Pasti kita semua punya toko langganan ya, tempat kita pergi membeli sesuatu. Seperti temanku Mawar, punya pedagang Bacang langganannya. Atau temanku, punya langganan tempat minum. Aku sendiri punya langganan tukang sayur, yang setiap hari mengirimkan email harga-harga sayuran yang akan dijual hari itu beserta passwordnya. Jadi kalau menyebut password itu akan berlaku harga langganan yang tentu jauh lebih murah. Kalau untuk membeli daging dan ikan, di toko langganan yang lain lagi.
Kadang toko atau restoran langganan itu bukan (hanya) dari murahnya. Lebih karena service/ pelayanan mereka yang menyentuh hati. Seperti toko sayurku itu memang murah, tapi kami sering bercakap-cakap mengenai hal lain. Tapi kalau aku mau membeli apel atau stroberi yang enak dan bentuknya bagus, aku beli di toko lain. Harga, mutu dan pelayanan memang merupakan faktor yang menentukan waktu kita berbelanja ya.
Di dekat rumahku (dan dekat sekolah SD Riku) ada sebuah toko alat tulis dan keperluan sekolah. Baju olahraga, topi dijual di situ, sehingga paling tidak waktu masuk kelas 1 kami wajib ke situ. Semacam toko yang ditunjuk pihak sekolah. Ini saya rasa merupakan kebijakan pemerintah daerah juga untuk membantu toko-toko kecil di sekitar sekolah. Tapi biasanya orang-orang hanya membeli yang wajib saja di situ. Aku pun tidak sering pergi ke situ, hanya kalau perlu buku catatan saja. Lalu biasanya sekalian membeli bolpen, pensil atau kertas origami. Karena aku tahu bolpen, pensil dan kertas origami lebih murah di toko lain. Eh tapi di sini bisa membeli cat air satu warna saja, sehingga kalau cat air anak-anak habis aku membeli di sini.
Sejak kelas 4 Riku bisa pergi ke toko Hinokiya itu sendiri. Pemilik toko adalah seorang nenek yang ramah. Suatu kali Riku membawa uang 1000 yen untuk membeli buku catatan dan pensil merah. Waktu dia kembali ke rumah, dia heran melihat di dalam kantong plastiknya ada 1700-an. LOH kok bisa bawa 1000, kembalinya malah lebih. Lalu dia lapor ke aku, “Ma, aku kembali ke toko obasan dulu ya. Ini pasti obasan lupa ambil uangnya, tapi sudah kasih kembaliannya”
Lalu dia pergi, dan… obasan begitu terharu sampai dia diberi setip macam-macam bentuk. Obasan itu selalu memuji-muji Riku setiap aku datang ke sana. Dan tentu saja sejak itu aku juga berhati-hati mengecek uang kembalian, jangan sampai salah. Kasihan obasan kalau rugi kan.
Nah, Riku akan lulus dari SD. Sudah hampir dipastikan dia tidak berbelanja ke toko itu lagi. SMPnya jauh, dan di dekat SMP ada toko kecil lagi yang ditunjuk pihak sekolah. Jadi kemungkinannya akan berbelanja di sana, sepulang sekolah yang konon sampai jam 6 sore. Belum lagi dia ikut bimbel di dekat stasiun, sehingga bisa berbelanja alat tulis di toko-toko dekat stasiun. Karena itu aku mengajak Riku berbelanja terakhir di toko obasan sekaligus melaporkan bahwa dia akan lulus. Dan… obasan itu senang sekali karena diingat.
Aku pun bertanya, “Boleh aku memotret obasan dengan Riku?”
“Aduh aku belum sisiran dan tidak dandan….”
“Tidak apa-apa kok”
dan kami berfoto bersama…. sebagai kenangan antara pemilik toko dan pembelinya.
“Biarpun anak sulung kamu sudah ke SMP, kamu dan adiknya bisa datang ke sini kan? Kadang-kadang tengok saya ya. Aduh saya masih ingat waktu kamu antar Riku dengan perut besar lagi hamil anak kedua…”
“Iya nanti saya akan mampir. Nanti saya akan suruh Kai juga pergi belanja ke sini. Terima kasih ya selama ini”
“Saya juga terima kasih”
Riku dan aku meninggalkan toko itu membawa plastik berisi buku catatan untuk Kai, pensil dan beberapa setip hadiah dari obasan untuk Kai.
Osewaninarimashita.