Dompet! hahaha. Ya lazimnya sih turun ke hati. Melihat sesuatu lalu jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan kadang aku berpikir, sebetulnya stop saja sampai di situ. Karena tidak bisa dipastikan pandangan kedua, akan sebagus pandangan pertama. Chancenya fifty-fifty, bisa jadi pandangan kedua akan membuatmu benci pada sesuatu itu 😀 Tapi memang betul juga bahwa kita harus berani mengambil kesempatan ke dua itu, supaya yakin seyakin-yakinnya apakah memang tepat pilihan kita itu.
Sebelum aku mengadakan kopdar Jumat (29 Juli) dan Sabtu (30 Juli), hari Kamis 28 Juli aku sempat bertemu dengan 2 orang temanku. Satu teman SMA, Wida di food court PIM. Sambil makan sate padang untuk lunch (menu utama selama mudik nih), kami bercerita ngalor ngidul. Tentang teman-teman, anak-anak yang sudah semakin besar dan kesehatan mereka, kemacetan jakarta, juga tentang “mengalah tidak bekerja demi anak-anak”. Yah, biasalah pembicaraan emak-emak.
Sesudah dari PIM, aku mampir ke rumah sepupuku yang baru melahirkan, juga di Pondok Indah. Tadinya sempat menelepon bu Enny, tapi jadwalnya kurang bagus. Jadi sesudah dari daerah Pondok Indah, di perjalanan pulang, kebetulan saja aku membaca message di Inbox FB dari Elizabeth Novianti, seorang pembaca setia Twilight Express yang minta no HP dan pin BB. Dari message itu kemudian berkembang menjadi pertemuan hari itu juga. Langsung pak supir kuminta ke daerah Blok M untuk menjemput Novi (namanya persis nama adikku hihihi) di kantornya. Aku memang sering impulsif sih, menuruti kata hati saat itu. 😀
Nah, kebetulan aku ingin mencoba restoran Meradelima, yang pernah kudengar namanya. Letaknya persis diagonal dengan kantor Novi, dan menurut Novi memang enak. OK jadilah aku mengajak Novi ke sana untuk menemaniku.
Karena waktu kunjungan yang aneh, jam 5 sore, tentu restoran itu masih kosong. Kami menjadi tamu pertama di situ, dan kami diantar ke salah satu meja di lantai satu. Well, aku langsung tertarik dengan tata ruang dan interior restoran ini yang bagus, dan cozy. Memang bangunannya sendiri seperti bangunan rumah biasa, jaman kolonial yang dimanfaatkan menjadi restoran. Ada beberapa “kamar private” untuk 6 – 12 orang yang apik.
Tentu saja aku ingin memotret banyak. Karenanya aku tanya pada pak iforgethisname, apakah boleh memotret. Bukan saja boleh, malah bapak itu mengantar kami tour de restaurant, dari lantai 1 sampai lantai 2, dan menawarkan untuk memotret kami! Wah…senangnya. Itulah keuntungan menjadi tamu pertama 😀
Seluruh interior memang mengambil interior Cina yang dipadukan dengan bangunan kolonial. Ada satu teras di atas yang ditutup dengan kaca, sehingga kita bisa makan sambil melihat pemandangan jalanan di luar, tapi tidak usah takut kepanasan. “Ini pasti panas kalau siang ya pak? Kan ada efek rumah kacanya”. Menurut dia sih tidak panas, karena teras yang untuk 6 orang itu dipasang AC khusus.
Selesai berfoto di atas, kami turun ke lantai 1 lagi, dan keluar pintu untuk berfoto di pintu masuknya. Ada satu hal yang aku perhatikan, mereka tidak mempunyai papan nama yang cukup besar/terbaca di pintu masuk. Jadi meskipun kami berfoto di depan pintu masuk, orang-orang tidak langsung tahu kami berada di mana. Sedangkan di Jepang, hampir semua toko mempunyai papan nama di pintu masuk. Ini pun bagian dari promosi kan?
Akhirnya kami masuk kembali dan duduk di tempat kami dan menunggu pesanan kami datang. Sambil bercakap-cakap, aku mengatakan pada Novi bahwa tempat ini cocoknya untuk pacaran 😀 dengan suasana mewah tapi santai (dan disetujui Novi hihihi) .
Karena aku masih kenyang, kami berdua memesan appetizer cakwe isi, Bakmi siram (seperti Ifumi) dan sate daging manis. Pesanan kami ini enak, dan ditambah semacam es teler semuanya sekitar 220 ribuan. Kupikir lumayan karena biasanya budget makan di luar perorang sekitar 100 ribu rupiah.
Jadi, aku ingin sekali mengajak papa dan mama datang kembali ke sini. Nah, di sini aku melakukan kesalahan. Papa waktu kuajak memang sedang flu, dan mau makan sesuatu yang panas-panas. Tadinya dia mengajak makan soto kudus, tapi karena kita cuma bertiga, tanpa anak-anak, maka kuajak ke restoran Meradelima ini. Restoran ini memang TIDAK COCOK untuk keluarga dengan anak kecil apalagi balita yang bisa berlarian di salam….duh mengerikan membayangkan anak-anak itu meraba-raba koleksinya antiknya 😀 Memang tepat kategorinya : Fine Dining.
Jadi waktu aku datang bertiga dengan papa dan mama, aku memesan Sup Buntut, ayam kodok, wedang jahe dan jus sirsak. Sup buntutnya disajikan dalam wajan berapi yang tahan lama sehingga tetap panas, sampai titik sup terakhir. Salut deh. Ayam kodok yang menjadi favorit disajikan dengan “kepala ayam” sebagai penghias. Aku ingat dulu memang mama sering membuat ayam kodok. Rasanya seperti rolade ayam, daging ayam dihaluskan menjadi seperti steak ayam dengan saus tomat dan sayuran. Memang membangkitkan kenangan lama, tapi entah aku yang tidak lapar, rasanya kok kurang maknyus. Akibatnya kami menghabiskan sup buntut saja dan membawa pulang ayam kodok yang masih banyak sisanya. Dan… aku kaget waktu harus membayar karena untuk bertiga saja (dan pesanan yang begitu) aku harus membayar 700 ribu lebih. Hmmm overprice (istilahnya adikku)? Mungkin tidak juga, tapi cukup membuatku tertegun. (7000 yen di Jepang bertiga sudah bisa makan siang, french cuisine yang enak lengkap dengan dessert dan coffee)
Waktu makan bersama papa dan mama, memang tamu yang di sana adalah orang asing semua menempati 3 meja. Konon restoran ini terkenal di kalangan expat dan tamu asing. Memang suasananya enak, nyaman. Interior yang mewah, bersih sampai ke WC nya bagus. Pelayanannya bagus, dengan pelayan yang berseragam merah hitam. Jika punya tamu orang asing, ingin menjamu dengan maksimum memang inilah tempatnya. Atau mau membeli suasana. Tapi kalau mencari sup buntut enak atau soto-sotoan yang enak, bukan di sini tempatnya. Inilah yang kumaksud dengan dari mata turun ke dompet hehehe.