Di Jepang, beberapa tahun yang lalu, kalau membeli unit telepon genggam, berarti membeli nomor. Nomornya sudah terdapat di dalam teleponnya, sehingga kami tidak bisa menukar unit telepon seperti di Indonesia. Kalau di Indonesia kan gampang saja bisa mencopot SIM Cardnya lalu “pinjem” telepon teman dengan nomor kita sendiri. Sekarang Jepang sudah memberlakukan SIM Card terutama sejak smartphone menjamur. Tapi kalau kami tidak minta khusus kepada provider, kami tidak mendapat SIM Card. Jadi istilah SIM Card termasuk baru untuk orang di Jepang.
Sering aku mendapat pertanyaan dari teman di Jakarta, apakah dia bisa membeli SIM card di Jepang, seperti biasanya di Indonesia bisa membeli nomor perdana dan mengisi pulsa. Well, tidak bisa! Tidak ada penjualan SIM Card/nomor tanpa unit telepon. Adanya rental telepon dengan pra bayar. Sehingga biasanya teman-temanku itu memakai telepon yang diaktifkan pemakaian internasionalnya (roaming), dan memakai wifi gratis jika mau mengirim sms/data.
Tapi dua hari yang lalu aku membaca di surat kabar Asahi, yang menuliskan bahwa NTT mengeluarkan SIM Card untuk data bagi pelancong atau pebisnis yang datang ke Jepang. Sebelum mendarat di Jepang bisa membeli via internet lalu begitu sampai di Jepang bisa ambil di Narita/Haneda atau di hotel. Pemakaian SIM Card data ini berlaku untuk 14 hari (cukup jika dapat visa 15 hari kan?) . Jika dalam satu hari memakai kurang dari 100Megabyte, maka bisa mendapatkan koneksi supercepat. Untuk email kira-kira 10.000 surat elektronik, kalau untuk menonton Youtube bisa sekitar 45 menit. Layanan ini dimulai untuk menyambut kedatangan wisatawan asing menghadapi olimpiade 2020 yang diperkirakan akan menarik wisatawan dan pebisnis lebih banyak lagi.
Kupikir NTT adalah yang pertama membuat terobosan SIM Card- prepaid bagi wisatawan, tapi ternyata J-Com sudah menyediakan b-mobile dan So-net juga sudah menyediakan Prepaid LTE SIM. Tapi dikatakan bahwa dibanding dua perusahaan pendahulunya, NTT lebih murah yaitu seharga 3500 yen (di luar tax) .
So, kalau datang ke Jepang sudah tidak perlu khawatir lagi, bisa membeli SIM Card prepaid, yang bisa dipasang langsung pada telepon genggam yang Anda bawa dari Indonesia. Setelah habis tentu saja bisa buang, atau beli baru lagi. Tapi memang sih kalau suka gratisan, tentu maunya pakai wifi gratis ya….. Di Jepang memang masih sedikit tempat umum yang menyediakan wifi gratis. Semoga saja menjelang Olimpiade, semakin banyak tersedia wifi gratis di Tokyo ya.
Pesan Yanz, temanku: “HP dipastikan yang keluaran terbaru, kalau yang butut sih yah sebaiknya disimpan aja, atau sewa Wifi Modem” dan “Blackberry nya kalau yang sudah LTE/3.5G atau keluaran terbaru yang OS nya terakhir mungkin bisa, namun yang Blackberry konvensional menggunakan Modem Wifi saja” hehehe. Demikian laporan dari Yanz yang baru saja mencoba pemakaian SIM Card b-mobile untuk keluarganya.
Seperti yang sudah kutuliskan di posting-posting sebelumnya, aku memang menjadi sangat sibuk sejak bulan April lalu. Setiap hari kerja aku harus pergi mengajar, dan tempatnya jauh. Kira-kira makan waktu 2 jam dari rumahku. Sebetulnya kalau aku mau, aku bisa minta kamar untuk menginap di tempat itu, karena tempat ini adalah semacam mess pelatihan dengan banyak kamar, tapi tentu saja sebagai seorang ibu, aku tidak akan merasa tenang jika tidak meyakinkan diri bahwa anak-anak akan pergi ke sekolah dengan segala persiapannya. Membangunkan mereka (Riku bisa bangun sendiri, tapi Kai sulit bangun), kemudian menyiapkan sarapan dan tas mereka, bahkan jika aku harus menyiapkan juga makan sore/malam mereka. Biasanya aku bangun jam 4 untuk masak dan menyiapkan bahan pelajaran. Dan karena sejak masuk bulan Juni, kelembaban udara naik dan menyebabkan kami tidak bisa menaruh makanan di luar terlalu lama. Untung saja anak sulungku sudah bisa memanaskan dengan microwave.
Tapi untungnya pekerjaan di sebuah institut negara ini sudah selesai kontraknya sampai tanggal 18 Juni yang lalu, sehingga mulai tanggal 23, aku bisa leyeh-leyeh di rumah dan mengerjakan apa-apa yang tidak sempat kukerjakan selama ini. Benar-benar dua setengah bulan yang memeras tenaga dan pikiran. Tapi, selama itu sedikitnya ada dua kali peristiwa yang membuatku merasa aman.
Pertama waktu terjadi hujan lebat dan angin puting beliung di daerah rumah kami. Aku mengetahui kejadian tersebut dari layanan email kelurahan kami bahwa daerah kami terkena hujan badai setempat serta guntur, Dan di jalan rumahku listrik mati. Padahal di tempat kerjaku terang benderang… wah bagaimana nih. Aku tanya “adik lesung pipit”ku Sachan yang rumahnya terletak di kelurahan sebelah, dan memang bener terjadi hujan lebat. Aku coba telepon ke rumah tapi tidak bisa sambung… benar saja apartemenku mati listriknya. Sempat khawatir akan kondisi Kai yang pulang sendiri, tapi kemudian ada email dari sekolah yang bertuliskan, “Karena hujan keras dan guntur, murid kelas 1 yang seharusnya pulang, kami suruh tunggu di sekolah sampai hujan reda” Ahhhh rasanya lega sekali. Pasti lebih aman berada dalam sekolah (padahal sekolah juga padam listriknya). Sambil bergegas pulang, aku perhatikan HP terus. Tak lama aku menerima email dari kelurahan yang menyatakan bahwa listrik di jalan apartemenku sudah nyala kembali, dan email dari SD bahwa anak-anak sudah diperbolehkan pulang. Legaaaa sekali rasanya, dan saat ini aku berterima kasih sekali akan pelayanan pemerintah daerah tempat tinggalku yang sudah memberikan rasa aman.
Memang untuk mendapatkan layanan email ini perlu pendaftaran sendiri, dan aku sudah lakukan cukup lama. Aku bisa pilih pemberitahuan apa saja yang aku mau, dan aku pilih “keamanan” dan “Cuaca”. Kadang jika terjadi kejahatan minor, akan ada laporannya via email pagi hari. Misalnya “kemarin waktu pulang sekolah, seorang murid wanita di jalan xxx ditanya oleh seorang laki-laki separuh baya letak WC umum dan mengajak pergi bersama. Tapi si murid lari.” Sehingga ibu-ibu bisa mewanti-wanti anak perempuannya, terutama jika berjalan ke arah jalan itu.
Nah peristiwa kedua terjadi hari Senin kemarin. Rupanya ada kejadian percobaan perampokan di sekitar stasiun dekat rumahku. Memang perampokannya bisa digagalkan, tapi pelakunya lari. Nah, ditakuti kalau dia lari ke daerah perumahan dan sekolah. Sehingga anak-anak disuruh pulang berkelompok dan tidak keluar bermain sendiri. Ini kuketahui dari email sekolah, dan aku cukup merasa aman dan tenang waktu anak-anak telepon ke HPku dan memberitahukan bahwa mereka sudah di rumah.
Waktu itu, aku sedang jalan dengan Sanchan ke Showa Memorial Park. Kami berdua sudah lama tidak bertemu dan masing-masing sibuk, sehingga begitu ada waktu kosong, kami janjian untuk bertemu. Sebetulnya bingung juga antara ingin istirahat di rumah atau pergi berdua. Tapi karena memang sulit mencocokkan jadwal, kami akhirnya janjian pergi ke Tachikawa. Tanpa lunch karena sudah siang waktu kami keluar rumah. Untung saja aku sempat membeli roti sandwich untuk dimakan jika kelaparan.
Kami masuk ke areal taman pukul 2 siang. Dan kami memutuskan untuk menyewa sepeda supaya bisa mengelilingi taman yang cukup luas ini. Biaya sewa 410 yen untuk 3 jam, tapi kami harus kembali pukul 4:30 karena taman tutup pukul 5. Tapi yang pasti, kami merasa bersyukur menyewa sepeda. Meskipun banyak tanjakan juga, kami bisa menghemat waktu dan bisa melihat banyak meskipun tidak semua. Kebanyakan di daerah tepi jalan sepeda saja.
Yang pasti kami senang bisa menemukan rumpun ajisai putih. Bunga hydrangea ini umumnya berwarna biru, sehingga yang putih bersih jarang ditemukan. Selain menemui pohon-pohon aneh, kami juga sempat berfoto di jalan yang dinaungi pohon ginkyo. Damai sekali rasanya melihat bunga-bunga dan pohon-pohon di sini. Kalau musim gugur pasti lebih indah deh. Kami berencana untuk pergi ke sini lagi, nanti sekitar bulan Oktober, dan tentu menyewa sepeda lagi 😀
Tujuan kami sebetulnya adalah Taman Jepang, karena meskipun aku sudah beberapa kali ke sini, belum pernah masuk ke Taman Jepang. Kebetulan di situ juga sedang ada pameran Bonsai. Terkaget-kaget kami melihat tulisan nama bonsai di situ, karena tercantum juga usianya. Yang paling tua berusia 300 tahun dan termuda 15 tahun. Orang Jepang benar-benar telaten merawat bonsai, yang sudah pasti dilanjutkan turun temurun.
Karena lapar, akhirnya kami makan roti di parkiran sepeda, kemudian pulang mengembalikan sepeda. Tak ada waktu lagi untuk makan bareng, karena aku juga harus berbelanja dan menemani anak-anak di rumah. Tapi paling tidak dalam satu hari itu aku sudah menggunakan waktu me-time dengan bermanfaat (bersepeda bersama sahabat) dan merasakan aman dan damai!
Tahu dong artinya merinding itu apa. Kata dasarnya rinding, tapi kalau kita cari di KBBI penjelasannya sbb: 2rin·ding, me·rin·dinga terasa bangun bulu kuduk; ngeri; seram: ia ~ mendengar suara makhluk itu; me·rin·ding·kanv menyeramkan; mengerikan: teriakannya keras ~ yg mendengarkannya Hmm berarti kita sebetulnya tidak boleh memakai kata “merinding” untuk menyatakan kekaguman bercampur terharu seperti waktu melihat foto ini:
Aku tidak menyoalkan apakah foto itu benar atau tidak, atau dalam rangka apa dsb tapi membayangkan orang segini banyak yang mau mendengarkan seorang calon presiden berbicara, rasanya tidak salah kalau aku mengatakan bahwa aku merinding melihat foto itu. Dan kurasa banyak orang akan setuju denganku untuk pemakaian kata merinding seperti di atas, kan?
Sama halnya, aku juga merinding, ketika sekitar 100-an WNI berkumpul di sebuah gedung di Shibuya, untuk mendukung calon presiden nomor 2 dalam acara Deklarasi Dukungan terhadap Jokowi. Pendukung menandatangani deklarasi di akhir acara dengan penekan 7 point yaitu baru, bersih, Bhinneka, terbukti, terbuka, demokratis, dan merakyat. Tak kusangka begitu banyak orang yang hadir saat itu, mengingat pengumpulan hanya dilakukan via FB. Acara dibuka dengan lagu Indonesia Raya dan ditutup dengan Padamu Negeri. Aku berusaha menahan haru waktu menyanyikan lagu kebangsaan, yang terus terang sudah lamaaaaa sekali tidak kunyanyikan. Apalagi lagu Padamu Negeri. Karena aku dan beberapa teman di sini bekerja dalam lingkungan orang Jepang, sehingga otomatis tidak ada kesempatan menyanyi lagu-lagu Indonesia. Aku merinding sekali melihat antusiasme teman-teman dengan mendatangi venue acara dari berbagai penjuru Tokyo (kami berkumpul dulu di depan patung anjing Hachiko lalu jalan bersama), dan kemudian bersatu suara menyanyikan lagu serta bersepakat untuk memilih calon presiden nomor 2. Seperti halnya aku, banyak teman di sini yang sudah bertahun-tahun menjadi golput, tapi kami merasa bahwa tahun ini kami wajib memakai hak suara kami.
Aku sebenarnya tidak pernah mau menunjukkan dukungan kepada salah satu capres. Tidak di FB, tidak juga di blog sini, karena aku menganggap setiap orang memang mempunyai hak untuk memilih yang menurutnya terbaik. Aku anti meneruskan link, baik yang memuji capres dukunganku, maupun link yang menjelekkan capres yang bukan pilihanku. Kupikir sudah saatnya warga Indonesia untuk mempelajari ,menilai dan memilih secara dewasa, tanpa perlu ada pengaruh dari pihak lain.
Jadi pakailah kesempatanmu untuk mengikuti pemilu presiden di Tokyo, dengan mendaftarkan secara online melalui PPLN Tokyo. Pemilu di Tokyo akan diadakan tanggal 6 Juli, di SRIT, tapi tentu Anda juga bisa minta supaya kertas suara dikirim ke rumah sebelum tanggal itu. Yang mau bergabung mendukung Jokowi di Jepang silakan langsung mengisi deklarasi secara online.
Pernah mempelajari bagaimana berdiskusi yang baik? Aku sendiri lupa-lupa ingat, apakah aku belajar berdiskusi di sekolah atau di latihan kepemimpinan. Maklum sudah banyak kali mengikuti latihan kepemimpinan, sampai lupa apakah pernah belajar berdiskusi di SD.
Pagi ini aku mengunjungi sekolah Riku dan Kai dalam rangka Open School SD Negeri daerahku, yang merupakan kegiatan berkala sekolah itu. Karena Gen bekerja, dan palajaran yang diberikan hari ini hanya 4 pelajaran, aku cepat-cepat keluar rumah dan mengikuti dari pelajaran pertama pukul 8:35 di kelasnya Riku, kelas 6. Dia memang mengatakan padaku, “Mama kan musti lihat kelasnya Kai juga, mending ke kelas aku jam pertama, lalu jam kedua ke kelas Kai. Jam pertama aku akan ada pelajaran diskusi”.
Diskusinya bertemakan “Untuk sarapan, lebih baik roti daripada nasi”. Kemarin malam dia sempat bertanya-tanya pada papanya karena dia masuk grup yang memihak nasi, dan harus mengemukakan keunggulan nasi daripada roti. Dari soal kalori, soal kemudahan persiapan, soal kebudayaan orang Jepang yang makan nasi dsb. Yang lucu Gen sempat mengatakan begini, “Kalau bangun pagi, apakah cuci tangan dulu sebelum makan? Biasanya tidak kan? Padahal kalau makan roti pasti pegang langsung pakai tangan, sedangkan makan nasi tidak. Pakai sumpit kan? Jadi lebih bersih nasi!” hahaha…. ya benar sih, aku jadi ingin tanya apakah orang-orang itu cuci tangan ngga ya kalau makan pagi. Kalau makan siang/malam memang pasti cuci tangan dulu, tapi pagi2 begitu bangun duduk dan makan? hihihi. Aku sih pasti cuci tangan, karena aku yang masak 😀
Sepanjang yang kulihat tadi, anak-anak kelas 6 sudah lumayan untuk berdiskusi. Tidak ada yang bertengkar, atau menjelek-jelekkan lawan, atau bicara dengan “membodoh-bodohi”. Di kelas 5 mereka hanya belajar diskusi dengan dua grup, pro-kontra dan diketuai moderator, dilengkapi pencatat untuk grup pro dan pencatat grup kontra serta penghitung waktu. Tapi kali ini ditambah dengan grup pengawas dan grup ini yang memberikan keputusan siapa yang paling bagus memberikan argumen. Semoga saja di SD Indonesia juga mempelajari cara berdiskusi yang baik ya.
Pada jam pelajaran ke dua aku ke kelas Kai, dan mereka sedang belajar etika. Setiap anak dibagikan lembar pertanyaan seperti : Apakah kamu punya adik laki-laki? Apakah kamu suka susu? dsb sebanyak 10 pertanyaan. Setiap anak harus secara aktif menyapa teman, memberikan salam lalu menanyakan satu pertanyaan yang ada. Kalau benar, temannya akan memberikan tanda-tangan, sedangkan kalau salah, dia harus mencari teman lain yang kira-kira jawabannya benar. Tujuannya untuk membuat murid-murid tidak takit bertanya dan berkomunikasi. Belajar bermasyarakat. Terutama karena mereka baru kelas 1 dan belum begitu mengenal teman-teman sekelasnya.
Dan Kai? aduuuh dia cuek beibeh dan tidak bisa menyapa teman-temannya untuk bertanya duluan. Kalau ada yang menghampir dia, dia sih akan jawab, tapi dia sendiri tidak aktif! Pemalu! Sampai aku melotot-melotot dari jauh menyuruh dia berbaur dengan temannya. Untung saja gurunya juga memperbolehkan bertanya pada orang tua yang berdiri di belakang, sehingga paling tidak Kai bisa bertanya padaku 😀 Tapi untunglah pada akhir pelajaran dia berhasil mendapatkan 6 tanda tangan dari 10 yang harus dikumpulkan. Duh Kai~~~~
Selesai jam kedua, aku cepat-cepat pulang untuk menjemur cucian, kemudian pergi ke dokter gigi untuk memeriksa luka bekas cabutan minggu lalu dan membersihkan karang gigi, yang sebetulnya harus dilakukan 6 bulan sekali (aku sudah “bolos” 2 tahun euy hihihi).
Hari ini panas, max 30 derajat saja! Sudah summer! (Dan semoga musim hujannya sudah selesai, karena hujan terus menerus seminggu yang lalu, pakaian jadi anyep, tidak kena matahari)
Tahu Ghana? Ghana adalah salah satu negara di Afrika. Tapi kalau kamu tinggal di Jepang, pasti tahu merek coklat “Ghana” yang agak bitter sweet itu. Kenapa tiba-tiba Imelda menulis tentang Ghana? Sebetulnya aku ingin memperkenalkan sebuah gerak dan lagu yang berjudul “Che Che Kule” yang merupakan lagu rakyat Ghana, dan kalau di bahasa Jepangkan menjadi CHE CHE KORI, CHE CHE KORISA. Sebuah gerak dan lagu yang diketahui SEMUA anak Jepang! Di TK dan SD pasti dalam acara kumpul-kumpul olahraga ada penampilan lagu ini. Biasanya dipadukan dengan lomba memasukkan bola merah dan putih ke dalam keranjang di tengah lingkaran. Ibu-ibu Indonesia yang tinggal di Jepang dan menyekolahkan anaknya di sekolah Jepang pasti tahu deh.
Ini merupakan penampilan kelas satu SD, termasuk Kai dalam acara pertandingan olahraga UNDOKAI yang telah dilaksanakan tgl 30 Mei yang lalu. 90 anak yang terbagi dalam dua kelompok Merah dan Putih (silakan baca tulisanku yang ini) membuat dua lingkaran besar, yang mengelilingi keranjang untuk dimasuki bola. Tapi sebelum memasukkan bola itu, mereka harus goyang badan dulu sesuai irama Che Che Kori. Baru setelah lagu berhenti di tengah-tengah, mereka berebut menuju tengah lingkaran dan memasukkan bola yang dipegangnya ke dalam keranjang. Namanya anak-anak main asal lempar sehingga lebih banyak bola yang keluar daripada yang masuk. Setelah peluit ditiup, mereka harus kembali ke tempatnya, dan guru melakukan penghitungan kelompok mana yang terbanyak memasukkan bola ke dalam keranjangnya. Setelah diketahui siapa yang terbanyak, lagu che che kori dilanjutkan lagi. Dan ini berulang sampai 3 kali. Hasilnya? Kelompok putih, kelompok Kai menang. Oh ya dalam undokai tahun ini baik Riku maupun Kai masuk dalam kelompok Putih. Untung saja sama, karena kalau tidak mama papanya bingung mau mengunggulkan kelompok yang mana 😀
Selain permainan dengan lagu Che Che Kori itu, Kai juga melakukan satu lagi gerak dan lagu, dan lari 50 meter. Yang lucu Kai sudah sejak seminggu sebelum pelaksanaan undokai itu minta maaf padaku kalau dia menjadi yang paling buntut. Hmmm aku sih mengatakan tidak apa, tapi sebetulnya dia bisa tuh. Hanya malas saja! Kelas 2 kudu diperbaiki deh. Sedangkan Riku, tahun ini dia bertugas lagi berdiri di depan waktu senam pemanasan dan pendinginan, kemudian lari 100 meter, pertandingan kuda kibasen dan senam eksibisi. Aku selalu kagum pada pertandingan kibasen 騎馬戦, yaitu setiap grup 4 orang, tiga yang menggendong (sebagai kuda) seorang (sebagai serdadu). Serdadu harus mengambil topi lawan untuk menang. Ibaratnya permainan catur. Berat! Pasti berat karena harus menopang teman sambil berlari dan harus punya strategi. Kenapa orang Indonesia tidak pernah coba permainan ini ya? Hasil pertandingan kelompok putih dan merah campuran murid kelas 5 dan 6 ini dimenangkan oleh kelompok merah.
Untuk senam eksibisi tahun ini berjudul “Michi” (jalan), dan memang tahun ini tidak ada piramida manusia seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi cukup menarik gerakan yang diperagakan, terutama gerakan ombak yang begitu serasi. Tanpa terasa aku dan papanya beberapa kali menghapus air mata. Anakku sudah menjadi kakak kelas yang tertinggi di SD dan memang sesuai judul senam eksibisi itu, dia sudah mulai menemukan “jalan” di SD dan akan menghadapi “jalan” lain yang lebih rumit di SMP. Dan yang ditekankan dalam senam eksibisi ini adalah kerjasama. Tanpa ada kerjasama dan latihan yang baik, tidak akan bisa menghasilkan gerakan yang bagus.
Undokai yang dilaksanakan sejak pukul 9 pagi dalam terik matahari yang pada hari itu Tokyo mencapai maksimum temperatur 32 derajat, ditutup dengan acara menggulirkan bola besar yang berwarna merah dan putih. Sekali lagi kelompok putih kalah cepat membawa bola besar itu dibandingkan kelompok merah. Keseluruhan pertandingan hari itu dimenangkan oleh kelompok merah, hanya dengan beda 10 point.
Undokai tahun ini merupakan undokai terakhir di SD bagi Riku, dan undokai pertama di SD bagi Kai. Baru tahun ini juga aku mengikuti semua pertandingan sebagai penonton berdua dengan Gen. Selalu ada rasa haru akan kegiatan yang amat bermanfaat ini, dan merasa bahwa seharusnya di sekolah Indonesia pun dilaksanakan acara-acara semacam ini. Bukan pertandingan perorangan, tapi pertandingan secara kelompok yang lebih mengutamakan kerjasama banyak orang. Apa salahnya orang Indonesia juga meniru kegiatan dari luar negeri yang positif. Sama seperti Jepang yang ternyata juga meniru dan mengadaptasi lagu dari sebuah negeri yang jauh, Ghana, dalam kegiatan anak-anak dan menyebar ke seluruh Jepang. Waktu kubaca, mereka mengetahui lagu Che Che Kule ini dari kegiatan pramuka Internasional yang diadakan di Jepang. Dan ini juga mengingatkanku bahwa cukup banyak orang Jepang yang juga mengetahui lagu Nona Manis, karena pernah diperkenalkan dalam kegiatan pramuka juga. Nona Manis ini diterjemahkan menjadi Kawaii Ano ko wa dareno mono.かわいいあの娘は誰のもの. Cobalah tanya pada orang Jepang yang berumur, pasti tahu deh hehehe. Akhirnya selesai juga tulisan ini hehehe
Pagi ini aku melihat foto-foto dari kakak kelasku, Pipin di FB nya mengenai foto-foto sekolah SMA kami yang telah menjadi baru. Ya, kami kangen suasana dulu waktu kami menempuh ilmau di sana, dalam segala kekurangan (sering banjir) dan kesederhanaannya. Setahuku sekolah kami ini sudah berusia lebih dari 50 tahun, tapi tepatnya berulang tahun kapan, aku tak tahu. Kamu tahu? (Kalau universitas tempatku mengajar aku tahu sih, karena tanggalnya lain-lain)
Hari ini merupakan hari libur untuk Riku dan Kai, karena hari ini dinyatakan sebagai hari pendirian sekolah. Sekolah ini didirikan tahun 1977, tapi pastinya bukan tanggal 10 Juni. Karena tahun ajaran di Jepang mulai April, jadi pasti dimulai bulan April. Dan setelah aku browsing, ternyata banyak sekolah yang merayakan hari pendiriannya di bulan Juni. Kenapa begitu?
Rupanya hanya menghindari hari-hari sibuk di awal tahun ajaran, dan bulan Juni itu tidak ada hari libur resmi nasional. Dan mungkin saja terpilihnya tanggal 10 Juni karena hari ini merupakan hari peringatan WAKTU, Toki no kinennbi. Hari peringatan bukan hari libur ini ditetapkan tahun 1920, untuk membuat masyarakat Jepang sadar akan waktu. Bisa dilihat bahwa sejarah Jepang memang membuat masyarakatnya menghargai waktu sampai se-detik-detik-nya 😀
Jadi, hari ini dua krucilsku libur, dan suamiku juga mengambil cuti karena dia bekerja hari Sabtu dan Minggu lalu. TAPI aku harus mengajar dari jam 1, jadi …… sejak pagi sudah sibuk mencuci dan memasak untuk makan pagi, siang dan malam. Well, aku selesaikan saja dulu tulisan ini.
(Saking kangennya ingin menulis, jadi cepat-cepat tulis deh. Sebetulnya ada satu tulisan tentang undokai waktu itu yang masih separuh hehehe. Oh ya sakit punggungku sedang direhab, dan ditambah sabtu kemarin aku dicabut gigi geraham bungsunya dan sakitnya masih sampai sekarang euy. Padahal sudah hari selasa kan? )