Hari Sabtu 27 Des yang lalu, langit cerah. Aku sudah bilang pada Riku bahwa kita akan ke gereja sore hari, dan pulangnya bersama papa. Jadi sekitar jam tiga mulai siap-siap dan berangkat seuluh menit sebelum jam 4. Misanya sendiri mulai jam 5. Tapi tunggu-punya tunggu, taksi tidak ada. Padahal dingin semakin menyengat. Untung saja sebelum kesabaran menunggu habis, dan setelah setengah jam menunggu, datanglah taksi. Entah kenapa perjalanan hari ini enjoyable. Riku sudah bisa dipercaya selama naik kereta bahkan dia selama misa sama sekali tidak ribut. Kai juga sama sekali tidak rewel dalam misa, sampai semua heran. Yang lucu Kai ikut menyanyi (ngedumel) waktu umat menyanyi. Ke dua anakku ini mungkin suka menyanyi ya …
Kotbah pastor John Lelan SVD hari ini memberikan pesan yang sangat tajam, yaitu dalam berbuat baik, kita jangan berharap akan mendapat penghargaan (balasan) dari orang lain, bahkan juga penghargaan (balasan) dari Tuhan. Tapi perbuatan kita yang baik atau buruk itu hanya terjadi sekali saja, dan terus membekas, tidak bisa dihilangkan, hanya bisa diperbaiki dengan perbuatan lain. Karena itu sebelum bertindak berpikirlah. Diceritakan sebuah perumpamaan tentang seorang ibu dengan dua anak yang mempunyai sebuah apel. Si anak bungsu selalu egois dan mengambil apel itu. Lalu kata ibunya,
“Boleh kamu ambil apel itu tapi bagi pada kakakmu”
“Bagaimana saya harus membaginya?”
“Ya bagilah dengan persaudaraan” Tidak dikatakan persaudaraan itu apakah berarti harus membagi dua yang sama atau bagaimana. Si adik merasa sulit untuk membagi, maka ia memberikan apel itu kepada kakaknya supaya dibagi. Mungkin si adik berharap supaya kakaknya membagi dengan bagian yang besar untuk dia, tidak ada yang tahu. Tapi memang kita tidak perlu tahu. Karena “persaudaraan” menurut tiap orang juga lain-lain. Tetapi yang pasti kedua kakak beradik itu tetaplah bersaudara.
Apakah kita memberi dengan bersungut? ataukah kita menerima pemberian orang lain dengan bersungut? Atau kita memberi /menerima dengan senyuman? Itu memang pilihan kita tetapi yang pasti sikap kita itu akan membekas selamanya. Tidak bisa dihapus lagi. hmmm …
Sesudah misa, umat yang hadir berkumpul di ruang pertemuan dan masing-masing mengeluarkan bawaannya kemudian kita makan bersama (Imelda ngga bawa apa-apa sih… bawa dua anak aja udah berat hihii). Pesta Natal sederhana yang akhirnya berkelimpahan dengan makanan. Tante Kristin membuat sup kikil, lalu ada ikan rica, ada gado-gado, ada tempe mendoan (mbak Tati bilang begini… maaf ya saya bawa yang murah saja… doooh tempe adalah barang langka di Tokyo)…
Sekitar jam 8 malam, kita pulang dan Kai dan Riku langsung tidur dalam perjalananan. Semoga aku bisa ke misa lagi tanggal 3 Januari yad.
(Si Kai juga senang bisa meraih kue lapis surabaya hehhehe)