Waduh, siapa juga mau ya latihan bencana… mungkin lebih tepat persiapan menghadapi bencana, atau bahasa kerennya Mitigasi Bencana.
Tanggal 30 Juni lalu, aku harus cepat-cepat pulang dari tempat kerja karena ada latihan menjemput anak di sekolah, jika terjadi gempa besar. Saat itu pukul 2:10 kelurahan kami serentak mengadakan latihan menghadapi bencana. Jadi akan ada alarm berbunyi di setiap sekolah, dan anak-anak berlatih prosedur jika terjadi gempa (berlindung di bawah meja, setelah aman dan guru menginstruksikan, mereka akan berjalan dengan rapi menuruni tangga dan berkumpul di halaman sekolah.
Sebelumnya kami juga menerima pemberitahuan melalui email, bahwa mulai saat itu ada latihan menghadapi bencana. Kami diminta untuk datang menjemput setelah pukul 2:20, sambil menyebutkan nama anak dan hubungan kami dengan anak itu: ayah atau ibu atau kakek/nenek. Jadi seandainya nanti terjadi gempa besar, kami memang harus menjemput ke SD dan menyebutkan nama anak serta hubungan kami. Sehingga bisa dicatat anak itu telah pulang dengan siapanya, jikalau orang tua lainnya datang menjemput. Selama anak-anak di dalam lingkungan sekolah memang sekolah bertanggung jawab akan keselematan anak-anak.
Keluarga kami sendiri sudah menentukan SD nya Kai sebagai tempat pertemuan kami. Selain itu memang SD tersebut yang menjadi tempat kami mengungsi pada waktu terjadi bencana. Latihan antisipasi bencana memang sudah dan terus dilaksanakan di sini. Biasanya latihan itu diperkuat setiap tanggal 1 September karena merupakan hari peringatan bencana gempa Besar Kanto, tapi khusus kelurahan kami melaksanakan latihan “menjemput” itu pada tanggal 30 Juni.
Untuk murid SMP, karena sudah cukup besar, mereka bisa jalan sendiri ke rumah. Kalau ada adik dan SD nya dekat, mereka diminta untuk jalan ke SD adiknya dan bertemu orang tuanya di SD. Tapi karena SMP Riku cukup jauh dari SD Kai, Riku bisa langsung pulang ke rumah saja. Tapi dari pelajaran menjemput hari ini, aku sangat senang karena bisa jalan pulang bersama Kai, sambil memperhatikan jalan yang dilewati sampai rumah, dan menemukan bagian mana saja yang berbahaya. Misalnya tembok yang mudah runtuh, tiang yang mudah goyah, rumah yang dekat jalan dan berkaca (cepat pecah) dll.
Kalau latihan menghadapi bencana memang sering dilakukan di SD/SMP tapi di jenjang yang lebih atas? Biasanya tidak ada. Untuk universitas, sudah dianggap dewasa untuk menemukan jalan pulang sendiri. Tapi sejak terjadi gempa bumi Tohoku 4 tahun lalu, kami para dosen dibagikan manual cara-cara menghadapi gempa bumi jika terjadi pada saat kami sedang mengajar.
Nah hari Jumat kemarin, tidak biasanya, aku diminta untuk ikut latihan penanganan bencana. Kebetulan yang menjadi “sasaran” latihan adalah jam pelajaran kedua, hari Jumat, yang menempati tingkat 3 gedung 10 saja! Haduh! Ada sekitar 10 kelas sih memang, dan aku sebagai dosen, begitu terdengar alarm, harus mengumumkan: Berlindung di bawah meja. Lalu memerintahkan mahasiswa untuk mengikutiku, menuruni lantai 3 ke tempat pengungsian yang sudah ditetapkan, yaitu lapangan di sebelah gedung 10.
Untung saja kelasku dekat tangga, sehingga kami bisa segera turun. TAPI kami belum boleh langsung bubar. Setelah aku melaporkan bahwa kelas kami sudah turun, kami masih harus menunggu kelas-kelas lainnya. Kelasku merupakan kedua yang tercepat turun. Dan… cukup lama kami harus menunggu sampai semuanya berkumpul… di dalam panas. Heran sekali deh hari Jumat itu terik padahal sebelumnya hampir seminggu penuh hujan terus 😀 Kami juga lapar, karena sudah pukul 12:30 dan sudah memangkas jam istirahat kami untuk makan siang.
Setelah mendengarkan pidato dari rektor yang mengucapkan terima kasih, kami dibagikan nasi dan biskuit tahan lama yang bisa disimpan 6 bulan. Tapi yang sempat membuatku tertegun waktu mendengar dari kepala pelatihan yang mengatakan bahwa sebetulnya setelah latihan mengungsi ini, ada beberapa acara yang dilakukan di depan kampus, termasuk latihan pemadam kebakaran dan pengungsian dalam ruangan berasap (tahun lalu aku pernah ikut ruangan berasap ini). TAPI ternyata semua unit pemadam kebakaran yang sedianya dipakai untuk latihan di universitas, dipanggil karena ada kebakaran sungguhan yang cukup besar sehingga semua unit dipanggil. Hmmm kebakaran, bencana memang tak dapat diprediksi kapan akan terjadinya. Tapi memang jika kita sudah siap dan tahu harus bagaimana menghadapinya, jumlah korban dapat diperkecil, jika tidak bisa dihilangkan.
wah hebat juga y a Mbak di Jepang ada latihan bencana,jadi masyarajat bisa lebih waspada ya jika ada kejadian sebenarnya
Di negara maju yang rawan gempa seperti Jepang ini latihannya sudah teratur dan reguler.
Kalo di Indonesia kalo ada bencana di daerah lain, daerah lainnya cepat2 ngadain latihan bencana, terutama menghadapi bahaya tsunami. Kalo gak ada bencana tsunami gak ada latihan, 🙂
latian gempanya sampe bener2 pulang rumah gitu ya mbak…
kalo disini latian gempanya ya di sekolah/ gedung kantor aja…
Jepang hebat ta bisa latihan secara rutin gitu. Salut deh