Pertama kali aku datang ke Jepang, aku tinggal bersama keluarga Jepang. Dan di situ aku ternganga melihat pembantunya (memang tidak biasa di sini pakai pembantu, kebetulan induk semangku itu orang kaya sehingga ada pembantu) akan memasak nasi. Memang pakai rice cooker (mana ada sih sekarang masih cara lama, yang kalau masak nasi direbus dulu, baru ditanak di dandang?) tapi yang mencengangkanku adalah caranya dia mencuci beras. Waduh cuci berasnya seperti cuci baju, diputar, ditekan pokoknya kasar deh menurut aku. Sudah gitu beberapa kali airnya diganti sampai beras itu bersih putih.
Wahhhh kupikir, kalau ibuku lihat pasti dia ngomel, soalnya di keluargaku kalau mencuci nasi harus tidak lebih dari 3 kali, tidak boleh sampai bersih sekali, alasannya : “Vitaminnya hilang semua!”. Jadi melihat beras sampai airnya bening begitu membuat aku terperanjat, apalagi bahasa Jepangnya mencuci beras itu ada kata khususnya, bukan arau tapi togu 研ぐ、yang lebih sering dipakai untuk pisau yang artinya “mengasah (pisau)”. Terjemahan bahasa Inggrisnya yang cocok adalah grind.(Bisa bayangkan kan?) .
Sesudah air beras itu menjadi bening, barulah dimasak di rice cooker dengan takaran air yang cocok. Dan yang lucunya biasanya sebelum mulai dimasak (rice cooker ON) ditunggu dulu minimum 30 menit. Katanya supaya beras itu mengembang dulu, baru dimasak dan akan menjadi rasa nasinya lebih enak. Kadang dia juga menambahkan sesendok sake untuk masak ke dalam beras sebelum dimasak (katanya supaya enak, dan memang benar lebih harum, tapi aku pernah coba ternyata tidak tahan lama, alias cepat basi). Setelah nasi tanak, tunggu dulu 5 menit, baru boleh dibuka, namanya murasu 蒸らす. Kemudian diaduk semua supaya panas dan kelembutannya merata. (Believe, keluarga induk semangku ini memang agak cerewet soal masakan hihihi). Nasi baru itu, sesendok pertama biasanya diberikan untuk sesaji Altar Buddha (butsudan).
Sejak 2007, di Jepang ada produk beras baru yang bernama Musenmai 無洗米, beras tanpa dicuci. Jadi beras hasil penggilingan biasa masih mempunyai lapisan yang diberi nama nuka 糠. Nuka ini lapisan yang menimbulkan bau, warna kekuningan dan rasa yang kurang enak pada beras, sehingga harus dicuci yang bersih dengan cara togu tadi. Jadi dengan menghilangkan lapisan nuka ini (dengan cara BG Bran Grind, NTWP Neo Tasty White Process dll) , sebetulnya beras itu tidak perlu dicuci lagi di perumahan dengan air. Selain bisa menghemat waktu, juga bisa menghemat air. Betapa beras ini ramah lingkungan, bukan?
Harga musenmai ini memang lebih mahal sekitar 100 yen (5 kg) daripada seimai (beras biasa masih ber-nuka) dari jenis padi yang sama. Tapi membayar 100 yen lebih untuk waktu dan air yang terbuang…. sangatlah murah menurutku. Awalnya aku juga ragu untuk mencoba memakai musenmai ini. Tapi karena waktu itu (2007) Riku masih bayi, padahal aku masih bekerja setiap hari dan masih harus memasak, jadi sedapat mungkin menghemat waktu untuk memasak nasi. Jadilah aku sejak itu membeli musenmai terus.
Dan ternyata aku baru tahu dalam sebuah acara kuiz di TV, bahwa beras musenmai itu amat sangat ramah lingkungan. Dan baru saja aku cek di wikipedia Jepang tentang apa yang dikatakan pembawa acara kuiz itu. Yang membuat beras musenmai itu ramah lingkungan, selain menghemat air, yaitu dengan tidak membuang nuka ke limbah perumahan, yang akan dialirkan ke laut. Karena sebetulnya dalam nuka itu masih mengandung phosporus dan nitrogen yang sulit “dibersihkan/diolah” (semua limbah perumahan melalui tahapan purification dulu sebelum dibuang ke laut, oleh karena itu perumahan juga harus membayar ongkos air limbah yang sama jumlahnya dengan ongkos air ledeng…untuk biaya purification itu). Padahal nuka yang mengandung phosporus dan nitrogen itu bagus dipakai untuk pupuk atau pakan ternak. Nah, jika dibuang/terbuang begitu saja ke laut, maka keseimbangan habitat laut akan terganggu, misalnya ganggang laut akan berkembangbiak tak terkendali yang akhir-akhirnya akan mengganggu habitat ikan dan keseimbangan laut lainnya
Jadi ternyata musenmai itu lumayan banyak membantu lingkungan hidup, meskipun musenmai sebetulnya hanya sebagian kecil dari limbah perumahan yang berpengaruh pada keseimbangan alam. Saya jadi teringat akan tulisannya Alamendah di Citarum Menjadi Sungai Paling Tercemar di Dunia, bahwa 5 juta penduduk yang tinggal di kanan-kiri sungai berperan mencemari sungai dengan sampah dan limbah perumahan selain 500 pabrik yang ada. Sudah selayaknya kita juga memperhatikan sampah dan limbah yang kita buang dari dapur/rumah kita, karena sebetulnya persentasi kemungkinan kita sendiri mencemari lingkungan sekitar cukup besar.