Menoleh ke belakang

24 Mar

Ya masak sih menoleh ke depan? Tapi bisa menoleh ke samping loh 😀

Menoleh ke belakang, Furikaeru 振り返る merupakan kegiatan mengenang kembali, menilai dan menemukan perkembangan yang telah dicapai dalam waktu tertentu. Dan kami orang tua murid, sepuluh hari yang lalu berkumpul dengan guru untuk membicarakan hasil pembelajaran selama satu tahun di SD untuk Riku dan Kai. Hogoshakai 保護者会namanya, dan biasanya dilakukan 3 -4 kali setahun. Awal, pertengahan dan akhir tahun pelajaran. Seperti yang pernah aku tulis, murid SD menerima rapor langsung dari guru pada hari terakhir sekolah, jadi bukan orang tua datang untuk menerima. Untuk itu biasanya 10-15 hari sebelum sekolah berakhir, diadakanlah hogoshakai ini, tempat guru menjelaskan perkembangan murid sekaligus kepada orang tua, dan orang tua juga mempunyai kesempatan untuk mengenali orang tua teman anaknya. Tentu saja selain hogoshakai ini ada mendan個人面談, tatap muka untuk membahas empat mata antara orang tua dan guru, biasanya diadakan sebelum semester satu berakhir.

Di kelas Kai (1 SD), kami menerima penjelasan dari guru mengenai perkembangan anak-anak kami. Bayangkan yang bulan April tahun lalu lulus TK belum bisa baca tulis, sekarang sudah bisa 80 kanji dan menguasai hiragana dan katakana. Untuk berhitung sudah menguasai penambahan, pengurangan dan baca jam. Kata gurunya Kai: “Waktu awal tahun ajaran, masih ada murid yang masih takut ke WC, ngompol. Atau belum bisa pakai peniti nama di dadanya.. Atau pada wkatu istirahat, awal-awal anak-anak masih duduk di kelas terus, takut untuk bermain di halaman. Tapi setelah lewat setengah tahun, begitu bel berbunyi, langsung lari deh. Selain belajar, dalam pertemanan juga mulai ada friksi, tapi kalau dulu setiap bertengkar pasti nangis dan ngadu kepada guru, lambat laun mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Biasanya ada yang jadi penengah. Memang saya selalu mengajarkan bahwa jika terjadi pertengkaran, dua pihak harus mencari penyebabnya, lalu menyadari siapa yang salah, kemudian memaafkan.”

Soal bertengkar memang Kai sering mengadu padaku bahwa ada beberapa anak yang memang “tukang pukul”. Dia sering dipukul atau didorong oleh anak-anak tertentu. Kadang dia balas, tapi aku memang beritahu dia jangan membalas, lebih baik lari dan lapor guru. Mendengar nama-nama teman Kai yang bermasalah, aku bisa menduga bahwa mereka itu menderita Autis, yang membutuhkan perhatian dari sekitarnya dan gurunya. Jadi aku selalu bilang pada Kai bahwa anak itu “sakit” sehingga maklumi saja.

Setelah mendengarkan penjelasan guru, tiba giliran kami orang tua menceritakan kemajuan anak masing-masing selama satu tahun ini. Aku katakan bahwa Kai dalam segi belajar tidak ada masalah, karena dia selalu membuat PR begitu pulang sekolah, dan selalu memaksa aku mendengarkan dia membaca tugas bahasa (音読ondoku = tugas untuk membaca dengan keras supaya lancar). Belum lagi dia selalu memberitahukan padaku jika perlu membawa sesuatu keesokan harinya (dia telepon ke HP dan meninggalkan pesan) sehingga aku bisa menyiapkan dan membelinya jika perlu. TAPI ada satu masalah yang belum bisa diperbaiki yaitu bahwa dia TIDAK pernah bermain di luar rumah dengan temannya. Biasanya memang anak-anak SD sesudah pulang sekolah dan menaruh ransel di rumah, akan keluar rumah dan bertemu teman di taman untuk bermain. Sekolah juga dibuka untuk dipakai mereka bermain di halaman sekolah. Nah, Kai tipe indoor sehingga sepertinya di kelas dua aku perlu memaksa dia untuk keluar rumah supaya lebih aktif bergerak. (Kalau tidak bisa ndut deh hehehe)

Tadi pagi jam 11 Kai sudah pulang dan membawa rapornya yang bernama AYUMI (langkah). Hasilnya bagus dengan 4 point mendapat nilai bagus sekali. Lalu dia cerita, “Tadi sensei bilang kalau ada yang mau mengerjakan PR waktu liburan musim semi, silakan ambil fotokopi PR”
“Kai ambil ngga?”
“Ngga”
“Lohhhh, kok ngga?”
“Abis, kan liburan… ngapain kerjain PR waktu liburan. lagipula itu tidak wajib”
Hahahahaha aku tidak bisa tahan ketawa. Siiip deh! Aku tahu dia ingin libur, karena setiap hari dia SELALU mengerjakan PR dan belajar rajin. Sekali-sekali boleh dong santai.

Tapi tadi malam, ternyata dia sendiri membuat catatan kanji-kanji yang sudah diketahui sendiri dalam buku catatan pribadinya, dan mengerjakan latihan baca jam yang pernah aku print out dari internet. Makanya aku tidak pernah khawatir tentang Kai, karena dia tahu sendiri kemampuannya.

Soal Riku?
Hmmm aku perlu menulis banyak kalau ingin mnceritakan detil pembicaraan guru wali kelasnya dalam hogoshakai untuk kelas 6, kelasnya Riku. Tapi intinya, kelasnya Riku dikenal sebagai kelas yang brengsek! Nakal dan ribut, sampai wakil kepala sekolah harus berdiri di belakang kelas. Itupun tetap ribut. Memang aku sudah tahu dari Riku tentang kelasnya yang tidak menunjang untuk belajar, sehingga membuatku berusaha keras supaya Riku belajar tambahan di bimbel (dan aku bersyukur karena guru-guru di bimbel mengatakan bahwa Riku pintar). Paling tidak dia tidka ketinggalan dalam akademisnya. Dan aku tahu Riku orangnya tidak terpengaruh oleh kenakalan temannya, malahan dia merupakan korban dari segelintir anak nakal yang ada di kelasnya (ada sekitar 5 anak yang menjadi biang keladi). Sampai -sampai gurunya angkat tangan, dan mengadu pada ibu-ibu yang hadir bahwa pihak sekolah takut jika acara wisuda akan berantakan oleh ulah anak-anak nakal ini.

Anak-anak kelas 6 memang sudah mulai memasuki pubertas, suka melawan orang tua dan guru. Itu alami, tapi jika sampai merugikan orang lain, itu tidak benar. Ada istilah khusus untuk anak-anak biang keladi ini yaitu Monster Children. Sayangnya, kami orang tua diberitahu sudah hampir lulus. Coba diberitahu sejak awal mulai bermasalah, kami orang tua bisa ikut membantu guru. (Pihak sekolah memang tidak mau membebani orang tua). Setelah pembicaraan dengan kepala sekolah, beberapa ibu mengusulkan supaya ibu-ibu bergiliran datang ke dalam kelas dan memperhatikan, kalau perlu menegur dan membantu guru dalam kelas. Aku pun ikut dua kali dan aku melihat bahwa anak-anak biang keladi ini memang adalah anak-anak dari keluarga yang tidak harmonis, tidak mempunyai waktu untuk mengurus anaknya (karena ada bayi), atau karena memang tidak bisa menegur dan mendidik anaknya. Kasihan! ya, karena anak-anak ini kan cermin keluarga. Ada memang anak panti asuhan, sehingga aku maklum kalau anak itu kasar…dan meskipun kasar dia mau ditegur. Aku pun melihat bahwa anak yang dimanja oleh orang tuanya itu cukup parah nilai akademisnya. Duh….. bagaimana mereka di SMP ya?

Hari ini Riku pun membawa rapornya, dan nilainya cukup bagus, meskipun tidak sebagus semester pertama (padahal hasil testnya bagus-bagus). Aku tahu ini juga pengaruh dari semangat guru wali kelas yang sudah merasa bahwa seluruh murid di kelasnya itu nakal dan tidak memperhatikan pelajaran. Gurupun manusia yang bisa capek, sehingga menurutku masalah seperti ini pasti akan ada di setiap sekolah. Kebetulan saja Riku sial mendapat kelas yang brengsek.

Besok Riku akan wisuda. Riku lumayan senang karena dengan lulus, berarti dia akan mempunyai suasana kelas yang lain, yang baru di SMP. Kebetulan SMPnya Riku jauh dari rumah, dan hanya ada 9 teman SD yang melanjutkan di sekolah yang satu angkatannya 200 orang. Berarti sudah pasti harus membuat teman baru kan?
Aku cuma bisa berdoa semoga acara wisuda besok bisa berjalan lancar tanpa halangan yang berarti.

Yang satu suka baca, yang satunya lagi suka nulis! Tiap anak memang berbeda 😀