Tidak ada lawan(g) na

6 Okt

Aku mungkin tidak berhak menulis tentang bahasa Makassar, karena aku memang tidak menguasai bahasa Makassar. Mungkin dibanding bahasa Jawa, aku masih bisa mengerti 40% bahasa Jawa, dan 10% untuk bahasa Makassar. TAPI aku tentu mengenal logat bahasa Makassar yang khas, yang kukatakan seperti bernyanyi :D.  Dan itu terbukti, waktu aku dan Riku menuruni tangga di Kiyomizudera, Kyoto, musim semi yang lalu. Terdengar sayup-sayup kalimat bahasa Indonesia. Riku berkata,”Ma…. kok aku seperti dengar bahasa Indonesia ya?”
Dan kukatakan, “Benar… dan lucunya logatnya logat Makassar loh!”
“Oh pantas, aku ragu kok bahasa Indonesia tapi logatnya lain tidak seperti sepupu di Jakarta. Rupanya Makassar!”
Senang juga aku, anakku yang baru 3 kali pergi ke Makassar ini, bisa membedakan logat nenek moyangnya. Tadinya sih, aku mau menyapa si turis Makassar itu, tapi karena aku buru-buru juga (Kai yang sedang demam menunggu di taksi) jadi aku tidak menyapa mereka.

Logat Makassar memang “lain dari yang lain”. Selain penambahan suku kata [mi] (sebagai ganti …kan) Itu mi… Juga mengganti [nya] menjadi [na]. Dan satu lagi, mengucapkan konsonan akhir [n] menjadi [ng]. Jadi judul di atas, bahasa Indonesianya adalah TIDAK ADA LAWANNYA.

Dan kurasa, saat ini, itu bisa dipakai sebagai terjemahan dari kata bahasa Jepang saiko  最高. Bagi yang sudah pernah mempelajari bahasa Jepang, tentu tahu bahwa kanji Sai , bisa dibaca mottomo 最も yang berarti paling. kou itu bisa dibaca takai 高い yang artinya tinggi. Paling tinggi atau tertinggi.

Tapi pada kenyataannya, dalam percakapan bahasa Jepang, sering sekali kita jumpai kata SAIKOU ini. Misalnya dalam wawancara tentang atraksi baru di Disneyland, kemudian yang diwawancarai mengatakan “Saikou!!” Bukan atraksinya diadakan di tempat yang tinggi tapi dia merefer saikou pada perasaannya. Perasaan orang itu yang tertinggi, incredible, hebat, menakjubkan, menyenangkan…. dsb. Dan bagaimanapun juga TIDAK BISA kita terjemahkan menjadi paling tinggi atau tertinggi.

Saikou 最高 ini menjadi pemikiranku ketika waktu hari Jumat kemarin, aku menyelenggarakan test bahasa Indonesia. Tema testnya adalah “kata tanya”. Aku menuliskan kalimat pertanyaan  bahasa Jepang, dan kuharap mahasiswa  menerjemahkan pertanyaan itu ke dalam bahasa Indonesia, dan menjawabnya (dalam bahasa Indonesia).

Jadi kutanyakan : インドネシア語はどうですか。 (Bahasa Indonesia bagaimana?)
dengan harapan atau dugaan, mahasiswaku menjawab : “susah” atau “mudah”, atau bahkan “lumayan”…. dengan kata sifat yang sudah kuajarkan. Eh, ternyata ada yang menuliskan 最高, dan menuliskan bahasa Indonesianya: tertinggi.

Benar sekali terjemahannya adalah tertinggi. Tapi tidak bisa dipakai sebagai jawaban “Bahasa Indonesia bagaimana?” kan…. Tapi aku mengerti sekali “perasaan” dia yang ingin mengutarakan bahwa bahasa Indonesia menyenangkan, tidak ada tandingannya….. Tidak ada lawan(g) na 😀

Secara iseng kucari terjemahan bahasa Inggrisnya untuk saikou 最高 ini apa ya? Ternyata ada yang menuliskan bahwa bisa memakai kata-kata : `awesome`, `sick`, `rock`, `epic`, atau `wicked` . (bisa lihat sumbernya di sini) Hmmm aku sendiri mungkin akan lebih memilih kata awesome dibanding lainnya.

Belajar bahasa memang sulit ya. Kita harus bisa membaca keseluruhan konteks kalimat, tidak bisa menerjemahkan secara harafiah saja. Apalagi jika kita memakai aplikasi atau situs terjemahan di internet yang biasanya hasil terjemahannya “menakjubkan” hehehe. Sekaligus saja aku kasih contoh jawaban mahasiswa yang lain yang memakai “mesin terjemahan” di smartphonenya. Pasti dia mencari kata muzukashii (bahasa Jepang) dan ketemu kata angel (bahasa Jawa BUKAN bahasa Inggris). Laaah mbok yo buka itu fotokopi halaman 12, ada kata “susah” sebagai terjemahan muzukashii  loh 😀

eh yang angel bahasa Jawa atau bahasa Indonesia ya?

lost in translation 😀

~~~~~~

NB: “Tidak ada lawang na” ini aku selalu ingat karena papa menyampaikan sebuah joke mengenai percakapan orang Jawa dan orang Makassar: (asal mulanya bagaimana saya kurang jelas, mungkin sudah ada perubahan di sana sini)

Jawa: “Kami punya sebuah mesjid yang megah”
Makassar : “Kami juga punya mesjid megah. Tidak ada lawang na!”
Jawa: “loh dari mana masuknya? (lawang dalam bahasa Jawa = pintu)
Makassar: “Dari pintunya tantu …… dongo (dongo = dungu) !”

😀