Mudik atau pulang kampung. Di mana ya kampungmu?
Aku kadang heran karena sebetulnya kalau mau dikatakan aku “pulang kampung” ke Jakarta, kata-kata ini tidaklah tepat. Kurasa Jakarta bukanlah kampung, dan kita tidak mungkin juga mengubah menjadi “pulang kota” kan? Mau pakai kata mudik juga tidak tepat juga…. tapi karena tidak ada kata yang cocok untuk menggambarkan pulang ke tempat asalnya, maka kupakai saja pulang kampung.
Untuk bahasa Jepang ada istilah 里帰り Satogaeri (Sato = kampung, gaeri=kaeri = pulang), itu untuk orang Jepang. Tapi untuk orang asing biasanya dipakai 一時帰国 Ichiji kikoku (ichiji= sesaat, kikoku = pulang ke negaranya), dan ini adalah bahasa resmi yang dipakai orang Jepang kepada pelajar asing di sini.
Aku pulang kampung ke Jakarta mulai tanggal 22 Desember sampai tanggal 7 Januari yang lalu. Begitu sampai di Jakarta aku dijemput adikku yang membutuhkan 2 jam untuk sampai ke bandara, diakibatkan banjir di dekat Senayan City. Ya hari Sabtu itu banyak temanku yang terjebak banjir. Oleh karena itu sebelum pulang ke rumah, kami bersiap makan dan ke wc dulu, dan ternyata jalanan lancar jaya dan kami bisa sampai rumah kurang dari 1 jam. Padahal banyak temanku yang menyarankan lewat BB untuk nginap di bandara saja saking parahnya kemacetan hari itu. Makanya aku agak heran waktu jalan Sudirman ke arah blok M begitu lancar. Semesta mendukung nih.
Setelah menghabiskan waktu memperingati Natal bersama keluarga di rumah Jakarta, tanggal 28 Desember aku benar-benar pulang kampung, atau tepatnya menemani papaku pulang kampung. Kalau aku kelahiran Jakarta, papaku kelahiran Makassar dan sebetulnya ingin pulkam bulan Oktober lalu. Aku tahu memang biasanya bulan Oktober papa pulang sekitar hari ulang tahun oma, untuk nyekar dan menghabiskan waktu dengan keluarga. Terakhir papa ke Makassar masih bersama alm. mama, dan setelah mama meninggal papa menjalani pengobatan untuk jantungnya yang hanya berfungsi 20%. Jadi sudah pasti tidak diperbolehkan bepergian sendiri ke luar kota. Nah, waktu aku merencanakan pulkam Natal/Tahun Baru yang cukup mendadak ini (mendadak dalam hal keuangan juga hehehe), aku menawarkan pada papa apakah mau pulkam ke Makassar berempat dengan kami. Papaku tentu dengan gembira menyambut ajakanku sampai berkata, “Aku bisa bayar tiket pesawat sendiri kok mel…..” Tapi itu kan hadiah Natalku dan Gen untuk papa 🙂
Kupikir kapan lagi aku bisa mengajak kedua anakku mengetahui asal muasal keluarga Coutrier di Makassar. Gen sudah dua kali ke Makasar th 2000 dan tahun 2003, sehingga kurasa tidak perlu menunggu Gen untuk mengajak anak-anak ke Makassar. Sejak opa dan omaku meninggal (th 2000 dan th 2004), meskipun masih banyak saudara di Makassar, agak sulit meluangkan waktu dan biaya untuk pergi ke sana. Dan sebetulnya dengan biaya yang sama aku bisa saja ke pulau Bali ikut adikku yang memang setiap tahun berlibur ke Bali. Bali bisa menunggu, tapi Makassar kurasa hanya bisa kudatangi sekarang ini. Merencanakan perjalanan ke luar kota memang harus banyak perhitungan. Dan aku beruntung masih bisa mendapatkan tiket pesawat dan hotel dengan harga murah meskipun jadwalnya sudah sekitar akhir tahun yang biasanya padat pengunjung.
Kami berangkat dari rumah pukul 4 pagi, untuk naik pesawat Garuda yang take off sekitar jam 6. Kami hanya membawa satu koper yang berisi pakaian ganti untuk kami berempat. Sedapat mungkin travel light, dengan hanya membawa satu bagasi untuk cabin. Riku yang biasanya membawa ransel, kali ini tidak membawa. Dan dia yang langsung menawarkan diri untuk menggendong ranselnya Opa. Memang aku sudah beritahu dia untuk memperhatikan opanya karena opanya tidak boleh capek, tapi tak kusangka dia punya keinginan sendiri untuk membawakan ransel opa. Tanggung jawab yang besar karena ranselnya berisi uang :D. Sebelum berangkat, waktu memesan dua kamar hotel, aku juga sudah katakan pada Riku bahwa dia satu kamar dengan Opa. Dengan khawatir dia berkata, “Kalau ada apa-apa dengan opa, aku musti gimana?” “Ya cukup telepon ke kamar mama dong… nanti mama usahakan supaya kamarnya sebelahan. Paling juga kamu tidak dengar apa-apa, langsung mlempus tidur duluan 😀
Tapi begitu kami sampai di bandara Hasanuddin yang baru itu, kami tidak langsung ke hotel. Kami menuruni pesawat lewat belalai dan bisa melihat bangunan megah itu dari luar. Yang aku masih tidak bisa mengerti, mengapa di bandara Cengkareng (waktu berangkat) kami harus turun dan naik shuttle bus sampai ke dekat pesawat, lalu naik tangga. Memang sih anak-anak senang bisa melihat badan pesawat dari dekat, tapi amat sangat tidak menyenangkan bagi mereka yang sulit berjalan. Aku jadi teringat dulu opa dan oma Makassar (sebutan kami untuk opa dan oma pihak papa) kalau mau ke Jakarta, pasti kami minta bantuan staff garuda untuk menyediakan kursi roda. Perjalanan domestik di Indonesia amat tidak menyenangkan bagi lansia dan mereka yang sulit berjalan. Tidak barrier free tentu saja, tapi jika ada belalai langsung dari gate ke pesawat paling sedikit mempermudah mereka yang sulit berjalan. Papa yang jantungan sebetulnya tidak boleh naik turun tangga, sehingga aku khawatir sekali waktu dia harus naik tangga masuk pesawat. Ah, ini suatu kenyataan yang harus aku hadapi bahwa lansia di Indonesia memang tidak didukung untuk bepergian, dan harus berpikir banyak kali sebelum mengajak lansia bepergian di dalam negeri. Jauuuuh sekali dengan pelayanan bagi lansia dan penyandang cacat di Jepang. So, lakukanlah perjalanan jauh sewaktu engkau masih sehat (dan muda)! (Dan aku bersyukur kampungku di Jakarta, at least masih bisa merasakan pelayanan untuk orang asing 😀 Pakai belalai dan eskalator!)
Karena masih pagi (jam 10 pagi euy…. kalau di Jepang itu sudah siang hahaha) , kami santai dulu pergi ke WC dan berfoto di depan perahu Phinisi di lobby kedatangan. Sambil papa menelepon orang yang akan menjemput kami. Kami beruntung sekali karena disediakan mobil selama berada di Makassar oleh teman lama papa, Om Benny. Padahal om Bennynya sendiri berada di Manado. Aku sudah kenal om Benny ini sejak masih anak-anak karena setiap kami pergi ke Makassar pasti kami dijamu oleh Om Benny. Dan aku masih ingat “tangan kanan”nya om Benny di Makassar, Om Ari yang selalu bertugas mengantar kami. Setelah mengambil koper kami keluar bandara. Karena papa mau minum obat, kami mencari teh tarik. Memang papa penikmat teh sejak dulu. Jaman aku pertama kali minum kopi di usia 12-an, papa sudah berganti haluan dengan minum teh. Dan akhir-akhir ini papa kerajingan dengan teh tarik. Ada sedikit insiden di suatu toko gerai donut terkenal DD, karena itu toko yang terdekat begitu kami keluar pintu kedatangan. Jadilah papa minta teh susu di situ, yang dijawab tidak ada, adanya teh biasa. Dan papa harus memilih salah satu tea-bag yang tersedia. Aku sendiri tidak tahu awal mulanya apa, tapi aku lihat di daftar menunya ada tea latte, jadi aku bilang, “Loh ada tea latte kan? Itu kan teh susu… Kalau itu ada, kenapa tidak sediakan itu saja?” Dan dijawab ada! Papa langsung marah dan bilang, “Saya tanya ada teh susu, kamu bilang tidak ada. Sekarang bilang ada. Kalian niat jualan ngga sih? Ayo kita pergi dari sini!” Hmmm mulai deh. Memang aku tahu pelayanan di Indonesia itu membutuhkan kesabaran, dan tidak cocok bagi orang-orang yang mobilitasnya (bisa dibaca: tempramen) tinggi 😀 (Makanya aku tidak kerasan tinggal di Indonesia :D). Teh susu kok bisa beda dengan Tea Latte? Jangan kasih nama asing deh kalau tidak tahu artinya 🙂 Akhirnya kami pindah ke toko lain, yang justru malah menyediakan teh tarik dengan tempat duduk yang lebih nyaman…. Welcome home papa!
Setelah minum yang hangat, kami bersiap untuk menuju tujuan pertama di kampung halaman Papa/Opa. Bantimurung!