Ini adalah judul sendratari yang dibawakan kelas 4, kelasnya Kai dalam acara pentas seni di sekolahnya. Memang bulan Oktober di Jepang merupakan bulan olahraga (Hari Olahraga pada minggu kedua Oktober), dan bulan seni. Sekolah Dasar kami menggelar pentas seni 3 tahun sekali, dan tahun ini merupakan pentas terakhir Kai yang duduk di kelas 4. Siklus 3 tahun sekali memang dimaklumi karena persiapan pentas seni ini cukup makan waktu dan bisa mengganggu target pendidikan sekolah jika dilakukan setahun sekali.
Pentas seni itu dilakukan hari Sabtu minggu lalu. Basah! Meskipun demikian masih beruntung badai -supertaifu- belum sampai ke Tokyo. Dan karena dilakukan di dalam aula sekolah, acara tetap dilaksanakan. Banyak sekolah yang mengadakan pekan olahraga terpaksa membatalkan kegiatan mereka karena hujan. Dan entah kenapa, dalam ingatanku pentas seni 3 tahun yang lalu juga diadakan dalam kondisi hujan.
Karena pentas kelasnya Kai mendapat urutan kedua, aku berangkat cepat-cepat dari rumah supaya pas waktunya bisa masuk pada waktu pintu dibuka. Ternyata sudah cukup banyak orang tua murid yang datang dan menempati tempat duduk yang disediakan. Sedapat mungkin di depan karena mereka antusias menonton anaknya yang akan manggung. Kalau bisa satu keluarga diajak serta Paling sedikit satu anak dihadiri 2 orang (bapak-ibu), tapi tak jarang dihadiri 4 orang (bapak-ibu-kakek-nenek tambah adik/kakak) lebih. Keluarga kami hanya aku sendiri, karena Gen harus bekerja dan Riku mempunyai janji dengan teman-temannya.
Aku beruntung mendapat tempat duduk di deretan ketiga dan menikmati tampilan kelas 2 yang mempertunjukkan “Jugemu, anak bernama terlalu panjang”. Jugemu ini memang cerita klasik Jepang dan sudah kutonton beberapa kali. Tapi kali ini murid-murid kelas 2 patut kuacungi jempol. Kemasan pertunjukan yang menarik! Coba baca ringkasannya dari wikipedia:
Jugemu adalah cerita humor klasik Jepang berbentuk susunan kata pembelit lidah yang sulit untuk diucapkan dalam bahasa Jepang. Susunan kata-kata yang panjang sekali digunakan sebagai nama anak kecil (nama singkat: Jugemu). Cerita Jugemu merupakan salah satu cerita pembuka dalam seni bercerita rakugo karena merupakan permainan kata yang dapat digunakan dalam berlatih mengucapkan cerita.
Cerita Jugemu sangat sederhana. Sepasang orang tua kebingungan dalam memilih nama anak laki-laki yang baru dilahirkan. Biksu yang dikunjungi menyarankan beberapa nama untuk sang bayi yang dimulai dengan nama Jugemu. Sang ayah ternyata masih juga kebingungan, hingga akhirnya seluruh nama yang diberikan biksu dijadikan nama si anak. Pada suatu hari, Jugemu jatuh ke danau dan nyaris tidak dapat diselamatkan. Semua orang di kampung kesulitan mengucapkan nama Jugemu yang sangat panjang.
Nama lengkap Jugemu dalam romaji dan kanji (bahasa Jepang):
Romaji | Kanji |
---|---|
Jugemu-jugemu
Gokōnosurikire |
寿限無寿限無
五劫の擦り切れ |
Hal yang kusayangkan adalah, aku pindah tempat duduk waktu pertunjukan Kai akan dimulai. memang ada tempat duduk matras yang disediakan di depan panggung, khusus untuk orang tua yang anaknya pentas saat itu. Diadakan pergantian setiap kelas berakhir. Karena aku melihat Kai mencari-cariku, aku menghampiri dia untuk memberitahukan keberadaanku. Dan setelah itu aku tidak bisa kembali ke tempat dudukku, dan terpaksa aku duduk di matras. Parah deh, aku tidak bisa duduk jongkok karena lutut mulai bermasalah dan menahan sakit (dan kesemutan) selama pertunjukkan berlangsung. Belum lagi aku tak bisa mengambil foto atau video tanpa terhalang orang tua lainnya.
Tapi secara keseluruhan pentas kelasnya Kai cukup bagus. Semua jalan cerita, kostum, tata lampu, musik, tata suara, pergantian latar dilakukan sendiri oleh anak-anak. Sehingga terjadi peralihan adengan yang cukup lama, karena memang panggung gelap sekali. Tapi penggunaan lampu cukup menarik, menyesuaikan adegan demi adegan. Dan aku cukup senang Kai bisa bersuara keras membawakan lakonnya, dan ikut menari dengan terampil. Dia menjadi pandai besi dalam cerita itu (sebagai salah satu warga saja sih) .
Yang menarik, aku mencari alur cerita “Kucing yang Ingin Menjadi Manusia” di google (dalam bahasa Indonesia) tapi tidak menemukannya. Padahal cerita ini merupakan cerita terjemahan dari The Cat Who Wished to Be a Man karangan Loyd Chuddley Alexander, seorang pengarang buku anak-anak terkenal dari Amerika (Pennsylvania)
Lionel, a housecat given the power of speech by the magician Stephanus, begs his master to turn him into a man. After many objections concerning the depravity of humans, Stephanus relents; and the transformed Lionel begins his adventures to town of Brightford. The mayor and his officers are plaguing Brightford with capricious rule and economic hardship. The mayor is especially covetous of the inn belonging to Gillian, with whom Lionel begins a rocky friendship. Lionel becomes entangled in the struggles of Brightford, and escalates the conflicts between the mayor and the people, while falling in love with Gillian as he becomes more and more human. (wikipedia)
Menarik! Aku sendiri benar-benar salut pada Jepang yang banyak menerjemahkan dan mengadaptasi cerita-cerita dari seluruh dunia. Benar aku merasa kaya di sini karena secara tidak langsung (melalui anak-anakku) aku banyak mengenal sastra dunia. Mungkin kalau aku di Indonesia, tidak akan mengetahui cerita-cerita yang sebetulnya merupakan karya terkenal di luar negeri.
Dari cerita drama ini, ada satu bagian yang benar-benar menyentuh hatiku adalah ucapan lakon sarjana (yang kira-kira seperti ini) : “Lionel, seekor kucing yang mempunyai jiwa manusia. Manusia sendiri belum tentu bisa. Manusia lahir sebagai manusia, melewati perjalanan panjang, pengalaman menyenangkan dan menyedihkan, serta pembelajaran yang panjang baru bisa menjadi seorang manusia sejati. ”
Ya, dikatakan bahwa masih banyak manusia yang belum menjadi manusia seutuhnya.
Masih banyak orang Indonesia yang belum bisa menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yang menyadari bahwa dirinya bagian dari komunitas beragam, dan untuk hidup bersama perlu tepaselira, bertoleransi dalam berinteraksi dengan sesamanya.
Masih banyak orang Indonesia yang belum menghargai usaha-usaha para pendahulu untuk menyatukan Indonesia dengan pernyataan, “Berbahasa satu Bahasa Indonesia”. Aku sedih membaca timeline seperti “Anak-anak jaman now”.. apa itu? Mengapa dalam satu kalimat bahasa Indonesia, bercampur kata-kata bahasa Inggris yang tidak seharusnya. Hei! Banggalah berbahasa Indonesia, dan tugas kita untuk menaikkan martabat bahasa Indonesia. ( mengenang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928) . Pakailah KBBI! FYI Dalam menulis posting ini aku memeriksa KBBI paling sedikit 10 kali untuk mengecek penulisan yang benar. Contohnya: adegan atau adengan
Satu tambahan lagi,
Masih banyak narablog yang melupakan tugasnya untuk memajukan Indonesia dengan tulisan-tulisannya. Termasuk aku yang akhir-akhir ini absen menulis dikarenakan kesibukan di dunia nyata. Padahal kalau saja aku mau “menutup mata” sedikit, mengorbankan waktuku 1 jam, pasti bisa. Seperti hari ini kupaksakan bangun pukul 4 pagi, karena memang niat menulis dalam rangka “Hari Blogger Nasional”, dan mengingat kembali tulisanku di blog sahabat Donny Verdian yang ini: “Blogger sampai Mati“. Ah, Donny memang narablog sejati! Ssst Don…. aku masih blogger kok, meskipun hanya bisa menulis sekali sebulan, untuk sementara ini…
Satu tulisan yang padat tujuan kuakhiri dan mungkin akan menjadi tulisan terakhir di bulan Oktober. Semoga November bisa menulis lagi meskipun cuma satu.