditaruh di tengah-tengah lantai dan semua ambil dari tampah itu pakai tangan, Dan dengan tangan yang sama menyuap. Ibu saya tidak tahan (dia jijikan , ngga seperti saya hahaha)
EM
wah saya ga pernah komplain macem2 kalo nemuin rambut (rambut bukan keriting loh) hehe..buang aja trus terusin makan lagi..hehe..
hah?serius ada sup anjing? hiks..kasihan tuh anjing dijadiin sup..
btw saya jg pernah liat anakan buaya dipedagang kaki lima, kasihan, mau disate juga kayaknya..katanya rasanya enak gt kaya daging kalkun..
Saya?aduh amit2..tiap kali lewat jalan yang ada jual sate buaya ini langsung deh lari dan tutup mata tutup idung, ga tega liat dia dibantai dijadiin sate..hiks
Di Indonesia biawak kan juga dimakan. Katanya memang enak, seperti ayam. Aku belum pernah coba. Kalau ada boleh juga tuh daging buaya (paayanya ada ngga ya? hihihi)
EM
“Jijik” lain lagi mbak dengan yang ,mantan bos ku bilang (orang Jepang), dia jijik liat makanan menumpuk sebanyak itu dan masakan diolah kapan katanya, dan tidak pernah mau diajak makan ke resto padang, tidak fresh dia bilang, dan akhirnya tujuan akhir adalah resto yang menyajikan NASI GORENG hehehe…
*Menu hari ini, soup sawi putih + baso kesukaan Grego :)*
Ya, kalau orang Jepang selalu makan fresh, langsung masak, langsung makan. Dan aku sudah terbiasa begitu sekarang, cukup sediakan waktu max 1 jam sebelum makan. Makan yang fresh kadang lebih enak, tapi memang masakan Indonesia butuh diinapkan dulu supaya bumbu lebih meresap. Aku tetap berbahagia menjadi orang Indonesia kok
EM
hehe lucu yah tanggapan anak-anak murid ibu. jadi pengen wisata kuliner di Jepang nih 🙂
1. Hah, jeng Imel masak rawon kesukaanku…sadaf benar tuh. Tapi anak buah saya dulu nggak suka rawon karena jijik katanya. Sebuah warung di Surabaya malah membahasa-Inggriskan rawon menjadi ” black soup “. Ini dilakukan karena waktu di Australia katanya banyak yang tanya ini sup apa.
2. Makanan yang enak bagi sesesorang belum tentu enak bagi orang lain. Ketika saya sekolah di India sering diundang dinner para sahabat dan dosen. Nah lho, makanan itu pasti enak, namun ada suatu bumbu yang saya merasa kurang sreg dengan baunya. Akhirnya saya pilih yang gorengan2 saja.
3. Kodok saya pernah makan, namun tak pikir-pikir melihat kodok utuh dengan pose seperti itu kok rasanya geli dan gimanaaaaaa gitzuuuu…
4. Rambut pendek dan kriting kan belum tentu asalnya dari wilayah itu tho jeng, namun ya tetap bayangan kita kesana ya. Jadi lebih aman kalau tidak di emplok ha ha ha ha. Jeng Imel bisaaaaaaaaaa aja nyelipkan situasi itu.
5. Waktu di Tokyo saya diajak makan mi kuah, namanya lupa, kayak di kaki lima alias warung kecil. Porsinya mantaf dan kondusif wal nendang di perut. Cuma memang agak mahal untuk ukuran saya. Untungnya ditraktir.
6. Makanan agak aneh yang pernah saya santap adalah : laron (apa tuh bahasa Indonesianya ya), belut (yg kayak ular itu), kripik bekicot ( terkenal di Kediri),Kupang (binatang kecil2 di Surabaya), ubur-ubur (ini malah di Hotel besar je). Tapi sekarang dah nggak doyan lagi.
Terima kasih atas artikelnya tentang jijik-menjijik.
Salam hangat dari Surabaya
1. Aku pernah makan Buntut Rawon…duh enaknya
2. Bener Pakdhe. Aku juga tidak cocok dengan masakan India, karena banyak menggunakan lada. Aku pernah hampir masuk RS gara-gara sakit perut abis makan masakan India.
3. Kalau kodok utuh aku juga ogah
4. Idih pakdhe menegaskan asal si pendek keriting ….hahaha
5. ramen mungkin, porsinya gede banget kan?
6. belut jepang nomor satu pakdhe, banyak gizinya. Ubur-ubur biasanya ada sbg appetizer masakan Cina. Yang lain disebut belum pernah tuh 😀
Terima kasih untuk komentar yang muantap!
EM
kucing dibuat sup? waaah … kayaknya aku nggak doyan deh.
aku pernah makan belalang, enak deh. kalau anjing, aku juga pernah. dibuat tongseng. tapi jarang banget makannya. kalau nggak lihat aslinya, kayaknya aku masih doyan. 😀