Tulisanku yang ke 1111, angka cantik yang sebetulnya sudah kutunggu. Aku ingin menulis sesuatu yang khusus… tapi… akhirnya aku tidak menemukan ide apa-apa sedangkan stock draft juga tidak menarik untukku. Aku tidak mau menulis soal performa blog, atau betapa blog itu bermanfaat atau …. blank! Jadi aku pun bisa loh mampet ide (sambil melirik Inon dan Una)
Hari Senin yang lalu, aku bertemu dengan dua orang Jepang yang kukenal sejak aku pertama datang ke Jepang, 20 tahun yang lalu. Aku pertama kali mengajar bahasa Indonesia untuk arbaito (kerja part time) dengan mereka. Sebuah kelompok dengan 5 personil, yang kesemuanya sudah pandai berbahasa Indonesia. Buku yang dipakai untuk belajar tidak tanggung-tanggung, “Sepanjang Jalan Kenangan” nya Muharyo Djojodigdo (13 September 1928 – ) . Cerita yang dikategorikan komedi masyarakat ini katanya pernah dimuat di majalah Femina. Bahasanya lugas dan menarik, meskipun banyak memakai bahasa Jawa dan Belanda…. yang membuat kepalaku ikut berdenyut waktu membaca bersama-sama 5 orang Jepang. Waktu itu (th 1994) belum ada Mbah Google yang bisa dimintai bantuan sehingga seringnya pakai perasaan saja waktu menerjemahkan tulisan-tulisan itu. Tapi meskipun sulit, aku merasa senang sekali bisa ikut membaca buku ini sekaligus mempelajari kalimat-kalimat bahasa Jepang yang mereka buat. Jadi kelompok yang kunamakan kelompok Ajiken ini lebih tepat jika disebut sebagai Kelompok Belajar, bahasa kerennya Kenkyukai 研究会.
Sesudah belajar kira-kira 2 jam, hampir setiap kali kami makan malam bersama di sekitar Shinjuku. Selalu berganti restoran dan menu, yang murah meriah. Dan untungnya pada saat itu aku belum minum alkohol, sehingga tidak perlu membayar extra untuk minuman. Tapi seperti biasa kalau pergi makan dengan orang Jepang, kami menganut sistem warikan 割り勘 alias bagi sama rata. Jumlah yang harus dibayarkan dibagi dengan jumlah peserta. Bukan BSS (bayar sendiri-sendiri) karena kalau bss kan kita bayar apa yang kita pesan saja. Nah karena aku statusnya masih mahasiswa saat itu, aku selalu dapat korting, bayarnya lebih sedikit. Setiap kali aku mau membayar sama, Matsui san selalu berkata,”Nanti saja kalau Imelda san bekerja dan makan dengan mahasiswa, bayarlah lebih. Kami selalu begitu. Dulu kami dibayari sempai (senior) kami, dan sekarang giliran kami membayar kohai (junior) kami. Dan saya harap Imelda juga meneruskan kebiasaan itu…” Dan ucapan Matsui san itu selalu aku ingat dan sedapat mungkin sebarkan di kalangan mahasiswa.
Kemudian aku berhenti mengajar mereka karena harus mempersiapkan thesis. Anggota berpencar, dan Matsui san pindah ke Makassar. Aku sempat bertemu dengannya pada tahun 1997/98 di Makassar, dan Senin kemarin kami bertemu lagi setelah 14 tahun. Kedudukan berbalik, aku yang orang Indonesia tinggal dan bekerja di Tokyo, sedangkan Matsui san yang orang Jepang tinggal dan bekerja di Indonesia. Barter? hehehe…
Topik pembicaraan kami bermacam-macam, mulai dari mengenang masa dulu sampai kejadian gempa bumi Tohoku dan dampaknya setelah PLTN Fukushima rusak. Soal radiasi, soal keluarga yang tercerai berai karena musibah, soal kesehatan anak-anak yang masih tinggal di Fukushima. Matsui san sendiri berasal dari Fukushima dan seluruh keluarganya masih tinggal di sana. Belum lagi soal gempa bumi besar yang diprediksi akan terjadi dalam 4 tahun ini di Tokyo. Hmmm masalah yang berat, tapi kalau kita pikir itu terus, kita tidak akan berkembang dan tidak bisa hidup tenang. Tapi mungkin ada kesamaan mendasar pada kami berdua, yaitu mempunyai dua tempat tinggal, Tokyo dan Jakarta. Jadi kami masih ada satu tempat cadangan jika sesuatu terjadi…. jika kami bisa hidup ya.
Kami berpisah di stasiun Kichijoji dengan janji akan saling menghubungi dan menjaga silaturahmi yang sempat terputus karena peristiwa-peristiwa kehidupan. Menikah, mempunyai anak, membesarkan balita, merupakan peristiwa yang tentu saja bagus, tapi biasanya merenggangkan hubungan dengan teman-teman. Banyak kejadian ibu-ibu yang anaknya sudah SMP tiba-tiba merasa kesepian karena tak punya teman. Karenanya ibu-ibu rumah tangga di sini perlu membuat teman baru, atau ikut kegiatan-kegiatan untuk dirinya sendiri supaya tidak kesepian di hari tuanya. Akupun sudah mulai merasakan itu, karena dulu temanku banyak sekali. Sekarang? Sulit sekali untuk menjaga silaturahmi itu. (Kecuali di dunia maya ya…)
Hari Selasa seharian aku di rumah, menyulap kamar tamu/makan menjadi kinclong. Tentu saja ada alasannya, soalnya aku tidak akan bebersih begini kalau tidak ada alasan yang tepat :D. Kan mending aku ngeblog daripada beres-beres segitunya hihihi. Jadi kemarin itu aku berprofesi sebagai ibu rumah tangga, lengkap dengan membuat snack pancake bertahtakan strawbery merah-merah yang kebetulan sedang sale.
Tadi pagi cuaca di Tokyo cerah sekali, dan menular pada anak-anakku. Tak biasanya Kai mengajak aku pergi ke TK pukul 8:15! Biasanya dia baru mau pergi jam 9:10 sesudah menonton acara TV NHK. Wah, senangnya hatiku waktu kami tiba di TK pukul 8:40 (Pintu dibuka pukul 8:30) dan melihat di halaman sekolah sudah terpasang bendera ikan KOI koinobori. Bendera-bendera ikan Koi ini dipasang untuk memperingati hari Anak laki-laki pada tanggal 5 Mei. Mengingatkanku juga bahwa sudah dekat Golden Week, masa libur panjang bagi warga Jepang yang dimulai sejak tanggal 29 April sampai 5 Mei. Dan mengingatkanku juga bahwa tahun ini Kai akan berusia 5 tahun, jadi HARUS dirayakan khusus (3tahun dan 7 tahun untuk anak perempuan, dan 5 tahun untuk anak laki-laki).
Setelah bermain dengan bendera ikan Koi koinobori yang menjuntai, Kai dengan suka hati menuju ke pintu masuk dan mengganti sepatunya dengan sapatu dalam (uwabaki) dan setelah toss dengan mamanya, dia langsung berlari ke kelasnya. Aku pulang ke rumah dan menunggu waktu menjemput Kai pukul 11:30, tentu saja sambil melanjutkan acara beres-beresnya.
Sebetulnya aku beres-beres itu karena guru TK nya Kai akan mengadakan home visit ke rumahku. Ini adalah program tahunan yang dilakukan pada minggu kedua -ketiga tahun ajaran baru. Maksudnya untuk mengetahui kondisi keluarga, sekaligus melaporkan pandangan pertama murid di kelas dan menanyakan masalah-masalah pribadi sang anak dari orang tuanya. Dengan kunjungan yang memang singkat itu diharapkan orang tua dan guru bisa membangun hubungan saling percaya. Karena ini adalah kali ke 4 aku kedatangan guru TK (2 kali waktu Riku, dan Kai tahun lalu) aku sudah tahu prosedurnya dan tidak deg-degan. Kami tidak boleh memberikan minuman/makanan karena waktu 10 menit itu memang at to iuma あっという間 singkat sekali.
Ada dua permintaanku permintaanku pada gurunya yaitu untuk memarahi Kai jika dia mengatakan sesuatu yang kasar. Karena di rumah sering dia bertengkar mulut dengan kakaknya memakai kata yang kasar. Entah dari mana dia tahu kata-kata itu, mungkin dari TV atau meniru dari kakaknya juga, tapi aku selalu menegur dia jika dia “memarahi” kakaknya. Selain itu aku minta gurunya memperhatikan apakah dia ikut “gerak badan” dan menyanyi di kelas atau tidak. Karena tahun lalu, aku melihat dia tidak pernah ikut gerak lagu yang dibawakan teman-temannya 😀
Well, satu persatu hari sudah dilalui. Pengalaman demi pengalaman bertambah, dan satu lagi tulisan hari ini bertambah. Tulisan ngalor ngidul di angka cantik, 1111 sambil menunggu komentator ke 22.222. Besok dan lusa profesiku berubah menjadi dosen sehingga mungkin tak ada waktu menulis. Tapi aku tetap menghadapi hari-hari mendatang dengan semangat. Tentu teman-teman juga kan?
===============
Eh btw, aku ketemu review dari http://www.webstatsdomain.com/domains/imelda.coutrier.com/ . Kalau butuh uang mungkin bisa dijual aja ya blog ini hehehe. Mayan kan 2,538 dollar itu 😀
Review of Imelda.coutrier.com
Coutrier.com is 6 years and 9 months old, it is ranked 811,507in the world (among the 30 million domains). This site is relatively popular among users in the Indonesia. It gets 81.4%from Indonesia. This site is estimated worth $2,538USD. This site has a good Pagerank(3/10). It has 445 backlinks. It’s good for seo website. Imelda.coutrier.com has 15% seo score.
Komentator ke 22.222 adalah vee a.k.a Elviyeti, terima kasih banyak yaaaaa