Hari Jumat, Friday the 13th… sepertinya tidak ada yang weird kok hari ini hehehe. Bahkan pada pukul 5 sore, aku, Riku dan Kai naik lift bersama dan Riku mengatakan, “Hari ini menyenangkan”…dan dijawab oleh Kai, “Kai juga”, dan kututup dengan, “Mama juga”.
Hari ini aku mulai mengajar di Universitas S, yang biasanya membutuhkan sedikitnya waktu 1,5 jam untuk pergi karena terletak di prefektur yang berbeda. Karena hari pertama, aku bangun pukul 5 pagi (biasanya jam 6 cukup sih) untuk mempersiapkan ini itu, termasuk sarapan pagi untuk Riku. Hari ini aku harus mengajak Kai bersama, karena TK nya Kai selesai pukul 11 dan belum ada penitipan perpanjangan. Hmmm susah deh. Dulu waktu Kai masih bayi, ibu mertuaku yang datang ke rumah setiap Jumat untuk menjaga Kai, tapi sekarang dia sudah tidak semudah dulu untuk bepergian jauh. Jadi aku mengatur supaya Kai yang bolos TK dan datang ke rumahnya, atau paling tidak bertemu di pertengahan. Memang sebetulnya rumah mertuaku jauh lebih dekat ke Universitas S itu. Paling gampang kalau aku menginap di rumah mertuaku, tapi masalahnya ada Riku yang harus sekolah.
Jadilah aku dan Kai keluar rumah pukul 8 pagi! Naik bus ke stasiun, dan memang sengaja kupilihkan rute yang tidak terlalu banyak orang, tidak terlalu banyak ganti-ganti kereta. Dari Kichijoji menuju Shibuya, lalu turun di Musashi Kosugi. Kami janjian bertemu di Musashi Kosugi. Saat itu pukul 9:44. Untung saja Kai sudah merasa dirinya besar, jadi dia tidak menangis dan dengan sukarela menggandeng tangan omanya. Aku sempatkan melambaikan tangan waktu mereka naik kereta lagi pulang ke rumah mertua. Sedangkan aku masih harus melanjutkan perjalananku, ganti kereta 2 kali lagi dan sampai di stasiun tujuan pukul 10:22. Dari stasiun ada mobil khusus para guru pukul 10:30, dan sampai di kampus jam 10:40. Kuliah mulai jam 10:45…. Beuh 2jam 45 menit perjalananku hari ini 😀
Pelajaran pertama, kelas menengah, murid hanya 4 orang! Well, no problem, mungkin minggu depan bertambah 1-2 orang. Biasanya memang maximum 10 orang yang mengikuti kuliah kelas menengah ini. Selesai kelas pertama, aku harus mengikuti pertemuan para dosen pengajar bahasa asing selain bahasa Inggris. Di universitas ini, selain bahasa Indonesia ada bahasa Korea, China, Spanyol dan Perancis. Seperti biasa pertemuan membicarakan kalender akademik, penilaian dan masalah-masalah yang biasa dihadapi antara dosen – mahasiswa. Karena pertemuan dilakukan pada waktu istirahat, kami mengikuti pertemuan sambil makan siang yang sudah disediakan. Dan selesai meeting itu, kami hanya punya waktu 5 menit sebelum kuliah berikutnya mulai. Padahal…. kelasku jauuuh sekali dari tempat meeting. Butuh waktu 10 menit euy.
Kuliah kedua, kelas dasar, ditempatkan di Gedung 1 (rapatnya di gedung 9). Aku sampai 5 menit terlambat dengan menggeh-menggeh… berlari dan naik tangga. Tentu saja mahasiswa sudah menanti dengan rapih…daaaannnn ampun deh aku kaget sekali! Jumlahnya 50 orang persis! Untung aku membuat copy bahan sebanyak 50 lembar. Pas! Rasanya ingin tertawa, dan menangis sekaligus 😀 Senang karena banyak yang mengikuti kuliah, tapi bisa membayangkan sulitnya menghandle kelas bahasa dengan 50 peserta. Tahun-tahun yang lalu maksimum 35 orang saja! Dudududu…..
Tapi sekilas kondisi kelas ini not bad deh. Terlihat muka-muka semangat belajar (semoga terus begitu), dan yang pasti ada 3 mahasiswa yang tinggalnya jauh sekali. Satu di Shizuoka, satu di Ibaraki, dan satu di Saitama perbatasan. Mereka butuh waktu 2,5 jam untuk ke kampus setiap hari. Ini kuketahui dari perkenalan dalam bahasa Indonesia mereka. Kebiasaan yang sudah kujalani bertahun-tahun dan manfaatnya biasanya mereka bisa saling berkenalan (karena mahasiswa berasal dari berbagai fakultas dan angkatan) kemudian menjadi akrab karena punya kesamaan-kesamaan. Dan setiap tahun memang ada saja mahasiswa yang tinggalnya jauh dari lokasi kampus, sekitar 2,5 – 3 jam perjalanan. Dan itu menjadi cambuk buat yang lain untuk tetap semangat kuliah. (Bayangin deh Bandung Jakarta setiap hari pp)
Nah, jadinya sudah tahu ya dengan yang kumaksud dengan lima puluh di judul di atas. Lima puluh mahasiswa (dengan kemungkinan tambah/berkurang tentunya) di awal semester. Lalu, Duanya apaan?
Setelah selesai kuliah, aku pulang naik bus kampus lagi, dan bertemu dengan dosen temanku yang berasal dari Columbia yang pernah kuceritakan di sini. Karena sudah hampir 3 bulan tak bertemu, dia menanyakan kabarku. “How are you, I’ve been thinking of you 2 days ago. How about the earthquake?” Dan kuceritakan bahwa aku harus pulang mendadak ke Jakarta karena mama meninggal. She was sorry and…. kami bercakap-cakap akhirnya mengenai gempa bumi. Memang diprediksikan bahwa dalam 4 tahun ini Tokyo akan mengalami gempa besar. But WHEN? nobody knows. Yah, kubilang, earthquake is similar to death itself, nobody knows. Setiap saat bisa terjadi. Jika kita tahu kapan akan terjadi, kita bisa melarikan diri, tapi kita juga tidak mungkin melarikan diri terus, kan? Dan yang pasti kita tidak bisa melarikan diri dari kematian.
Lalu dia berkata, “Ya memang gempa bumi itu pasti terjadi. Tapi seperti kejadian gempa bumi yang lalu, aku benar-benar panik. Kamu tahu sendiri kan bahwa suamiku sering pergi ke luar negeri (dia tidak punya anak), waktu gempa Tohoku itu, aku harus sendirian menghadapi kekacauan. Nobody… Lonely. Tak ada teman….” Hmmm di situ aku berpikir, kenapa ya aku tidak takut sendirian menghadapi gempa? Gempa memang menakutkan, tapi aku tidak takut menghadapinya sendiri…..
Ternyata…. aku merasa kuat karena aku tidak merasa sendiri. Dan apa yang menyebabkan aku tidak merasa sendiri adalah karena aku punya DUA PERMATA yang harus kujaga. Gen harus bekerja, kemungkinan aku dan Gen terpisah itu besar, jika gempa itu terjadi waktu jam kerja. TAPI anak-anakku ada di dekatku selalu. Sehingga aku tidak merasa sendiri. Seperti waktu gempa tahun lalu, aku bersama-sama dengan mereka terus. Kami saling menguatkan. Memang masalah jika gempa itu terjadi waktu aku sedang bekerja misalnya, tapi aku punya satu tujuan, pulang ke rumah dan menghadapi bersama dengan anak-anakku. Sama seperti komentarku pada tulisan Donny tentang Kiamat 2012.. ,Jadikah?
Satu yang kuingin, yaitu bersama anak-anakku. Seperti waktu gempa tahun lalu. Aku kuat, karena ada mereka. Aku harus kuat untuk mereka! Belum tentu aku kuat sendirian tanpa mereka.
Lima puluh itu penting, tapi yang DUA itu jauuuuh lebih penting bagiku!
(Sambil teringat kembali muka ceria Kai yang kujemput pulang tadi… dalam kereta dia menceritakan harinya yang dia lewati bersama omanya. Serta muka ceria Riku waktu dia berteriak, “Mama!” dari sepeda pulang bermain karena secara kebetulan bertemu kami yang sedang jalan pulang. Dua permataku….)
so sweet….
iya mbak, anak2 emang jadi penguat ya!!!
yah moga2 gak ada gempat2 lagi ya mbak… semoga semua nya selalu baik2 saja… 🙂
wah ternyata pertamax ya! hahaha
hehhe, paling terharu klo mb Em nulis tentang keluarga.
Riku dan Kai memang permatamu yang luar biasa Mb.
semoga kalian semua selalu dalam lindungan yang kuasa, amiin.
Hmm..Terharuu…
KAlo dah ada hubungannya sama anak ya..
Semoga Mba Em dan keluarga selalu di lindungi, dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak di inginkan..
dan saya yang blom punya permata beneran,
pulang liburan kemarin, gak pake tunggu lama, langsung jemput abang dan egi 😀
nginep di rumah. peluk2 terus sama egi,
ah anak2 emang selalu memberi kekuatan tersendiri ya mbak
adanya mereka pastilah jauh lebih berharga ketimbang 50 mahasiswa itu hehehe
mana bisa dibandingkan seeeh 😀
semoga kalian selalu bersama kalaupun sampai gempa harus terjadi ya mbak 🙁
gak bisa mbayangin klo terjadi gempa, tapi mbak dan anak2 sedang terpisah2 🙁
anak2 selalu menjadi prioritas dan penguat orangtua ya mbak 🙂
hehe.. kata orang, kebahagiaan dua pasangan yang telah menikah adalah pada anak. Dan Bu Em adalah orang yang telah membuktikan itu bukan? 😀
salam
Hihihi yang paling penting itu emang anak ya mbak…
itu perjalanan ke sekolahnya lama banget 2 jam 45 menit…
Waaaw @_@
mba Imeeeeeel….
nice postiiiiiiing…
suka sekaliiiii 🙂
aku kok perasaan bisa ngebayangin kehidupan mba Imel disono ya mba…
siapin sarapan…naik kereta…titipin Kai…ngajar..ini..itu…
whuaaa…seru sekali hidup mba Imel ituuuuh…
dan tulisan mba Imel tentang dua permata ituh sangat menikam hati sanubariku mbaaa…
baiklaaaah…
aku gak akan lagi nyuruh Kayla dan Fathir buat nyikat kamar mandi atau jemurin karpet deh…hihihi…
Mbak EM saya terharu kalau lihat erry jadi rajin blogwalking…..hihihihihi….*saya sekarang udh kalah banget sama dia kalau udh bw*
Wow, ada 50 sekelas. Lumayan banyak. Btw, hebat banget ada mahasiswa yang harus shuttle 2,5 jam tiap hari. Pasti jaraknya lebih dari Jakarta-Bandung ya karena di Jepun keretnya pasti lebih kencang.
Gempa siapa tahu kapan dia tiba. Semoga Ime-chan selalu dilindungi Tuhan di saat gempa datang dan di saat apapun. Salam buat 2 permatamu ya…..
anak anak memang harta yg paliiiing berharga utk kita Mbak EM
saya setuju sekali, mereka lah yg menguatkan kita dlm menghadapi apapun …. 🙂
semoga saja tdk terjadi lagi gempa luar biasa seperti yg lalu …..aamiin
salam
Riku sayang sekali sama adiknya ya, terlihat di foto begitu perhatian
Ya ampuuunn, Mbak Imelda. Ceritanya tentang yang dua ini ternyata sangat mengharu biru..Airmataku sampai mengambang membacanya.
Cinta dan keluarga – terutama anak. memang selalu membuat kita menjadi kuat ya Mbak..
mbaaaak….
so sweet….buah hati adalah harta yg tak terhingga ya…
aq pun ketika Rafi di sekolah hati rasanya kurang tenang
tapi kalau anak sudah di rumah rasanya plooooong banget
pengen terus memeluk tapi…anak kan harus sekolah juga ya…
hihihi….
mbak aq baca ini sambil ngebayangin mbak Imel naik bus trus naik kereta…duh…pasti mbak Imel melakukan rutinitas seperti itu gambarannya seperti yg suka aq tonton juga di drama Korea atau dorama Jepang…hehehe….
salam untuk dua permatanya ya mbaaaak……
Dua jagoan anugerahNya di keluarga EM-Gen jadi penguat semangat dalam keseharian ya mbak EM. Cinta kasih mbak EM melampaui kepiawaian sistem peringatan dini gempa, sehingga lebih cepat memeluk Riku dan Kai.
Selamat mengampu kelas lima puluhan di Univ S.
Salam
Mudah2an permata ini akan selalu teus bersinar menerangi jiwa orang tuanya. Jangan sampai permata2 itu kehilangan kecerahannya karena kesalahan orang tua dalam menjaga dan memeliharanya.
*Namun tidak semua orang bisa dekat dengan anak2nya atas nama mencari uang*
murid dan anak-anak – semua tak ternilai harganya yaa, butuh hati mulia seperti dirimu utk keberhasilan dan masa depan mereka …. tulisan yang bagus
Duh, ruwet banget ya jeng.
Saya dulu dinas di Jakarta. Yang saya pikirkan sebelum pindah ke mtero bukan tugas yang akan saya hadapi tetapi membayangkan kemacetan yang selalu terjadi tiap hari.
Anda hebat jeng, hidup di negara lain yang mengharuskan kita benar-benar mandiri. Saya yang puinya sopir dinas aja kadang ngomel panjang-lebar kalau macet je.
Semoga jeng Imel selalu sehat.
Senang meihat dua jagoan itu.sehat dan ceria.
Salam hangat dari Surabaya
cerita yang sangat manis… semoga bisa menginspirasi yang lain ya…
Sembilan Puluh dan Dua….
Itulah angka saya.
Murid saya 3 kelas kali 30
Yang dua pastinya jagoan saya… 😀
So sweet…. seneng liat foto Riku dan Kai yag rukun…
Aduh, aku terharu baca ceritanya. Bayangin tar kalo gede Riku dan Kai baca tulisan Mamanya, pasti bahagia banget 🙂
Mengharukaaaaannn… doakan saya juga suatu saat bisa memiliki permata2 yang bisa saling menguatkan itu ya nechan ^-^
huhuhuhuhu.. waktu baca bagian DUA, dirikuw jadi inget ama si DUA yang di rumah mbak.. ngeliat betapa antusiasnya mereka (meskipun si adek masih 2bln) ketika saya dateng trus si kakak pake acara meluk-meluk sambil bilang “Mahes kangeeeeeeeen kali sama bunda!” , ilang deh semua capek di jalan 😀
^-^….dua yang penting bagiku hiks hiks…and so me too