Hari Minggu yang lalu adalah hari Paskah. Easter. Dan biasanya kalau mendengar kata easter, masyarakat awam akan membayangkan telur atau kelinci. Atau bahkan coklat berbentuk kelinci. Aku ingat sekali dulu, kami pernah mendapat hadiah coklat berbentuk kelinci dari Belanda. Sebetulnya apa hubungannya Kelinci dan Telur dalam Easter?
Jawabannya mungkin akan sama dengan pohon natal dan santa claus pada hari Natal. Yang pasti memang paskah itu dirayakan pada awal musim semi, sehingga easter = spring. Bahkan aku baru tahu dari pastor kemarin bahwa paskah itu selalu jatuh pada hari Minggu terdekat dari bulan purnama sesudah hari Equinox (22 Maret). Dan kalau pernah menonton film Bambi, bisa diketahui bahwa binatang-binatang keluar dari sarangnya di awal musim semi, dan …. kawin. Bisa terbayang kelinci berlarian di tengah-tengah padang bunga kan? Jadi kalau soal kelinci, aku bisa memakluminya jika dipakai sebagai lambang easter. Tapi telur?
Easter bunny biasanya membawa telur. Dari kecil di keluargaku juga punya kebiasaan untuk menyembunyikan telur-telur Paskah yang sudah dihias sebelumnya (telur rebus). Bahkan ada perlombaan menghias telur di sekolah minggu (perkumpulan anak-anak gereja). Tapi aku baru sadar dari penjelasan pastor dalam misa yang menjelaskan bahwa sesudah misa akan dibagikan telur rebus. Telur itu dipakai sebagai lambang “hidup baru”, lambang kebangkitan Yesus yang bangkit dari mati. Lambang-lambang dari pergantian musim menuju musim semi ikut meramaikan perayaan Paskah, asal jangan sampai kehilangan esensinya saja.
Aku bersama Riku dan Kai mengikuti misa Paskah hari Minggu kemarin di Kichijouji. Kira-kira 30 menit dengan bus + jalan kaki dari rumahku. Gen sudah 2 minggu terus menerus bekerja (hari Minggupun) karena awal tahun fiskal, jadi kami hanya bertiga saja. Tadinya kami berencana pergi ke misa pukul 9 pagi, tapi karena sesuatu hal, menjadi pukul 12 siang! Tapi untung saja, kami jadi bisa mengikuti upacara permandian bayinya teman kami Nesta di misa itu.
Setelah misa, aku mengajak anak-anak untuk pergi ke Taman Inokashira yang terletak dekat dari gereja kami. Kira-kira berjalan 5 menit kami sampai di salah satu sudut kolam, tempat sebuah kuil di pinggir danau berada. Paduan pemandangan bunga Sakura dengan danau dan kuil membuat perasaan kami pun riang. Riku dan Kai yang tadinya malas pergi ke Taman, jadi ikut bisa menikmati pemandangan yang indah, dan ikut mengabadikan keindahan sakura dengan kamera kecil. Di tempat ini tidak begitu banyak orang, tapi begitu kami pergi mengelilingi danau dan beranjak pulang ke arah stasiun… ampun deh. Penuh dengan orang-orang yang ingin menikmati keindahan sakura.
Memang akhir pekan tanggal 7-8 April ini merupakan puncak mekarnya bunga sakura di Tokyo. Mungkin seluruh penduduk Tokyo bepergian ke tempat-tempat terkenal, terutama taman-taman yang tersebar di beberapa tempat. Cuacanya juga sangat mendukung. Orang Jepang memang mempunyai kebiasaan untuk HANAMI, melihat keindahan sakura TAPI dengan cara berpiknik di bawah pohon Sakura. Menggelar tikar/alas di bawah pohon, makan dan minum (alkohol) bersama teman-teman. Bisa bayangkan penuhnya taman-taman ini bukan? Konon 220.000 orang memenuhi Taman Ueno pada hari Sabtu, dan jumlah yang kurang lebih sama pada hari Minggunya. Padahal taman di Tokyo bukan hanya Ueno, ada Tachikawa, Rikugien, Inokashira, Shakujii Koen dan lain-lain. Belum taman-taman kecil tak bernama di sekeliling perumahan. Dan tentu saja semuanya gratis!
Aku sendiri tidak suka berpiknik bersama di bawah pohon sakura. Meskipun banyak orang Jepang menganggap beruntung bisa bisa minum dengan kelopak-kelopak sakura berjatuhan dalam gelasnya, aku merasa tidak nyaman. Selama 20 tahun aku hidup di Jepang, baru 2 kali aku ikut HANAMI bersama teman-teman. Lebih suka berjalan di bawah pohon sambil menikmati pemandangan yang ada. Tapi kalau terlalu banyak orang juga apa enaknya?
Jadi aku mengajak Riku dan Kai pulang sekitar pukul setengah 4. Dengan susah payah kami menembus lautan manusia yang baru akan menuju ke taman Inokashira. Lebih banyak orang yang datang daripada yang pulang. Untung saja akhirnya kami bisa sampai di stasiun dengan selamat. Dan aku mengajak Riku dan Kai makan di sebuah izakaya (tempat minum) yang sudah buka sejak siang. Kalau malam, aku pasti tidak akan mengajak anak-anak ke tempat semacam itu. Mumpung siang (sore) aku mengajak mereka. Ciri khas izakaya itu adalah porsi makanannya kecil dan bermacam-macam. Dari sate sampai sashimi ada. Meskipun ya tidak bisa dibilang kualitas prima, cukuplah.
Masa melihat bunga sakura akan berlalu begitu hujan turun. Biasanya sakura memang tidak akan bertahan lebih lama dari satu minggu, dan kami sudah tahu bahwa hari Rabu ini akan turun hujan, sehingga setelah weekend kemarin itu kami hanya bisa menikmati sisa-sisanya saja. Semoga akhir pekan besok masih ada sakura yang bertahan, karena untuk pertama kalinya kami bisa bepergian sekeluarga dengan Gen yang baru bisa libur Sabtu besok. Kalau tidak ada lagi sakura, berarti kami harus menunggu satu tahun lagi deh.