Kasihanilah Aku

11 Jul

Gara-gara melihat sebuah tulisan di lini masaku, jadi teringat suatu percakapan dengan anak bungsuku. Sudah cukup lama berlalu tapi memang ingin kutuliskan.

Jadi di lini masa media sosial itu ramai tentang cerita bahwa ada seorang ibu-ibu yang naik kereta di Indonesia. Karena tidak ada tempat duduk, dia berdiri di depan seorang pemuda yang duduk. Bukan gerbong wanita, dan si wanita itu dengan suara keras mengatakan yang intinya, si pemuda tidak boleh duduk karena dia laki-laki.  Si pemuda tidak mau bertengkar, jadi memberikan tempatnya pada si ibu. Tapi waktu ada kursi di sebelahnya kosong, si wanita tidak memperbolehkan laki-laki duduk di sebelahnya. Intinya: laki-laki tidak ada  yang boleh duduk.  Haduh…. kalau yang begini sih mungkin sudah korslet ya? Tidak cocok untuk feminisme atau pejuang gender dong 😀  Sebagai tambahan cukup banyak loh lansia di Jepang yang tidak mau duduk meskipun sudah ditawarkan. Alasannya, “Saya masih sehat dan kuat, sedangkan kamu sudah capek bekerja seharian”. Hebat ya lansia itu…..

Nah, yang membuatku teringat pada anak bungsuku, yaitu waktu dia bercakap-cakap dengan kami.

Hadairo 肌色 itu warna apa sih pa?”

jreng…..

Jadi memang di Jepang selain warna akai 赤い (merah),  aoi 青い (biru), midori 緑 (hijau), kuro 黒 (hitam), kiiro 黄色 (kuning) dll, dulu ada warna yang bernama hadairo 肌色. Aku ingat sekali di susunan crayon/pensil warna untuk Riku dulu, ada yang namanya hadairo. Yaitu warna pink muda R- 246 G-222 B 197 yang dianggap warna yang mewakili kulit orang Jepang. Nah, Kai lahir 4 tahun setelah Riku dan memang waktu itu aku tidak melihat lagi nama warna hadairo.

hadairo … warna kulit orang Jepang…dulu 🙂

“Itu warna seperti pink muda, Kai. Warna kulitnya orang Jepang”

“Seperti apa ya? Aku tidak tahu!”

“Ya, dulu ada. Nanti deh mama kasih liat di rumah ya”

Papa G menyahut,

“Warna hadairo itu sekarang diganti menjadi …”

“Usudaidai…. ” Kai menyela

“Nah itu tahu kok. Ya hadairo itu usudaidai

“Mulai kapan ganti nama?”

“Nah itu musti cari dulu. Tapi kenapa hadairo diganti namanya yang penting. Karena ternyata orang Jepang sekarang warna kulitnya sudah banyak yang berubah. Tapi selain itu, kita tidak bisa menentukan warna kulit seseorang sebagai satu warna hadairo. Karena hada=kulit, warna kulit. Sedangkan warna kulit orang di dunia ini kan banyaaaaaak sekali! Itu menjadi bahasa diskriminasi/sabetsu 差別用語. Karena itu diganti menjadi usudaidai

Rupanya pergerakan untuk menghapus kata yang diskriminatif ini sudah mulai pada November tahun 1998 dengan sebuah artikel di harian Yomiuri yang mengangkat penamaan warna baru dari produsen craypas Pentel. Kemudian tahun berikutnya pada harian Asahi, dikatakan bahwa nama warna hadairo sudah dibuah oleh Pentel menjadi “pale orange”. Baru kemudian tahun 2000, tiga perusahaan produsen pensil/crayon/spidol yaitu Mitsubishi, Sakura dan Tombow mengganti hadairo menjadi usudaidai (daidai secara umum dikenal sebagai warna oranye, sedangkan usu = muda, jadi oranye muda). Tidak diketahui siapa yang menentukan penamaan warna itu. Tapi lucunya dalam kamus warna yang diterbitkan tahun 2005, tidak tercantum nama “usudaidai” atau “pale orange” sama sekali.

Memang di Jepang sekarang banyak penamaan yang diganti karena mengandung kata-kata diskriminatif. Sebuah pergerakan yang kukagumi karena memang seharusnya kita tidak melukai hati orang lain, bukan? Di Indonesia sendiri yang kuketahui sudah ada pemakaian kata pramu- atau tuna- menggantikan nama penderita yang tidak seperti manusia normal.

Nah, kembali ke percakapan dengan Kai, suamiku memberikan ilustrasi lain yang cukup membuat kami berpikir.

“Dalam kereta pagi hari. Banyak pegawai yang masih kecapekan dan ngantuk karena malam sebelumnya bekerja sampai larut. Lalu muncul lansia yang berpakaian untuk hiking (memang banyak lansia Jepang amat sangat kuat dan sehat bahkan mampu mendaki gunung). Berdiri di depan silver seat, di depan pegawai-pegawai yang lelah itu, sambil mengharapkan diberikan tempat duduk oleh penumpang yang lebih muda itu. Coba bandingkan si tua sehat semangat untuk mendaki itu…. bukankah kekuatannya jauh lebih banyak daripada pegawai yang kecapekan itu?”

Kai tertawa, tapi aku tidak… bahkan memikirkan hal itu. Memang benar, lansia Jepang itu jauh lebih tua tapi jauh lebih sehat. Akankah aku bisa tetap sehat dan kuat seperti mereka jika umurku mencapai umur yang sama dengan mereka?

Kejadian di kereta Jepang dan Indonesia…. penuh dengan kontradiksi dan pemikiran. Jenis kelamin, warna kulit, umur, seharusnya memang tidak menjadi suatu yang perlu dipertentangkan, atau dijadikan sebagai alasan. 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *