tetap harus diketahui, untuk kemudian dihindari agar tidak terulang kembali. Tugas kita sebagai orang tua untuk memberitahukan sejarah itu kepada anak-anak kita.
Tgl 14 Agustus 2014. Kami berkunjung ke benteng Vredeburg. Karena waktu yang singkat, aku hanya mau memotret bagian luar, tapi akhirnya masuk juga. HTM (Harga Tanda Masuk) hanya Rp 2000,- berlainan dengan benteng Fort Rotterdam di Makassar yang “serelanya”. Ternyata ada dua sisi bangunan yang berisikan diorama-diorama. Ah diorama! Pasti membosankan untuk anak-anakku, apalagi Riku yang sebenarnya malas untuk turun dari mobil. Tapi…. kepalang tanggung, jadi kuajak anak-anak masuk.
Aku pun mengitari diorama di ruangan pertama dengan cepat, sesudah berusaha memotret beberapa diorama awal. Ya cerita tentang agresi militer I dan II. Cepat-cepat aku beranjak ke ruangan sebelahnya. Tiba-tiba Kai (7th) bertanya, “Ini apa ma… kok seperti perang?”
“Ya nak, itu memang perang”
“Perang siapa lawan siapa?”
“Perang antara orang Indonesia dan tentara Sekutu (Belanda)”
“Yang mana yang orang Belanda?”
“Itu yang pakai baju tentara dengan senapan dan mobil tank. Sedangkan yang pakai baju petani, baju biasa itu orang Indonesia. ”
“Kalau itu apa? Jembatan kok dihancurkan?”
“Ya jembatannya dirusak supaya Belanda tidak bisa masuk ke daerah itu. Kalau tidak ada jembatan kan, Belanda tidak bisa nyebrang”
“Wah pintar ya….”
“Itu siapa? ”
“Itu Presiden Soekarno yang baru turun dari pesawat terbang.”
“Yang mana presiden? Yang pakai kacamata?”
“Bukan, itu Hatta wakil presiden….”
“Itu siapa?”
“Itu Jendral Soedirman. Dia panglima perang yang pintar. Dia pahlawan Indonesia”
“Oh orang hebat ya?”
“Iya sayang…”
“Kai… ini lambang Universitas Gajah Mada, universitas tertua di Indonesia”
“Wah sugoi (Hebat)”….
dan kami melewati replika serdadu Belanda setinggi manusia sedang memegang senapan. Dan Kai ketakutan…. Ya, perang itu menakutkan memang.
Terus terang aku awalnya malas menjawab semua pertanyaan Kai. Tapi kupikir, aku harus jawab. Mumpung dia ada minat untuk bertanya. Dan sekali lagi aku merasa harus mengulang pelajaran sejarah, terutama tahun-tahun supaya bisa menjawabnya lebih detil lagi.
Tapi perjalanan melihat diorama itu harus dipercepat karena Riku menjadi demam dan lemas. Kusuruh dia kembali ke mobil, tapi dia enggan pergi sendiri. Ini tanda bahwa aku harus meninggalkan tempat ini, dan kami bergegas berfoto-foto dan masuk mobil. Aku sempat jalan kaki menuju Titik Nol dan berfoto di sana sementara anak-anak menunggu di mobil.
Penjelasan mengenai perang dan agama (yang ditanyakan Riku sebelumnya, “Apa itu Islam, Buddha dan Hindu”) aku lanjutkan dalam pesawat menuju Jakarta. Tapi aku sempat kagum pada perhatian Kai, waktu dia bertanya,
“Mama nanti malam akan bertemu teman-teman kan? Di restoran mana?”
“Restoran dalam universitas Gajah Mada”
“Oh universitas tertua di Indonesia itu ya?”
dan aku tersedak… terharu dan kaget bahwa dia masih ingat apa yang tadi kukatakan.
Mungkin ingatan itu akan hilang dan terlupakan. Tapi semoga informasi yang pernah masuk, akan bisa mencuat suatu waktu nanti, dan bisa menimbulkan keingintahuan yang lebih dalam lagi.
SEJARAH memang banyak yang kelam, tapi JANGAN ditutupi, demi pembelajaran generasi yang yang datang. Generasi yang bisa menghargai sejarahnya. Pembelajaran yang cukup berat untuk Riku dan Kai, karena mereka harus tahu sejarah dua negara, Jepang dan Indonesia. Gambatte nak!
DIRGAHAYU INDONESIA KE 69!
(Foto-foto : koleksi pribadi dan dari kamera Septarius a.k.a ATA chan)
Tahu dong lagu ini ya? Yang pasti aku sudah muak dengan lagu ini karena memang sering diputar dan itu cukup lama diputar di media Jepang. Bukan itu saja, kalau pergi-pergian pasti bisa dengar deh anak-anak kecil nyanyi, “Ari no mama de~~~~” (Terjemahannya Let it go gitu deh)
Postingan ini memang aku tulis setelah aku tiba di Jakarta, dengan judul yang aku sudah tetapkan bahkan waktu aku masih melayang-layang di atas angkasa. Karena persiapan mudik bertepatan dengan akhir semester membuat aku pontang-panting menyelesaikan tugas-tugas sehingga tidak bisa menulis. Apalagi Tokyo sering aneh cuacanya, kadang hujan, kadang badai, kadang panas terik, sehingga cucian juga mengitu irama cuaca di luar. Sambil packing barang-barang yang mau dibawa dalam koper, aku memeriksa ujian mahasiswa. Sambil masak dan beberes. Hari Jumat akhirnya aku bisa menyerahkan daftar nilai ujian kepada biro akademik, dan menyelesaikan satu pekerjaan di studio.
Untung juga aku sempat mendaftarkan dua koper untuk diambil hari Kamis di rumah mengikuti program Hands Free Travel (Tebura) dari ANA yang mengambil koper dari rumah, dan mereka akan memasukkan bagasi cek in, sehingga kami tinggal mengambil dari conveyer di bandara tujuan. Sayang sekali kali ini aku tidak bisa bawa banyak barang, karena jatah koper per penumpang sudah ganti. Kalau dulu setiap penumpang (kelas ekonomi) bisa bawa dua koper max 23 kg, sekarang hanya bisa 1 koper max 23kg. Duh terasa benar pengaruhnya untukku, apalagi nanti kalau pulang dari Jakarta ke Tokyonya. Mana cukup 3 koper barang/oleh-oleh Indonesia untuk stock 1 tahun huhuhu. Dan untung sekali kopernya diambil hari Kamis pukul 4 sore, karena malam harinya hujan deras bercampur petir, halilintar, guruh dan guntur (ayoooo bisa bedakan ngga?) bersahutan di langit. Amat mengerikan. Dan aku sempat melihat petir jatuh sekitar 300 m dari apartmenku. Mati listrik semenit, sempat nyala kembali, tapi akhirnya mati listrik lebih dari 1 jam.
Jadi, aku masih punya jatah 1 koper yang akan kami bawa ke bandara sendiri. Karena bajuku, Riku dan Kai HARUS bisa masuk ke dalam 1 koper, aku harus atur benar-benar supaya tidak overweight. Selain membereskan koper, aku juga harus membereskan rumah karena akan aku tinggal 3 minggu, sehingga Gen tidak perlu membuang sampah atau menyalakan kompor lagi. Mengeluarkan pot listrik untuk air panas (lebih aman meskipun biaya listriknya lebih mahal daripada gas), juga meninggalkan uang tunai untuk membayar tagihan koran dan susu yang biasanya ditagih akhir bulan. Kerjaan emak-emak itu sangat banyak dan tidak ada kata selesai deh. Itu juga yang membuat aku tidak tidur semalaman, karena harus bangun jam 4, dan berangkat ke Haneda jam 5 pagi. Tapi untung saja ke Haneda bukan ke Narita, sehingga lebih cepat waktu tempuhnya.
Kami baru pertama kali memakai bandara Internasional Haneda. Agak bingung dengan pintu masuknya, tapi untung saja kami tidka perlu berputar-putar berkali-kali. Setelah parkir, kami menggeret koper masing-masing dan pergi ke counter cek in. Karena aku sudah punya boarding pass online, kami tinggal menaruh satu koper lagi di counter dan… cari sarapan. Bagus juga sih konsep interior di lantai atas untuk keberangkatan, bertemakan perkampungan Jepang dengan restoran dan toko khasnya. Bingung juga akan makan apa, karena restoran ramen sudah banyak antriannya, dan rasanya makan ramen untuk sarapan terlalu berat. Untung saja kami menemukan sebuah restoran Italia, yang kosong, dan menyediakan sarapan roti khas (seperti pizza) aku lupa namanya apa. Kami memesan untuk 4 orang dan rasanya enak! Tidak menyesal kami masuk ke restoran ini (tapi menyesal waktu melihat tagihan karena … muahal hahaha). Seperti biasa sih, kalau mama Imelda masuk toko yang sepi, pasti tak lama lagi tokonya jadi rame 😀 (kadang sebel juga loh punya “daya tarik” begini hihihi)
Karena sudah diwanti-wanti ground-staff bahwa boarding gate kami itu jauh, kami akhirnya berpisah dengan Gen pukul 9 pagi dan menyelesaikan imigrasi. Dan memang benar kami musti jalan jauh sekali, karena gate kami terletak paling ujung. Sambil menunggu aku menahan kantuk yang amat sangat. Dan dengan santai kami masuk pesawat paling belakang, karena sudah banyak orang yang berebutan untuk antri boarding. Banyak sekali keluarga dengan anak-anak mereka yang pasti akan melewati libur musim panasnya di Jakarta (atau kota lain). Biasanya mereka berebut ngantri masuk karena barang bawaannya banyak sehingga bisa “menjajah” kompartmen orang lain. Dan benar saja, waktu kami sampai di tempat duduk kami, bagian kompartmen atas tempat duduk sudah diisi koper milik orang lain, padahal jeleas-jelas itu bagian dari tiga nomor. Sabar…sabar… memang banyak orang Indonesia yang begitu 😀
TAPI kesabaranku habis setelah pesawat lepas landas. You know lah, anak-anak di seluruh dunia itu pasti cerewet, ribut, pecicilan…TAPI seharusnya orang tuanya memperingatkan anak-anaknya agar tidak mengganggu orang lain. AKU selalu menegur anak-anakku kalau tindakan mereka, misalnya bersuara keras atau menendang kursi depan dll supaya mereka tidak melakukannya lagi. TAPI orang tua yang duduk di depanku sepertinya cuek saja dengan tingkah anaknya. Dua anak perempuan yang berteriak, bernyanyi keras-keras –tentu lagu LET IT GO–, atau menengok ke belakang (ke kami) dan memantau kami terus. Pernah saking tidak sukanya, aku membisiki Riku yang duduk di sebelahku, “Gimana kalau mama pasang tampang galak ya? Kaget kali ya? Kalau dia nangis mama pasang muka bengong aja” Dan Riku tertawa tergelak-gelak. Huh menyebalkan!
TAPI tingkah ke dua anak perempuan ini masih jauh lebih mendingan daripada tingkah anak lelaki yang duduk di sebelah kananku yang dibatasi lorong. Tadinya anak ini duduk di tengah antara bapak dan ibunya, dan entah kapan dia pindah. Aduuuuuh, anak ini kami namakan GAMER (Boy). Waktu antri boarding aku sudah melihat dia antri sambil main game dan ketinggalan jauh. Aku melihat rupanya ibunya berdiri di barisanku dua orang di depanku. Dan waktu si ibu mau masuk, dia menyerahkan dua lembar boarding pass, untuk dia dan anaknya, tapi anaknya tidak ada! Hahaha antara ingin ketawa dan ingin ikut memarahi si anak 😀 Makanya kalau punya anak diperhatikan toh buuuu. Aku merasa bersyukur bahwa anakku (belum) tidak sampai segitunya bermain. Ohhhh seandainya menunjukkan gejala begitu? aku akan ambil itu DS, atau PS atau whatever it is, dan BANTING di depan si anak 😀 supaya dia tidak bisa pakai lagi. Jahat? Memang, tapi aku lebih baik menjadi ibu yang jahat daripada aku punya anak yang jahat 🙂 Aku sudah berusaha balancing memberikan mainan dan seharusnya anak-anak pun balancing antara bermain dan memperhatikan sekelilingnya, terutama menuruti perintah orang tuanya. Aku paling benci melihat orang tua yang mau saja diperintah anaknya 😀
Yang paling menjengkelkanku, anak GAMER itu bermain game terus sepanjang 7 jam perjalanan dan dia MENGUCAPKAN SEMUA TINDAKANNYA WAKTU BERMAIN. Kalau pistol ya dia bilang dor dor dor, mampus lu, eh ini gimana mainnya (sambil tanya ke papanya yang tentu saja tidak tahu), kiri kiri, kanan kanan….seperti reporter sepak bola dan suaranya keras! duuuuh kalau ada pistol kemarin itu mungkin aku sudah tembak deh. Dan herannya papa mamanya cuek beibeh, benar-benar membiarkan si anak bermain dan ribut begitu. Beberapa kali aku lihat ke anak itu dengan memancarkan mata marah supaya bapaknya menegur, eeeh si bapak tidak ngerti. Mau tegur langsung juga tidak enak, karena biasanya orang Jepang jarang sekali menegur langsung (sedangkan aku sudah seperti orang Jepang kan ~~~ uhuk uhuk). Benar-benar khawatir pada perkembangan anak-anak generasi sekarang jika orang tuanya tidak bisa mendidik anaknya dengan baik deh. Dan sedih dengan berkurangnya toleransi orang tua terhadap kenyamanan umum.
Dan sayup-sayup di bangku depanku, anak perempuan itu bernyanyi…”Let it go let it go~~~” Dan suara anak itu terasa jauh lebih menyejukkan hati. Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku memasang headset (aku tidak suka pakai headset soalnya) dan pasang lagunya Billy Joel yang melantunkan “Honesty~~~” dan ikut bergumam… sayangnya aku tidak bisa nyanyi keras-keras untuk menandingi anak-anak itu. Biarlah aku dianggap kalah dengan anak-anak, asal aku masih santun 😀
Tak banyak orang yang bisa mengatakan “Dia Hebat!”, tanpa ada embel-embel misalnya “tapi…..” atau “sayangnya….” di belakang kalimatnya. Memuji dari hati bahwa dia hebat, dan mengakuinya. Sulit! Apalagi anak-anak yang biasanya akan berkata, “Mama lihat deh… AKU hebat kan?”
Baru kemarin aku bersama Gen merasa bangga pada ke dua anak kami.
Riku: “Waaah Kai hebat ya… dia bisa buat ini” Kai: “Riku…. ini bagus sekali… hebat!”
Memang saat itu mereka berbicara soal game “minecraft” yang sedang mereka gandrungi, tapi baru kali ini aku melihat mereka berdua main akur. Kalau game berkelahi, pasti akan berakhir dengan tengkar mulut. Tapi game minecraft ini mereka sama-sama membuat bangunan, membuat kota sendiri, ya seperti SIM City. Dan …. selama dua minggu sejak aku unduh soft ini, rumahku adem, nyaman dan … sepi. Tapi sepertinya sebentar lagi akan aku hentikan, dan hapus softnya karena mereka terlalu kecanduan bermain di iPad dan iPhone.
Tapi akhir-akhir ini Riku memang sering memuji adiknya karena perkembangan pendidikan yang juga dipantau Riku. Seperti yang kutulis dalam Tugas Kai, Kai sudah “gede” dan melakukan tugas-tugasnya selaku murid kelas 1 SD, dan bahkan melewati harapanku. Dia bisa mengatur waktunya sendiri, begitu pulang sekolah langsung buat PR sehingga aku sama sekali tidak perlu mengejar-ngejar dia buat PR. Cuma ada satu tugas yang tetap aku sendiri yang laksanakan yaitu Ondoku 音読, membaca dengan suara keras sebuah bacaan dalam buku Bahasa Jepangnya. Ini berguna untuk melatih membaca juga. Memang dari test bahasa Jepang 国語 dan berhitung 算数 nya, Kai hampir seluruhnya mendapat nilai sempurna. Terharu sekali waktu Kai menunjukkan ulangan pertamanya. Ah, anak yang belum ada “isi”nya sekarang sedikit demi sedikit mulai “berisi” dengan pengetahuan.
Pelajaran untuk kelas 1 itu baru Bahasa Jepang 国語, dengan belajar hiragana dan partikel pembentuk kalimat. Berhitung 算数 berupa penambahan dan pengurangan, Kehidupan 生活 (mengamati makhluk hidup) yaitu dengan menanam bunga Morning Glory dan mengamati perkembangannya. Pelajaran lainnya adalah musik 音楽, yaitu mempelajari pianika dan olah raga 体育. Selama musim panas murid SD juga mempelajari renang. Ini juga yang membuat aku kaget, karena ternyata di semua sekolah Jepang mempunyai kolam renang selain lapangan luas. Bahkan di kelurahanku sangat menekankan perlunya berenang sehingga mengadakan pencatatan rekor di semua SD dalam kelurahan.
Tanggal 16 Juli yang lalu Kai genap berusia 7 tahun. Kami sibuk hari itu karena hari kerja, sehingga kami “rayakan” dengan makan sushi malam sebelumnya. Pagi harinya hanya dinyanyikan dengan kue tart yang kubeli sore sebelumnya. Benar-benar sederhana saja perayaan ultah Kai tahun ini. Tapi sayangnya ada satu “hadiah” dari gurunya Kai yang datangnya sehari sesudahnya. Jadi ceritanya waktu aku pulang, gurunya telepon dari sekolah. Minta ijin untuk memasang namanya Kai di website karena lukisan Kai tentang mobil pemadam kebakaran “terpilih” untuk dipamerkan di Gedung Pemda. Tentu saja aku ijinkan, malahan bangga bukan? Tapi memang prosedur karena Jepang mempunyai perlindungan atas hak asasi (jadi tidak bisa memberikan nama dan keterangan warga tanpa persetujuan ybs). Bahkan Riku yang mendengar soal terpilihnya lukisan Kai mengatakan…. “Wah Kai hebat ya lukisannya bisa terpilih… Aku 6 tahun di SD tidak ada yang terpilih”.
Bagaimana lukisannya? Aku tidak tahu dan tidak bisa lihat juga, karena kami tidak berada di Tokyo saat lukisan itu dipamerkan. Jadi kami menugaskan papa Gen untuk mengambil foto untuk kami 😀
Tapi memang Kai Hebat! Good boy….Mama bangga pada Kai!
Lanjutan Menanti Kedatanganmu -1-, padahal sebetulnya foto inilah yang menginspirasiku dalam pemberian judul.
Ini adalah aula Sekolah Republik Indonesia Tokyo. Karena umat Islam warga negara Indonesia belum memiliki mesjid sendiri di Tokyo, biasanya mereka berkumpul di aula ini untuk sembahyang Jumat.
Biasanya setelah sembahyang Jumat tentu alas karpet langsung disimpan kembali. Namun pada bulan Ramadhan, dibiarkan begini karena setiap malam ada taraweh di sini. Aula ini menanti kedatangan umatNya yang sedang dalam bulan yang suci ini, bulan Ramadhan.
Meskipun aku bukan muslim, ingin ikut meramaikan perhelatan ini:
Pertengahan Juli. Sudah tanggal 15. Tapi ternyata aku baru bisa menulis di blog ini setelah 14 hari berlalu dari bulan Juli. Bermacam pikiran dan perasaan selama 14 hari itu, atau kalau mau dihitung tepatnya 20 hari aku tidak menulis. Mengapa?
1. Fajar seperti ini jarang muncul di beranda rumahku. Musim hujan, badai No 8, kabut sering menutupinya. Kami selalu menanti kedatangan Sang Matahari pertanda hari yang baru akan dimulai.
2. Pemilihan Presiden yang belum ada ujungnya, yang membuat aku ikut deg-degan sebelum dan hari pelaksanaannya, dan sesudah pelaksanaannya. Kalau kukutip pernyataan temanku, ASN:
“Sebelum sampai saat memilih aku gak netral. Namun setelah memilih, terlepas suara rakyat harus dijaga agar jadi pemilu yg jujur, bersih dan tak ada kecurangan. Kita semua harus siap untuk menang dan kalah. Menang senang tapi ya gak usah berlebihan. Kalah sedih tapi ya juga gak usah lebay dan berlebihan. Siapa pun presiden terpilih kan akan jadi Presiden untuk SELURUH rakyat Indonesia. Apapun pilihannya.”
Dan kalau perlu aku tambahkan lagi, siapapun presiden kita, janganlah mencemoohkan atau mengejeknya terus: “Kan aku sudah bilang dulu bla bla bla….” “Makanya pensiun saja, kembali tidur sana… bla bla bla”. Sedih loh setiap kali membaca cemoohan orang, terhadap siapapun. Sering aku berpikir, orang-orang ini kok bisa mencemoohkan orang segitu sadis. Apa mereka tidak pernah berpikir seandainya cemoohan yang sama berbalik padanya? Hati mereka di mana ya? Begitukah sifat orang Indonesia sekarang?
Dan pagi ini aku menemukan pepatah baru dari Karaeng Toto, Profesor Aminuddin Salle yang kuhormati, sebuah pepatah dari Makassar, kampung halaman ke 4 ku. “OLOK-OLOKA LAGI NANIAK PACCENA, Binatangpun Ada Rasa Iba“. Masa sih kita lebih rendah dari binatang yang tidak punya rasa iba? Tolong dipikirkan bersama.
Kami menanti kedatangan Presiden RI yang terpilih dengan berdebar-debar.
3. Libur musim panas bagi deMiyashita akan dimulai tanggal 26 Juli, tapi itu berarti aku harus menyiapkan segala-sesuatunya sebelum libur. Hari kuliah terakhir tgl 25 Juli dan tentu aku harus membuat soal-soal ujian. Dan merencanakan liburan musim panas tahun ini memang menyenangkan dan … makan waktu.
Kami menanti kedatangan liburan musim panas dengan gembira.
Sudah cukup lama deMiyashita tidak pergi jalan-jalan bersama, karena Papa Gen sampai akhir Juni benar-benar sibuk, sehingga hari Sabtu dan Minggu tetap kerja, bahkan kadang harus menginap di kantor. Dan hari Minggu 6 Juli kemarin, Gen (berhasil) meliburkan diri. TAPI aku, Riku dan Kai harus ke gereja pagi. Jadilah baru setelah selesai gereja, pukul 12, kami melesat ke arah Nagano.
Menurut GPS diperkirakan kami akan sampai pukul 3. Dan karena tempat tujuan kami tutup pukul 4, kami tidak mau membuang waktu untuk makan siang di restoran. Untung sebelum naik mobil aku sempat mebeli sandwich dan onigiri di toko konbini. Jadilah kami makan, alas perut, dengan sandwich dan onigiri. Tapi meskipun begitu kami tetap mampir di Parking Area untuk istirahat ke toilet.
Akhirnya kami sampai di Kantor Informasi Goryokaku di kota Saku, Nagano tempat tujuan kami sekitar pukul 3. Kami sengaja tidak memasuki lingkungan kastil Goryokakunya dulu karena ingin mengunpulkan informasi. Dan di dalam Kantor informasi itu ada seorang bapak tua yang dengan senang hati menjelaskan tentang kastil ini kepada kami. Apalagi dia melihat Riku dan mengatakan bahwa di SD Taguchi yang berada dalam wilayah kastil itu mengadakan kentei shiken (ujian lisensi) mengenai kastil ini. Sayang Riku tidak mengeluarkan catatan (aneh deh itu anak tidak suka mencatat dan juga tidak suka memotret padahal bawa kamera dia sendiri loh… Malah si Kai yang potret semua yang dia bisa potret 😀 )
Nama kastil ini adalah Kastil Tatsuoka, ditambah dengan nama Goryokaku yang berarti bentuk segi lima. Kastil ini merupakan kastil terakhir yang didirikan sebelum terjadi Restorasi Meiji (1867). Karenanya meskipun bentuk segilimanya lengkap, hanya ada 3 parit yang mengelilingi. Dua sisi yang lainnya belum sempat selesai karena keburu Bafuku (pemerintahan Tokugawa) jatuh. Kastil ini mengikuti bentuk yang sama yang ada di Hokkaido. Tentu jika ada waktu kami juga ingin mengunjungi goryokaku yang di Hokkaido. Oh ya kastil Tatsuoka Goryokaku (dan juga yang di Hokkaido) ini TIDAK termasuk 100 kastil terkenal yang kami kumpulkan capnya! Kebetulan Riku ingin menulis tentang kastil ini untuk tugas libur musim panasnya.
Setelah mendapat penjelasan dari si bapak tua itu, Gen menanyakan apakah ada suatu tempat yang bisa melihat kastil ini dari atas, sehingga bisa terlihat semua segi limanya. Dan dia mengatakan bahwa jalannya kecil dan sulit dan hanya bisa dilewati mobil kecil. Dia memberitahukan cara untuk ke sana. Dan mumpung masih terang dan cuaca baik, kami tidak masuk ke dalam lingkungan kastil tapi malah menaiki mobil untuk pergi ke atas bukit yang ditunjukkan oleh si bapak tua. Diapun berpesan untuk hati-hati.
Akhirnya kami mengikuti pesannya, dan untung kami sempat memotret peta jalan menuju ke atas. Memang jalannya kecil dan dari tanah. Kalau hujan sudah pasti kami tidak bisa ke atas. Harus pakai jeep. Di tengah jalan kami juga harus menyibakkan ranting yang mengganggu jalan, dan setelah 20 menit kami sampai. Parkir di samping jalan, dan dari situ kami harus berjalan ke arah deck yang tersedia. Dan di situ banyaaaaaaaaaaaaaaaaaak sekali terdapat ulat bulu hiiiii. Jangan sampai deh bersandar di pohon, karena dipenuhi ulat bulu.
Aku ngeri tapi pura-pura tidak lihat, demi memotret pemandangan ke bawah. Eh, tapi aku sempat kok memotret seekor ulat bulu emas hehehe. Selain itu untung aku pakai sneaker sehingga tidak tergelincir. Dan kami akhirnya sampai di deck untuk melihat ke bawah, dan melihat ini. Kalau musim sakura atau musim gugur pasti bagus deh.
Setelah itu kami bergegas kembali dan masuk ke dalam lingkungan kastil. Kantor informasi yang kami datangi sudah tutup. Kami melewati jembatan masuk dan menemukan kuil di sebelah kiri, lapangan base ball yang sedang dipakai latihan. Sebuah gedung yang konon merupakan ruang penyimpanan senjata, dan di tengah-tengah berdiri bangunan sekolah dasar Taguchi. Dari depan bangunan SD itu kami bisa melihat bukit tempat kami memotret sebelumnya.
Kami juga sempat memutari seluruh segi lima lahan tersebut dan memang menemukan 3 bagian yang berparit dan dua bagian yang tidak berparit. Memang tidak ada kastilnya yang berupa kastil tapi hanya ada bekas lahannya saja.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul 5, sedangkan kami belum makan, kami mencari makanan khas daerah itu, yaitu Soba Walnut. Restoran yang kami tuju tidak begitu jauh dari tempat itu, ditandai dengan kincir air di depannya. Sebetulnya kami mendapat info restoran ini juga dari acara TV yang kami lihat malam sebelumnya. TAPI… kami harus menunggu lamaaaaa sekali, sehingga jam 6:15 kami baru bisa makan, makan siang dan malam sekaligus.
Tapi kami cukup senang dengan perjalanan hari itu karena kami bisa belajar banyak tentang kastil segi lima. Dan sebetulnya kastil ini ingin kami bandingkan dengan kastil di Indonesia….. hehehe tunggu saja tulisannya. Dua bulan lagi ya…..
Di Jepang, beberapa tahun yang lalu, kalau membeli unit telepon genggam, berarti membeli nomor. Nomornya sudah terdapat di dalam teleponnya, sehingga kami tidak bisa menukar unit telepon seperti di Indonesia. Kalau di Indonesia kan gampang saja bisa mencopot SIM Cardnya lalu “pinjem” telepon teman dengan nomor kita sendiri. Sekarang Jepang sudah memberlakukan SIM Card terutama sejak smartphone menjamur. Tapi kalau kami tidak minta khusus kepada provider, kami tidak mendapat SIM Card. Jadi istilah SIM Card termasuk baru untuk orang di Jepang.
Sering aku mendapat pertanyaan dari teman di Jakarta, apakah dia bisa membeli SIM card di Jepang, seperti biasanya di Indonesia bisa membeli nomor perdana dan mengisi pulsa. Well, tidak bisa! Tidak ada penjualan SIM Card/nomor tanpa unit telepon. Adanya rental telepon dengan pra bayar. Sehingga biasanya teman-temanku itu memakai telepon yang diaktifkan pemakaian internasionalnya (roaming), dan memakai wifi gratis jika mau mengirim sms/data.
Tapi dua hari yang lalu aku membaca di surat kabar Asahi, yang menuliskan bahwa NTT mengeluarkan SIM Card untuk data bagi pelancong atau pebisnis yang datang ke Jepang. Sebelum mendarat di Jepang bisa membeli via internet lalu begitu sampai di Jepang bisa ambil di Narita/Haneda atau di hotel. Pemakaian SIM Card data ini berlaku untuk 14 hari (cukup jika dapat visa 15 hari kan?) . Jika dalam satu hari memakai kurang dari 100Megabyte, maka bisa mendapatkan koneksi supercepat. Untuk email kira-kira 10.000 surat elektronik, kalau untuk menonton Youtube bisa sekitar 45 menit. Layanan ini dimulai untuk menyambut kedatangan wisatawan asing menghadapi olimpiade 2020 yang diperkirakan akan menarik wisatawan dan pebisnis lebih banyak lagi.
Kupikir NTT adalah yang pertama membuat terobosan SIM Card- prepaid bagi wisatawan, tapi ternyata J-Com sudah menyediakan b-mobile dan So-net juga sudah menyediakan Prepaid LTE SIM. Tapi dikatakan bahwa dibanding dua perusahaan pendahulunya, NTT lebih murah yaitu seharga 3500 yen (di luar tax) .
So, kalau datang ke Jepang sudah tidak perlu khawatir lagi, bisa membeli SIM Card prepaid, yang bisa dipasang langsung pada telepon genggam yang Anda bawa dari Indonesia. Setelah habis tentu saja bisa buang, atau beli baru lagi. Tapi memang sih kalau suka gratisan, tentu maunya pakai wifi gratis ya….. Di Jepang memang masih sedikit tempat umum yang menyediakan wifi gratis. Semoga saja menjelang Olimpiade, semakin banyak tersedia wifi gratis di Tokyo ya.
Pesan Yanz, temanku: “HP dipastikan yang keluaran terbaru, kalau yang butut sih yah sebaiknya disimpan aja, atau sewa Wifi Modem” dan “Blackberry nya kalau yang sudah LTE/3.5G atau keluaran terbaru yang OS nya terakhir mungkin bisa, namun yang Blackberry konvensional menggunakan Modem Wifi saja” hehehe. Demikian laporan dari Yanz yang baru saja mencoba pemakaian SIM Card b-mobile untuk keluarganya.
Seperti yang sudah kutuliskan di posting-posting sebelumnya, aku memang menjadi sangat sibuk sejak bulan April lalu. Setiap hari kerja aku harus pergi mengajar, dan tempatnya jauh. Kira-kira makan waktu 2 jam dari rumahku. Sebetulnya kalau aku mau, aku bisa minta kamar untuk menginap di tempat itu, karena tempat ini adalah semacam mess pelatihan dengan banyak kamar, tapi tentu saja sebagai seorang ibu, aku tidak akan merasa tenang jika tidak meyakinkan diri bahwa anak-anak akan pergi ke sekolah dengan segala persiapannya. Membangunkan mereka (Riku bisa bangun sendiri, tapi Kai sulit bangun), kemudian menyiapkan sarapan dan tas mereka, bahkan jika aku harus menyiapkan juga makan sore/malam mereka. Biasanya aku bangun jam 4 untuk masak dan menyiapkan bahan pelajaran. Dan karena sejak masuk bulan Juni, kelembaban udara naik dan menyebabkan kami tidak bisa menaruh makanan di luar terlalu lama. Untung saja anak sulungku sudah bisa memanaskan dengan microwave.
Tapi untungnya pekerjaan di sebuah institut negara ini sudah selesai kontraknya sampai tanggal 18 Juni yang lalu, sehingga mulai tanggal 23, aku bisa leyeh-leyeh di rumah dan mengerjakan apa-apa yang tidak sempat kukerjakan selama ini. Benar-benar dua setengah bulan yang memeras tenaga dan pikiran. Tapi, selama itu sedikitnya ada dua kali peristiwa yang membuatku merasa aman.
Pertama waktu terjadi hujan lebat dan angin puting beliung di daerah rumah kami. Aku mengetahui kejadian tersebut dari layanan email kelurahan kami bahwa daerah kami terkena hujan badai setempat serta guntur, Dan di jalan rumahku listrik mati. Padahal di tempat kerjaku terang benderang… wah bagaimana nih. Aku tanya “adik lesung pipit”ku Sachan yang rumahnya terletak di kelurahan sebelah, dan memang bener terjadi hujan lebat. Aku coba telepon ke rumah tapi tidak bisa sambung… benar saja apartemenku mati listriknya. Sempat khawatir akan kondisi Kai yang pulang sendiri, tapi kemudian ada email dari sekolah yang bertuliskan, “Karena hujan keras dan guntur, murid kelas 1 yang seharusnya pulang, kami suruh tunggu di sekolah sampai hujan reda” Ahhhh rasanya lega sekali. Pasti lebih aman berada dalam sekolah (padahal sekolah juga padam listriknya). Sambil bergegas pulang, aku perhatikan HP terus. Tak lama aku menerima email dari kelurahan yang menyatakan bahwa listrik di jalan apartemenku sudah nyala kembali, dan email dari SD bahwa anak-anak sudah diperbolehkan pulang. Legaaaa sekali rasanya, dan saat ini aku berterima kasih sekali akan pelayanan pemerintah daerah tempat tinggalku yang sudah memberikan rasa aman.
Memang untuk mendapatkan layanan email ini perlu pendaftaran sendiri, dan aku sudah lakukan cukup lama. Aku bisa pilih pemberitahuan apa saja yang aku mau, dan aku pilih “keamanan” dan “Cuaca”. Kadang jika terjadi kejahatan minor, akan ada laporannya via email pagi hari. Misalnya “kemarin waktu pulang sekolah, seorang murid wanita di jalan xxx ditanya oleh seorang laki-laki separuh baya letak WC umum dan mengajak pergi bersama. Tapi si murid lari.” Sehingga ibu-ibu bisa mewanti-wanti anak perempuannya, terutama jika berjalan ke arah jalan itu.
Nah peristiwa kedua terjadi hari Senin kemarin. Rupanya ada kejadian percobaan perampokan di sekitar stasiun dekat rumahku. Memang perampokannya bisa digagalkan, tapi pelakunya lari. Nah, ditakuti kalau dia lari ke daerah perumahan dan sekolah. Sehingga anak-anak disuruh pulang berkelompok dan tidak keluar bermain sendiri. Ini kuketahui dari email sekolah, dan aku cukup merasa aman dan tenang waktu anak-anak telepon ke HPku dan memberitahukan bahwa mereka sudah di rumah.
Waktu itu, aku sedang jalan dengan Sanchan ke Showa Memorial Park. Kami berdua sudah lama tidak bertemu dan masing-masing sibuk, sehingga begitu ada waktu kosong, kami janjian untuk bertemu. Sebetulnya bingung juga antara ingin istirahat di rumah atau pergi berdua. Tapi karena memang sulit mencocokkan jadwal, kami akhirnya janjian pergi ke Tachikawa. Tanpa lunch karena sudah siang waktu kami keluar rumah. Untung saja aku sempat membeli roti sandwich untuk dimakan jika kelaparan.
Kami masuk ke areal taman pukul 2 siang. Dan kami memutuskan untuk menyewa sepeda supaya bisa mengelilingi taman yang cukup luas ini. Biaya sewa 410 yen untuk 3 jam, tapi kami harus kembali pukul 4:30 karena taman tutup pukul 5. Tapi yang pasti, kami merasa bersyukur menyewa sepeda. Meskipun banyak tanjakan juga, kami bisa menghemat waktu dan bisa melihat banyak meskipun tidak semua. Kebanyakan di daerah tepi jalan sepeda saja.
Yang pasti kami senang bisa menemukan rumpun ajisai putih. Bunga hydrangea ini umumnya berwarna biru, sehingga yang putih bersih jarang ditemukan. Selain menemui pohon-pohon aneh, kami juga sempat berfoto di jalan yang dinaungi pohon ginkyo. Damai sekali rasanya melihat bunga-bunga dan pohon-pohon di sini. Kalau musim gugur pasti lebih indah deh. Kami berencana untuk pergi ke sini lagi, nanti sekitar bulan Oktober, dan tentu menyewa sepeda lagi 😀
Tujuan kami sebetulnya adalah Taman Jepang, karena meskipun aku sudah beberapa kali ke sini, belum pernah masuk ke Taman Jepang. Kebetulan di situ juga sedang ada pameran Bonsai. Terkaget-kaget kami melihat tulisan nama bonsai di situ, karena tercantum juga usianya. Yang paling tua berusia 300 tahun dan termuda 15 tahun. Orang Jepang benar-benar telaten merawat bonsai, yang sudah pasti dilanjutkan turun temurun.
Karena lapar, akhirnya kami makan roti di parkiran sepeda, kemudian pulang mengembalikan sepeda. Tak ada waktu lagi untuk makan bareng, karena aku juga harus berbelanja dan menemani anak-anak di rumah. Tapi paling tidak dalam satu hari itu aku sudah menggunakan waktu me-time dengan bermanfaat (bersepeda bersama sahabat) dan merasakan aman dan damai!
Tahu dong artinya merinding itu apa. Kata dasarnya rinding, tapi kalau kita cari di KBBI penjelasannya sbb: 2rin·ding, me·rin·dinga terasa bangun bulu kuduk; ngeri; seram: ia ~ mendengar suara makhluk itu; me·rin·ding·kanv menyeramkan; mengerikan: teriakannya keras ~ yg mendengarkannya Hmm berarti kita sebetulnya tidak boleh memakai kata “merinding” untuk menyatakan kekaguman bercampur terharu seperti waktu melihat foto ini:
Aku tidak menyoalkan apakah foto itu benar atau tidak, atau dalam rangka apa dsb tapi membayangkan orang segini banyak yang mau mendengarkan seorang calon presiden berbicara, rasanya tidak salah kalau aku mengatakan bahwa aku merinding melihat foto itu. Dan kurasa banyak orang akan setuju denganku untuk pemakaian kata merinding seperti di atas, kan?
Sama halnya, aku juga merinding, ketika sekitar 100-an WNI berkumpul di sebuah gedung di Shibuya, untuk mendukung calon presiden nomor 2 dalam acara Deklarasi Dukungan terhadap Jokowi. Pendukung menandatangani deklarasi di akhir acara dengan penekan 7 point yaitu baru, bersih, Bhinneka, terbukti, terbuka, demokratis, dan merakyat. Tak kusangka begitu banyak orang yang hadir saat itu, mengingat pengumpulan hanya dilakukan via FB. Acara dibuka dengan lagu Indonesia Raya dan ditutup dengan Padamu Negeri. Aku berusaha menahan haru waktu menyanyikan lagu kebangsaan, yang terus terang sudah lamaaaaa sekali tidak kunyanyikan. Apalagi lagu Padamu Negeri. Karena aku dan beberapa teman di sini bekerja dalam lingkungan orang Jepang, sehingga otomatis tidak ada kesempatan menyanyi lagu-lagu Indonesia. Aku merinding sekali melihat antusiasme teman-teman dengan mendatangi venue acara dari berbagai penjuru Tokyo (kami berkumpul dulu di depan patung anjing Hachiko lalu jalan bersama), dan kemudian bersatu suara menyanyikan lagu serta bersepakat untuk memilih calon presiden nomor 2. Seperti halnya aku, banyak teman di sini yang sudah bertahun-tahun menjadi golput, tapi kami merasa bahwa tahun ini kami wajib memakai hak suara kami.
Aku sebenarnya tidak pernah mau menunjukkan dukungan kepada salah satu capres. Tidak di FB, tidak juga di blog sini, karena aku menganggap setiap orang memang mempunyai hak untuk memilih yang menurutnya terbaik. Aku anti meneruskan link, baik yang memuji capres dukunganku, maupun link yang menjelekkan capres yang bukan pilihanku. Kupikir sudah saatnya warga Indonesia untuk mempelajari ,menilai dan memilih secara dewasa, tanpa perlu ada pengaruh dari pihak lain.
Jadi pakailah kesempatanmu untuk mengikuti pemilu presiden di Tokyo, dengan mendaftarkan secara online melalui PPLN Tokyo. Pemilu di Tokyo akan diadakan tanggal 6 Juli, di SRIT, tapi tentu Anda juga bisa minta supaya kertas suara dikirim ke rumah sebelum tanggal itu. Yang mau bergabung mendukung Jokowi di Jepang silakan langsung mengisi deklarasi secara online.