(Anak) Lelaki Sejati

18 Sep

Well, saya sedikit  merasa itu adalah terjemahan yang baik untuk kata bahasa Jepang yang saya maksudkan. Dalam bahasa Jepang ada kata Otokorashii 男らしい yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi : macho, maskulin, manly… seseorang yang memenuhi syarat sebagai “laki-laki” …tidak termehek-mehek, menye-menye, apalagi lebay hihihi. OK, mungkin bisa pakai maskulin sebagai bahasa Indonesia.

Tapi bagaimana untuk Otokonokorashii 男の子らしい, yang saya cari di kamus bahasa Inggris menjadi boyish. Wah…kalau pakai boyish bisa gawat juga, karena bisa jadi yang dimaksud adalah perempuan yang kelaki-lakian. Padahal artinya otokonokorashii itu adalah real boy, sebagaimana anak laki-laki itu seharusnya.Hmmm memang susah ya bahasa Indonesia, sedikit perbendaharaan kata-katanya.

Bagaimana seharusnya seorang anak laki-laki bertindak, dalam postingan ini yang saya ingin tekankan adalah bermain. Bukan, bukan maksud saya untuk membahas gender, pembedaan jenis kelamin. Tapi lahir di keluarga dengan 3 anak perempuan (dan satu lelaki jauh di bawah saya), lagipula tinggal di kota Jakarta, saya tidak mengetahui permainan anak laki-laki (sejati) itu apa. Padahal kedua anak saya adalah laki-laki. Saya tidak mau menjadikan mereka “banci” (sebetulnya saya tidak mau menggunakan kata prejudice/ henken begini, karena “banci” juga manusia) . Atau saya maunya anak laki-laki saya, benar-benar laki-laki. Kalau perlu nakal pun tidak apa! Nakal yang kreatif ya hihihi, bukan nakal yang abuser, yang menyiksa/menyakiti.

Karenanya saya senang jika papanya Riku mengajak Riku pergi berdua, do that “boy” things. Karena saya tidak bisa! Terus terang saya takut pada kumbang kelapa. Setiap melihat kaki kumbang kelapa, saya teringat kecoak… hiiiii. Saya tidak bisa memanjat pohon (kasian pohonnya hihihi) karena saya takut ketinggian. Meskipun berenang bukan monopoli anak laki-laki, tapi saya tidak berani berenang (meskipun bisa berenang)…saya agak takut air. Apalagi ya?

Hmmm, dalam rangka mendidik Riku menjadi “(Anak) lelaki sejati” , saya ingin dia lebih banyak bermain di luar rumah. Kebetulan Riku sudah bisa naik sepeda, jadi kalau dia mau, dia bisa pergi ke mana-mana naik sepeda (meskipun memang saya agak khawatir ….tapi orang tua kan tidak boleh parno terus menerus). Sekarang kadang-kadang dia pergi bermain ke rumah temannya naik sepeda, atau pergi ke taman dekat sekolahnya. Meskipun jarang, dia sudah bisa.

Akhir-akhir ini dia suka pulang bermain dalam keadaan, baju dan celana kotor. Good Boy! Saya tidak keberatan mencuci baju dan celana itu, toh yang bekerja mesin cuci, bukan saya! Laki-laki identik dengan keringat! (Saya ingat cerita mama, katanya pernah mengatakan pada saya waktu saya SD, “Imelda …bermainlah!” karena saya pulang ke rumah dengan baju putih dan rok kotak-kotak berplits masih kaku dan bersih, sama seperti waktu pergi berangkat ke sekolah)

Awal bulan September, hari Selasa tanggal 1, Gen libur di hari biasa. Dia mendapat ganti hari libur di hari biasa, karena dia bekerja pada hari Minggu. Sepulang sekolah (pukul 2) , Riku dan papanya pergi bermain. Ke taman, katanya. Tapi menjelang jam 3:30 siang, saat saya akan berangkat menjemput Kai di penitipan, mereka kembali dari bermain. Riku dengan celana basah masuk membawa satu ekor kepiting sungai. “Mama aku dapat Zarigani (Cambaroides japonicus kepiting sungai). Kami bermain di sungai Shirako dekat taman. Asyik loh Ma. Aku mau ke situ lagi”.

tempat bermain di dekat mata air sungai Shirako

Jadi kami jemput Kai di penitipan, lalu bersama-sama naik mobil ke sungai Shirako dekat rumah. Sungainya kecil, dan tempat yang kami datangi itu adalah sumber mata airnya. Di sekitarnya dibangun tempat bermain, dan jalan untuk mencapai sumber air tersebut. Well, menurut saya, air itu tidaklah bening, tapi menurut Gen, tadi waktu mereka bermain di situ, sinar matahari memantul begitu indah. Waktu kami datang sekitar setengah 5, matahari memang mulai condong. Dan terlalu banyak anak-anak bermain di dalam sungai, sehingga menyebabkan sungai itu keruh.

Ya, anak-anak laki-laki ini masuk ke dalam air, bermain di sungai menangkap kepiting sungai. Ada yang membawa jala, ada yang dengan tangan kosong… termasuk Riku. Riku langsung berbaur dengan sempaitachi, anak-anak yang lebih besar dari dia, ikut mencari kepiting-kepiting itu. (Satu hal yang aku kagumi dari dia, dia mudah berbaur, meskipun agak mengkhawatirkan karena sebetulnya masyarakat Jepang tidak suka dengan sikap yang “semaugue” itu. Moga-moga kelak tidak menjadi masalah)

Jadilah papa, mama dan adik Kai menunggui si Kakak ngudek-ngudek sungai, lari sana sini…. dan….menangis waktu kami ajak pulang, sedangkan belum ada satu kepitingpun didapat. Kebetulan saya berdiri di sebuah jembatan kayu. Sambil menasehati Riku supaya datang lagi lain kali dengan membawa jala, saya juga menasehati untuk mencari kepitingnya di pinggiran sungai, di dekat tembok atau batuan besar, rumpunan rumput. Bukan di tengah-tengah. Dan…. benar, tiba-tiba terlihat bayangan kepiting tak jauh dari tempat saya berdiri. Saya beritahu Riku untuk menangkap…. Duh cara menangkap saja dia belum tahu! Tapi saya tidak bisa ajarkan…karena saya sendiri takut! hiiii

Akhirnya Gen yang menangkapkan kepiting itu. Dua ekor! Dan dengan tersenyum lebar (meskipun bukan dia yang menangkap) dia bangga membawa pulang dua kepitingnya. Dan, keesokan harinya dia bawa ke sekolah untuk memamerkan kepada teman-temannya.

Hari itu, anak sulungku berhasil menjadi “anak lelaki”. Sudah pernah menangkap kumbang, kupu-kupu, bermain pasir, berenang di laut, mendaki gunung (Mt. Shirane), menangkap kepiting …. apa lagi ya? supaya anakku benar-benar menikmati alam sambil merasakan menjadi otokonokorashii.

(Yang kasihan kepiting itu akhirnya mati setelah 1 minggu…hiks)

Ohhh, aku tahu….bermain ski di musim dingin nanti!!!! Semoga kakeknya mau mengajarkan dia, karena kakeknya bisa ski dengan baik.