Mereka Tetap Belajar

30 Jan

Tentu ada yang sudah membaca tulisanku mengenai pak Watanabe dalam tulisan “Belajar Sampai Mati”. Mantan muridku yang meninggal dalam usia 96 tahun dan sampai detik-detik terakhirnya masih membaca buku-buku bahasa Indonesia padahal belum sekalipun dia pergi ke Indonesia. Banyak yang bertanya mengapa orang Jepang  mau belajar bahasa Indonesia? Well, tentu setiap orang mempunyai alasannya. Ada yang mau bercakap-cakap dengan kekasihnya yang orang Indonesia, atau hanya mau bercakap-cakap dengan penduduk setempat, atau untuk mahasiswa biasanya untuk SKS. Tapi ada pula yang belajar bahasa Indonesia hanya karena mau belajar. Itu saja….. seperti pak Watanabe.

Setiap Selasa pagi, mulai awal Januari sampai akhir bulan Maret nanti, aku mengajar di sebuah Balai Desa (kota?) di sebuah pemerintah daerah atau sebut saja kelurahan yang berjarak 10 km dari rumahku dan bisa dicapai dalam waktu 15 menit naik mobil. Kuliah umum ini diadakan oleh kelurahan sana dan bisa diikuti oleh warga kelurahannya dengan gratis. Rencana mengadakan pelajaran bahasa Indonesia tingkat dasar  ini saja menurutku sudah hebat, karena masuk dalam program kelurahan yang dibiayai pajak tentunya. Pajak yang dikumpulkan dari rakyat, dikembalikan lagi dalam bentuk mengadakan pelajaran yang bermanfaat. Tapi yang lebih hebat lagi adalah pesertanya.

Ada sekitar 13 orang yang terdiri dari 12 wanita dan 1 pria lansia yang mengikuti pelajaranku ini. Semuanya tinggal di sekitar daerah itu, dan beragam pekerjaannya. Ada yang pegawai honorer, ada yang pensiunan, ada yang ibu rumah tangga. Awalnya dengan takut-takut mereka mengikuti kelasku, takut karena belum pernah belajar bahasa asing. Aku pun tahu bahwa mereka perlu diberikan semangat untuk menyukai bahasa baru ini, jangan sampai merasa putus asa. Sambil mengajar, kadang aku berpikir, “Kok orang-orang ini mau-maunya belajar bahasa yang sama sekali baru. Memutar otak dan lidah untuk sesuatu yang baru. Kalau aku sih rasanya malas deh……” Tapi mereka rajin! Sebelum jam 10 sudah duduk menunggu di kelas. Aku biasanya masuk ke kelas 5 menit sebelum kelas dimulai karena aku tahu, jika aku masuk lebih cepat akan merepotkan pegawai kelurahan yang sedang mempersiapkan kelas.

Tapi Selasa lalu aku masuk kelas 12 menit lebih awal. Sambil membaca email yang masuk, menunggu murid datang. Dan saat itu ada si Bapak peserta, satu-satunya pria di kelas. Dari perkenalan sebelumnya, dia rupanya suka belajar bahasa apa saja, sebatas percakapan mudah, karena dia suka berwisata ke mana-mana. Tapi kemarin itu dia berkata,
“Sensei, maaf minggu lalu (pelajaran ke 2) saya tidak bisa datang. Kemarin dulu saya sudah menitipkan istri saya di rumah sakit, jadi bisa ke sini.”
“Loh… istrinya sakit? Jangan paksa datang ya…”
“Tidak apa-apa. Dia tidak akan sembuh ini, jadi saya bisa lari ke sini sebentar nanti kembali lagi. Dia sakit kanker!”
“Duh… prihatin ya. Bagaimana kondisinya?”
“Ya untuk sementara lebih baik di RS. Saya sendiri juga sakit kanker. Kami sudah tahu kok tidak bisa sembuh. Jadi kami mau pergi wisata selagi kami masih mampu”
Duhhh… aku tidak tahu harus bicara apa ….
“Jangan patah semangat. Siapa tahu bisa sembuh. Teman saya ada loh yang sembuh setelah 6 tahun minum teh hijau terus. Yang penting semangat ya.”
“Iya. Sebelum saya mati, saya mau ke Bali. hampir semua tempat wisata yang ingin kami kunjungi sudah kami pergi, kecuali Bali. Sensei, kalau mau bilang TV nya tidak nyala bagaimana (tentu percakapan ini dalam bahasa Jepang)”
“TV rusak. Rusak itu kowareru. Jadi bisa dipakai untuk apa saja yang tidak bisa dinyalakan, tidak bisa dijalankan, dioperasikan. Kata ‘rusak’ mudah dihafal karena mirip kata rucksack (ransel) kan”…. dan pernyataannya berlanjut terus, macam-macam sampai waktu pelajaran mulai. Terpancar dari wajahnya bahwa dia senang bisa bertanya-tanya di luar jam pelajaran.

Aku salut padanya. Meskipun pada awal kursus aku kurang senang karena dia selalu bertanya di luar topik pelajaran dalam waktu pelajaran yang sudah ditentukan hanya 1,5 jam itu. Ya seperti TV rusak, WC mampet lah. Menghabiskan waktu belajar untuk teman-teman pengikuti kursus lainnya. Sekarang aku sudah tahu latar belakangnya untuk belajar bahasa Indonesia, sehingga mulai sekarang aku akan langsung masuk saja ke kelas guna menampung pertanyaan di luar bahan pelajaran. Daripada aku buang waktu di dalam mobil kan? (Aku selalu sampai di tempat itu sekitar pukul 9:30 padahal pelajaran mulai jam 10:00 pagi). Dan waktu dia bertanya dalam kelas, aku akan mempertimbangkan pertanyaan itu berguna atau tidak untuk peserta yang lain.

Selain bapak penyitas kanker (kata penyitas aku ambil dari blog bunda Lily, dan masih terus mencari kata dasarnya sebetulnya apa ya? Karena kalau cari di KBBI tidak ada. Atau mungkin karena kata baru?), di antara 12 wanita yang mengikuti kelasku itu, ada satu penyandang cacat sehingga harus memakai kursi roda. Ibu ini duduk paling depan dekat pintu sangat sumringah, selalu tersenyum. Awalnya aku tidak begitu memperhatikan bahwa dia duduk di kursi roda, bukan di kursi biasa. Tapi tanpa malu, waktu perkenalan dia mengatakan bahwa dia sudah berkali-kali ke Bali berkursi roda, dan sangat menikmati perjalanan wisatanya. Aku bersyukur, karena aku tahu negara kita itu masih kurang memikirkan sarana-sarana untuk penyandang cacat, kurang barrier free. Dan ternyata meskipun berkali-kali pergi ke Bali, dia belum tahu bahwa 車いす (くるまいす) itu bahasa Indonesianya adalah kursi roda. Ibu K ini senang sekali waktu aku memasukkan kursi roda ke dalam daftar kata benda yang harus dihafalkan.

Setelah selesai mengajar pelajaran kali ke dua, aku sempat melihat Ibu K pulang naik mobil! Ya, dia menyetir sendiri mobilnya, sebuah sedan yang cukup besar. Tentu dilengkapi dengan stiker “kursi roda” di badan mobilnya. Dia mendekati mobilnya, dan membuka pintunya. Aku yang waktu itu baru akan membuka pintu mobil, jadi membatalkan dan mendekatinya. Aku tahu dia tidak perlu bantuan, jadi aku mendekat dan berkata, “Maaf, saya boleh lihat bagaimana ibu masuk ke dalam mobil?”

Lalu dia memperlihatkan caranya. Dia lempar semua tas dan bukunya ke tempat duduk penumpang. Lalu dia menyejajarkan kursi roda dengan kursi mobilnya. Dia naik dengan sigap, pindah duduk di dalam mobil. Lalu dia mulai mencopot bagian-bagian kursi roda, juga ke dua bannya, lalu melipatnya. Voila. Dia tinggal memasukkan lipatan kursi roda itu ke dalam mobil.
“Mudah kok sensei. Kursi roda ini ringan, dan mudah sekali dicopot-copot. Coba sensei tekan poros ban ini. Mudah lepas kan?”
“Iya ya… hebat. Tapi biarpun ringan, melakukan semuanya sendiri kan pasti butuh energi yang besar. Saya salut”
“Kemarin saya menjaga cucu saya dan mengajak mereka makan di restoran. ” Dan memang aku melihat ada Baby Seat di bagian belakang mobil. Aku tak bisa membayangkannya.

Dalam hati aku berpikir, “Ampuuun deh, Ibu K ini sudah cacat masih harus menunggui cucunya? Anaknya bekerja atau bersenang-senang ya? Kalau bekerja ya apa boleh buat, tapi kalau hanya bersenang-senang, rasanya kok tidak kasihan pada ibunya ya?  Tapi kalau si Ibu K memang mau dan merasa senang karena dirinya masih berguna ya apa boleh buat juga. Bukan hakku untuk mengadili anaknya”(Aku jarang sekali menitipkan anak-anak pada ibu mertuaku)

“Aduh… pasti capek sekali ya. Sudah lebih baik cepat pulang dan istirahat saja ya. Sampai jumpa minggu depan!”

Dua orang peserta kuliah umum di kelurahan, yang sakit, yang penyandang cacat. Tanpa merasa minder, atau kesakitan, penuh semangat mengikuti pelajaran yang kuberikan. Mereka TETAP belajar. Sedangkan aku? Masih suka mengeluh sakit lah, malas lah melakukan sesuatu. Apalagi memulai sesuatu yang baru… huhuhu
Yoshhhhh Gambaru! Berusaha lebih baik lagi. Harus mengalahkan rasa malu, rasa malas, juga rasa sakit. Dan yang penting harus semangat terus!

Come on Imelda!