Eh… ketemu Eko lagi

31 Jan

Hari minggu kemarin kami sekeluarga pergi ke sebuah acara yang diadakan oleh Kota Wako dari Prefektur Saitama. Acaranya berjudul “Nippon Zenkoku Nabe Gassen” Pertandingan Masakan Rebusan Seluruh Jepang. Nabe sendiri sebetulnya artinya panci, tapi sebagai salah satu kuliner Jepang, Nabe menjadi nama masakan yang direbus, dan makan hangat-hangat. Karenanya cocok untuk musim dingin.

Bedanya dengan shabu-shabu apa? Kalau shabu-shabu dagingnya yang diiris tipis-tipis hanya “dicelupkan” sejenak dalam rebusan air, kemudian langsung dimakan. Shabu-shabu merupakan bunyi waktu kita mencelup daging itu, shabu satu kali, shabu dua kali, angkat …. yang kemudian menjadi nama. Sedangkan Nabe ya semuanya direbus bersama, sampai kaldunya menjadi kental dan mantap.

Nabe dengan jerohan dan tauge

Pertandingan Nabe itu diikuti 43 peserta, dan salah satunya adalah kelompok kuliner dari yayasan sekolah tempat Gen bekerja. Karena itu kami pergi ke sana untuk memberi dukungan…dan cari makan juga sih.

Kota Wako sendiri tidak begitu jauh dari rumah kami, karena sebetulnya kami tinggal di perbatasan Tokyo bagian barat dengan Saitama. Dengan mobil hanya 20 menit. Begitu sampai terdengarlah bunyi genderang Jepang wadaiko yang tampil meramaikan acara itu. Sementara di lapangan kelurahan kota Wako didirikan tenda-tenda peserta lengkap dengan papan nama dan atribut mereka. Tentu saja semua menjual Nabe, rebusan itu tapi dengan bumbu dan isi khas masing-masih. Ada Nabe dengan rasa kare, ada nabe jerohan (mengingatkan soto BABAT!), nabe dengan celeng atau babi hutan, nabe dengan kaldu ayam, dll.

Setiap mangkok nabe dijual rata-rata 300 yen. Mungkin ada yang lebih mahal, seperti nabe daging sapi dengan wine….. aku ingin sekali coba ini tapi waktu kami sampai sudah habis. Jelas saja, rupanya mereka dulu juara ke dua di pertandingan tahun lalu. Nah, Gen mencoba makan Kasujiru Nabe, bahan dasarnya adalah kasu atau beras sisa pembuatan sake dan aku lihat sebagai dagingnya mereka memakai ikan salmon. Karena bahan dasar beras maka supnya berwarna putih.

Aku tentu saja mencari nabe yang pedas…dan bertemu dengan si soto babat pedas di sebuah stand. Rasanya sudah pasti TIDAK pedas menurutku (menurut orang Jepang mungkin sudah pedas yah), selain itu amat berminyak. Tetelan (suji) yang dipakai banyak lemaknya, sehingga dengan agak terpaksa aku makannya…. untung panas-panas dan mangkoknya kecil kalau tidak pasti ngendal tuh. Sambil mikirin kolesterol ya abis juga sih aku makan (aku paling anti buang makanan sih). Alasan penjualnya: Colagen! jadi sehat saja untuk badan hehehe.

Momongga dengan 20 jenis bahan

Riku aku suruh beli sendiri apa yang dia mau, sehingga bersama Kai dia “ngider” mencari makanan yang bisa dia makan. Tahunya dia langsung membeli Momonga Nabe, rebusan dari 20 macam bahan sayuran, daging, ikan plek jadi satu yang direbus di panci khusus “raksasa” terbuat dari tanah liat. Dan nabe ini dijual oleh yayasan sekolahnya Gen (Kami tidak mau ke situ dulu karena mau mencoba yang lain. Maunya ke situ terakhir, eh si Riku udah duluan ke sana hehehe)

Baru setelah isi mangkok habis, aku melihat ada yang lain dengan mangkok plastik yang dipakai. Ada lapisan plastik tipis yang bisa dilepas dari mangkoknya untuk dikumpulkan pada mas Eko ini. Eko di sini namanya Eco-station, tenda tempat pengumpulan mangkok dan sumpit bekas makan nabe tadi. Jika ada sisa makanan, maka dibuang dulu sisa makanannya di ember khusus. Setelah itu plastik pelindung dilepaskan dari mangkok untuk dikumpulkan sendiri, mangkok putih itu juga dikumpulkan sendiri. Tentu saja ada tempat khusus lain untuk mengumpulkan sumpit kayu.

plastik lapisan yang bisa dibuka untuk memudahkan daur ulang

Semua sampah ini dipilah-pilah oleh petugas yang merupakan murid pemain base ball di SMA Wako. Senang sekali bertemu dengan mas-mas Eko ini yang ganteng-ganteng tapi tidak jijik, tidak malu, tidak enggan mengumpulkan sampah makanan. Mana ada orang Indonesia yang mau kerja mengumpulkan sampah dengan sukarela? Di sini sih semua punya kesadaran dan tanggung jawab atas sampahnya masing-masing. Jadi seandainya tak ada petugas pun, asal ada pemberitahuan bagaimana memilah sampah, pasti akan dilaksanakan.

Tujuan pemilahan tentu saja untuk kegiatan daur ulang. Mangkok putih yang bersih dari minyak akan lebih mudah langsung masuk pabrik pengolahan untuk dibuat menjadi mangkok baru. (Padahal menurutku masih bersih tuh, cukup disemprot air panas untuk sterilisasi….. tapi orang Jepang kan “jijikan” jadi pasti akan diolah dipabrik. Higienitas memang dijunjung tinggi di sini).

Selain stand-stand nabe, ada juga deretan stand pendukung yang tidak ikut pertandingan. Mereka menjual berbagai macam kue, makanan dan mainan, persis seperti pasar malam di kuil-kuil atau tempat umum lainnya. Di sini kami sempat memarahi Riku yang membelikan Kai balon dengan uangnya sendiri (pakai uangnya sendiri sih gpp, tapi ngomel dan minta ganti ke mama hahaha).

Tak lama ada upacara pengumuman pemenang yang diadakan di panggung. Kami kembali ke tempat utama tapi kehilangan jejak Riku. Cari punya cari ternyata Riku sudah duduk di deretan pertama di depan panggung. Aduuuh anak ini memang aneh, suka jalan sendiri dan penuh perhatian pada hal-hal aneh. (Dan dia bilang… Mama mungkin aku bisa masuk TV ya. )

Riku duduk paling depan

Sementara Riku duduk di depan panggung, papa Gen membantu stand yayasan sekolahnya untuk beberes, aku dan Kai menunggu sambil duduk. Nah di situ aku dihampiri oleh seorang wanita, yang menyodorkan mangkok berisi nabe. Kupikir dia bertanya soal buang dimana, tahu-tahunya dia mau memberikan nabe itu untukku gratis, kata, “Daripada dibuang, kalau Anda mau”. Yaaah aku lagi ditawarin dengan omongan gitu. Pasti sayang dong kalau dibuang, ya terima aja rejeki ini hihihi.Herannya tidak lama setelah aku membuang mangkok sup ayam itu, datang lagi seorang pemuda menawarkan semangkok lagi. aduuuuh langsung aku kasih Gen untuk habiskan. Sesayang-sayangnya makanan, perutku ada batasnya juga hehehe. Heran aja kok pada nawarin aku ya? Apa tampangku melasin seperti orang tidak pernah makan? Atau tampang baik yang tidak akan menolak jika diberikan. Well, anggap saja yang terakhir ya 😀

Untung juga sih diberikan nabe gratis begitu, paling tidak tangan menjadi hangat hanya dengan memegang mangkoknya. Karena saat itu dingiiiiiiin sekali. Tanganku sampai terasa membeku dan menyesal tidak bawa sarung tangan. Abis kupikir naik mobil ini, bukan naik sepeda. (Ternyata waktu aku periksa facebook lewat HP, seorang teman yang tinggal di Meguro menulis “Salju”…. pantas dingin sekali. Tapi memang di tempat saat itu tidak turun salju, kecuali langit yang aneh).

Tapi nabe kan tidak pakai nasi dan berkuah, dan karena tempat pertandingan di luar, tambah udara dingin, kami lalu buru-buru pulang mencari kehangatan di dalam rumah. Dan sebagai oleh-oleh bepergian kemarin itu, hari ini Gen demam deh… jadi tidak masuk kantor. Untung saja anak-anak sehat seperti biasa.

Selamat menikmati sisa hari Senin. Aku pergi ngajar dulu yah….

NB: Eco adalah slogan singkatan dari ekologi. Kegiatan memikirkan ekologi ini di Jepang marak dengan kegiatan dimulai dengan eco- misalnya eco-car, eco house, eco station