Sepuluh hari yang lalu, tepatnya tgl 14-15 November aku pergi ke Kyoto. Sendiri, dalam arti tanpa anak-anak. Karena aku pergi ke sana bukan untuk berwisata, tapi untuk belajar. Lagi. Jadi mulai awal tahun lalu aku menjadi anggota sebuah Himpunan yang diberi nama Himpunan Peneliti Indonesia Seluruh Jepang atau dalam bahasa Jepangnya Nihon Indonesia Gakkai 日本インドネシア学会( untuk selanjutnya aku sebut Gakkai saja).
Sudah lama aku ingin masuk gakkai ini, tapi kesibukanku mengurus dua anak yang masih kecil membuatku mengurungkan niat. Kebetulan aku mendapatkan rekomendasi dari Funada Sensei untuk menjadi anggota (rupanya untuk menjadi anggota harus ada rekomendasi dari anggota lainnya). Dan gakkai ini mempunyai program sekali setahun yaitu berkumpul dan mengadakan kongres. Selain kongres, anggota yang bersedia bisa mempresentasikan (menyajikan) hasil penelitiannya di depan anggota lainnya. Kesempatan mempresentasikan makalah bisa menjadi nilai plus bagi peneliti untuk mendapatkan pengakuan akademis juga. Selain itu dengan adanya kongres, kita bisa bertatap muka dengan profesor-profesor peneliti tentang bahasa dan budaya (termasuk sejarah) Indonesia. Bisa bertemu dengan Prof Sasaki yang mengarang kamus bahasa Indonesia, yang baru pertama kali kutemui. Karena biasanya aku bertemu dengan istrinya yang juga dosen bahasa Indonesia. Prof Sato juga pengarang kamus. Ah, pokoknya orang-orang hebat semua! Kebanyakan anggotanya (seluruhnya sekitar 90 orang) memang orang Jepang, tapi ada juga mahasiswa pasca sarjana atau dosen orang Indonesia. Jadi semua yang hadir pasti bisa bahasa Indonesia dan bahasa Jepang!
Kalau mengikuti penyajian makalah-makalah itu, aku jadi diingatkan asyiknya meneliti. Bermacam tema dihadirkan, mulai dari ahli bahasa Makassar Prof. Yamaguchi dari Universitas Setsunan. Ada makalah juga ahli bahasa Bali, bahasa prokem, atau sejarah Indonesia jaman penjajahan Jepang. Yang terakhir ini benar-benar mengingatkanku pada tahun-tahun aku sakit perut meneliti dokumen perang dengan bahasanya yang njlimet 😀 Memang seharusnya tema ini dikerjakan oleh orang Jepang sih hehehe. Kalau ditanya sekarang aku mau meneliti apa, lebih baik tidak melanjutkan thesisku deh…. lebih baik meneliti sosio-linguistik bahasa Indonesia atau sejarah kebudayaan. Tapi belum terpikir untuk mengambil S3 sih.
Well, kongres di Kyoto itu berlangsung siang hari tanggal 14 sampai sore, dilanjutkan dengan makan malam bersama. Kemudian keesokan harinya dimulai pukul 9 pagi sampai pukul 12. Aku bersama Funada sensei pergi ke Kyoto bersama Jumat sorenya, sehari sebelum pelaksanaan kongres. Tadinya aku sudah senang sekali berkesempatan memotret di Kyoto, tapi karena prakiraan cuaca menyebutkan hujan selama 3 hari, aku meninggalkan kamera DSLRku. Juga tidak membawa kamera pocket karena akan dipakai Gen waktu menonton pagelaran musik di SD. Sehingga kucukupkan memotret dengan iPhone saja.
Pagi hari pukul 7, tanpa sarapan, kami sudah keluar menuju ke Kiyomizudera dalam hujan rintik. Karena aku membaca bahwa kuil-kuil di Kyoto buka mulai pukul 6. Pagi hari bukan halangan bagiku untuk bergerak, jadilah kami berdua pergi ke Kiyomizu. Rasanya aneh sekali berjalan menaiki Kiyomizudera dalam sepi, hanya satu dua wisatawan yang ada. Tapi memang jadinya pemandangan yang terhampar masih berkabut tipis dan sesekali kami harus memakai payung. Tapi keindahan kuil yang menyatu dengan alam dihiasi daun-daun yang mulai berwarna pertanda musim gugur dapat mengibur hati dan menambah semangat untuk menghadapi satu hari yang panjang.
Tadinya kami berniat untuk pergi mencari ilumination malam harinya tapi acara makan malam tidak bisa ditinggalkan. Yang rencananya makan malam dari pukul 6 sampai 8 malam, berlanjut sampai jam 10 malam! Jadi kami bertekad mampir ke Heian Shrine keesokan harinya, sebelum acara gakkai mulai jam 9 pagi. Karena kami tahu Heian Shrine letaknya hanya 10 menit berjalan kaki dari Kyoto Career College of Foreign Languages, tempat gakkai diadakan.
Kami juga tahu bahwa taman di shrine itu bagus, sehingga kami menyempatkan mengelilinginya, meskipun aku harus menggeret tas setelah cek out hotel. Waktu satu jam sebelum gakkai terasa pendek, tapi cukup memuaskan karena pemandangan yang indah di taman. Belum lagi waktu kami keluar dari kuil, sudah mulai banyak pengunjung yang datang, terutama keluarga yang membawa anak-anak berkimono. Karena pas hari itu memang ada perayaan shichigosan, mendoakan anak-anak usia 3-5-7 tahun.
Setelah gakkai selesai, kami makan siang dan langsung pergi ke Tofukuji, sebuah kuil yang letaknya berlawanan dan terkenal dengan pemandangan di musim gugur. Kami harus naik kereta dan berjalan cukup jauh dari stasiun. Terasa lebih jauh karena aku masih harus menggeret kereta, tapi tentu saja tangan satunya dipakai untuk memotret 😀 Dan waktu itu saja sudah cukup banyak wisatawan yang datang padahal warna-warna daun belum banyak yang berubah. Aku jamin pasti dua minggu lagi, wisatawan harus sabar antri untuk melihat dan memotret keindahan tamannya.
Mungkin inilah yang tepat dinamakan mencampur kegiatan bisnis akademis dengan wisata. Ingin rasanya aku kembali lagi ke Kyoto pada musim gugur tahun depan …tapi lebih larut dari tahun ini atau pada saat ada salju! Dan tentu tidak lupa membawa kameraku.
(SSttt aku masih punya laporan kunjungan ke Kyoto pada musim semi lalu yang belum sempat kutulis. Kyoto dengan sakura juga indah!)