Terjemahan dari Bahasa Jepang “Hakoiri Musume“, tapi sebetulnya bukanlah arti sebenarnya, karena hakoiri musume menunjuk pada anak gadis yang dipingit orang tuanya. Dan memang boleh dikatakan aku dulu seperti “hakoiri musume” . Waktu kecil terus terang aku tidak pernah pergi bersama teman ke suatu tempat atau ke rumah teman itu, paling-paling acara sekolah/pramuka. Mana pernah pergi ke rumah teman, karena sampai dengan SMP aku naik bus antar-jemput, jadi pasti langsung pulang ke rumah. Akhir pekan? Ya sudah pasti berada di rumah atau keluar bersama keluarga. Aku ingat dulu kami sering pergi bersama ke Ancol untuk berenang. Karena adikku sakit asthma dan dipercayai akan sembuh jika sering berenang di laut. Atau kami akan pergi ke rumah oma dan opa dari mama yang tinggal di Bogor. Perjalanan panjang, karena dulu belum ada jalan tol. Kami selalu mengambil jalan lewat sawangan -parung-semplak. Kami senang kalau sudah bisa melihat tugu “helikopter” karena berarti sudah dekat. Ah papaku dulu setia sekali menyetir minimum sebulan sekali berkunjung ke rumah opa Bogor.
Sabtu kemarin, seperti yang sudah kutulis di Achievement, Riku diajak pergi menonton bersama 3 orang temannya. Mereka berempat menamakan kelompoknya sebagai grup lego, karena mereka bertemu seminggu sekali untuk bermain lego. Ibu salah satu teman itu mengatur acara pergi nonton ini, dan dia akan mengantar jemput 4 abang ini ke bioskop yang terletak 15 menit naik mobil dari rumah kami. Bukan itu saja, ibu yang lainnya bahkan sudah membelikan karcis bioskop 2 hari sebelumnya, sehingga mereka tidak usah mengantri lagi. Dan yang aku rasa lucu, ibu-ibu ini sampai mengatur berapa uang yang harus dibawa setiap anak. Karena diperkirakan mereka akan membeli popcorn/minuman jadi perlu membawa bekal uang. Begitu pula setelah selesai menonton si ibu yang sama akan menjemput ke 4 bocah dan mengajak mereka makan siang di sebuah restoran dekat rumah. Itu pun ditanyakan kepada masing-masing ibu apakah boleh. Karena diperkirakan anak-anak akan bermain lagi bersama setelah menonton, tidak bisa langsung pulang…. (bayangkan cerewetnya anak-anak membicarakan film yang telah mereka tonton bersama, atau bahkan meniru karakter yang ada). Seandainya ada ibu yang tidak setuju, misalnya karena tidak mau mengeluarkan uang ekstra untuk makan siang, maka si anak akan diturunkan di rumahnya. Menurut perhitungan si ibu itu untuk popcorn dan makan siang, cukup membawakan si anak 1000 yen. Dan jumlah itu diseragamkan, tidak ada satu anak yang membawa lebih untuk mencegah rasa iri! Aku rasa cara ini bagus sekali.
Jadi pagi-pagi aku memberikan uang 1000 yen kepada Riku untuk popcorn dan makan siang, serta amplop berisi 1500 yen sebagai pengganti karcis bioskop yang sudah dibelikan ibu yang lain. Memang orang Jepang semuanya serba terencana ya. Si ibu yang membelikan karcispun langsung mengirim email memberitahukan padaku bahwa dia sudah menerima uang 1500 dari Riku. Kubayangkan kalau di Indonesia, pasti diem aja tuh hehehe.
Waktu mengantarkan Riku sampai di pintu rumah, Riku sempat berkata: “Nanti aku belikan pop corn bagian Kai juga ya ma”… Haduh kalau begitu kan uangnya kurang …… segitu sayangnya dia sama adiknya. Jadi aku bilang, “Jangan beli untuk Kai. Untuk Riku saja. Nanti Kai tahu kamu pergi nonton dan dia iri….Yang penting kamu enjoy saja ya ”
Film Starwars 3D yang ditonton itu mulai pukul 11:05. Menurut cerita Riku dan dari email ibu yang mengantar, aku tahu bahwa rupanya, si ibu ikut turun dari mobil dan mengantar anak-anak itu sampai ke dalam bioskop. Sebelum masuk studionya, mereka belanja pop corn dulu. Dan rupanya mereka takut menghilangkan dompet berisi sisa uang mereka, jadi semua anak menitipkan dompet mereka pada si ibu sebelum menonton. Hahaha lucu juga…. Begitulah kalau di Jepang, anak-anak tidak dibiasakan membawa uang saku ke sekolah soalnya. DILARANG sama sekali membawa uang ke sekolah. Jadi tidak ada tuh kasus kehilangan uang/dompet. Transportasi? Ya kan mereka semua jalan kaki ke sekolah. Sekolah Riku adalah sekolah pemerintah daerah, yang letaknya PASTI dekat rumah masing-masing. Paling jauh rumah anak itu 15-20 menit berjalan kaki. Jadi tidak perlu uang transport. Bukan hanya uang saja, mereka juga tidak boleh membawa makanan atau mainan dari rumah! Ini semua menghindari perkelahian dan pencurian di dalam sekolah. Toh makan siang dapat di sekolah, dan bisa nambah loh (kalau sisa). Jadi bisa dimengerti bahwa anak-anak kelas 3 SD ini takut membawa dompet.
Tadinya memang si ibu yang akan jemput lagi mereka waktu pulang selesai nonton, tapi ternyata si ayah. Jadi si ayah itu membawakan dompet anak-anak itu dan memberikan kembali kepada anak-anak. Waktu makan bersama di restoran Sukiya (restoran gyudon –nasi daging– dengan sistem membeli kupon sebelum makan), masing-masing anak membeli dengan uangnya masing, apa yang mereka mau makan. Lagipula semahal-mahalnya makanan di situ, paling mahal cuma 600 yen. Jadi pasti cukup (kalau tidak cukup toh mereka bisa berhitung, seberapa uang yang mereka punya dan mereka bisa beli apa). Aku geli aja membayangkan 4 anak kelas 3 SD menonton dan makan bersama lalu hitung-hitung uang di dompet. Tapi pasti senang ya…. aku ingin deh bisa kelas 3 SD lagi dan mendapatkan pengalaman seperti itu 😀
Dan aku tak bisa menanyakan kesan Riku tentang acara menonton bersamanya sebelum Kai tidur pada malam harinya. Setelah Kai tidur aku menanyakan apakah Riku senang? “Tanoshikatta yo (senang sekali)… dan liburan kan masih ada 2 minggu, jadi kalau bisa minggu depan mau bermain bersama lagi”.
Bermainlah nak, selama kamu masih bisa bermain!
(Dan tentu saja aku langsung mengirim email kepada ibu yang sudah membuat rencana outing bersama ini, mengucapkan terima kasih)
Aku rasa teman-teman blogger punya banyak cerita dengan teman sekolahnya masing-masing, tidak seperti aku yang hakoiri musume. Atau bagi yang punya anak, sudahkah membiarkan anak-anakmu bermain bebas dengan teman-temannya? Atau mungkin kita terlalu parno sebagai orang tua?
wah senangnya riku! 🙂 dan aku malah suka tuh dengan ibu-ibu jepang yang ribet menyiapkan berbagai hal untuk acara nonton anak-anak mereka.
aku jadi ingat, dulu waktu SD orang tuaku memperbolehkan aku naik sepeda keliling-keliling tempat tinggalku. dan aku juga sudah boleh naik sepeda sendiri untuk main ke rumah teman saat liburan. dekat sih rumahnya. dan untungnya waktu itu kota tempat tinggalku tidak ramai jalanannya. jadi orang tuaku tidak was-was. kalau di jakarta, kayaknya mesti ekstra hati-hati ya memperbolehkan anak untuk bermain sendiri bersama teman-teman.
System “tak bawa uang jajan” perlu dicontoh bagi anak sekolah di Indonesia sehingga akan menghindari bermacam keluhan yg berkaitan dg gizi dan hygienis jajanan juga hal lainnya seperti uraian diatas..
hihihi aku jadi senyum senyum sendiri bayangin para lelaki kecil itu itung-itung duit di resto 😛
biasanya kan langsung makan aja, urusan pembayaran mah urusan ortu 😀
jadinya melatih tanggung jawab juga yaa 🙂
tosssss
aku juga gadiss dalam kotakk
jadi sampai SMA gak pernah ikut acara nginep-nginep
pramuka,,kmping dan sebagainya
pertama kali jalan jauh waktu kelas 3 SMA itu jalan jalan ke yogya…
salut ya sema semua nya yang serba terencana
coba ibu ibu di jakarta kaya gitu yakk
Terbayang bangganya Riku dipercaya outing bersama teman2, seni tarik ulur ya mbak EM memberi kebebasan sambil tetap ada pendampingan. Selamat menikmati liburan Riku dan Kai
Wah..Ibu-ibu itu hebat ya. kayanya aku belum pernah deh punya pengalaman yang kaya gitu.Ada ibu dari teman anak-anakku yang mau menjadi koordinator ataupun perencana kegaiatan anak seperti itu- belum ada di tempatku. Aku juga belum pernah berbuat baik sepertiitu sih… he eh.
Sangat patut dicontoh.
Paling banter aku pernah beberapa kali mengawal anak-anakku plus 2 atau 3 orang anak tetangga bermain ke XXI . Tapi aku sih nggak pakai acara /planning yg baik begitu… he he. Paling cuma mastikan anak-anak sudah minta ijin orangtuanya masing-masing. Dan aku cuma confirm bahwa mereka memang bersama aku saat para mamanya telpon. Gitu aja,Mabk..
aku juga dulu dipingit mbak
sengsara deh 😀
umm … kalau punya anak nanti, maulah anaknya seperti Riku itu,
sekarang pun aku kan melakukan kurang lebih begitu,
anak tetangga, temen dikumpulin, ditenteng ke bioskop
cuma bedanya orangtuanya gak ada yg saweran hehehehe
moga2 si abang kalo udah kelas 3 nanti bisa begitu,
karena waktu tahun lalu, pas ultahnya, aku suruh dia pilih 1-2 teman yg mau diajak nonton, dia malah memilih adek sendiri, alesannya sama, takut Egi nangis klo ditinggal hehehe
Whuaaaaa…
serunyaaaa….
kebayang deh gimana senengnya Riku yah 🙂
Kayla sih belum pernah mba…paling paling suka makan bareng sama temennya tapi yang masih tetangga an…dan bawa makanan sendiri dari rumah…trus kadang2 mereka suka tidur siang bareng gituh…hihihi…
Tapi karena masih tetanggaan jadi aku gak terlalu khawatir sih…
Duh…perencanaan ibu ibu jepang itu matang sekali yah…hihihi…
Anak saya punya pengalaman yang berbeda Bu…
Yg sulung seperti dalam kotak, mengingat dari bayi sampai SD dalam pengawasan ketat neneknya. Saat itu saya masih tinggal serumah dengan mertua, sehingga praktis anak saya nggak bebas main.
Sebaliknya anak yg bungsu hidup bebas karena saat itu saya tinggal di perumahan yg pasti anak2nya membuat komunitas sendiri.
Efeknya berimbas sampai anak2 besar.
Saat SMP dan SMA, anak sulung saya selalu mengembalikan uang sakunya tiap bersisa, termasuk saat piknik ke Bali. Uang sakunya hanya dipakai buat beli Kaos Joger, sisanya dikembalikan semua ke Ibuknya.
Sementara anak saya yg kecil, saat piknik ke Bali baru sehari disana, uang sakunya sudah habis. Untung saja ada saya karena saya adalah gurunya… 😀
Tapi dalam hal kemandirian, anak yg lama dalam kotak biasanya kalah jauh dibanding yg banyak dilepas
protes!!!! hiihhihi
wlo saya anak dalam kotak, dan baru dilepas ketika kuliah di jogja, saya mandiri banget. jauhhhh lebih mandiri daripada kakak perempuan sy lho pak.
*bawa spanduk kelilik SMAN1K*
hahahaha
Kalau kamu jadi anak saya dari kecil, pasti kotaknya akan saya paku rapat2 dan terkunci Ni… 😀
kalau aku terhitung boleh main tapi akunya memilih jarang main kak. aku suka sekali kehidupan yang teratur loh seperti disana.semua harus direncanakan terlebih dahulu seperti itu. kalau disini kan tiba2 main begitu saja 🙂
waaa seru banget pastinya ya pergi ama temen2 gitu…
seinget saya, dulu pertama kali pergi ama temen2 doang tanpa didampingi ortu itu pas kelas 6 sd. 😀
kalo andrew sekarang mainnya ya either ketemuan di park atau di salah satu rumah temen. belum pernah sih nonton ama temen2nya sendiri. pernahnya nonton bareng temen, tapi kita ortu2nya pada ikut juga. 🙂
bagus ya mbak, anak anak di sana dilarang bawa uang ke sekolah, aku malah baru tahu , di sini kayaknya nggak ada larangan spt itu
Jeng Imel nasibnya hampir sama denganku. Banyak “the don’t” dari ortu, terutama emak. Sih sih karena anak tunggal, jd super ketat menjaganya.
Koordinasi antar ibu-ibu dalam kisah ini bagus saya. Ada perhatian, ucapan terima kasih dan detail rencananya.
Kalau kami di Indonesia kadang dadakan saja, tahu2 nongol di rumah rame2 sehingga membuat tuan/nyonya rumah klimpungan.
Terima kasih artikelnya yang menarik.
Salam sayank selalu
Bagi Riku pasti pengalamannya menjadi liburan terseru dan memiliki kenangan tersendiri..
Saya suka dengan tidak membiasakan anak membawa uang kesekolah, sehingga anak-anak ke sekolah niatnya hanya satu belajar dan tidak neko-neko..
Haha. Lain ladang lain belalang, lain di Jepang lain pula di Pekalongan. Lucu juga sampai ada turut campur orangtua dalam bermainnya anak-anak, sampai sedetil-detilnya begitu. 😀
Karena anak kampung, jadi waktu kecil gak ada tuh pergi-pergi bareng teman-teman ke bioskop semacam itu. Jadi kalau main ya seperti si Bolang itu, berpetualang dari satu sawah ke sawah lain, satu ladang ke ladang lain, satu sungai ke sungai lain. Nggak se-Bolang itu juga sih tapi. Yang jelas orangtua saya gak parnoan. Justru nenek yang sering melarang ini itu, melarang pergi jauh-jauh, terlalu khawatir, dsb. Jadi nggak nyaman.
wah kyk nya aku dl termasuk pada gadis2 dlm kotak deh.
salam kenal y mbak aku bloger baru nih…
Memang menjadi orang tua itu tidak ada sekolahnya …
Ada banyak hal yang harus kita lakukan secara learning by doing …
Mengenai “dalam kotak” …?
Mmmmm … kami sebagai orang tua melakukan cara … lepas … semua tergantung pada Anak-anak saya sendiri … apa yang mereka mau …
biasanya saya melakukan screening dulu pada teman-teman anak-anak saya … dengan cara … menghimbau anak-anak saya untuk mengajak teman-temannya bermain ke rumah … dengan demikian saya bisa sedikit bertanya-tanya … (tepatnya soft interogation) supaya anak-anak saya tidak salah bergaul …
so once again … It’s up to them …
(FYI … si Tengah … sekarang lebih terkenal di kompleks perumahan saya dibanding Bapaknya …hahaha )(gara-gara dia jadi panitia acara di Komplek perumahan) (Beberapa kali malah dia Rapat di rumah pak RW ) (Bapaknya aja belon pernah ke rumah pak RW …)
waduh karena dulu termasuk kategori bandel ya.. sering pergi deh dengan berbagai alasan dari pramuka sampai kerja kelompok 🙂 jangan ditiru..
yang saya kagum dari cerita ini bagian memberikan konfirmasi kepada orang tuanya ketika menerima uang pemberian.. hebat.
Hihihi seru jadi tahu sedikit budaya Jepang.
Bagus ya dari kecil dilatih mandiri main sendiri. Aku sih dulu baru SMP baru pergi nonton sama teman. Telat hehe xD
Aku baca komik Miiko juga gimana gitu, wah, masih SD dah main ke amusement park sama temennya aja hehe 😀
Aku tergolong gadis kotak dulu 🙁 Ortu dulu tidak mengijinkan keluar, jadi malah teman yang disuruh datang ato menginap.
Aku pernah melepas anakku di Kidzania hanya berduaan, BuEm! (lebaay 😛 ) Karena penuh, ortu gak boleh ikutan masuk. Aduuuh, menunggu 5 jam dengan gelisah. Untunglah Si Ganteng sudah di doktrin untuk menjaga adiknya, jadi dia sangat bertanggungjawab 😀 Bahkan ketika adiknya pipis ia rela menunggu di depan toilet sambil membawakan tas hello kitty adiknya 😆
Afif sudah kami beri kebebasan untuk bermain bersama teman-temannya sejak SMP dulu. Dan sebagaimana layaknya anak remaja, kenakalan-kenakalan kecil pun pernah dia lakukan. Tentu saja kami memarahinya. Tapi menurutku malah bagus jika dia melakukan kesalahan dan kemudian mendapat teguran. Sebab, justru dari kesalahan itulah dia belajar dan tahu bagaimana harus bersikap. Orang yang tak pernah salah, tentu tak belajar apa-apa bukan?
Cumaaa.. untuk melepas Satira sebebas Afif, kok aku masih berpikir panjang ya? Barangkali karena dia anak perempuan ya.. Duh.. maaf, aku masih berpikir dikotomis antara antara anak laki-laki dan perempuan, hehe.. 🙂
waahh seru tuh anak sekolah di jepang gak bawa uang jajan.. bener bener perlu dicontoh..
kalau aku masalah jalan di dalam kota seh hayuk aja.. dari kelas 3 sd udah dilepas jalan sendiri sampai ke pasar yg jaraknya 2 kilo juga sendiri.. tapi yg dikotakin itu kalau udah jalan ke luar kota.. sampai sekarang juga masih gak boleh kecuali klo urusan kerjaan ~_~
Aku juga dulu naek jemputan, tapi karena sering latihan nari bareng, jadi suka main ke rumah teman, atau teman main ke rumah. Selalu bawa uang dari kecil karena jam 10 itu mesti jajan donat atau susu, hehehe… Jadi ga takut sih, malah senang kembaran dompet sama teman baik
Perencanaan nya matang sekali ya….
Saya juga tak memberikan uang saku saat anak-anakku SD karena sekolahnya masih satu kompleks di rumah dinas, dan sudah makan pagi. Malahan suka mengajak makan teman2nya di rumah, jadi saya selalu sedia mie, dan si mbak dengan senang hati melayani dan memasakkan mereka. Tapi saat SMP, saya memberi uang saku pas olah raga, juga tidak ada transport karena sekolahnya masih bisa dicapai dengan jalan kaki.
Saya sendiri, nonton bersama teman-teman saat SMP. Karena tinggal di kota kecil, para orangtua saling kenal, jadi tak kawatir melepas anaknya nonton, asal jelas film apa yang ditonton. Apalagi saat SMA, pacaranpun boleh, dan ayah mondar mandir aja..mungkin maksudnya ngecek ya…hehehe
di indo susahnya yah menerapkan ga kasi uang jajan, ksian ma anaknya siy. kcuali kalo anaknya mau ngerti siy.
Aku anak ‘ucul’ (lepas) dari kecil 😀
Dan sejak kelas..berapa SD begitu, ajak teman2 hang-out sampai malam, kira2 jam9/10, ada teman yang dimarahi, diburu2 pulang
SMP sudah bermotor dan bermobil dan sudah bergaul dengan orang ‘dewasa'(20+), dan pulang lewat tengah malam
Bisa disimpulkan bahwa aku ‘bebas bertanggung jawab’ dan memang suka keluar malam (eh, jarang di rumah, siang maupun malam)
Aku seneng baca ini. Riku pasti senang. Dan hebatnya, dia tetap sangat sayang dengan Kai yang sering ngrecokin dia. Benar2 hati yang murni baik. Aku senang juga, anak2 diberikan kesempatan untuk menikmati masa mudanya. Dan sistem ibu2 yang teratur ini, sukaaa sekali. Aku rasa sih ini tidak dan bukan mengekang anak2. Anak2 bersenang2, namun orang tua tetap dapat mengawasi pergaulan dan kejadian di hidup anaknya. Sangat bagus. Salut
5 *s for those Japanese parentss & 5 *s for Riku
~LiOnA~
wah,,kalau saya termasuk slah satu yang dibebaskan,,dalam artian bukan pergaulan bebas ya..hehe
ibu saya percaya saya tahu aman yang baik dan buruk 🙂