Akhir tahun 2012, aku mengajak papa untuk pulang kampung ke Makassar. Sebetulnya ingin menghibur dirinya yang kehilangan mama pada bulan Februari, sekaligus memintanya menjadi “guide” bagi anak-anakku yang belum pernah ke Makassar. Padahal saat itu kondisi badannya tidak bisa dikatakan fit benar, karena sedang diobservasi jantungnya yang hanya berfungsi 20%. Jadi waktu itu aku mempunyai tanggung jawab memperhatikan 3 orang, papa (opa), Riku dan Kai.
Dalam perjalanan itu selain berwisata ke Bantimurung, aku pun mengatur pertemuan dengan Prof. Aminuddin Salle, teman papa yang kukenal lewat FB. Kusisihkan satu hari untuk bertemu dengan pak Prof. sekeluarga.
Tanggal 29 Desember 2012, Kami dijemput pak Prof beserta ibu di lobby hotel persis setelah kami makan pagi, pukul 7 pagi. Tadinya aku mengajak bapak dan ibu untuk sarapan bersama, tapi katanya sudah di rumah. Setelah berbincang-bincang di lobby, kami berangkat bersama. Tujuannya? Tentu berwisata ke desa Galesong, daerah asal Pak Aminuddin. Meskipun ada juga kemungkinan nenek moyang Coutrier berasal dari Galesong juga (sesuai percakapanku dengan Ria , putri Galesong yang konon eyangnya mengenal seseorang putri yang menikah dengan orang Belanda). Sepanjang perjalanan aku melihat sawah membentang dan… pohon-pohon Lontar. Tentu semua tahu kan bahwa Makassar mempunyai huruf yang diberi nama huruf lontar, dan sebagai media kertasnya dipakai daun lontar. Lontar juga menjadi bahan baku untuk pembuatan topi adat songkok guru.
Perjalanan yang lumayan jauh berakhir ketika kami sampai di Balla’ Lompoa (istana) Karaeng Galesong. Rumah adat yang tertata bersih dan rapih masih megah berdiri menjadi pusat kegiatan kerabat Galesong. Balla’ Lompoa ini merupakan tempat tinggal keturunan Karaeng Galesong yang terkenal dalam sejarah itu.
Karaeng Galesong putra Sultan Hasanuddin dari istri keempatnya bernama I Hatijah I Lo’mo Tobo yang berasal dari kampung Bonto Majannang. Karaeng Galesong bernama lengkap I Mannindori Kare Tojeng Karaeng Galesong yang lahir pada 29 Maret 1655. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, ia diangkat sebagai Karaeng Galesong (Galesong, termasuk bawahan kerajaan Gowa) dan kemudian menjadi panglima perang kerajaan Gowa. Pada waktu kerajaan Gowa dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1669, Karaeng Galesong bersama beberapa kerabat kerajaan melarikan diri ke Jawa karena tidak ingin berada di bawah jajahan Belanda.
Aku cukup heran ketika menaiki tangga Balla’ Lompoa, dan melihat piring-piring berjajar di ruang utama. Kamipun di antar melihat-lihat sekeliling sambil mendengarkan penjelasan dari Prof Aminuddin. Yang membuat aku terkejut waktu Pak Aminuddin menanyakan apakah aku keberatan jika diberi nama daeng? Wah, apakah aku bisa dan memenuhi syarat? Apakah aku yang tidak beragama Islam boleh? Tentunya kalau Pak Prof sudah menanyakan pasti beliau sudah berpikir masak-masak bahwa aku memang pantas menyandang nama Daeng. Dan aku dipilihkan nama SENGA yang berarti berani.
Pemberian nama Daeng Senga ini tentu tidak lepas dari pengaruh nama Daeng Labbang, yaitu papaku sendiri. Papa memang keturunan Makassar, masih bisa berbahasa Makassar dan tugasnya membuat sering mengajar di Universitas Hasanuddin, dan bertemu dengan Prof. Aminuddin. Waktu aku memberitahu papa, bahwa aku berteman dengan Pak Aminuddin di FB, papaku langsung berkata, “Ya, beliau teman papa! Mama beberapa bulan sebelum meninggal sempat datang ke Makassar dan bertemu Pak Aminuddin juga”.
Selanjutnya aku mengikuti acara padaengan yang dipimpin oleh Karaeng Tanang, disaksikan oleh Prof Aminuddin Salle Karaeng Patoto sebagai Ketua Dewan Adat Karaeng Galesong , Pemangku Adat Karaeng Gassing dan Kerabat lainnya. Upacara singkat dilakukan di bawah tangga ruang dalam Balla’ Lompoa, tangga yang menuju ke atas loteng tempat “pusaka” pemersatu Galesong berada. Aku merasakan kekhidmatan dalam upacara, dan merasa terharu bahwa aku sekarang menjadi bagian dari kerabat Galesong. Lebih terharu lagi ketika aku boleh naik ke tangga yang curam, menuju bagian atas Balla’ Lompoa dan melihat pusaka yang bisa digambarkan sebagai omikoshi (kuil) kecil di Jepang. Konon dalam acara-acara tertentu pusaka ini akan dikeluarkan. Aku ingin suatu waktu kelak mengikuti upacara di Galesong lagi.
Selesai acara pemberian nama, kami kemudian duduk kembali di ruang utama di depan piring-piring bertudung emas, yang rupanya berisi kue-kue khas Makassar dan lauk pauk untuk makan siang. Ikan merah asap merupakan makanan khas Galesong yang sangat enak, apalagi jika dicocol dengan sambal mangga muda. Riku pun makan banyak dengan ikan merah ini. Sementara Kai masih berada di halaman bermain dengan ayam-ayam yang berkeliaran.
Setelah makan, papa sempat bercerita bahwa dia teringat ada satu tantenya yang dulu dia kenal bernama Daeng Senga. Meskipun aku tidak mempunyai hubungan darah langsung dengan tante itu, semoga aku bisa membawa nama “berani” ini dengan lebih berani. Juga bisa membantu menyebarkan kebudayaan dan daya tarik Galesong setelah aku mempelajarinya juga. Maklum aku benar-benar nol pengetahuannya tentang Galesong, bahasa dan adat istiadat Makassar. Memang setelah pemberian nama ini, Prof Aminuddin selalu memanggilku Daeng Senga (di FB). Awal-awal aku merasa aneh memang karena belum terbiasa, tapi sekarang aku sudah memanggil Pak Prof dengan Karaeng Toto.
Kami akhirnya meninggalkan Balla’ Lompoa dan mampir di rumah pengrajin Songkok Guru, dan sempat melihat proses pembuatan Songkok Guru dari dekat. Riku terlihat ganteng memakai topi khas Makassar itu.
Dalam perjalanan pulang ke hotel, kami juga sempat mampir di warung untuk istirahat minum dan makan jagung. Jagungnya kecil buntek berbiji bulat berwarna putih, tapi enak! Lain dengan jagung biasa yang kuning yang lebih banyak kandungan airnya, jagung putih ini benar-benar dapat dipakai untuk menahan lapar dalam perjalanan.
Kenalkan namaku : Imelda Coutrier Daeng Senga!
Sekarang aku harus membiasakan diri menerima panggilan sebagai Daeng Senga, dan membiasakan juga memanggil teman-teman dari Makassar yang sudah mempunyai nama daeng sejak lahir, seperti Jumria Daeng Tugi.
Oh ya PR ku juga, untuk mempelajari tulisan lontar! **panik** hehehe
(tulisan yang tertunda sejak 29 Desember 2012)
Riku lucu pake topi itu mbak.
Welcome to the club Daeng Senga.
kenalkan namaku Jumria Rahman Daeng Tugi 😀
senangnya bisa makan masakan makassar dan kue2 itu loh cuman bisa di dapet kalo ada acara aja loh mbak, beruntungnya dirimu!
Halo Daeng Tugi… salam kenal, hehehe… 😀
wah mau kenalan lagi deh kalo gitu sama daeng senga… 😀
Wah,ternyata ada upacaranya juga ya mbk,,saya penasaran sama daun lontar,ohya,topi/songkonya khas banget deh makasar punya 😀
Semoga DAENG SENGA menjadi pengikat persaudaraan tanpa perbedaan etnis maupun agama.
Amin Karaeng Toto… Mohon bimbingannya selalu. Salam untuk semua keluarga di sana.
Saya sudah kangen lagi dengan Dzaki dan mamanya
Menjura hormat untuk Imelda Coutrier Daeng Senga
Semakin berakar kuat dalam budaya Makasar
Riku dan Kai juga tekun dalam ziarah budaya ini ya mbak.
Terima kasih mbak Prih… semoga saja mereka masih mau belajar kebudayaan orangtuanya terus.
Salam takzim Onechan Imelda Coutrier Miyashita Daeng Senga.. 🙂 Keren banget..
Ini tentu menjadi pengalaman tersendiri bagi Riku dan Kai ya Nechan..
Salut dengan usaha Nechan untuk terus membuat mereka tersambung dengan leluhur dan budaya asalnya.. (y)
Kalau bukan orang tua yg mengajarkan akar budaya, bagaimana anak-anak bisa tahu?
Terima kaish ya Uda
Salam kenal ulang ya Daeng Senga 🙂
Salam juga mbak Evi
Baru tahu kalo Mbak Imelda ada darah Makasarnya
Salam kenal Daeng Senga 🙂
Salam kenal balik Esti hehehe
(Banyak mengira saya org Ambon atau Menado atau bahkan batak…. tapi yang benar separuh Makassar)
Pingback: Daeng Senga Pulang Kampung | Twilight Express
Selamat Daeng Senga….menurutku nama itu cocok dengan kepribadian Imelda.
Senang membaca cerita ini, sarat pengetahuan dan budaya yang terkandung.
Wahh jadi pengin ikut ke Makassar kalau tahun depan Imel mau ke sana lagi….
Terima kasih bu Enny.
Waaah bisa dipikirkan tuh bu, wisata ke Makassar bersama. Sekaligus ke Galesong apalagi hehehe.
Ada pantai yang terkenal di sana, dan aku belum pernah sampai sana. Bisa dimasukkan dalam catatan menunggu perwujudan ya bu
Saya pikir selama ini Mbak Imelda eh Daeng Senga asli jakarta atau keturunan Manado, ternyata masih keturunan Makasar.
Saya membaca dengan pelan-pelan mengikuti perjalanan yang sangat mengharukan ini. Apalagi ketika uparaca adat dilangsungkan, benar-benar ikut merasa luar biasa.
Selamat menjadi Daeng Senga
Waaah agak2 merinding membacanya, Kak …. ah saya mau panggil Kak Senga deh. Kalo di sini, kami memanggil Kak sama yang usianya lebih senior 🙂
Kalo yang macam acar itu namanya raca’-raca’ mangga, Kak Senga, itu sambal tradisional Makassar, juga di daerah Bugis. Malah di daerah Bugis ada lho yang suka makan nasi pake mangga masak yang sudah manis. Tante saya ada yang suka makan nasi dengan mangga masak 🙂
ah! Mangga masak ya? Bisa dibayangkan karena ada juga yang makan nasi ketan dengan mangga masak, seperti juga dengan durian.
Raca-raca? tinggal pindahkan huruf “r” nya hehehe
Terima kasih dik Niar untuk komentarnya.
kenalkan namaku daeng labbang aku sekarang ini tinggal di malaysia
Kalau Ke Galesong lagi,, sempatkan singgah berkunjung di toko kt daeng senga,, Galesong Clothing, Toko Kaos Oleh2 Khas Galesong…
Kami jg ad di FB (Galesong Cloth)..
Makasih Daeng Senga.. Numpang Promosii..