Dalam sepuluh hari ini aku banyak belajar mengenai hidup… Pertama waktu aku mendengar, tepatnya membaca bahwa seorang Romo, Pastor Kepala paroki Kotabaru Jogja meninggal. Beliau dulu pernah bertugas di paroki blok B, Barito, Jakarta dan kami yang bergabung dalam paduan suara Cavido sangat akrab dengannya. Romo Wisnu ini mengalami kecelakaan waktu naik sepeda motor. Ah, seorang romo pun menghadap Tuhan dengan cara yang tak biasa.
Lalu ada lagi seorang mantan murid bahasa Indonesiaku K.M. san yang meninggal waktu sedang jogging. Biasa kan kalau sedang jogging tidak membawa tas/dompet, paling kunci rumah dan dompet uang kecil. Nah lagi lari-lari begitu, rupanya ada mobil naas yang dikendarai nenek usia 70 th naik ke trotoar… blesss nabrak K.M. san ini deh. Tragisnya polisi perlu waktu lama mencari jatidirinya, sehingga terlambat diketahui kematiannnya. Coba dia lebih lambat larinya 5 menit, atau lebih cepat, pasti tidak kena tabrak. Well, nasib? Cara kita “pulang” ke rumah Sang Pencipta memang bermacam-macam. Bagaimana caraku? Entahlah….
Dua kejadian dalam 10 hari ini yang memang terjadi di dunia nyataku.
Tapi…. dalam 10 hari ini aku juga banyak blogwalking. Dan menemukan beberapa tulisan yang sangat menyentuh dan berguna.
Take it for granted. Kata-kata ini aku dapatkan minggu lalu dari tulisannya Arman. Ge ge ahhhh… katanya kalau ada ngga pengen, tapi kalo ngga ada pengen. Memang kalau segala sesuatu tersedia di depan mata, kita selalu merasa lumrah.
Sama seperti waktu kita kecil, disediakan pendidikan oleh orang tua kita. Dengan penuh kesal, jengkel misalnya karena tidak bisa bermain, kita harus belajar terus…. kita tidak merasakan saat itu bahwa pendidikan itu amatlah berharga (di kemudian hari… ya saat ini). Dibelikan buku catatan yang bagus-bagus, dipakai dengan boros. Dan itu memang wajar saja karena masih anak-anak. Belum tahu bagaimana harus mencari uang untuk membeli buku sendiri. Semua tersedia. Gratis!
Coba teman-teman baca tulisan Adi Nugroho yang ini Hanya Ingin Membaca… Betapa anak pemulung yang tidak bisa bersekolah, memanfaat buku yang dipungut untuk menimba ilmu. Dia menggunakan apa yang ada untuk memperbaiki dirinya. Meskipun tidak bisa bersekolah, dia bersekolah dari kehidupan ini.
Karena itulah seorang sahabat blogger Kika Syafii, juga aktif mengadakan penyuluhan kepada anak-anak jalanan untuk membaca dan membangun dirinya menjadi lebih baik dari sekarang. Salah satunya dengan membagikan minat baca kepada anak-anak ini.
Meskipun kadang selalu birokrasi menghalangi kemajuan mereka yang otodidak, yang berusaha maju dengan kerja keras sendiri tanpa masuk lembaga/insitusi pendidikan. Masyarakat juga lebih mempercayai formalitas daripada kemampuan yang jelas terlihat di depan mata. Seperti kata Prof. Aminuddin Sale dalam tulisannya di sini: “Cara berpikir formalistik sesungguhnya telah banyak membelenggu masyarakat kita. Salah satu indikasinya ialah kecendrungan menyandang gelar, baik gelar akademik, gelar bangsawan, maupun gelar agama, dan lainnya. Padahal ada kemungkinan bahwa gelar yang disandang itu tidak sesuai dengan perilaku dan isi penyandangnya.” Aku senang sekali membaca tulisan Prof Aminuddin ini terutama karena menyinggung nama bapakku :). Terima kasih banyak Prof.
Yang pasti sepuluh hari aku blogwalking dan mengikuti kejadian di sekitarku membuatku lebih membuka mata agar jangan hanya “take for granted” atas apa yang ada. Memaksimalkan apa yang ada yang dipunyai, dan tentunya bersyukur atas apa yang aku punyai sekarang ini. Terutama HIDUP ini.