Kai tiba-tiba bertanya padaku waktu aku sedang cuci piring di dapur:
“Mama umur berapa?”
“45 tahun”
“Sudah tante-tante (obasan)?”
“Sudah dong”
“Ehhhhh ngga boleh! Mama tidak boleh jadi obasan!”
“Loh kok, kan memang obasan… Gini Kai, Kalau Darma (anak adikku -red) panggil mama gimana?”
“Mama…”
“Ya ngga dong, mamanya Darma kan tante Novi”
“Panggil tante…”
“Ya makanya tante itu kan obasan… jadi Darma panggil mama obasan”
“Ngga mau, harus panggil mama. Ngga boleh obasan”
…………..
Aku tahu Kai tidak mau aku dipanggil obasan, karena sebentar lagi menjadi obaasan…. berarti aku semakin tua. Dan kalau tua pasti mati 🙁 Jadi dia tidak mau aku menjadi tua supaya tidak mati. Padahal manusia tidak bisa menghentikan waktu yang terus bergulir kan?
Siang ini aku juga diingatkan usia. Jadi ceritanya aku mempunyai kelas baru di sebuah Balai Pertemuan Desa yang disebut Kominkan, suatu bangunan milik pemerintah daerah yang dimaksudkan sebagai wadah berkumpul warga untuk belajar, bermain, membaca atau apa saja. Hampir semua pemerintah daerah (kelurahan) mempunyai minimum satu gedung pertemuan seperti ini. Nah, kadang seksi pendidikan pemerintah daerah itu membuat program pendidikan dan atau kebudayaan dan mengundang warga untuk mengikutinya, secara gratis. Program ini dibiayai dengan pajak penduduk. Dan mulai bulan Januari sampai Maret selama 10 kali, aku mengajar bahasa Indonesia di sini, untuk warga sekitar kota Wako.
Meskipun kota Wako termasuk dalam prefektur Saitama, tapi secara geografis bersebelahan dengan kelurahanku, Nerima, sehingga dari rumahku ke balai pertemuan itu cukup 15 menit naik mobil. Dekat TAPI harus naik mobil. Jika naik kereta muter-muter, atau jalan terpendek harus naik bus (dan kalau bersalju tentu aku harus siap untuk naik bus ke sana).
Pelajaran pertama diikuti 15 orang warga yang kebanyakan memang ibu-ibu dari berbagai tingkat usia, 30-an, 40-an, 50an dan 60th ke atas. Hanya ada satu 1 bapak pensiunan (dan konon dia sudah pernah belajar bahasa Malaysia). Pelajaran berlangsung menyenangkan, dan seperti biasanya aku tidak suka melihat murid-murid tegang sehingga aku sering menyelipkan guyonan. (Padahal kepala gedung juga ikut pelajaran terus loh, jadi seperti diawasi hehehe) . Waktu satu setengah jam membahas pelafalan, perkenalan, salam dan garis besar tata bahasa dari contoh kalimat yang ada. OK, pelajaran selesai pukul 11:35 (molor 5 menit karena ada pertanyaan).
Sambil aku bersiap pulang, tiba-tiba seorang ibu yang duduk paling depan menghampirku:
“Sensei, pasti sensei kenal anak saya. Dia pernah ketemu sensei juga loh di sebuah restoran Indonesia di Koenji”
“Hmmm siapa ya? Universitas mana?”
“Dia pernah belajar pada sensei waktu dia masih SMA! Dia ikut pertukaran AFS lalu kembali ke Yogya untuk belajar di UGM dan akhirnya menikah dengan orang Yogya!”
“Ahhhh ya ya ya, saya ingat. Dia ikut kursus di KOI dulu. Peserta dari SMA yang pernah belajar pada saya sangat sedikit sehingga pasti saya ingat”
“Iya itu anak saya. Dia belajar pada sensei 10 tahun lalu, waktu itu dia 18 tahun……”
jadilah ramai percakapan karena secara kebetulan si ibu ini belajar pada guru yang dulu pernah mengajar anaknya…dan semuanya kebetulan.
“Saya sudah 65 tahun sensei, jadi maaf kalau saya tidak bisa mengikuti pelajaran. Tapi saya pikir saya perlu belajar untuk bisa bicara dengan keluarga menantu saya. Paling tidak mengucapkan salam….”
“Jangan bicara umur. 65 tahun masih muda. Kamu tahu, murid saya yang tertua berapa tahun? Seorang bapak (Watanabe san) yang memulai belajar bahasa Indonesia saat dia berusia 83 tahun. Dan dia terus belajar bahasa Indonesia sampai meninggal, padahal dia BELUM pernah sekalipun pergi ke Indonesia.”
Aku juga merasa senang sih bertemu dengan “kerabat” dari mantan murid, tapi kalau mengetahui bahwa si anak SMA ini sekarang sudah pegawai dan dia belajar padaku itu 10 tahun lalu, mau tidak mau aku jadi berhitung deh. Aku diingatkan juga bahwa usiaku sudah tidak muda lagi!
Tapi dalam pembicaraan telepon dengan seksi pendidikan KBRI siang itu juga, “Imelda, kamu sekarang sedang produktifnya bekerja, jadi berusaha terus, jangan malas-malas atau enggan. ” Ibu Hikita memang selalu mendukungku, dan aku sangat berterima kasih dengan dukungan itu.
Dan sambil berjalan menembus angin malam yang dingin seusai mengajar di Meguro tadi, aku ingat pembicaraanku dengan Hikita san beberapa waktu yang lalu,
“Imelda, kamu masih ingat S sensei, pelukis yang melukis kamu sebagai modelnya?”
“Tentu masih ingat dong”
“Dia meninggal sekitar sebulan yang lalu. 80 tahun”
“Wah sudah tua ya….”
“Siapa bilang tua. Kalau untuk orang Jepang 80 tahun itu masih bisa bekerja dan berkreasi. Sebetulnya dia sehat, tidak sakit masih melukis dan meninggal waktu berendam”
Aku jadi berhitung lagi…. kalau aku diberi umur sampai 80 tahun, aku tentu mau tetap bisa bekerja dan berkarya. Tidak mau bergantung orang lain. Dan untuk itu aku HARUS sehat terus dong!
Jadi kesimpulan hari ini:
Meskipun diingatkan terus bahwa usia bertambah terus, harus juga ingat terus untuk hidup sehat supaya bisa menjadi tua dengan sehat.