Big Issue

16 Des

Memang bukan BIG Issue jika hari ini aku pergi date lunch dengan “adik lesung pipit”ku Sanchan, dan “adik sama harlah” Yanz di Shinjuku. Tapi BIG Issue waktu aku pulang setelah belanja, bawa belanjaan berat-berat dan harus menunggu taksi selama 40 menit dalam hujan yang dingin. Waktu kulihat di iphoneku, saat itu temperatur 3 derajat tapi real feelnya minus 2. Haduh, rasanya tanganku mati rasa akibat dingin, karena aku tidak bawa sarung tangan atau Kairo. Angin yang kencang berkali-kali menerpa payungku, dan untung “tulang” payungku ada 16 sehingga kuat tidak rusak oleh angin. Tanganku masih beku sesampai di rumah setelah ada sebuah taksi berhenti di depan stasiun dan mengantarku ke rumah yang hanya 10 menit itu.

berdiri di depan pohon Natalnya Sizzler… lucu hiasannya wortel, bawang bombay…segala sayuran hehehe

BIG Issue adalah nama majalah yang dijual oleh para furosha, homeless, bahasa Indonesianya…gelandangan (Karena mereka TIDAK mengemis tapi menggelandang di taman-taman atau di jalanan). Majalah ini diberi harga 350 yen, tapi 180 yen dari harga penjualan akan menjadi milik si penjual, yaitu si furosha itu. Dan syarat untuk menjual majalah ini adalah TIDAK BOLEH menawarkan majalah sama sekali. Hanya berdiri saja, sehingga tidak mengganggu masyarakat umum. Nah, bagaimana warga tahu dia menjual? Ya, dengan kuchikomi, atau penyebaran dari mulut ke mulut (atau seperti aku sekarang menulis begini)

Majalah BIG Issue ini diterbitkan pertama kali di United Kingdom oleh pendiri The Body Shop, John Bird MBE dengan dukungan Gordon dan Anita Roddick tahun 1991. Sedangkan di Jepang dimulai tahun 2003 dengan maksud untuk membantu para homeless mendapatkan uang BUKAN dengan mengemis, tapi menjual BIG Issue. Para homeless awalnya mendapat 10 eksemplar secara gratis dan dengan uang yang didapat bisa dia beli lagi BIG issue seharga 170 yen. Menurut  website BIG Issues Japan,  dari September 2003 sampai Maret  2013,  sudah ada 1427 homeless yang mendaftar sebagai penjual BIG Issues. Sampai Maret 2013, 5.71juta majalah terjual di Jepang dengan pemasukan  802 juta yen pendapatan bagi para homeless.

Jadi, kalau ada yang kebetulan bermain ke Tokyo (atau kota di Jepang yang lainnya), dan melihat ada orang yang berdiri dengan majalah diletakkan di sampingnya, dan mempunyai uang 350 yen…. belilah, meskipun mungkin Anda tidak membacanya. Belilah karena dengan demikian Anda telah memberikan KAIL kepada mereka, BUKAN ikannya.

Dan percayalah, homeless yang bernama Yoshizawa san tadi yang kutemui, TIDAK bau, dan TIDAK kasar seperti kebanyakan homeless di Tokyo. Dia memberikan kartu namanya kepada kami dan bahkan memberikan permen berhiaskan boneka salju sebagai tanda terima kasihnya. Dan tentu saja dia mengijinkan aku mengambil foto bersamanya.

Bersama Yoshizawa san, homeless penjual BIG Issue di depan Mitsui Building Shinjuku, Tokyo.

Ntah kapan, tapi kuharap suatu waktu nanti, akan ada usaha semacam BIG Issue Indonesia yang membantu pengemis dan gelandangan di Indonesia. INGAT, kita lebih baik memberikan Kail daripada ikan, meskipun mungkin pada saat tertentu kita harus memberikan ikan dulu, supaya dia bisa pergi ke sungai dan memakai kailnya 🙂

 

8 Replies to “Big Issue

  1. Luar biasa idenya BIG Issue, pernah denger sebelumnya. Kalo di sini gak kebayang deh Mba banyaknya orang yang bakalan menggelandang, lhawong ada yang (sepertinya) sengaja menggelandang dan kemudian mengemis di sini…

  2. Saya setuju mbi, mudah2an ada usaha kayak “BIG Issue” ini d Indonesia yang membantu pengemis dan gelandangan.
    Saya jg setuju dengan fenomena pemberikan “Kail” atau “Pancing” kepada mereka

  3. Ide yang bagus ya Imelda…
    ternyata di Jepangpun ada homeless ya…tak terbayang kalau musim dingin, mereka tidur dimana?

    Untuk Indonesia, cuaca yang bagus membuat orang malas, dan rasa kasih sayang sesama terkadang membuat masih banyak pengemis, walau terkadang mereka dilatih setelah dimasukkan ke Panti Sosial. Kerja keras bagi kita semua, mendorong orang bisa membuat pekerjaan yang menghasilkan, juga dorongan dari lingkungan sekitar untuk mendukungnya.

  4. Disini harus di ubah pola pikir orang-orangnya dulu ya mbak, kebanyakan hanya mau di beri ikannya langsung tanpa mau bekerja keras.Lebih bagus begini ya mbak di banding mengemis. Mudah-mudahan di Indoensia juga bisa seperti disana ya. Udaranya dingin sekali ya mbak

  5. Seperti kata Mom Lidya, Indonesia ini terbiasa dikasih ikan, maunya langsung jadi.
    Terharu membaca story ini. Apakah di sana homeless tidak ditangkap dan dimasukkan ke dinas sosial begitu, Mbak? Kalau di film-film, suka lihat homeless yang mengantri makanan atau mengantri agar dapat tidur gratis di gedung.
    Salut dengan cara pemerintah Jepang mengatasi furosha ini. Kalau aku ke Jepang (lagi), ingin ketemu dan belilah…

  6. Harus diingat kalau ke jepang.. Aku sendiri anti buat ngasih uang ke pengemis. Untungnya di pontianak hampir gak ada pengemis yang minta minta dipersimpangan.. Bapak walikotanya care dengan ini.. Jadi gak perlu tolak menolak buat ngasih. Paling banter banyak pedangang asongan aja seh..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *