Huh susah banget sih mau bilang pecel lele ajah! 😀 Ya, memang dalam bahasa Jepang tidak ada huruf ‘L’ adanya ‘R’ tapi tidak getar. Jadi namaku kalau diucapkan orang Jepang menjadi Imeruda. Judul posting kali ini memang mengenai Pecel lele dan sesudah 10 tahun. Aku tidak begitu gandrung dengan pecel lele, dan mungkin hari minggu kemarin itu adalah kali ke dua aku makan pecel lele, tapi aku lupa apakah pecel lele pertamaku itu 10 tahun yang lalu atau bukan.
Dan selalu merasa aneh dengan nama pecel lele. Setahuku pecel adalah sayuran dengan bumbu kacang, ya seperti gado-gado lah. Lalu apa dalam pecel itu ditaruh lele? Eh setelah melihat, ini sih goreng pecel pakai sambal saja namanya 😀 Siapa sih yang pertama kali kasih nama Pecel lele?
Hari Minggu kemarin, setelah kegiatan gereja di Kichijoji selesai, aku dan Riku menunggu papa Gen dan Kai di stasiun (ssst sambil makan es krim Baskin Robbins sih.. soalnya lagi ada promo Triple Challenge, beli double akan dapat triple gitchuuu. Jadi cukup pesan 1 triple seharga 600 yen, dan kami makan berdua deh). Dari stasiun Kichijoji kami menuju ke Ogikubo dan ganti Marunouchi line untuk menuju ke Shin Koenji (dua stasiun saja dari Ogikubo sih). Tujuan kami siang itu adalah untuk mencoba restoran Bali Campur. Sudah lama aku lihat beberapa teman yang tinggal di Tokyo “check in” di restoran itu, tapi kami sendiri belum pernah coba, padahal kalau dihitung-hitung jaraknya lebih dekat dari rumah kami daripada harus ke restoran Indonesia yang lain.
Karena aku tidak membawa alamatnya, kami bergantung pada daya ingatnya Gen, yang mengatakan bahwa setelah keluar dari stasiun ada Mac Donald, masuk jalan itu dan jalan teruuuuus saja. Nanti restorannya ada di sebelah kanan. Karena tidak tahu musti jalan berapa lama, Riku sempat ira-irashita (kesal). Maklumlah orang lapar memang bawaannya kesal kan? (Well, Riku itu memang jiplakan aku …jadi hati-hati ya kalau bicara dengan Imelda waktu dia lapar :D) . Untunglah tidak sampai 5 menit kami menemukan restoran itu. Letaknya di lantai 2 persis di depan sebuah supermarket kecil. Menaiki tangga, ada dua pintu, maka kami masuki pintu yang kiri ke restoran Bali Campur. Hanya ada 3 meja lepas dan 2 bangku, sehingga maksimum hanya bisa menampung 10-12 orang. Waktu kami masuk sudah ada sepasang tamu yang sedang makan. Jadi kami menggabungkan dua meja untuk kami berempat.
Menu untuk makan siang hanya ada 3 jenis, yaitu nasi goreng, nasi kare ayam dan nasi campur Bali. Akhirnya kami pesan masing-masing jenis satu. Aku mencoba nasi campur Balinya, yang lauknya terdiri dari mie goreng, 1 tusuk sate lilit, lawar dengan pare dan goreng cumi serta sedikit sambal di atas sendok kayu. Nah ternyata ketiga masakan ini tidak cocok untuk Kai, karena dia mengeluh pedas (dia memang tidak bisa pedas sama sekali, lain dengan Riku), jadi kami memberikan jatah sup sayur kami untuk Kai (yang ternyata dia tidak makan juga, karena rupanya sudah sempat sarapan sebelum pergi). Yang pasti rasanya enak dan MURAH, jika dibandingkan dengan restoran lain. Sayang sekali aku tak bisa memesan Pecel Lele, yang selalu diupload fotonya oleh teman-temanku di FB. Katanya pecel lelenya enak. Sambil mengeluh kepada waiter (yang ternyata adalah istri -orang Jepang- dari koki – orang Bali- ) dan mengatakan bahwa ingin kembali lagi untuk mencoba pecel lele. Kemudian dia berkata: “Sebetulnya asal ada bahannya, bisa saja dibuatkan menu malam, tentu dengan harga menu malam….”
“Bener bisa dibuatkan? Gen… kamu masih bisa makan kan (Aku tahu dia PASTI bisa makan sepiring lagi deh), nanti aku cicip sedikit”
Jadilah kami menunggu menu susulan : Pecel Lele. Sambil menunggu, waktu Gen dan Kai ke WC, Pasangan yang duduk di sebelah kami menoleh padaku, lalu yang laki-laki berkata:
“Imelda Sensei ya?”
“Betul….”
“Saya dulu pernah ikut kursus dengan sensei di Balai Indonesia…. kira-kira 10 tahun yang lalu”
“Pantas, sepertinya saya pernah lihat di mana ya…”
“Waktu itu saya masih SMA, dan akan belajar ke Yogya”
“Ya ampuuuun kamu yang murid SMA itu? Tentu saya ingat, karena selama saya mengajar di Kursus itu peserta yang anak SMA cuma 2 orang, satu laki dan satu perempuan….”
“Iya, tadi saya dengar sensei panggil nama ‘Riku’ lalu saya ingat dulu memang pernah dengar bahwa nama anaknya sensei itu Riku…..”
“Kalau begitu kamu kelas terakhir saya di sana, karena setelah itu saya sempat cuti panjang, kembali mengajar, lalu cuti lagi waktu melahirkan Kai.
Ini istri kamu?”
“Ya, dia orang Yogya, satu universitas….”
“Wah sudah lama menikah?”
“Baru dua tahun”
Jadi begitulah, hari Minggu yang berkesan, bukan hanya karena bisa mencoba restoran baru dengan menu pecel lele yang memang mantap sambalnya, tapi juga bisa bertemu dengan mantan murid 10 tahun yang lalu. Meskipun kalau mengingat bahwa 10 tahun yang lalu itu dia masih SMA…. berasa tuaaaa deh. Well …. umur memang tidak bisa dihentikan. Tapi sesuai slogan radio termashur generasi 80-an, aku masih merasa “berjiwa muda” kok 😀
Selain itu aku sempat bercakap-cakap dengan pemilik sekaligus koki restoran itu, dan tercetuslah nama-nama “tokoh” masyarakat Indonesia di Jepang, terutama di bidang kuliner. Masyarakat Indonesia di sini memang kecil dan hampir semua tahu si ini dan si itu. Positifnya kami masih bisa menjaga “rasa kebangsaan” meskipun tinggal di rantau, tapi negatifnya kalau terlalu “akrab” justru bisa terjadi “letupan-letupan” yang bisa menyakitkan hati. Yah sama saja deh dengan arisan di Indonesia 😀
Sekitar pukul 14:20 kami meninggalkan Cafe Bali Campur dan pulang dengan arah berlawanan dengan waktu datang. Kami bermaksud menyusuri jalan langsung menuju stasiun Ogikubo dan menikmati toko-toko sepanjang jalan.