Dua puluh dua tahun

27 Sep

Tanggal 23 September 2014, hari libur di Jepang yaitu hari shubun no hi 秋分の日, hari autumn equinox. Equinox ada dua, pada spring (sekitar tgl 22-23 Maret) dan autum (22-23 September), dan oleh orang Jepang dinamakan Higan 彼岸. Pada hari ini biasanya orang Jepang pergi nyekar ke makam keluarga. Jadi kebiasaan nyekar di Jepang sudah pasti ada 2 kali setahun pada musim semi dan musim gugur. Kalau ditanya kapan orang Indonesia nyekar? Ya biasanya aku jawab, tergantung yang mau pergi, kapan saja, atau biasanya sebelum bulan Ramadhan dan syawal untuk umat Islam. Atau waktu ulang tahun orang yang telah meninggal itu, selama masih diingat oleh keluarganya.

Karena hari libur, dan kebetulan Gen bisa libur juga (biasanya tidak bisa libur), kami berjanji untuk pergi ke Yokohama, ke rumah mertua untuk kemudian bersama-sama ke makam keluarga. Tapi Gen ingin mampir dulu ke Universitas Tokyo (Todai)  karena ada pameran kupu-kupu Jepang di sana, dan hari itu merupakan hari terakhir. Gen memang menyukai kupu-kupu.

Jadilah kami pergi pukul 9:30 pagi, dengan harapan jalanan tidak macet. Karena biasanya pada hari libur, semua orang mau pergi bermobil kan? Untunglah jalanan menuju kampus Todai di Komaba (Inokashira Line) tidak begitu macet, sehingga kami bisa sampai pukul 10:30. Langit cerah biru dengan semburat awan khas musim gugur. Tidak banyak orang yang datang ke pameran itu. Mungkin hanya orang-orang yang “gila kupu-kupu” saja ya 😀 Tapi aku senang karena bisa jalan menghirup udara segar dan bisa jeprat-jepret sana sini. Sayang di dalam ruang pameran tidak boleh memotret.

Pameran ini gratis, dan sebetulnya sudah diselenggarakan lama. Kami saja yang baru sempat ke sini. Di sini dipamerkan 280-an jenis kupu-kupu asli Jepang yang sudah dikeringkan dan dimasukkan dalam frame! Tidak banyak memang jika dibandingkan dengan negara kita, tapi ada beberapa jenis yang diketahui bisa terbang sampai 2500km, karena ditemukan di Taiwan! Kami boleh membawa fotokopi daftar nama yang telah disediakan. Ada beberapa kupu-kupu yang pernah kami tangkap dan buat specimennya.

Karena kami berjanji untuk sampai di rumah mertua pukul 12, kami bergegas keluar tempat pameran kembali naik mobil. Kami menjemput ibu mertua lalu makan siang di Motosumiyoshi, di sebuah restoran yang merupakan langganan bapak dan ibu mertua. Sebetulnya restoran itu kecil, tapi memang masakannya enak dan murah! Seluruh daerah motosumiyoshi ini memang murah, sehingga pulangnya kami sempatkan membeli sayur dan buah-buahan di sini.

Tapi persis sebelum masuk ke tempat kami memarkirkan mobil, kami sempat mampir ke sebuah toko yang menjual minuman keras, Sakaya. Tokonya kecil tapi banyak menyediakan sake dari berbagai daerah, termasuk juga sake daerah yang sulit didapat. Aku memang suka minum sake Jepang, tapi hanya yang  bermutu. Sake bermutu biasanya tidak memabukkan. Sake itu terbuat dari beras, sehingga biasanya sake yang enak itu dari daerah penghasil beras yang enak. Dan biasanya di daerah yang musim dinginnya ekstrim, seperti Niigata. Air di daerah ini juga enak, sehingga baik untuk campuran dalam pembuatan sake. Aku memang pernah berkeinginan menjadi sommelier khusus sake Jepang (biasanya sommelier adalah pencicip wine yang mengetahui rasa wine yang cocok untuk makanan tertentu). Karena hari itu merupakan ulang tahun ke 22 kedatanganku di Jepang (Aku datang pertama kali di Jepang tanggal 23 September 1992), maka Gen menghadiahkanku buku referensi untuk mengetahui sake Jepang.

Sekitar pukul 4 sore kami mengunjungi makam keluarga, memberi air pada nisan, membakar hio dan berdoa. Dan sepertinya sudah menjadi kebiasaan keluarga kami untuk mampir ke sebuah rumah tradisional, Yokomizo Yashiki yang terletak di dekat kuil dan terbuka untuk umum (dan gratis). Di situ kami bisa merasakan suasana Jepang pada setiap musim. Musim gugur merupakan musim untuk panen padi, sehingga kami bisa melihat sawah di depan rumah itu yang mulai menguning. Aku selalu senang mampir ke situ, untuk menyenangkan hati dengan kedamaian yang terpancar dari suasana dan tetumbuhan di sekitar rumah itu.

 

 

Studi Perbandingan

26 Sep

Bukan, aku bukan ingin menceritakan atau membahas studi perbandingan yang dilakukan anggota DPR RI ke luar negeri. Tapi ingin menceritakan tentang Riku (lagi).

Jadi, selama liburan musim panas, sejak kelas 3 SD, mereka diberi tugas untuk membuat proyek sendiri. Namanya Jiyuu Kenkyuu 自由研究, untuk mengisi liburan musim panas. Topiknya boleh apa saja. Boleh prakarya, atau penelitian bintang, museum atau coba resep …apa saja. Dan setelah liburan selesai, mereka harus membawa ke sekolah dan memamerkannya di kelas. Jadi, cukup malu kalau hasil proyek itu tidak bagus (itu pemikiran deMiyashita).

Padahal Riku selalu ikut aku berlibur di Jakarta kira-kira sebulan, sehingga otomatis waktu liburannya habis di Jakarta. Karena itu kami mengusulkan pada Riku untuk membuat karangan tentang apa yang ditemui di Jakarta. Kelas 3 dia menulis hal-hal yang mengejutkannya yang ditemui di Jakarta. Misalnya waktu dia main di Kidzania, naik delman, naik bajaj, ketemu buah lengkeng dan buah Naga. Kelas 4 dia menulis tentang hutan Mangrove, karena waktu itu kami pergi ke pelabuhan Sunda Kelapa. Kemudian kelas 5 masih melanjutkan dengan Mangrove dengan tujuan waktu itu ke Taman Wisata Mangrove di Angke.

Kelas 6 ini, seperti yang telah kutulis di Daeng Senga Pulang Kampung, Riku mengunjungi Fort Rotterdam untuk proyek musim panasnya. Tapi sayangnya waktu hari pertama kami pergi ke museum itu, sedikit sekali informasi tentang benteng yang bisa kami dapat. Tapi berkat info dari suami Mugniar, kami merasa kami perlu kembali ke Fort Rotterdam lagi.

Jadi setelah pulang dari rumah  Karaeng Toto, Opa dan Kai beristirahat di hotel, sementara aku, Riku dan Yuko jalan lagi. Kami sempatkan pergi ke lapangan Karebosi yang di bawahnya terdapat pertokoan dan pergi makan es pisang ijo! Wah aku tidak mau pergi ke rumah makan MM itu lagi ah…. penuuuh dan musti antri, sambil lihat siapa yang sebentar lagi selesai makan, berdiri di dekatnya dan berebut tempat duduk 🙁 Ngga biasa sih…. aku juga tidak akan enak makan jika ditunggui seperti itu deh.

Nah aku ingat kenapa kami mampir ke Kareboshi dan makan pisang ijo dulu sebelum ke benteng Fort Rotterdam lagi, karena aku tahu waktu hari pertama ke sana, panaaaaaaasnya minta ampun. Jadi mau menunggu agak sorean dulu baru ke sana. Dan untung saja, memang waktu kami ke benteng sudah tidak terlalu panas. Dan satu hal yang paling mengejutkan kami, yaitu bertemu dengan pemandu wisata yang bisa berbahasa Jepang! Di pintu masuk kami disapa apakah perlu guide, lalu kujawab perlu yang bisa bahasa Jepang. Dan si bapak setengah abad itu menjawab : “Saya bisa bahasa Jepang!”

Wah, meskipun kalimat bahasa Jepangnya tidak sempurna, cukuplah untuk Riku. Kami diantar naik ke bagian depan benteng yaitu bagian yang berbentuk kepala kura-kura. Memang benteng ini memakai bentuk kura-kura sejak di didirikan oleh Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karang Mangunungi Tumaparisi Kallona dan diselesaikan oleh putranya Raja Gowa X pada tahun 1545. Awalnya tentu tidak bernama Fort Rotterdam tapi Benteng Ujung Pandang. Awalnya berfungsi sebagai benteng pengawal yang melindungi Benteng Induk Somba Opu yang juga sebagai pemukiman pembesar-pembesar kerajaan. Pada tahun 1667 benteng Ujung Pandang diserahkan kepada VOC bersamaan dengan ditandatanganinya perjanjian Bungaya. Dari 1667 sampai kedatangan Jepang tahun 1942 diganti nama menjadi Fort Rotterdam dan digunakan sebagai markas komando pertahanan, pusat perdagangan, pemerintahan dan pemukiman pejabat-pejabat belanda. Pangeran Diponegoro pernah ditawan dari tahun 1834-1855 di sini.

Konon Raja Gowa membuat benteng berbentuk penyu/kura-kura ini karena menginginkan kerajaan Gowa jaya di laut dan di darat, seperti layaknya kura-kura. Keseluruhan luas benteng 28.595,55 meter dengan tinggi benteng bervariasi antara 7 sampai 5 meter, dengan ketebalan benteng rata-rata 2 meter. Waktu aku membantu Riku mengetahui luas benteng ini, memang panjang/lebarnya tidak ada yang sama! Menurut data sisi muka (kepala ) 225 m, lalu ke arah utara 155,35meter , timur 193.2 meter dan sisi selatan 164,2 meter. Kok sisi-sisinya tidak sama ya? Asumsiku jaman dulu benteng dibangun juga mungkin tanpa denah dan perhitungan ya sehingga tidak simetris. Di dalam lingkungan benteng terdapat 14 bangunan Belanda + 1 bangunan Jepang.

Lain sekali dengan Goryokaku (kastil segilima) yang terdapat di Saku-shi, Nagano. (Sudah pernah ditulis di sini) Tentu tahun pendiriannya juga lain. Jauh lebih modern, sudah mendekati restorasi Meiji. Bahkan sebetulnya pembangunan parit sekeliling kastil yang berbentuk segi lima itu belum semuanya selesai, baru 3 sisi saja. Kastil Goryokaku jadi merupakan kastil “termuda” di Jepang dan belum pernah dipakai untuk perang. Sekarang di dalam lingkup kastil itu berada gedung sekolah SD Taguchi, lengkap dengan lapangan untuk olahraga. (di sebelah salah satu sisi juga dibangun kolam renang untuk pelajaran renang). Satu-satunya bangunan yang masih lengkap dan masih berada dalam kastil hanyalah bangunan dapur. Sebetulnya masih ada bagian-bagian kastil, seperti gerbang, tapi dipindah ke tempat yang lain.

Riku membandingkan dari tahun pembuatannya, bentuk/luasnya (di sini pakai skala untuk menyamakan, cukup berat untuk dia karena belum dipelajari di sekolahnya) kemudian pemikiran dia mengenai keberadaan kastil itu sendiri. Kami biarkan dia menulis pemikirannya sendiri, tanpa ada campur tangan pendapat kami. (padahal banyak tuh yang mau kita tambahin hehehe) . Tapi sejak awal aku sudah menanamkan pada Riku kalau menulis sesuatu, coba saja jawab pertanyaan: Apa? Siapa? Kapan? Di mana? Bagaimana? Kenapa?  Supaya tulisannya tidak ngawur hehehe. Betul kan?

Dan memang untuk mendapatkan informasi yang cukup, perlu waktu. Kami sampai dua kali pergi Fort Rotterdam dan menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Untung juga waktu kami pulang, sempat menanyakan juga apakah ada buku tentang benteng, dan membeli dua buku (fotocopy-an) untuk melengkapi informasi. Semakin lama, semakin banyak informasi, tentu kita bisa menulis lebih bagus dan lengkap.

http://i282.photobucket.com/albums/kk254/coutrier/blog24/kenkyu_zpsa4db9ec9.jpg

 

Kumis dan Biore

8 Sep

Laporan Daeng Senga Pulang Kampung 2014-nya dipotong dulu ya, kebetulan ada topik yang pendek, tentang anak-anak.

Dalam kesempatan mudik lalu, aku bisa bertemu dengan seorang teman, adik kelas, Ira Inami yang suaminya sedang bertugas di Hanoi. Selama ini aku kenal dan bertegur sapanya hanya lewat FB, for the sake of almater. Eh ternyata aku kakak kelas dia, dan saat aku menjadi ketua Himaja (Himpunan Mahasiswa Japanologi) UI aku sempat “membaptis”nya dalam OSPEK prodi Jepang. Jadi beda angkatan hanya 3-4 tahun. Senang sekali akhirnya bisa bertemu muka langsung, kebetulan dia mudik (dari Hanoi) dan aku mudik (dari Jepang). Ketemunya di Plaza Senayan.

Pertemuan lintang dadakan di Garcon PS. Tengah “calon brondong-brondong” kami :D. Lihat, penampakan kuenya yummy kan?

Salah satu topik yang dipercakapkan dalam pertemuan di toko kue Garcon (toko kue Perancis ini memang enak dan mahal :D) adalah bahwa anak lelaki satu-satunya yang sudah duduk di kelas 2 SMP itu mulai bertanya soal urusan kumis. Ya, anaknya sudah mulai tumbuh kumis, dan disarankan ibunya jangan cukur, karena nanti tambah lebat. Aku menimpali, “Boleh cukur, tapi berarti sejak hari itu kamu harus setiap hari cukur. Kalau belum bisa komit untuk setiap hari cukur, ya berarti kumisnya akan tambah lebat dan semakin sulit lagi. Untuk sementara lebih baik tidak dicukur, kecuali tambah banyak dan mengganggu ya.”

Sambil berkata begitu, aku dalam hati, juga berkata pada diri sendiri bahwa aku juga harus siap jika tiba-tiba Riku (dan Kai) sudah berkumis. Sebentar lagi…. Tapi kelihatannya Riku sudah siap sih, pernah dia tanya, “Ma, aku sudah berkumis belum?”
“Belum lah…. kenapa? kamu mau berkumis?”
“Mau lah…. kan semua orang jadi besar dan berkumis…”
“Yaaaaah berarti kamu sudah tidak mau peluk dan cium mama lagi ya?”
“Mama ngomong apa sih….”
Memang benar, Riku sudah tidak mau lagi. Jangankan peluk, gandengan tangan saja tidak mau. Padahal aku juga sudah sering kecewa, kalau mencium Kai,  adiknya yang baru 7 tahun saja, dia langsung menghapus pipinya seakan-akan jijik…. huhuhu.
Mana bayikuuuuuuuuuu….. aku kan masih mau cium-cium anakku 😀 😀 😀

Waktu berada di Jakarta, tiba-tiba Riku datang padaku dan tanya,
“Ma, ini apa?” Sambil menunjukkan jerawat kecil di dagunya.
“Itu jerawat! Kecil sih… gpp!”
“Gimana cara hilanginnya?”
“Ya makanya mama kan bilang sehari makan telur maksimum 2 butir. Jangan makan yang berminyak”
“Kan aku juga atur makannya”
“Ya sudah, cuci muka saja yang bersih, setiap hari. Nanti hilang deh. Kalau mau pakai tuh biorenya mama. Tapi jangan banyak banyak…mahal!”
“Aku cuci sekarang ya?”
“Iya….” Akhirnya aku mengikuti dia ke kamar mandi.

“Eh ini ada biore untuk laki-laki… pakai ini saja. Mungkin punya om Chris atau kakak Dharma”
“Gini ya…..”
“Ya, nanti kalau mama ke supermarket, ingatkan untuk beli seperti ini ya”

Begitulah dia akhirnya aku belikan biore for men, sambil wanti-wanti jangan sering-sering nanti justru kulitnya kering.

Besoknya,
“Ma, udah kecilan ya jerawatnya”
“Iya… lanjutkan cuci mukanya. Musti rajin”
Besoknya dan besoknya,
“Horreeee sudah ngga ada jerawatnya”
“Iya, makanya musti cuci muka yang bersih setiap hari ya”

kiri biore beli di Jepang, kanan yang beli di Jakarta + Spray isi air untuk rambutnya 😀

Dan akhirnya aku membelikan dia biore foam sesampai di Jepang. Waktu di drugstore, dia datang bawa biore foam dalam botol itu.
“Ma, aku beli ini ya…”
Dan karena aku buru-buru tidak melihat harga lagi, tapi sempat mengomel dalam hati,”Huh aku sudah harus belikan kosmetik untuk anakku? huhuhuhuhu”… nangis deh ingat isi dompet yang berkurang 😀

Dan sekarang Riku (11 th) setiap pagi dan malam rajin mencuci mukanya.
Dan itu diikuti Kai (7th) juga ikut rajin mencuci mukanya dengan biore setiap malam sambil sikat gigi. Huhuhuhu…

Dan beberapa hari lalu, Riku minta pergi potong rambut dengan papanya, (padahal rambutnya masih pendek… tapi memang sudah agak tidak beraturan.) Dan pulangnya tiba-tiba kulihat ada botol spray berisi air di wastafel (seperti yang dipakai untuk spray tanaman gitu)
“Itu spray punya Riku ya?”
“Iya ma…. aku kan lihat di barbershop tukang potongnya pakai spray begitu untuk basahin dan siri rambutnya. Kupikir aku bisa bikin begitu setiap hari supaya rambutnya rapi”
“Iya…….”
(Sambil menahan tawa duuuuh anakku sudah mulai perhatikan penampilannya…
Umur berapa sih kamu? Kok mau cepat-cepat jadi gede aja?)
(dan aku teringat adegan aku dan papanya kaget saling berpandangan beberapa waktu yang lalu, ketika Riku bilang” Horree TUJUH TAHUN lagi aku bisa ambil SIM dan nyetir mobil….)
OMG anakku perlahan dan pasti menuju puber dan menjadi dewasa!

Be prepared mel! 7 tahun itu cepat, dan perkembangan anak itu lebih cepat lagi hehehe.

Biore adalah nama produk perusahaan Kao. KAO sendiri dulu namanya  Nihon Yuki Company (日本有機株式会社) didirikan oleh Tomiro Nagase pada tahun 1887  sebagai perusahaan manufaktur perlengkapan sabun mandi domestik. Tahun 1940,  nama perusahaan diubah menjadi Kao Soap Company(花王石鹸株式会社), dan 1985 menjadi Kao Corporation. Lucunya waktu aku mendengar nama perusahaan KAO itu langsung teringat kanji 顔 kao yang wajah, eh ternyata salah hehehe (padahal berhubungan ya).

(katanya pendek, tahunya 780-kata lebih hahaha)

Pertemuan Para Daeng

5 Sep

Akhirnya kami sampai pada tujuan  utama kunjungan Daeng Senga Pulang Kampung, yaitu berkunjung ke AS Center di Perumahan Dosen UNHAS. AS Center adalah sebuah yayasan dari keluarga Karaeng Toto, “Aminuddin Salle Center”. Tempat ini digunakan sebagai pusat kegiatan keluarga pak professor untuk membantu anak-anak sekitar mendapatkan pendidikan luar sekolah, dan menjadi pusat kegiatan masyarakat sekitar. Senang sekali aku bisa mengikuti kegiatan mereka mesti cuma lewat foto-foto. Seandainya aku berada di sana, ingin juga ikut serta dalam berbagai kegiatan tersebut.

AS Center huruf lontara…. kapan ya aku bisa baca/tulis huruf itu? Bawah Yuko san, Riku dan Dzaky bermain kendang.

Begitu sampai di AS Center kami melihat-lihat ruangan yang sedang dipersiapkan menjadi ruang pameran. Ada banyak karya dari kayu bertuliskan pepatah bahasa Makassar. Bahkan tulisan TOILET pun bertuliskan huruf Lontara. Wah aku serasa buta huruf deh kalau lama-lama di sini 😀 Padahal kalau melihat sekilas, huruf-huruf itu sepertinya tidak sulit ya. Tapi untuk otakku yang mulai menua ini, kelihatannya aku perlu tenaga ekstra untuk mempelajarinya.

Selain melihat koleksi buku, foto dan ukiran kayu AS Center, aku juga melihat tumbuhan yang ditanam di sekeliling center. Kami beristirahat di ruangan terbuka yang merupakan kolam ikan di bagian bawahnya. Ya, seperti horigotatsu di Jepang, tapi dibawahnya kolam yang berkawat supaya kalau ada barang jatuh tidak kecemplung ke dalam kolam.

Tanaman di AS Center. Kanan bawah buah Nangka cempedak yang jatuh waktu kami datang.

Selain unik tempat berkumpul itu, di sekelilingnya terdapat tanaman markisa. Aku baru tahu pohon markisa ternyata tidak sebesar pohon mangga/nangka dan menjalar. Waktu itu pula kami bisa mencicipi nangka cempedak yang jatuh dari pohon waktu kami berada di situ. Dalle (Rejeki) nya daeng Senga? hehehe. Rasanya? Ya nangka tapi harum dan dagingnya lembut seperti durian. Untuk beberapa orang mungkin tidak suka karena harumnya yang cukup keras.

Foto atas di ruang terbuka di AS Center yang seperti horigotatsu dan di bagian bawahnya merupakan kolam ikan. Dalam menu makan siang kami ada ikan goreng juku sala mata, ikan yang letak matanya salah katanya hehe.

Kami pun pindah dari lokasi AS Center ke rumah kediaman untuk santap siang bersama. Kami bisa merasakan suasana kekeluargaan bersama anak-anak dan cucu Karaeng Toto. Anak lelaki tunggal Karaeng yang bernama Donni memanggilku Daeng Senga terus, dan ini mengingatkanku bahwa … namaku adalah Daeng Senga. Dan kebetulan semua anak yang masing-masing mempunyai nama Daeng sehingga boleh dikatakan hari itu merupakan pertemuan para Daeng! (Tapi daeng yang ini yang paling tidak tahu apa-apa hehehe) Salam hormatku Daeng Memang, Daeng Salle, Daeng Tamae’, Daeng Bau’ dan Daeng Niso’na, serta tentu kepala keluarga Karaeng Patoto.

Dzaki dan Riku. Kiri: foto tahun 2012 waktu berjumpa pertama kali. Kanan foto waktu berjumpa ke dua kali tahun 2014.

Yang lucu adalah cucu karaeng yang bernama Dzaky itu amat lengket dengan Riku. Memang sejak 1,5 tahun lalu waktu pertemuan pertama, dia sudah nempel terus sama Riku. Bahkan kalau diperhatikan mukanya memang mirip!

Terima kasih atas jamuan dan waktu yang disediakan Prof Aminuddin Salle Karaeng Toto untuk menemui kami. Semoga nanti akan ada kesempatan-kesempatan lain di masa datang untuk saling berjumpa lagi ya. Tentu saja kalau bisa berjumpa di Tokyo lebih baik lagi hehehe.

 

Kue Blinjo dan Kopdar

4 Sep

Beberapa hari yang lalu aku sempat mengupload sebuah foto makanan. Tepatnya sekotak kue Jepang yang dibuat begitu rapih, dan jika dibuka kuenya berbentuk seperti apel. Memang ada campuran apel, yang merupakan produk khas prefektur Nagano, yang dicampur dalam adonan kue yang disebut Manju. Kalau mungkin pernah makan kue bulan, ya seperti itu. Ada bagian kulit dan bagian dalam, seperti paste dari kacang hijau. Rasanya? Enak untuk yang suka kue Jepang. Kebetulan aku tidak begitu suka kue-kue Jepang. Makan, tapi tidak mencarinya. Padahal kue Jepang tidak manis (aku tidak begitu suka yang manis-manis). Menurutku kue Jepang itu pantasnya untuk dilihat (saja) hehehe. Mereka menyatukan estetika bentuk dan rasa dengan pandainya. Sahabatku, Sanchan pandai membuat kue-kue Jepang yang cantik-cantik karena memang belajar.

Kue manju berbentuk apel yang sangat detil

Tapi sebetulnya aku sendiri memang memilih sekali untuk makan kue. Aku makan kalau aku tahu pasti enak 😀 Atau aku tanya dulu adikku atau temanku yang pemilih, apakah kue itu enak atau tidak. Maklumlah, aku tidak mau menambah kadar gula yang tidak perlu di dalam tubuh yang sudah melar ini. Nah, kebetulan aku mendapat sebuah kotak kue dari Makassar, Kue Blinjo namanya. Karena kali ini aku tidak bisa membawa pulang banyak-banyak (koper hanya tiga saja — biasanya 6 koper), maka aku taruh makanan yang kuterima sebagai oleh-oleh di atas meja, untuk dimakan bersama keluargaku di Jakarta. Waktu itu papa, yang juga picky untuk makanan karena harus menjaga asupan kalori untuk jantungnya, membuka kotak kue Blinjo ini.

“Mel, aku buka ya….”
“Buka saja pa, aku dikasih teman di Makassar. Enak ngga?”
“Eh mel…. ini kue bentuknya tidak cantik tapi enak sekali!”
“Masa sih…..” Lalu aku ambil satu….dan….. memang enak!
“Sorry… aku bawa ke Jepang ya :D” dan masuklah satu kotak Kue Blinjo itu ke dalam koperku. Dan sekarang sudah habis, oleh aku sendiri 😀

Kue Blinjo dari Niar. Terima kasih banyak ya daeng.

Kue Blinjo yang enak itu adalah oleh-oleh dari sahabat bloggerku yang baru, Mugniar Marakarma yang memang tinggal di Makassar. Kebetulan aku sudah berteman dengannya di FB, dan tepat sebelum aku mudik ke Jakarta, sempat berbincang-bincang dengannya. Dan kebetulan sekali aku punya rencana untuk ke Makassar, sehingga ada kemungkinan untuk berjumpa dengannya.

Karena memang aku datang ke Makassar waktu liburan lebaran, aku tidak mau mengganggunya dengan kegiatan keluarganya. Tapi waktu aku sedang bermain di pantai Akkarena itulah Niar menghubungiku. Aku sendiri tidak ada acara lain, kecuali makan malam yang belum diketahui rencananya ke mana. Jadi kami janjian untuk bertemu di hotel sekitar pukul 8 malam.

Ternyata kami saking capek dan masih kenyang karena makan siang cukup lambat, tidak pergi keluar hotel lagi setelah itu. Sehingga aku bisa berbicara dengan Niar cukup lama di lobby hotel. Kami berbicara tentang keluarga dan blog kami, sementara suami Niar duduk di tempat lain. Baru waktu aku mengantar mereka berdua untuk pulang, suami Niar justru memberikan banyak masukan mengenai Fort Rotterdam. Ya aku memang bercerita perjalanan ke Fort Rotterdam sehari sebelumnya kepada mereka berdua, dan menyayangkan tidak adanya informasi yang mendetil tentang benteng itu sendiri. Suami Niar menyarankan aku mencari di google saja, karena cukup banyak informasi yang bisa ditemukan. Tapi ada satu info bahwa jika naik ke bagian atas benteng, akan bisa melihat bulatan ring tempat menambat kapal, sehingga dapat diketahui bahwa benteng itu berada persis di pinggir laut.

Aku dan Niar yang cantik sekali. Siapa yang percaya anaknya sudah tiga orang?

 

LOH… bagaimana caranya naik ke atas? Dari informasi inilah aku kemudian pergi lagi ke Fort Rotterdam esok harinya. Terima kasih banyak atas informasi yang justru diberikan persis sebelum pulang. Terima kasih juga karena Niar langsung mengirimkan juga link tulisannya mengenai benteng di sini. Juga terima kasih untuk tulisan kopdarnya di sini. Terima kasih juga untuk oleh-olehnya Kue Blinjo yang sangat enak itu. Aku baru pertama kali mengetahui kue blinjo ini. Meskipun katanya bukan asli Makassar (ada yang bilang dari Surabaya) tapi kue ini patut dipromosikan.

Demikianlah kopdar pertamaku di kota Anging Mamiri. Semoga akan ada lagi kopdar-kopdar berikutnya di lain kesempatan.

 

Danau Kassi Kebo dan Pantai Akkarena

3 Sep

Dalam kunjungan Daeng Senga ke Makassar kali ini, kami menyempatkan diri pergi (lagi) ke Bantimurung. Karena teman kami, Yuko san belum pernah ke sana. Bantimurung tempat yang menyenangkan sehingga berapa kali pun tidak akan bosan untuk pergi ke sana. Riku dan Kai juga ingat tempat ini, sehingga mereka sudah tahu arah jalan, dan mau cepat-cepat pergi ke air terjun besarnya.

Pintu masuk dengan deretan toko-toko cendera mata

Berlainan dengan waktu kami ke Bantimurung tahun 2012 lalu, kali ini banyak orang sejak di pintu masuknya. Karena masih dalam libur sesudah lebaran, sehingga banyak orang berekreasi ke sini. Toko-toko di sepanjang pintu masuk menawarkan oleh-oleh cendera mata, termasuk kumpulan kupu-kupu yang sudah dipigura.

Sayangnya dibanding kedatangan kami sebelumnya, kami jarang melihat kupu-kupu beterbangan. Mungkin mereka takut juga karena banyak orang ya 😀 Padahal saat itu masih pagi loh. Oh ya aku tidak suka di sini yaitu WC nya. WC untuk perempuannya tidak berjamban (hanya lantai saja), dan kami harus membayar 2000 rupiah. Hmmm….. tapi kalau terpaksa ya apa boleh buat ya.

tangga menuju ke sumber mata air dari air terjun, yang katanya dengan berjalan 800 m kami bisa melihat danau dan gua batu

Anak-anak langsung buka sepatu dan turun ke batu-batu air terjun untuk bermain air. Opa memotret dari pinggir dan tidak ikut turun. Karena cukup banyak orang di air. Sementara itu aku dan Yuko dengan dipandu seorang pemuda naik ke atas tangga di samping air terjun. Dulu aku ingin naik tapi tidak bisa karena harus memperhatikan anak-anak. Sekarang anak-anak sudah lebih besar dan bisa jaga diri, sehingga kesempatan untuk naik ke sumber air di atas. Kata pemandu kami jaraknya 800 m, pulang balik kira-kira 1 jam. Satu jamnya sih tidak apa-apa, tapi aku lupa bahwa aku membawa sepatu anak-anak. Aku memang tidak mau menitipkan pada opa, takut opa terpecah perhatiannya, lalu terpeleset atau apa.

Danau Kassi Kebo yang merupakan mata air dari air terjun Bantimurung ini

Nah selama perjalanan di atas air terjun itulah banyak kujumpai kupu-kupu. Selain itu airnya berwarna biru muda menciptakan sungai yang tenang. Untung udara tidak begitu panas, sehingga aku masih tahan berjalan terus mengikuti si pemuda pemandu, sambil sesekali berhenti memotret kupu-kupu. Jalanan yang kami lewati dibeton dan bagus mengarah ke Gua batu dan Danau Kassi Kebo. Dan benarlah setelah berjalan cukup lama, kami sampai di danau putih, tempat mata air Bantimurung ini. Kebo itu artinya putih, sedangkan kassi itu pasir. Danau pasir putih…. sungguh indah, apalagi saat itu tidak ada orang lain selain kami bertiga.

Aku dan Yuko san di depan danau Kassi Kebo

Kami diajak si pemuda untuk masuk Gua, tapi aku kepikiran opa dan anak-anak yang menunggu di bawah. Selain itu aku memang takut pada kegelapan kan? Jadi tidak berani coba masuk ke gua itu. Setelah sampai di air terjun dan memakaikan anak-anak sepatu, kami berjalan ke arah pulang. TAPI ada sesuatu yang membuat kami kaget. Kebetulan saat itu aku sedang duduk di depan stand kopiko, tiba-tiba ada ramai-ramai. Rupanya ada Iguana yang cukup besar melintas… Lucunya dia sempat berhenti seakan-akan berpose memberikan kesempatan pada kami untuk memotretnya.

Iguana berpose

Kami pun pulang ke hotel setelah makan siang di restoran Ratu Gurih, berdasarkan rekomendasi temanku. Hmm aku pribadi lebih suka restoran New Dinnar karena lebih bersih dan dingin AC nya hehe. Tapi ada satu cara inovatif yang kuperhatikan dari restoran Ratu Gurih yaitu mereka memakai taplak meja dari plastik yang bertumpuk. Jadi kalau sudah selesai, mereka tinggal ambil satu lapis pertama dan ambil semua kotoran di atas meja sekaligus dengan plastiknya. Praktis dan tidak makan waktu.

Pantai Akkarena

Setelah mengantar opa ke hotel untuk istirahat, kami pergi ke pantai Akkarena. Sebetulnya ingin mencari pantai pasir putih, tapi semua pantai yang disebut-sebut di internet cukup jauh dari kota. Takutnya kami kemalaman di jalan, sehingga akhirnya kami pergi ke pantai yang terdekat.

Pantai Akkarena Bawah: pisang epek dan jagung bakar

Masih terang benderang dan aku membiarkan anak-anak bermain pasir dan air laut. Sementara aku berteduh dan memesan pisang epek dan jagung bakar serta minuman. Sementara itu di beberapa tempat beberapa kelompok orang mulai berdatangan dan membentang tikar/selimut untuk berpiknik. Sayang sekali, mereka tidak menjaga kebersihan atas sampah yang dibawanya. Aku sempat memperhatikan beberapa angsa yang mengambil sampah-sampah dari tempat mereka dibiarkan saja sehingga sampahnya berserakan ke mana-mana. Bagaimana kalau angsa itu menelan plastik? ah… kesadaran memelihara kebersihan orang Indonesia memang masih sangat kurang.

plastik bekas minuman akhirnya berserakan begitu saja 🙁

Eh tapi dari pantai Akkarena ini ada satu yang patut dipuji. WC nya bersih dan TIDAK PERLU BAYAR, kecuali kalau mandi hehehe. Waktu aku mau membayar, ibu berjilbab yang menjaga di depannya mengatakan tidak perlu. Terasa sekali bedanya antara WC di Bantimurung seharga 2000 rupiah dengan WC di Akkarena yang gratis hehehe.

Karena sudah capek, kami meninggalkan pantai Akkarena sebelum matahari tenggelam sehingga tidak bisa menikmati keindahan sunset di sini, dan kembali ke hotel.

Daeng Senga Pulang Kampung

27 Agu

Siapa itu Daeng Senga? Baca di sini ya 😉 Nah dia pada liburan musim panas kemarin, tepatnya sejak tanggal 26 Juli pulang “kota” ke Jakarta. Setelah merayakan ulang tahun papanya tgl 29 Juli, pada tanggal 31 Agustus, pulang ke kampung halamannya di Makassar! Tentu saja berempat lagi! (Eh tambah satu teman orang Jepang deh 😀 jadi berlima)

Kepergian ke Makassar ini memang sudah direncanakan sejak jauh hari, dengan tujuan utama Fort Rotterdam dan silaturahmi lebaran ke rumah Prof Aminuddin Salle Daeng Toto. Kenapa Fort Rotterdam? Karena waktu kami ke Makassar 1,5 tahun yang lalu, kami tidak sempat pergi ke Fort Rotterdam. Dan nama Fort Rotterdam muncul waktu Riku ingin menulis tentang perbandingan Kastil di Jepang dan di Indonesia. Kastil bukan istana, lebih menyerupai benteng. Oleh karena itu aku mencari nama-nama benteng di Indonesia, dan menemukan informasi bahwa benteng Rotterdam itu yang paling besar, paling tua dan masih terpelihara sampai sekarang. Tentu saja ini merupakan daya tarik yang amat besar bagiku untuk bisa kembali ke Makassar lagi, setelah menerima nama Daeng Senga. Dan waktu kuajak temanku Yuko, dia juga mau ikut bersama.

Perjalanan mudik ke Makassar setelah menjadi Daeng Senga

Kami sampai di bandara Hasanuddin masih pagi. Karena kali ini tidak ada mobil/jemputan, kami naik taxi dari bandara. Ntah karena kami berlima + koper, taxi yang kami tumpangi kempes bannya pas melewati polisi tidur (mungkin juga bodynya terlalu pendek ya?). Kami menuju Hotel Celebes, sebuah hotel tua, hotel melati yang aku pesan lewat agoda untuk 3 malam. Papa yang suka menginap di sini karena letaknya yang dekat dengan gereja Katolik, sehingga papa bisa jalan kaki untuk mengikuti misa setiap hari.

Sesampai di hotel, kami cek in, menaruh koper dan barang-barang lalu jalan kaki ke warung-warung terdekat untuk makan pagi. Sebetulnya mau dibilang warug juga tidak, karena mereka menempati kiosk-kiosk permanen. Dan lucunya menunya hanya satu, eh dua, ikan bandeng bakar dan sop saudara.  (Nama Sop Saudara ini juga aneh, ntah apa yang membuat sop ini dinamakan Sop Saudara. Kata papa: “Kalau sop sayur, sayurnya dipotong-potong lalu direbus. Kalau sop buntut, buntutnya dipotong lalu direbus. Nah kalau sop saudara, masa saudaranya dipotong lalu direbus? hehehe)

makan pagi dan naik becak menuju Fort Rotterdam

Jadilah kami berlima makan nasi dengan ikan bandeng bakar, dan tentu pakai tangan. Yuko san juga terlihat tidak aneh makan nasi dengan tangan, meskipun awalnya canggung, akhirnya terbiasa juga. Kai juga suka sekali makan nasi dengan ikan ini.

Setelah selesai makan, kami bergerak lagi menuju Fort Rotterdam. Tapi, katanya cukup jauh untuk berjalan ke sana (mungkin kalau orang Jepang sih biasa, tapi tidak untuk orang Indonesia). Jadi papa memanggil becak dan bertanya dalam bahasa Makassar. Berapa ongkos sampai benteng? Lalu si tukang becak berkata, “Seberapa saja ji…” Akhirnya sepakat 10 ribu, tapi tidak bisa dong kami berlima dengan satu becak. Jadi kami naik 3 becak, aku dengan Yuko, Riku dengan Kai dan Papa sendiri. Ternyata dekat juga sih 😀 Tapi anak-anak senang sekali bisa naik becak. Kami saling memotret di depan benteng. Benar-benar wisatawan deh  (ya emang iya sih) 😀

Fort Rotterdam, Makassar

Kami menulis nama di penerima tamu, dan waktu ditanya musti bayar berapa, dijawab seberapa saja. Wah rupanya tidak ada harga tanda masuk yang tetap. TAPI kalau masuk ke museum Galigo nya memang harus bayar 5000 rupiah. Karena di luar panas, kami berfoto sebentar, lalu masuk ke museumnya. Sayang sekali tidak ada guide bahasa Jepang saat itu. Kupikir aku mau pakai guide bahasa Jepang, supaya Riku bisa mendengar langsung dari guidenya. Tapi karena tidak ada, terpaksa deh aku yang menerjemahkan secara random.

Dalam Museum La Galigo

Sayangnya keterangan-keterangan yang ada itu mengenai sejarah kota Makassar, bukan tentang bentengnya sendiri. Waktu aku mau membeli buku atau pamflet tentang bentengnyapun tidak ada. Kami akhirnya pulang ke hotel –tentu saja dengan naik becak– membawa kekecewaan karena minimnya dokumentasi sejarah benteng Fort Rotterdam itu.

Sunset di pantai Losari

Hari pertama di kampung halaman Makassar pun kami akhiri dengan melihat sunset di pantai Losari dan makan ikan (lagi) di sebuah restoran terkenal, bersama adik papa Tante Anneke, yang memang tinggl di Makassar. Dan yang membuatku heran adalah betapa murah harga masakan yang kami pesan. kalau di jakarta pasti aku harus membayar dua kali lipat. Kuliner Makassar memang ikan! Dan aku suka ikan!

ikan Kulu Kulu yang kotak itu sangat cocok untuk digoreng! Favoritnya Riku dan Kai.

 

Kenalkan Namaku : Daeng Senga

22 Agu

Akhir tahun 2012, aku mengajak papa untuk pulang kampung ke Makassar. Sebetulnya ingin menghibur dirinya yang kehilangan mama pada bulan Februari, sekaligus memintanya menjadi “guide” bagi anak-anakku yang belum pernah ke Makassar. Padahal saat itu kondisi badannya tidak bisa dikatakan fit benar, karena sedang diobservasi jantungnya yang hanya berfungsi 20%. Jadi waktu itu aku mempunyai tanggung jawab memperhatikan 3 orang, papa (opa), Riku dan Kai.

Dalam perjalanan itu selain berwisata ke Bantimurung, aku pun mengatur pertemuan dengan Prof. Aminuddin Salle, teman papa yang kukenal lewat FB. Kusisihkan satu hari untuk bertemu dengan pak Prof. sekeluarga.

Tanggal 29 Desember 2012, Kami dijemput pak Prof beserta ibu di lobby hotel persis setelah kami makan pagi, pukul 7 pagi. Tadinya aku mengajak bapak dan ibu untuk sarapan bersama, tapi katanya sudah di rumah. Setelah berbincang-bincang di lobby, kami berangkat bersama. Tujuannya? Tentu berwisata ke desa Galesong, daerah asal Pak Aminuddin. Meskipun ada juga kemungkinan nenek moyang Coutrier berasal dari Galesong juga (sesuai percakapanku dengan Ria , putri Galesong yang konon eyangnya mengenal seseorang putri yang menikah dengan orang Belanda). Sepanjang perjalanan aku melihat sawah membentang dan… pohon-pohon Lontar. Tentu semua tahu kan bahwa Makassar mempunyai huruf yang diberi nama huruf lontar, dan sebagai media kertasnya dipakai daun lontar. Lontar juga menjadi bahan baku untuk pembuatan topi adat songkok guru.

pohon lontar di sepanjang jalan. Sempat melihat perahu-perahu nelayan juga di sungai

Perjalanan yang lumayan jauh berakhir ketika kami sampai di Balla’ Lompoa (istana) Karaeng Galesong. Rumah adat yang tertata bersih dan rapih masih megah berdiri menjadi pusat kegiatan kerabat Galesong. Balla’ Lompoa ini merupakan tempat tinggal keturunan Karaeng Galesong yang terkenal dalam sejarah itu. 

Karaeng Galesong putra Sultan Hasanuddin dari istri keempatnya bernama I Hatijah I Lo’mo Tobo yang berasal dari kampung Bonto Majannang. Karaeng Galesong bernama lengkap I Mannindori Kare Tojeng Karaeng Galesong yang lahir pada 29 Maret 1655. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, ia diangkat sebagai Karaeng Galesong (Galesong, termasuk bawahan kerajaan Gowa) dan kemudian menjadi panglima perang kerajaan Gowa. Pada waktu kerajaan Gowa dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1669, Karaeng Galesong bersama beberapa kerabat kerajaan melarikan diri ke Jawa karena tidak ingin berada di bawah jajahan Belanda. 

Balla’ Lompoa Karaeng Galesong

Aku cukup heran ketika menaiki tangga Balla’ Lompoa, dan melihat piring-piring berjajar di ruang utama. Kamipun di antar melihat-lihat sekeliling sambil mendengarkan penjelasan dari Prof Aminuddin. Yang membuat aku terkejut waktu Pak Aminuddin menanyakan apakah aku keberatan jika diberi nama daeng? Wah, apakah aku bisa dan memenuhi syarat? Apakah aku yang tidak beragama Islam boleh? Tentunya kalau Pak Prof sudah menanyakan pasti beliau sudah berpikir masak-masak bahwa aku memang pantas menyandang nama Daeng. Dan aku dipilihkan nama SENGA yang berarti berani.

Pemberian nama Daeng Senga ini tentu tidak lepas dari pengaruh nama Daeng Labbang, yaitu papaku sendiri. Papa memang keturunan Makassar, masih bisa berbahasa Makassar dan tugasnya membuat sering mengajar di Universitas Hasanuddin, dan bertemu dengan Prof. Aminuddin. Waktu aku memberitahu papa, bahwa aku berteman dengan Pak Aminuddin di FB, papaku langsung berkata, “Ya, beliau teman papa! Mama beberapa bulan sebelum meninggal sempat datang ke Makassar dan bertemu Pak Aminuddin juga”.

upacara pemberian nama daeng oleh Karaeng Tanang

Selanjutnya aku mengikuti acara padaengan yang dipimpin oleh Karaeng Tanang, disaksikan oleh Prof Aminuddin Salle Karaeng Patoto sebagai Ketua Dewan Adat Karaeng Galesong , Pemangku Adat Karaeng Gassing dan Kerabat lainnya. Upacara singkat dilakukan di bawah tangga ruang dalam Balla’ Lompoa, tangga yang menuju ke atas loteng tempat “pusaka” pemersatu Galesong berada. Aku merasakan kekhidmatan dalam upacara, dan merasa terharu bahwa aku sekarang menjadi bagian dari kerabat Galesong. Lebih terharu lagi ketika aku boleh naik ke tangga yang curam, menuju bagian atas Balla’ Lompoa dan melihat pusaka yang bisa digambarkan sebagai omikoshi (kuil) kecil di Jepang. Konon dalam acara-acara tertentu pusaka ini akan dikeluarkan. Aku ingin suatu waktu kelak mengikuti upacara di Galesong lagi. 

Yang aku ingat hanya kue biji nangka kiri atas, dan barongko (pisang) kiri tengah

Selesai acara pemberian nama, kami kemudian duduk kembali di ruang utama di depan piring-piring bertudung emas, yang rupanya berisi kue-kue khas Makassar dan lauk pauk untuk makan siang. Ikan merah asap merupakan makanan khas Galesong yang sangat enak, apalagi jika dicocol dengan sambal mangga muda. Riku pun makan banyak dengan ikan merah ini. Sementara Kai masih berada di halaman bermain dengan ayam-ayam yang berkeliaran.

ikan merah, sayur santan, acar sebagai makanan utama

Setelah makan, papa sempat bercerita bahwa dia teringat ada satu tantenya yang dulu dia kenal bernama Daeng Senga. Meskipun aku tidak mempunyai hubungan darah langsung dengan tante itu, semoga aku bisa membawa nama “berani” ini dengan lebih berani. Juga bisa membantu menyebarkan kebudayaan dan daya tarik Galesong setelah aku mempelajarinya juga. Maklum aku benar-benar nol pengetahuannya tentang Galesong, bahasa dan adat istiadat Makassar. Memang setelah pemberian nama ini, Prof Aminuddin selalu memanggilku Daeng Senga (di FB). Awal-awal aku merasa aneh memang karena belum terbiasa, tapi sekarang aku sudah memanggil Pak Prof dengan Karaeng Toto.

Kami akhirnya meninggalkan Balla’ Lompoa dan mampir di rumah pengrajin Songkok Guru, dan sempat melihat proses pembuatan Songkok Guru dari dekat. Riku terlihat ganteng memakai topi khas Makassar itu.

songko guru yang terbuat dari serat lontar

Dalam perjalanan pulang ke hotel, kami juga sempat mampir di warung untuk istirahat minum dan makan jagung. Jagungnya kecil buntek berbiji bulat berwarna putih, tapi enak! Lain dengan jagung biasa yang kuning yang lebih banyak kandungan airnya, jagung putih ini benar-benar dapat dipakai untuk menahan lapar dalam perjalanan.

jagung putih yang nikmat sebagai pengganjal perut

Kenalkan namaku : Imelda Coutrier Daeng Senga!
Sekarang aku harus membiasakan diri menerima panggilan sebagai Daeng Senga, dan membiasakan juga memanggil teman-teman dari Makassar yang sudah mempunyai nama daeng sejak lahir, seperti Jumria Daeng Tugi.
Oh ya PR ku juga, untuk mempelajari tulisan lontar! **panik** hehehe

atas: berfoto bersama rombongan pembawa surat undangan pernikahan. bawah: di depan tangga Balla’ Lompoa Karaeng Galesong

 

(tulisan yang tertunda sejak 29 Desember 2012)

 

Setelah Pulang, langsung …..

19 Agu

Cuci tangan? Mandi? atau minum/makan?

Kalau di Jepang, terutama pada musim dingin dengan udara kering yang menyebabkan mudah masuk angin atau terkena influenza, kami pasti harus mencuci tangan dan kumur-kumur. Konon dengan kumur-kumur, bibit penyakit yang ada dalam mulut bisa dibersihkan dan mengurangi resiko masuk angin.

Kami kembali dari Jakarta hari Senin yang lalu. Begitu turun dari pesawat, aku sudah berkata, “Acchii… (atsui = panas)”. Setelah kami menyelesaikan imigrasi dan mengambil barang (kali ini barangku sedikit euy, karena memang satu penumpang cuma boleh satu koper seberat 23 kg. Kalau dulu boleh dua koper. Karenanya aku tidak banyak belanja oleh-oleh), kami langsung keluar dan bertemu dengan papa Gen yang menjemput. Aku juga sempat berfoto bersama teman lama yang kebetulan naik pesawat yang sama. Setelah itu aku menuju tempat pengiriman barang, untuk mengirim dua koper kami. Mobil kami kecil sehingga hanya muat masuk satu koper besar saja. Karena aku memilih perusahaan ekspedisi yang bekerjasama dengan ANA, maskapai yang kami pakai, kami pun mendapat “bonus” 50 mile.

Karena kami mendarat di Haneda, bukan seperti di Narita seperti tahun-tahun sebelumnya, kami bisa sampai di rumah dalam waktu 1 jam. Narita itu memang jauh rek. Begitu sampai di rumah, aku langsung memasak nasi dan membuat indomie untuk mengganjal perut yang kelaparan. Kai? Dia langsung memasang TV dan menonton rekaman acara TV pilihannya selama 3 minggu. Sedangkan Riku? Dia langsung membaca buku komik dan novel yang terbit seminggu sekali itu. Bayangkan sejak kemarin dia sudah membaca sebanyak ini! Semua!

Buku Riku yang langsung dilahap sejak kemarin (dua hari ini)

Memang Riku sejak menaiki pesawat ANA berkata padaku, “Ah senangnya bisa mendengar bahasa Jepang lagi” Aku teringat tulisanku yang dulu, Sembelit.
Lalu kutanya, “Kamu tidak suka ke Indonesia?”
“Suka tapi tidak mau lama-lama. Aku mau ke Jakarta lagi libur musim dingin nanti ya ma… Aku sendiri, atau bersama tante Titin juga boleh…”
“Waduh enaknya. Kamu nabung saja sendiri. Mama juga mau pergi, tapi pasti tidak ada uang lebih. Gini aja, nanti kamu jemput Opa bukan Maret dan kembali ke Tokyo dengan opa, tapi jangan lupa belikan pesanan (makanan dan sebagainya) mama ya”
“OK aku mau….”
“Semoga saja bisa ya”

Demikianlah, kami sudah kembali ke kandang kelinci kami setelah melewatkan 3 minggu yang amat sibuk di Jakarta, termasuk Makassar, Surabaya, Klaten dan Jogjakarta. Liburan musim panas kali ini memang lebih pendek dari biasanya. Mohon maaf kalau masih ada teman yang terlewatkan dan tidak tersapa, tidak berjumpa. Terima kasih untuk teman-teman yang banyak membantu kami, menyediakan waktu untuk bertemu dengan kami, dan juga yang mengirimkan oleh-oleh kepada kami. Semoga Tuhan mau membalas budi baik  teman-teman semuanya. Dan sampai berjumpa kembali pada liburan mendatang…..