Imigrasi

12 Jan

Aku sampai kembali ke Tokyo tanggal 8 Januari yang lalu. Pesawat ANA yang kutumpangi mendarat tepat waktu, sekitar pukul 6:40 pagi. Cuaca agak mendung dan dingin… tentu saja. Aku memang sudah memakaikan anak-anak down jacket yang ringan dan aku sendiri sudah memakai baju thermal di bawah baju yang kupakai. Takut jika tidak persiapan sejak di pesawat, kami akan masuk angin.

Karena kami duduk di nomor 17, kami bisa cepat keluar dan menuju imigrasi. Sebagai warga asing yang permanent resident, aku harus pergi ke barisan khusus, bukan w.n. asing, bukan juga w.n. Jepang. Tapi memang di bandara Narita itu counter imigrasinya banyak, dan mereka langsung buka barisan baru jika terlihat antrian sedikit saja. Semua counter dilengkapi dengan camera untuk pas foto dan scanner sidik jari, jadi meskipun di barisan orang Jepangpun, aku masih bisa dilayani. Sehingga urusan imigrasi bisa selesai tidak lebih dari 5 menit.

Aku memang tidak boleh mengeluh atas kondisi negara kita. Tapi kalau melihat sikap kita menerima “tamu” di bandara, rasanya kesal itu tak tertahankan.

Seperti pernah aku tulis, aku mendarat tgl 22 Desember di bandara Cengkareng, Jakarta. Pesawat tepat waktu, dna kami bisa langsung keluar dengan lancar. Karena aku harus mampir mengurus visa on arrival untuk anak-anakku, maka adikku Tina langsung menuju imigrasi untuk orang Indonesia dan mengurus koper. BUT dia harus menunggu lamaaaaaa sekali, hampir satu jam.

Waktu kami sampai di tempat visa on arrival, seperti biasa kami harus membayar $25/orang untuk 30 hari kunjungan. Setelah itu semestinya kami dilayani oleh petugas imigrasi yang terletak di sebelahnya. TAPI ternyata waktu itu tidak ada satu petugaspun di situ, dan rombongan orang-orang asing ini DISURUH langsung ke antrian imigrasi untuk orang Indonesia. Jadi dong terjadi antrian mengular di tempat orang Indonesia. Setelah menunggu dalam antrian, aku melihat keanehan yang terjadi waktu beberapa orang asing di antrian depanku, DIUSIR begitu saja oleh petugas dan disuruh kembali ke tempat untuk orang asing. Tidak dijelaskan apa-apa, sampai waktu giliranku, aku tanya kenapa? Ternyata dia tidak mempunyai kertas visa untuk orang asing, jadi dia bisa menyelesaikan proses arrivalku, tapi tidak untuk kedua anakku dan aku harus kembali ke tempat orang asing. Langsung aku bilang, “Tadi itu tidak ada orang pak. Apakah sekarang ada orang? Saya tidak mau bolak-balik dengan jarak cukup jauh begini dengan dua anak loh. Dan kenapa tidak diberitahu ke semua orang asing yang ada di belakang saya. Jelaskan dong, kasihan mereka tidak tahu. Jangan diusir-usir seperti anjing. Kan mereka tidak ngerti!”

Tapi tentu saja beliau diam saja, akhirnya aku teriak kepada orang-orang asing di belakangku dalam bahasa Jepang dan Inggris bahwa kita harus kembali ke tempat semula. Dan mereka semua mengikutiku kembali. TAPI waktu kami ke tempat itu sudah terjadi antrian yang panjang, kebanyakan orang Italia, penumpang pesawat sesudahku. Aku langsung antri di belakang mereka, dan menunggu giliran. Petugas HANYA DUA (dari 3 loket dan tengah-tengah satu petugas meninggalkan loket karena KEHABISAN Kertas visa 🙁 )! ampuuun deh. Semua orang Jepang di belakangku mulai ngedumel. MALUUUU sekali aku sebagai orang Indonesia 🙁 Mbok yo ada pengumuman, atau… ada permintaan maaf (kalau di Jepang pasti sudah bungkuk-bungkuk minta maaf). Tapi ini tidak ada sama sekali 🙁 Ya sudah aku terpaksa sabar, tapi aku tidak bisa menghubungi adikku yang sudah di luar. Sambil usah terus, aku melihat banyak sekali kekacauan tentunya. Ada satu orang Italia yang memaki-maki petugas karena… dia sudah ketinggalan pesawat. Memang, peljaran untuk semua orang kalau musti naik conecting flight, usahakan ada rentang waktu minimum 3-4 jam. Aku pernah ditawarkan oleh maskapai Singapore naik conecting flight dengan rentang waktu 2 jam, tapi aku tolak. Aku katakan aku tidak mau ambil resiko, dan aku tidak mau berlari. Itu maskapai Singapore yang terkenal, apalagi kalau maskapai kita yang terkenal “rubber time”nya hehehe. Dan teman adikku yang waktu itu bersamaku mengatakan dia pernah harus menginap di Jakarta atas biaya Garuda, karena tidak keburu untuk tukar pesawat. Mubazir kan?

Aku malu, aku malu, aku malu! Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Orang kita tidak tahu keadaaan penyambutan tamu asing, karena tidak pernah berurusan dengan imigrasi (terkecuali kasus TKI deh). Paling sedikit tolong dong beri pengumuman dalam bahasa Inggris. Ini seakan-akan mereka sama sekali tidak berusaha memakai bahasa Inggris (semua pakai bahasa Indonesia). Tanda-tanda penunjuk juga kurang, dan tidak tahu bahwa harus “beli” kwitansi 25dollarnya dulu sebelum mengurus visa, dipikirnya sekaligus. Ah, bagaimana bisa negara kita menarik wisatawan kalau begini. Di pintu gerbang masuknya saja tidak disambut semestinya. Apalagi sesudah pintu gerbang harus menghadapi kemacetan atau perlakuan-perlakuan yang tidak menyenangkan. Setidaknya image pertama, yang diterima begitu mereka mendarat, bisa membuat mereka mempunyai keinginan untuk datang kembali ke negara kita bukan?

Selama ini aku paling kagum pada imigrasi Hongkong. Tanpa mesti menulis kertas apa-apa untuk visa on arrival, prosesnya begitu cepat, tanpa tanya macam-macam juga. Aku hanya bisa berharap (terus) supaya negara kita bisa lebih baik dan ramah terhadap pendatang.

14 Replies to “Imigrasi

  1. Humh….ikut ngelus dada kak… Selain pelayanan yang kurang memuaskan, kondisi bandara pun saya rasa perlu diperbaiki. Beberapa kali pp Jpn-Jkt transit di negara lain. Saat transit bisa merasakan kenyamanan bandara, tapi begitu tiba…mm…ngelirik sensei ragu2 deh… hehe…

    Setuju kak. bandara itu kan ‘pintu masuk’, semestinya bisa memberi kenyamanan dan menunjukkan ‘ini lho Indonesia’…

    Semoga ke depan bisa diperbaiki lagi segala sesuatunya.

  2. memang kesabaran harus dilipat gandakan untuk berurusan dengan imigrasi di Indonesia Masalah dioper sana-sini, kadang tidak ada pengumuman resmi langkah-langkah untuk berurusan, belum lagi petugas yang galak, ngelus-ngelus dada deh Mbak.

  3. Setuju banget mbak Imelda, tapi sejauh ini masih lokal area sich paling ya Juanda – Medan. Tapi memang kadang pelayanan sungguh bikin gak nyaman, seperti gak bilang maaf kalo terjadi antrian ,,,

  4. Mbak, aku yang membaca pengalaman Mbak Imelda ini saja rasanya malu dan kesel banget. Bagaimana kalau mengalami sendiri seperti Mbak Imel?

    Aku tidak habis pikir kenapa ya banyak pelayanan di kita ini amburadul. Dan kadang masalahnya begitu sepele. Hal-hal seperti inilah yang membuatku rasanya nggak mau bayar pajak.

  5. memang kayaknya kudu sabar ya kalo mudik. Mungkin juga karena kita sdh terbiasa dng pola di jepang, walau ngantri pun masih bisa lancar. Aku hanya sekali pernah mudik lewat Jkt, pakai ngantri lama pula. Habis itu, mudiknya selalu ke Juanda.

  6. hikzzz…. betuul… tiap kali urus di bandara itu selalu lamaa 🙁 entah ngantri entah ituu stamp doankkk di paspor… dah gt tutup seenaknya… trus kalo keliatan mencurigakan koper di buka seenak jidaaat… dicoreeet kapuuur pulaaaa….. huuuuh… di sby jugaa begituu… tapi aku belom penah alami yang koper di buka seenak jidat cuma liat org sebelum aku itu di buka gt kasaaaaaarrrr bgt :((

  7. Membangun kesadaran jiwa melayani di ‘gerbang utama kedatangan’ tamu belum menampakkan hasil, yang terlihat masih aura ‘petugas penting’. Semoga catatan mbak EM menjadi bagian introspeksi.

  8. Semoga pihak terkait membaca tulisan ini dan segera melakukan tindakan nyata untuk membenahinya.. Kalau untuk pelayanan domestik yang amburadul, kita masih bisa memakluminya. Tapi kalau sudah berkaitan dengan orang asing atau tamu, sebaiknya kita harus jauh lebih baik..

  9. waduh… udah ikut ngantri sini disuruh ke sana.. tanpa ada pemberitahuan lagi ya…

    ikut sedih… gimana caranya nih biar mereka2 yg punya power di bidang ini bisa baca postingan ini…

  10. Ya ampunn.. jadi malu mendengarnya deh >_<

    mudah2an ada perbaikan di imigrasi indonesia. jangan cuma semangat pas daftar jadi pegawainya doang yg berebut. seharusnya perbaikannya juga diperhatikan yak.. hmm..

  11. Iyaaa, miris banget yah mbak…
    Kemarin liat loket VOA ada banyak, tapi yang buka ya cuma satu 😐
    Emang kayak nggak siap banget Indonesia buat ndatengin banyak turis, huweee T.T
    Di Spore meski antrinya panjang, tapi mah nyaman, karena jelas 😐
    Lah di sini… T.T

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *